Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

RUMAH DUKUN (Part 9 AND)


JEJAKMISTERI - “PERGI! Jangan ganggu adik saya!" teriakku. Ia melangkah mendekat, sambil tertawa. "PERGI!"

"Kak Arsyad," panggil Suara Hamid dari arah lain. Spontan, aku mengarahkan lampu ponsel ke kiri. Terlihat Hamid sedang duduk di atas kasur.

"Hamid?" tanyaku.

"Kak kenapa teriak-teriak?" tanyanya.

Aku kembali mengarahkan lampu ponsel ke depan. Sosok yang menyerupai Hamid sudah hilang. Dengan cepat, aku bergerak untuk menyalakan lampu.

"Kak," panggil Hamid.

"Ya, tadi ada kecoa," balasku.

"Sama kecoa aja takut," gerutunya lalu kembali tidur.

"Lampunya kakak nyalain aja, ya?"

"Iya, Kak."

Aku pun naik ke atas kasur, berbaring menghadap tembok sambil memeluk guling. Pikiran pun melayang. Ayah bilang rumah ini sudah tidak menakutkan lagi, tapi kenyataannya masih sama saja. Apa mungkin rukyah rumahnya tidak berhasil?

Semenjak kejadian tadi, aku belum bisa tidur juga. Setiap memejamkan mata, selalu terbayang-bayang wajah Hamid yang berlumuran darah. 

Semua yang terjadi di rumah ini benar-benar membuatku bingung. Entah mana yang benar. Tuduhanku pada ayah dan Om Edwin belum terbukti benar. Lalu, muncul mimpi di ruangan gelap itu dan tingkah aneh Hamid. Kini ditambah, harus ekstra hati-hati dengan Risa. Argh! Rasanya kepalaku pusing memikirkannya.

Kriet!

Terdengar suara pintu kamar terbuka. Spontan aku menoleh ke sana. Terlihat ayah sedang berdiri di dekat pintu. "Syad, udah subuh," ucapnya pelan.

"Iya, Ayah," sahutku.

Aku bangkit, duduk di ujung kasur. Merasakan pundak yang begitu berat dan kepala sedikit pusing. Mungkin efek tidak tidur semalaman.

Kemudian, berjalan ke kamar mandi untuk mengambil wudu. Terlihat ayah sedang duduk di ruang tengah, sudah mengenakan sarung dan baju koko.

Setelah mengambil wudu, aku bergabung dengan ayah, sembari menunggu Hamid yang baru bangun. "Syad, kamu sakit?" Tiba-tiba ayah bertanya seperti itu.

"Nggak, Yah," balasku.

"Muka kamu pucet banget."

"Semalem gak bisa tidur, Yah."

"Kenapa? Ada gangguan lagi."

Aku mengangguk pelan. 

"Kamu gak lupa baca doa, kan?"  tanya Ayah.

Aku tak ingat, semalam sudah baca doa atau belum. "Kayanya lupa," sahutku.

"Lain kali, sebelum tidur, kamu ambil wudhu, terus baca surat rukyah."

"Iya, Ayah."

Hamid sudah selesai mengambil wudu. Ayah langsung mengajak kami untuk salat berjamaah di kamarnya. 

Entah kenapa, pundakku semakin terasa berat. Bahkan saat bangkit dari sujud pun, aku kesulitan. Selesai salat, wajahku sudah dipenuhi keringat. Padahal udara pagi ini begitu dingin.

"Syad, ambil Qur'an," perintah Ayah.

Saat bangkit, tubuhku sedikit limbung. "Kamu gak apa-apa, Syad?" tanya Ibu, khawatir. 

Aku menoleh padanya, "Nggak, Bu." Kemudian berjalan ke arah pintu. 

Krek!

Saat membuka pintu. Tiba-tiba ada hantaman angin ke wajah, yang membuat tubuhku roboh seketika. Pingsan.

"Kak Arsyad, tolong!" Aku terbangun saat mendengar suara teriakan Hamid. Di hadapanku hanya terlihat pohon menjulang tinggi. 

"Kak Arsyad, tolong!" Suara Hamid kembali terdengar. Aku bangkit, lalu mengedarkan pandangan. Mencari sumber suara itu.

"Kak Arsyad!"

Spontan aku menoleh ke arah sumber suara itu. Sepertinya berasal dari dalam hutan. Terpaksa aku masuk ke sana, menyusuri jalan yang dipenuhi semak belukar. 

Semakin masuk ke dalam hutan, aku mendengar banyak suara teriakan meminta tolong. Kupercepat langkah. Tak lama, sudah dihadapakan dengan sebuah dataran yang luas yang dipenuhi oleh tiang-tiang kayu.

Aku berjalan mendekat. Kini terlihat di setiap tiang, ada seseorang yang diikat dengan rantai besi. Sementara itu, di bawahnya ada bara api yang menyala. Orang-orang itu menjerit kesakitan dan meminta tolong padaku. 

"Kak Arsyad!" panggil Hamid. Sontak, aku berlari ke arah sumber suaranya. Dari kejauhan ada tiga buah tiang yang berdekatan. 

Saat mendekat, terlihat Hamid, Leo dan Rina sedang terikat di tiang kayu. Namun, Leo dan Rina sepertinya sudah tak sadarkan diri. Dengan tubuh yang dipenuhi luka berdarah.

"Kak Arsyad! Tolongin Hamid!" teriak Hamid. Aku berlari mendekat.

DUAR!

Terdengar suara dentuman keras. Sontak, aku menghentikan langkah. Kini di hadapanku sudah ada Kakek Tua yang wajahnya mirip sekali dengan Om Edwin. Ia memegang cambuk berduri dan berlumuran darah.

"Kamu sudah terlambat Arsyad!" ucal Kakek Tua itu. "Adikmu tidak akan bisa kembali. Dia sudah mati!"

"Bohong!" sahutku, lalu berlari mendekati Hamid. Namun, langkahku lagi-lagi terhenti saat Kakek itu mengayunkan cambuknya ke tanah, hingga menimbulkan suara yang begitu keras.

"Yang ada di rumahmu itu bukan Hamid, tapi anakku!"

"Kak Arsyad!"

Aku berlari memutar sambil memperhatikan gerak-gerak Kakek itu. Berkali-kali ia berusaha mencambukku, tapi aku berhasil menghindarinya. 

"Kamu tidak akan bisa menyelamatkannya!" Kakek tua itu kembali mengayunkan cambuknya. Kini tepat mengenai tubuhku.

ARGH!

Aku tersadar. "Syad," ucap Ayah. Belum sempat membalasnya, tiba-tiba perutku terasa mual sekali. Hingga akhirnya muntah.

Ayah mengangkat tubuhku. Sementara itu, ibu membersihkan bekas muntahan di kasur. "Nanti siang kita ke klinik," ucap Ayah.

"Iya," balasku, pelan.

Setelah berbaring sebentar, serta meminum teh manus hangat buatan ibu. Tubuhku sudah agak mendingan. Aku sudah bisa duduk di atas kasur.

Tak lama ibu membawakan semangkuk bubur ke dalam kamar dan menyuapiku. "Kamu itu, kalau sakit bilang," gerutunya.

"Iya, Bu."

"Coba cerita sama ibu. Apanya yang sakit?"

"Kepalaku kaya pusing banget, Bu."

"Harusnya kemaren kamu periksa ke rumah sakit di kota. Eh, malah minta buru-buru pulang. Jadi begini hasilnya."

"Tapi kemaren gak kenapa-napa, Bu."

"Kemaren belum terasa aja. Sekarang efeknya jadi begini."

Ayah masuk ke dalam kamar. "Habis makan langsung siap-siap, Syad," ucapnya.

"Kayanya jangan dibawa ke klinik, Yah. Langsung aja ke rumah sakit," ucap Ibu.

"Harus ada surat rujukan dari klinik dulu, Bu."

"Ya udah, abis dari klinik, langsung dibawa ke rumah sakit aja."

"Loh? Kok cepet banget?" tanya Ibu, saat aku dan ayah kembali dari klinik.

"Arsyad udah sehat, Bu," balasku.

"Kamu yakin?"

"Tadi dokter udah periksa. Sementara dikasih obat dulu, kalau beberapa hari ke depan masih sakit, baru dirujuk ke rumah sakit. Kalau pergi langsung ke sana juga gak bisa langsung di CT Scan, Bu. Harus diperiksa ulang, terus kalau ternyata memang ada luka dalam baru dikasih jadwal CT Scan," jelas Ayah.

"Ya udah, kamu abisin dulu obatnya. Terus banyak istirahat dulu."

"Iya, Bu." Aku berjalan ke arah kamar. Di dalam, terlihat Hamid yang sedang tidur.

Aku pun berbaring di atas kasur, sembari memejamkan mata. "Kakak," bisik Suara Hamid. Sontak, aku membuka mata lalu menoleh ke kanan. Wajah Hamid sudah ada di hadapan.

"Hamid!" teriakku, kesal. Bukannya minta maaf karena mengagetkanku. Ia malah tersenyum.

"Coba liat ke belakang."

Aku menoleh ke belakang. Lalu, terperanjat hingga jatuh dari kasur. Saat melihat tembok sudah dipenuhi wajah orang yang berdarah-darah. 

"Nanti aku, kakak, ayah sama ibu juga ada di sana," ucap Hamid yang berdiri di dekatku.

**

"Dasar anak iblis!" hardikku seraya berdiri. Kugenggam keras baju Hamid, lalu mendorongnya sekuat mungkin.

Bruk!

Kepalanya membentur ujung meja belajar. Ia pun langsung menjerit kesakitan dan menangis. 

Tak lama, ayah dan ibu datang. Keduanya langsung memandangku heran. "Ada apa, Syad?" tanya Ayah, sambil memeluk Hamid.

Aku memilih diam, tak mau menjawab. Sambil menatap Hamid yang terus menangis. Anak iblis itu memang pandai berpura-pura.

"Kalau ditanya jawab!" hardik Ayah. 

"Dia bukan Hamid, Yah," balasku.

"Bukan Hamid gimana? Kalau ngomong yang jelas!" 

"Dia Anak Iblis!" 

"Astaghfirullah, ARYSAD!" Ayah berdiri dan hendak memukulku, tapi ibu mencegahnya. 

Aku menatap ibu, "Bu, percaya sama Arsyad. Dia bukan Hamid."

"Jangan ngomong lagi, Syad! Sekali lagi kamu bilang gitu, ibu gak bakal ngelarang ayah buat mukul kamu!" omel Ibu sembari membawa Hamid ke luar kamar.

"DUDUK!" Ayah memintaku duduk di kursi. Aku pun menurutinya. "Demi Allah, Ayah gak nyangka kamu bisa berbuat sejauh ini, Syad. Ayah kecewa banget sama kamu."

"Tapi dia emang bukan Hamid!" balasku, membuat wajah ayah semakin merah padam.

DUG!

Ayah memukul meja belajar, lalu menghela napas. "Astaghfirullah," ucapnya lirih. "Dari mana kamu dapet pikiran macam itu, Syad?"

"Aku ngeliat langsung, Yah. Aku liat Hamid yang asli dikurung di dalem ruangan gelap. Terus aku ngeliat Hamid diikat di tiang kayu, mau dicambuk kakek tua yang mirip Om Edwin. Aku juga liat, tingkah laku Hamid yang aneh," jelasku.

"Hamid yang asli lagi nunggu bantuan kita, Yah," imbuhku.

"Cukup, Syad! Cukup! Ayah gak mau denger lagi. Kamu gak bisa bedain, mana dunia nyata. Mana dunia mimpi, Syad. Kamu udah termakan sama hasutan setan, sampe tega ngelukain adik kamu sendiri," ucap Ayah.

"Padahal ayah udah mulai ngelupain tuduhan kamu sama ayah. Sekarang kamu malah berbuat kaya begini," imbuhnya.

Kutatap wajah ayah, "Bener dugaan Arsyad, ayah berkerjasama sama iblis."

Plak!

Sebuah tamparan dilayangkan ke pipiku. Aku menundukkan kepala, merasakan perih di pipi. Namun berusaha tidak menangis. 

"Selama ini, ayah belum pernah memukul kamu. Tapi kali ini kamu udah bener-bener keterlaluan. Sekarang mending kamu pikirin lagi semua kelakuan kamu ini," ucap Ayah, lalu pergi ke luar kamar.

"Dia sedang menutupi kebohongannya." Terdengar suara bisikan. Kali ini aku tak bisa menahan amarah.  Kupukul meja belajar dengan sekeras mungkin. Lalu, pergi ke luar rumah.

"Mau ke mana kamu!" tegur Ayah yang sedang duduk di ruang tengah.

"Bukan urusan ayah!" sahutku, berlalu ke pintu depan.

"Jangan pergi, Syad," cegah Ibu, seraya memegang tanganku.

"Ibu juga! Nggak percaya sama omongan Arsyad!" Kuhempaskan tangannya, lalu berjalan ke luar rumah.

Aku melangkah tanpa tujuan. Entah harus pergi ke mana? Ingin pergi ke rumah Bagas, tapi tidak membawa uang. Bahkan ponsel pun tertinggal di kamar.

Kuputuskan untuk berjalan ke lapangan. Berharap di sana ada anak-anak yang sedang bermain. Namun, setibanya di sana, lapangan terlihat begitu sepi. Mungkin karena sudah menjelang magrib.

Aku duduk di batang kayu, tempat kesukaan Risa. Menatap langit jingga yang kian meredup. Tak terasa air mata pun mengalir. Bukan menyesali perbuatanku pada Hamid, melainkan perlakuan ayah dan ibu padaku. Kenapa mereka tidak percaya padaku?

Adzan magrib berkumandang, tapi aku tetap bergeming, tak ingin pulang ke rumah. 

Srek! Srek!

Terdengar langkah kaki yang bergesekan dengan daun kering. Sontak, aku menoleh ke belakang. Terlihat Risa sedang berjalan mendekat.

"Ayah sama ibu kamu, tadi lagi nyariin kamu, Syad," ucapnya, lalu duduk di sampingku.

"Biarin aja," balasku.

"Kamu lagi marahan sama mereka?"

"Iya."

"Semarah-marahnya, mereka itu orang tua kamu juga."

"Orang tua macam apa yang gak percaya sama anaknya sendiri."

"Harusnya kamu buat mereka percaya. Bukan malah kabur dari rumah."

"Percuma, mereka lebih percaya sama Anak Iblis itu."

"Anak Iblis? Siapa?"

"Hamid, adikku."

"Kenapa kamu bilang dia Anak Iblis?"

"Kenyataannya begitu, Sa."

"Dari mana kamu tau?"

Aku menceritakan semua pada Risa. "Menurut kamu gimana?"

"Sepengetahuanku, bang Jin itu pintar menghasut dan berubah wujud. Bisa saja apa yang kamu liat itu manipulasi mereka."

"Aku yakin banget. Itu nyata, Sa."

"Kalau begitu. Kamu harus membuktikannya."

"Susah, Anak Iblis itu jago berpura-pura."

"Terus kamu mau gimana, Syad? Mau di sini sampe besok?" 

"Aku gak tau, Sa. Yang jelas sekarang gak mau pulang ke rumah dulu."

"Kamu bawa uang?"

Aku menggelengkan kepala.

"Hmm, tunggu di sini bentar," ucap Risa seraya berdiri.

"Kamu mau ke mana?"

"Tunggu di sini, jangan ke mana-mana." Risa berlari menyebrangi lapangan. Lalu, menghilang di antara perumahan warga.

Lama sekali, Risa belum juga kembali. Entah ke mana perginya. Tiba-tiba tercium aroma melati. Bulu kudukku pun meremang. 

Srek!
Srek!

Spontan, aku menoleh ke belakang. Terlihat Risa sedang berjalan pelan, menghampiriku. "Risa! Nakutin aja!" protesku. "Kok munculnya dari belakang?"

Risa tersenyum, "Tadinya mau nakutin kamu."

"Kamu nyium bau melati, gak?" tanyaku.

Risa mengangguk pelan, "Itu dari pohon melati di deket sini."

"Oh, pantesan."

Risa mengeluarkan sesuatu dari kantung jaketnya. Sebuah minuman kemasan cup. "Aku tadi beli ini," ucapnya sembari menyerahkannya padaku.

"Aku gak haus, Sa."

"Minum aja."

Kuteguk minuman itu, rasa agak sedikit pahit. "Pahit, Sa," ucapku.

"Iya, emang begitu rasanya."

Tiba-tiba pandanganku agak kabur. Kugeleng-gelengkan kepala dengan cepat, agar tetap fokus. Namun, itu tak membantu sedikit pun.

Aku mencoba berdiri. Namun tubuh ini terasa begitu lemah. Tak sanggup berdiri. Risa meraih tanganku. Ingin sekali kulepaskan genggamannya, tapi tak berhasil. 

"Lihat wajahku, Syad," bisiknya.

Aku menoleh perlahan, menatap wajahnya. Risa semakin mendekat, lalu meniup wajahku. Seketika itu, tubuhku seperti melayang. "Kamu harus menyingkirkan Anak Iblis itu, Syad," bisiknya.

"Ba-gai-ma-na ca-ra-nya," balasku terbata, sembari menahan kepala yang semakin berat.

"Bunuh Hamid," bisiknya di telingaku.

Tiba-tiba, aku merasa begitu marah pada Hamid. Muncul keinginan untuk membunuhnya.

"Kamu harus membunuhnya malam ini, Syad," ucap Risa. 

Aku mengangguk, lalu berdiri dan berjalan menuju rumah. "HAMID!" teriakku, marah.

**

Dari kejauhan, terlihat pintu rumahku terbuka lebar.  "Cepat," bisik Suara di kepalaku. Aku mempercepat langkah, masuk ke dalam rumah. Tak telihat seorang pun di dalam. 

"HAMID!" teriakku, lalu berjalan ke kamar. Nihil, ia tak ada di sana. Kemudian, berjalan ke kamar ayah.

BRAK!

Kubuka pintunya dengan sekuat tenaga. "Kak Arsyad," ucap Hamid yang terbangun dari tidurnya.

"Di sini kau rupanya!" Aku berjalan mendekat. Kemudian mencekiknya. Hamid meronta-ronta, memukul wajahku berkali-kali. Itu malah membuat cengkeramanku semakin kuat. "MATI KAU ANAK IBLIS!" hardikku.

Argh!

Hamid berhasil menggigit jariku. Spontan, aku melepaskan cekikan. Kemudian, ia menendang perutku dengan sangat keras.

Aku pun meringis kesakitan, "Dasar Anak Iblis!" teriakku, berusaha menggapai tubuhnya. Namun, Hamid berhasil menghindar dan berlari ke luar kamar. "Mau ke mana kamu!" 

Entah kenapa, emosiku semakin tak bisa dikendalikan. Aku berlari, mengejar Hamid. Terlihat ia sedang berbelok ke arah tangga. "HAMID!"

Saatku berbelok ke arah tangga. Terdengar suara pintu dibanting. Sudah pasti ia bersembunyi di dalam kamar. Aku menaiki tangga perlahan, sembari memanggil namanya. Terlihat pintu kamarku tertutup rapat. 

Dug! Dug!

"BUKA!" teriakku, sembari menggedor pintu. Kutendang pintu itu dengan sekuat tenaga.

Brak!

Pintu terbuka. Diikuti suara Hamid yang menjerit ketakutan. "Mau ke mana kamu Anak Iblis!" ucapku sembari menatap Hamid yang sedang berdiri di dekat meja belajar.

"Kak Arsyad," ucapnya dengan mulut gemetar.

"Jangan berpura-pura!" hardikku seraya mendekat.

Hamid mundur perlahan, mendekati jendela. "Kak Arsyad." 

Kini posisinya tepat di depan jendela. Ia terlihat takut, sesekali melihat ke belakang ke luar jendela. Sementara aku, berjalan semakin mendekat.

"Kak Arsyad, jangan," ucapnya sambil menangis. 

Kupegang kedua bahunya. Kemudian, tanpa berpikir panjang, mendorongnya sekuat mungkin.

Arghhh! Brug!

Aku berdiri di pinggir jendela, melihat ke bawah. Terlihat tubuh Hamid yang tergeletak, tak bergerak. 

Bruk!

Terdengar suara benda terjatuh. Spontan aku menoleh ke belakang. Ada Al Quran yang tergeletak di lantai. 

Saat hendak mengambilnya. Tiba-tiba ada angin kencang. Hingga membuka lembaran Al Quran itu tempat di bagian tengah. Mataku tertuju pada kalimat yang dicetak tebal dengan warna merah.

Kubaca perlahan, "Walyatalaththof."

Seketika itu, tubuhku seperti tersetrum. Kemudian, tersadar dengan apa yang telah kulakukan pada Hamid.

"HAMID!" teriakku, sembari melihat ke luar jendela. Tubuhnya masih tergeletak di sana. "Hamid!" 

Aku berlari ke lantai bawah, sambil berurai air mata. Tak sanggup menerima kenyataan bila aku telah membunuh adikku sendiri. 

"Ya Allah, aku sudah berbuat dosa yang sangat besar. Berilah aku satu kesempatan untuk bertaubat dan meminta maaf pada Hamid," ucapku dalam hati, seraya berlari ke luar rumah.

"Hamid," panggilku saat berbelok ke samping rumah. Namun, langkahku terhenti, saat melihat tubuh Hamid sudah tak ada di sana. 

"Hamid!" panggilku seraya mengedarkan pandangan. Kuamati rumput yang berada tepat di bawah jendela kamarku. Masih berdiri tegak dan tak ada bercak darah sedikitpun.

"Kak Arsyad." Terdengar suara Hamid.

"Hamid, kamu di mana?" sahutku sembari mencari sumber suaranya.

"Di sini," balasnya.

Perlahan, aku menoleh ke jendela kamar. Terlihat Hamid sedang berdiri di sana. "Kok bisa di atas?" tanyaku, heran.

"Dasar anak bodoh!" sahutnya dengan suara berat. Tak berselang lama, matanya berubah menjadi merah menyala. Ia pun tertawa keras.

"Jadi kamu beneran Anak Iblis?"

"Iya! Hahahaha."

"Ke mana Hamid yang asli?"

"Sudah mati! Sebentar lagi nasib kamu akan sama seperti dia. Hahahahaha!"

Bruk!

Kurasakan hantaman keras di belakang kepala. Seketika itu, pandanganku berubah menjadi gelap.

Kesadaranku berangsur-angsur pulih. Merasakan tubuh ini seperti melayang. Kepala pun sakit sekali. Kubuka mata. Dengan pandangan masih buram, terlihat ada tangan melingkar di tubuhku. "Ayah," ucapku pelan. 

Aku menengadah, menatap wajah orang yang sedang menggotongku. Sebagian wajahnya tertutup masker. Dari ciri-cirinya sepertinya ia bukan ayah. "Siapa kamu?" tanyaku. Namun, ia tidak menjawab. 

"Lepaskan!" Aku meronta, tapi tenagaku kalah kuat dibanding dengannya. "AYAH!" teriakku sekencang mungkin.

"DIAM!" hardiknya sembari menutup mulutku dengan telapak tangannya. 

Kugigit telapak tangannya. Hingga ia melepaskan  genggamanya dan aku pun terjatuh ke tanah. Namun, rasa sakit di kepala membuatku tak sanggup untuk bangkit. Hanya tergeletak tak berdaya di atas tanah.

Kulihat orang itu mengambil sebuah batu. "Sulit sekali membunuhmu," ucapnya sambil berdiri menatapku yang terbaring di tanah.

Ia jongkok, tepat di sampingku. "Sayang sekali, anak sebaik kamu harus mati," ucapnya, lalu memukulkan batu itu ke kepalaku.

"ARGH!" Aku berteriak kesakitan, diikuti telinga yang berdenging. Padangan pun langsung berubah buram. Dengan tenaga yang tersisa, kuraih masker di wajahnya. "Om Edwin," ucapku lemah.

"Halo Arsyad," balasnya disertai tawa. 

"Ke-na-pa?"

"Kamu gak perlu tau." Ia kembali menghantam kepalaku dengan batu.

Ding!

Telingaku kembali berdenging. Kini kurasakan ada darah mengaling di keningku. Aku berusaha menahannya tangannya. Namun ia kembali menghantam kepalaku dengan batu, hingga aku tak sadarkan diri.

Aku membuka mata, menatap langit-langit yang berwarna putih. Kemudian melirik ke samping kanan. Ada dua sosok yang sedang tertidur di sofa Ibu dan Hamid.

"Bu," ucapku, pelan. Namun, ia tidak juga bangun dari tidurnya. Kucoba bangkit, tapi kakiku tak bisa digerakan. Panik. Kupanggil ibu dengan suara agak kencang, hingga ia terbangun.

"Asryad," ucapnya, kaget, seraya bangkit.

"Bu, kenapa kaki Arsyad gak bisa digerakin?" tanyaku, panik.

"Ibu panggil dokter, ya." Ibu berlari ke luar ruangan. 

"Kak Arsyad," ucap Hamid. Spontan, aku menoleh padanya yang berdiri agak jauh. 

Aku menatapnya, tak lama mataku mulai berembun. "Maafin, Kakak," ucapku. Hamid mengangguk, lalu berjalan mendekat dan memegang tanganku.

Ibu kembali, bersama seorang dokter. Dokter itu langsung melakukan pemeriksaan padaku. Hasilnya sungguh membuatku begitu terpukul. Katanya ada kemungkinan aku mengalami kelumpuhan, akibat benturan keras di kepala.

Aku menangis. Sulit rasanya menerima kenyataan ini. Namun, ibu berusaha menguatkanku. "Selama masih ada harapan sembuh. Ibu bakal terus ngedampingin kamu, Syad. Yang penting kamu jangan menyerah. Berdoa sama Allah," pesannya.

Beberapa saat kemudian, terlihat Ayah masuk ke dalam ruangan. Seketika itu aku teringat dengan Om Edwin. "Ayah, Om Edwin," ucapku.

"Kamu gak perlu takut. Dia sudah ditangkap polisi."

"Ayah, Arsyad gak bisa jalan lagi."

"Ayah udah bicara sama dokter. Katanya kamu harus rutin ngelakuin fisioterapi."

"Uangnya gimana?"

"Kamu gak usah mikirin itu. Sekarang yang paling penting kamu sembuh."

Sudah dua hari aku berbaring di atas ranjang pasien. Menghabiskan waktu hanya dengan menonton televisi.

Kriet!

Pintu terbuka, terlihat ibu masuk ke dalam ruangan. "Ada yang mau jenguk kamu nih, Syad," ucapnya, diikuti kemunculan dua sahabatku, Ardi dan Bagas.

Namun ada satu sosok lain yang berjalan di belakanb Bagas. "Risa?" Aku terkejut dengan kehadirannya. "Ibu kenapa Risa ada di sini!" protesku.

"Emangnya kenapa, Syad?" tanya Ibu.

"Risa yang bikin Arsyad hampir bunuh Hamid."

"Itu gak bener, Syad. Malahan Risa yang nolongin kamu."

Ibu pun bercerita, saat aku pergi dari rumah. Ibu, Ayah dan Hamid berusaha mencari keberadaanku. Sampai tak sengaja bertemu dengan Risa yang sedang membeli minuman di warung.

"Waktu aku balik lagi, kamu udah gak ada, Syad," ucap Risa.

Ayah, Ibu, Hamid dan Risa, dibantu dengan beberapa warga lain mencari keberadaanku. Sampai akhirnya, Risa mendengar suara teriakan di belakang rumahku. Kemudian, ia melaporkan pada Ayah. 

"Muka kamu penuh sama darah. Aku pikir kamu udah meninggal," ucap Risa.

"Om Edwin?"

"Berkat bantuan polisi, dia berhasil ditangkep pas sembunyi di dalem gudang," sahut Ibu.

"Gudang? Bukannya dikunci?"

"Selama ini kuncinya dia pegang. Kamu tau apa yang ada di dalem gudang?"

"Apa, Bu?"

"Ada barang-barang praktek perdukunan. Ada juga benda pusaka, kaya keris dan kujang. Kata Ustad temennya ayah, di situlah sumber keangkeran rumah itu."

"Arsyad gak mau balik lagi ke sana, Bu," ucapku.

"Kamu tenang aja. Ayah udah dapet kontrakan baru, deket rumah sakit."

"Alhamdulillah." Aku melirik Bagas dan Ardi yang dari tadi berdiri mematung. "Lu berdua diem aja," tegurku.

"Kita daritadi nyimak aja," sahut Bagas.

"Eh, Syad. Gua tadi dapet WA dari anak kelas," ucap Ardi.

"Emang ada?" sahut Bagas.

"Ada... katanya besok ada tanding futsal. Lu mau ikut, gak?" 

"Parah si Aldi!" tegur Bagas.

"Tau tuh. Temennya gak bisa jalan malah dibencandain," timpalku.

"Biar gak tegang banget suasananya, Syad." Sontak kami pun tertawa.

Tiga bulan berlalu, trauma akan kejadian malam itu sudah menghilang. Hanya menyisakan beberapa bekas luka jahitan di kepalaku. 

Kriet!

Ayah masuk ke dalam kamar. "Ayo, sekarang jadwal fisioterapi."

Kuambil tongkat yang diletakan di pinggir kasur. Kemudian berdiri perlahan. Ya, selama tiga bulan menjalani fisioterapi, aku masih belum bisa berjalan seperti semula. Masih membutuhkan tongkat untuk menopang tubuh ini.

"Ayah, gimana hasil persidangan Om Edwin?" tanyaku sembari berjalan ke luar rumah.

"Kenapa kamu tiba-tiba nanya itu?"

"Aku pengen dia di hukum seumur hidup."

"Kayanya harapan kamu terkabul. Dia dapet tuntutan hukuman seumur hidup atau hukuman mati."

"Beneran, Yah?" Aku terkejut mendengarnya.

"Iya. Polisi berhasil nemuin banyak bukti kasus pembunuhan."

"Kasus pembunuhan?"

"Dia dan ayahnya udah ngebunuh banyak orang untuk dijadikan tumbal. Malahan, jasad para korban dikubur di dalam rumah."

"Di dalam rumah?"

"Iya, waktu polisi ngebongkar lantai gudang. Di sana banyak tulang belulang manusia."

"Astaghfirullah." Jadi, selama ini, wajah-wajah yang ada di tembok gudang itu berasal dari orang-orang yang ditumbalkan. "Berarti Om Edwin itu anaknya Dukun yang pernah tinggal di sana?"

"Iya. Ayah gak nyangka dia sejahat itu. Berusaha ngejebak keluarga kita untuk dijadikan tumbal berikutnya. Malahan sebelumnya dia tega numbalin mantan istri dan anaknya."

"Leo," gumamku.

"Kamu pernah ketemu dia?"

Aku mengangguk. "Sekarang gimana keadaan rumah itu, Yah."

"Terakhir kali, Risa bilang rumah itu mau dibakar warga."

"Semoga aja begitu. Biar kedepannya gak ada korban lagi."
[TAMAT]

*****
Sebelumnya

close