Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

MAHESA CHANDRA


Angin malam bertiup dingin. Tanpa desau dan tak mampu menimbulkan suara gemerisik pada daun-daun pepohonan di puncak gunung Bromo. Biasanya kesunyian yang dibalut udara dingin ini akan berlangsung sampai menjelang pagi ketika burung-burung atau binatang hutan lainnya mulai mengeluarkan suara menyongsong terbitnya sang surya. Namun sekali ini baru saja beberapa saat lewat tengah malam tiba-tiba kesunyian dipecahkan oleh langkah-langkah aneh yang datang dari lereng sebelah selatan.

Suara itu bukan suara kaki-kaki kuda malainkan suara seperti orang berlari dengan cepat. Suara dalam kegelapan itu bergerak ke arah puncak gunung. Tak lama kemudian samar-samar kelihatan satu pemandangan yang sulit dipercaya. Seorang pemuda belian usia belasan tahun berlari menaiki puncak Gunung Bromo yang tinggi menjulang. Sama sekali tidak mau ambil perhatian terhadap batu-batu licin yang dilompati dalam lari yang laksana terbang cepatnya.

Dalam waktu yang singkat pemuda itu telah sampai di pondok kayu yang tadi terlihat di kejauhan dalam pucatnya cahaya bulan. Di serambi pondok duduk bersila beralaskan sehelai tikar pandan seorang lelaki tua. Dialah seorang pertapa di puncak Bromo bernama Resi Badranaya pada masa itu di tanah Jawa dikenal sebagai tokoh silat golongan putih yang dihormati dan disegani berkat ilmunya yang tinggi.

"Eyang Resi...." pemuda itu menjura hormat kepada Resi Badranaya.

"Duduk Mahesa..." Resi Badranaya menyuruh pemuda yang bernama Mahesa itu untuk duduk. Pemuda itu mengangguk lalu duduk bersila di hadapan sang resi.

"Aku mau bertanya kepadamu?"

"Soal apa eyang resi?" Mahesa keheranan.

Tidak biasanya air muka gurunya berubah seperti itu.

"Berapa usia mu sekarang ?"

"Delapan belas tahun eyang? Mengapa tiba-tiba eyang bertanya soal umur saya?!"

"Kau lihat bulan itu?"

"Lihat Eyang...." jawab Mahesa seraya memandang ke langit.

"Bulan itu masih tetap bulan yang dulu juga, masih sama dengan bulan delapan belas tahun yang silam. Puncak Gunung Bromo ini juga masih seperti dulu juga. Cuma yang tua tambah tua, yang bayi jadi pemuda! Cuma dunia luar yang banyak berubahnya!"

"Delapan belas tahun. Sekian lama kau tinggal bersamaku. Ku didik dengan ilmu kanuragan, ilmu agama, ilmu pengobatan dan ilmu-ilmu yang alain yang pasti akan kau perlukan saat nanti turun gunung. Mengembara, guna mengamalkan ilmu-ilmu yang kau dapatkan selama di sini"

"Ya, Eyang...."

"Karena itu kau musti sadar, kudu ingat. Kalau ini hari kau sudah menjadi sakti mandraguna yang tak sembarang orang bisa menandingi kau, tapi hal utama yang musti kau lakukan ialah menjauhkan diri dari segala sifat yang tidak baik! Kau jangan sekali-kali bersifat sombong, congkak dan takabur! Kau musti sadar bahwa di atas langit ada langit lagi. Kau sadar, Mahesa?"

"Sadar, Eyang...."

"Ingat?"

"Ingat, Eyang...."

Kesunyian menyeling beberapa lamanya. Kesunyian ini dipecahkan oleh suara Resi Badranaya kembali.

"Hari ini adalah hari yang penghabisan kau berada di sini, Mahesa!"

"Eyang....," terkejut Mahesa Chandra mendengar kata-kata gurunya yang tiada disangkanya itu.

"Kau terkejut....? Tak perlu terkejut. Di dunia ini selalu ada waktu bertemu selalu ada waktu perpisahan. Waktu datang dan waktu pergi! Aku telah selesai dengan kewajibanku memberikan segala macam ilmu kepada kau dan kau sudah selesai dengan kewajiban kau yaitu menuntut dan mempelajari ilmu itu dariku...."

"Sekarang berdirilah !" perintah Resi Badranaya.

Mahesa Chandra berdiri. Resi Badranaya tersenyum. Dari balik pakaian putihnya dikeluarkannya sebuah cemeti. Terkejut Mahesa Saksana dan pemuda ini mundur beberapa langkah ke belakang. Diulurkannya benda itu.

"Mahesa.... cemeti ini aku beri nama Naga Bumi. Sepuluh tahun lamanya kubutuhkan waktu untuk membuatnya dan telah dua puluh tahun lebih senjata ini berada di tanganku. Rupanya kau ada jodoh dengan senjata ini. Terimalah...."

Tertegun dan hampir tak percaya Mahesa Chandra mendengar ucapan gurunya. Tak disangkanya bahwa dia bakal mendapat anugerah senjata yang sangat sakti itu. Dia terdiam mematung seketika.

"Ayo Mahesa! Kenapa kau jadi bimbang? Terimalah cemeti Naga Bumi ini untuk mu!"

Mahesa Chandra mengulurkan kedua tangannya. Ketika senjata sakti itu menyentuh tangannya mendadak sontak mengalirlah arus aneh yang dingin ke dalam tubuh Mahesa. Dan disaat itu pula dirasakannya tenaga dalamnya naik sampai dua tingkat, padahal dia merasa tingkat tenaga dalam yang sudah dimilikinya sebelumnya sudah mencapai tingkat yang paling sempurna!

"Pakailah seperti kau memakai sabuk di pinggangmu Mahesa!"

Mahesa melakukan apa yang dikatakan Resi Badranaya. Cemeti itu dililitkan di atas ikat pinggangnya.

"Cemeti Naga Bumi bukan senjata sembarangan, Mahesa. Karenanya juga tak boleh kau pakai sembarangan. Pergunakanlah hanya pada saat-saat kau terdesak hebat atau dalam keadaan nyawamu terancam”

"Ada tugas yang akan ku berikan pada mu Mahesa. Di Tanah Jawa ini sebentar lagi akan berdiri sebuah negeri yang besar dan akan pula melahirkan raja-raja yang akan disegani dan dihormati oleh rakyatnya. Mungkin akan seperti kerajaan Majapahit ataupun Singosari. Tinggalah beberapa lama di sekitar negeri itu. Akan banyak hal yang akan kau temukan. Negeri itu bernama Mataram"

"Satu lagi, aku punya seorang adik seperguruan yang bersemayam di lereng gunung Merapi. Adikku itu seorang empu pembuat senjata. Dia bernama Wanabaya. Dia tinggal disana dengan seorang anak bernama Rana Wulung. Mungkin sekarang anak itu telah dewasa"

"Dahulu semasa aku masih sering mengunjungi ke lereng Merapi. Keris itu masih berwujud batuan mentah yang jatuh dari langit. Keris itu sangat sakti karena dulu pada saat masih berwujud dalam bentuk batuan, tuah dan kesaktiannya sudah sangat kuat. Dia memberi nama keris itu Kelabang Sewu"

"Sebuah senjata sakti akan berbahaya jika sampai jatuh ke tangan pendekar atau pun orang-orang berwatak jahat. Beberapa malam ini aku selalu bermimpi didatangi oleh adikku itu. Kalau keris sakti itu sekarang ada di Puncak Tengger. Dikuasai oleh seorang pendekar bernama Warok Tunggul Ireng. Kau ambil keris itu dan serahkan kepada ku Mahesa"

Mahesa Chandra terdiam. Dalam diamnya ini dia berpikir-pikir sampai dimanakah ketinggian ilmu Warok Tunggul Ireng itu? Sanggupkah dia menghadapi manusia yang telah lama malang melintang di dunia persilatan?!

"Aku tahu apa yang kau pikirkan Mahesa," kata Resi Badranaya pula tiba-tiba.

Ini mengejutkan Mahesa Chandra.

"Tunggul Ireng memang sakti bahkan jika benar mimpiku itu dan keris Kelabang Sewu ada di tangannya sudah barang tentu kesaktiannya akan berlipat-lipat ganda! Tapi kau tak usah takut! Kau memiliki cemeti Naga Bumi. Dan kau berada dalam jalur kebenaran pula!"
"Baik, Eyang akan saya ambil keris itu lalu akan saya bawa kesini"

"Mahesa, tinggalkanlah puncak Bromo ini dan pergi ke Tengger selesaikan tugas yang telah aku berikan kepadamu"

Dan habis berkata demikian si kakek tua ini tertawa lama dan panjang. Namun tertawa itu hanyalah untuk menyembunyikan hati yang sedih karena kepergian murid yang telah bertahun-tahun ia besarkan dan rawat seperti anak sendiri!

BERSAMBUNG
close