Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

AMARAH DESA JIN (Part 2)


JEJAKMISTERI - Anto yang sedang tidur, mendengar suara itu juga terkaget dan spontan langsung bangun dan berjalan ke arah pintu depan.

Perlahan dia berjalan mengendap-endap dengan perasaan yang sungguh penasaran
“Mohon Cepat dibuka!” suara keras dari depan pintu lagi membuat Anto terhenyak kaget

Anto pun bergegas mempercepat langkahnya, dibukanya pintu...
“Saya mencari saudara Okta, kami melakukan penangkapan terhadap saudara okta atas tuduhan kepemilikan Narkoba!” Ucap laki-laki tegap berseragam itu sambil menerobos masuk kedalam rumah.

Anto hanya terdiam, Lita hanya terdiam lirih melihat Polisi itu menggeledah setiap kamar, kemudian menangkap Okta yang sedang tertidur pulas. Tanpa sepatah katapun, Okta hanya terdiam seperti ia memang tahu bahwa dia akan ditangkap oleh polisi.

Lita terisak menangis memegang erat baju yang dipakainya untuk tidur. Anto yang memegang kedua bahu Lita hanya bisa melihat adik iparnya tanpa perlawanan sedikitpun.

Malam semakin menyeruak, dedaunan kelapa tergantung pasrah menangkap hembusan angin malam yang membuatnya seolah tak perlu susah-susah untuk menjatuhkan diri.

Beberapa hari kemudian, terdengar kabar jika Okta diberangkatkan pergi untuk menjalani rehabilitasi di Kota R. Lita hanya bersyukur saja kala itu, jika adiknya tidak sampai di penjara beberapa tahun, karena beberapa alasan lain.

Terseok lembayung senja memudar menjadi hitam kebiruan, Malam memakan siang dengan cepat hari itu, orang-orang satu persatu menutup setiap jendela dan pintu, beberapa pria dewasa dan para pemuda keluar berjalan untuk beribadah maghrib ke mushola.
Mereka beramai jalan perlahan sembari mendengar lantunan adzan yang terdengar lantang memenuhi kampung.

Beberapa ibu-ibu masih terdengar riuh di Sumur umum di belakang Mushola yang berjarak sekiranya 300 meter dan sungai yang mengakhiri ruang sumur itu. Ibu-ibu di kampungku memang terbiasa jika ketika maghrib mereka masih saja melakukan aktivitas di sumur umum itu, entah mandi, mencuci atau sekedar mengobrol. Karena tidak banyak rumah juga yang mempunyai toilet di dalam rumah mereka.

Langitpun perlahan menghitam dengan rona cahaya bulan yang datang seperti ingin menghantarkan semua manusia terlelap tidur.
Yanti, saudaraku yang lain terlihat kebingungan dengan wajah yang merah padam. Ia berjalan bolak-balik di dalam kamarnya sembari memegang handphonenya dengan erat.

“Ihh, kumaha atuh ieu?” (ih, gimana ini?) ucapnya kesal

Waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam, ia masih saja gusar. Tampaknya ia sedang memiliki masalah yang serius hingga membuatnya sangat kesal malam itu. Benar saja dia sedang mendapat masalah dengan orang lain, dia harus menghubungi orang itu tapi terkendala pulsa yang habis. Dia kebingungan karena dikeluarganya tidak ada yang mempunyai handphone lagi. Rumahnya berada di belakang rumahku.

Entah apa yang dia pikirkan, dia berjalan keluar setelah meminta izin Neneknya untuk membeli pulsa ke rumah pedagang pulsa yang jaraknya cukup jauh. Ketika turun dari teras, dia mendapati semua sandalnya basah, karena gerimis sedari sore tadi. Tak mempersalahkan itu, Yanti memakai salah satu sandal itu dan bergegas pergi.

Karen rumahnya yang berada persis di belakang rumahku, dia harus melewati halaman rumahku dulu untuk mencapai jalanan umum, otomatis dia harus melewati pemakaman pribadi keluarga kami dan satu sumur yang dikhususkan untuk keluarga kami yang tinggal disekitar itu saja.

Yanti melihat pria tua tak memakai baju dengan celana selutut dan kain sarung yang melingkar di pinggangnya, yang tak lain adalah kakeknya sendiri berkata lirih sembari memegang tali timba.

“Neng, arek kamana?” (neng, mau kemana?)
“eh bapak, ieu pak bade meser pulsa” (eh bapak, ini pak mau beli pulsa) jawab yanti lembut
“Naha tos wengi kieu neng?” (kenapa? Inikan sudah malam neng?) Tanya kakek itu menyeloroh penasaran
“Aya keperluan penting pisan pak” (ada keperluan penting banget pak) jawab yanti jelas
“Oh nya atuh sok, sing kade nyah!” (oh iya yaudah, hati-hati ya!) ucap kakek itu sembari mengisi ember besar dengan air dari ember timbaanya.

Yanti kemudian melanjutkan perjalanannya, sebelum sampai ke rumah penjual pulsa, yanti harus melewati beberapa tempat, setelah ia berada dijalanan umum dia harus melewati sebuah kebun milik Lita yang berada didepan halaman rumahku, Kebun pisang yang bersebrangan dengan rumah lita, kemudian rumah warga lain, Pos ronda dan terakhir mushola, jarak rumah penjual pulsa dari mushola itu tidak terlalu jauh.

Seperti tidak merasakan apapun, Yanti berjalan pelan dengan menggunakan senter dari handphonenya sebagai penerang jalannya. Suasana malam terasa menggeliat dingin bercampur sunyi, tak ada satu pun orang yang ia lihat berada diluar rumah.

Setelah yanti melewati kebun milik keluarga Lita, ia menatap jelas ke arah rumah lita yang terlihat sudah temaram tanpa ada penerangan satu pun. Lita mempunyai kebiasaan setiap malam jika semua orang dirumahnya sudah tidur, dia akan mematikan semua lampu di rumahnya terkecuali lampu dipinggir jalan yang tidak terlalu terang. Yanti hanya tertegun bingung melihat semuanya tampak sepi dan sedikit mengerikan, langkahnya semakin perlahan, ia menoleh kearah kanannya, dimana kebun pisang luas berada.

“Ih poek amatnya!” (ih gelap banget ya) ucap yanti

Tampak cahaya bulan membuat bayangan hitam untuk semua pohon-pohon pisang dikebun itu, lirih suara jangkrik menambah keheningan itu semakin membaur dengan malam.

Tanjakan kecil membuat yanti kembali fokus menatap depan jalanan, setelah menaiki tanjakan itu ia pelan berjalan kembali dengan perasaan yang mulai tidak nyaman. Hingga ia terhenti, matanya menyelidik bingung melihat seseorang duduk berjongkok didekat tunggul pohon kelapa yang sudah ditebang membelakanginya didalam kegelapan malam didepan rumah warga setelah rumah lita.
Yanti terheran-heran melihat orang itu hanya terdiam, karena suasana yang gelap, yanti tidak terlalu jelas melihat sosok apa yang ia lihat. Dengan pakaian lusuh dengan warna putih yang memudar, sosok itu masih saja terdiam.

Mungkin orang lagi ngasah (menajamkan pisau ke batu), pikir yanti mencoba berpikiran positif. Hingga wajahnya terhenyak kaget, saat sosok itu menoleh kebelakang.

Kini semakin jelas, yanti melihat jelas sosok itu bukan manusia biasa sepertinya. Tubuh yang sedari tadi tertutup kegelapan, terlihat lebih jelas dengan rambut panjang tergerai acak-acakan dengan punggung yang membusuk penuh dengan daging yang terkoyak-koyak dan wajah yang benar-benar tidak bisa yanti bayangkan, wajah rusak dengan segala nanah menghias setiap luka koyak diwajahnya dengan darah merah segar mengalir lambat yang memberi kesan menjijikan. Kepalanya menoleh 360 derajat, Yanti hanya terus menatap sosok mengerikan dengan punggung yang membusuk itu, hingga keduanya sama-sama berteriak dan lari tunggang langgang.
Makhluk itu terbang dan menghilang dan yanti berlari kembali ke rumahnya dengan perasaan takut yang sangat mendalam, riuh langkah kakinya menggertakan batuan koral dihalaman rumahku.

Sandal ia lepas, pintu rumah yang terkunci rapatpun didobraknya dengan sekali tendangan. Ia menangis kebingungan membuat nenek dan kakeknya terhentak kaget melihat wajah pucat yanti dengan tatapan kosong yang dialiri air mata.

Wajahnya sangat ketakutan, dengan rambut panjangnya Nampak lepek karena keringat.
“Aya naon neng, aya naon?” (ada apa neng, ada apa?) Tanya nenek bingung sembari memeluk badan yanti yang gemetar hebat.
“Sok cerita heula neng” (sok, cerita dulu neng) ucap kakeknya penasaran dengan tingkah cucunya ini. Sejenak neneknya mencoba menenangkannya, hingga badannya yanti berhenti gemetar.

Dengan bibir pucat dan bergetar, Yanti mencoba menceritakan apa yang terjadi kepada nenek dan kakeknya. Wajahnya tidak bisa berbohong ia masih saja takut dengan sesekali bergidik ngeri mengingat sosok apa yang ia lihat tadi.

"Untung neng, maneh heula anu ningali makhluk eta, jadi Eneng tiasa lumpat, coba Mun makhlukna anu ningali Eneng tiheula, Eneng bakal teu tiasa nanaon, bakal nangtung Weh ditempat eta" (untung neng, kamu duluan yang melihat makhluk itu, jadi Eneng bisa lari. Coba kalo makhluknya ngeliat Eneng duluan, eneng pasti gak bisa apa-apa, bakal berdiri aja ditempat itu) jelas kakek merespon cerita Yanti berdasar cerita-cerita orangtua zaman dahulu jika melihat makhluk lelembut.

Setelah mendengar cerita itu,
Penasaran, kakek yanti pergi berjalan keluar menuju tempat yanti melihat sosok itu. Ia berjalan tergesa-gesa sembari memikirkan kengerian yang yanti rasakan beberapa menit sebelumnya. Tak membutuhkan waktu yang lama, kakek yanti melihat tempat itu ramai dengan orang-orang. Ya orang, manusia!
Mereka sedang beraktivitas malam kala itu, ada yang di pos ronda yang memang biasanya mereka berada disitu sebagai keamanan setiap malamnya. Bahkan ada warung yang buka pula disebelah pos ronda, dan beberapa anak kecil dengan ibu mereka sedang mengobrol di depan teras mushola.
Kakek yanti pun heran dan mencoba menanyakan ke salah satu orang disana.

Hasilnya nihil, sedari tadi tempat ini memang ramai tidak ada kejadian apapun. Kakek yanti hanya terdiam semakin bingung. Apa yang sebenarnya terjadi dengan Yanti?

Setelah menanyakan hal itu, kakek yanti berjalan pulang menatap kebun pisang yang gelap itu dengan perasaan masih saja bingung, merinding... kakek yanti bergidik ngeri dan mempercepat langkahnya kembali pulang.

Esok hari,
Kejadian yang menimpa yanti tadi malam direspon negative oleh para warga dikampungku saat itu, mereka mengolok yanti yang hanya berhalusinasi malam itu. Semua orang tidak mempercayai Yanti begitu saja, mereka anggap itu kebohongan Yanti hanya untuk menakuti para warga.
Hingga selepas maghrib malam itu, semua membungkam mulut mereka...
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya

close