Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PENCURI SINGKONG BAKAR


JEJAKMISTERI - Tak seperti biasanya, hari itu, pagi pagi sekali Mas Toni dan Mas Yudi nampak sudah standby di poskamling. Masing-masing dari mereka menyandang ransel besar di punggungnya. Ya. Hari itu mereka berencana untuk camping di bukit Asem.

"Kamu bawa apa saja sih Yud, sampai penuh gitu ranselmu?" tanya Mas Toni.

"Nggak banyak kok, cuma 10 bungkus mie instant, beras dua liter, biscuit lima bungkus, lalu..."

"Kau mau camping apa mau ngungsi sih? Banyak banget bawa makanan. Kita kan cuma semalam nginep di puncak!" gerutu Mas Toni.

"Harus dong Bro. Di puncak bukit kan nggak ada warung. Kalau nanti malem malem tiba-tiba lapar kan repot jadinya," kilah Mas Yudi.

"Halah, memang dasarnya kamu gembul, makanan mulu yang dipikirin."

"Hahaha, kayak kamu enggak aja. Jadi gimana nih, jadi kita kesana jalan kaki?" Mas Yudi mengalihkan pembicaraan.

"Jadi dong. Hari ini kita jadi petualang sejati Bro. Jalan kaki sambil menikmati pemandangan alam gitu," jawab Mas Toni.

"Ya udah kalau begitu, ayo berangkat. Mumpung masih pagi dan belum panas."

Keduanyapun lantas berjalan pelan pelan meninggalkan desa Kedhungjati dengan langkah penuh semangat. Ini bukan pertamakalinya mereka pergi ke bukit Asem. Tapi ini pertamakalinya mereka berencana untuk menginap di puncak. Biasanya kalau ke bukit itu mereka cuma berangkat pagi dan pulang pada sore harinya. Tak heran kalau semangat mereka hari itu terlihat agak berlebihan.

Desa demi desa telah mereka lalui. Sungai demi sungai mereka seberangi. Area persawahan dan hamparan ladang yang menhijau menjadi pemandangan yang memanjakan mata di sepanjang perjalanan mereka.

Hingga setelah hampir tiga jam mereka berjalan, tibalah mereka di hamparan ladang singkong di kaki bukit itu. Keduanya beristirahat sejenak untuk sekedar melepas lelah dan mengumpulkan tenaga sebelum menanjak ke puncak. Bukit Asem memang bukanlah bukit yang biasa didaki. Jadi tak ada jalur yang resmi untuk menuju ke puncak. Jadi bisa dibayangkan betapa susahnya jalan untuk mendaki ke puncak, meski bukit itu sebenarnya tak terlalu tinggi.

Melihat suburnya tanaman singkong di ladang itu, timbul niat iseng Mas Yudi. Tanpa merasa berdosa pemuda itu mencabut beberapa batang singkong dan memasukkan umbi umbinya ke dalam ransel.

"Edan kamu Yud, sempet sempetnya nyolong singkong. Padahal ranselmu sudah penuh makanan gitu," ujar Mas Toni.

"Hahaha, ndak papalah, cuma singkong ini. Lagian kan seru nanti di puncak malam malam bakar singkong sambil gitaran," gelak Mas Yudi sambil membereskan ranselnya. "Kita jalan lagi yuk, keburu kesorean nanti sampai di puncak."

Keduanyapun segera berjalan kembali mendaki bukit kecil itu. Bukit padas dengan lereng yang terjal itu bukan masalah buat mereka berdua. Hingga sebelum tengah hari merekapun telah sampai di puncak.

Keduanya lalu sibuk mendirikan tenda dan menyiapkan makan siang, dilanjutkan dengan menjelajah hutan pinus dan kayuputih yang menghampar luas di punggung bukit itu, hingga tanpa sadar sorepun menjelang, dan siang berganti malam.

Udara dingin mulai menyapa keduanya. Api unggun segera dinyalakan. Sambil menjerang air untuk menyeduh kopi dan memasak mie instant, Mas Yudi mulai memetik gitarnya sambil bernyanyi tak jelas.

"Eh, Yud, singkongmu tadi mana?" seru Mas Toni.

"Oh, iya. Lupa. Masih di ransel. Sebentar aku ambil dulu," Mas Yudi meletakkan gitarnya lalu masuk kedalam tenda. Tak lama pemuda itu kembali keluar sambil membawa tujuh buah umbi singkong yang lumayan besar-besar.

"Nih," Mas Yudi melemparkan singkong singkong itu ke samping Mas Toni yang sedang sibuk menambahkan kayu bakar ke dalam api unggun.

"Banyak amat Yud," Mas Toni memilih milih singkong itu.

"Jangan dibakar semua dong, sisain buat nanti malem juga," ujar Mas Yudi sambil kembali memetik gitarnya. Sementara Mas Toni memasukkan dua buah umbi singkong ke dalam api unggun.

"Kopinya mana Yud?" kata Mas Toni lagi sambil mengangkat ceret dari atas tungku.

"Ya ampun, lupa juga aku, masih di ransel juga," kembali Mas Yudi meletakkan gitarnya dan masuk ke dalam tenda.

"Sekalian sama cangkirnya Yud, tar lupa lagi," teriak Mas Toni dari luar tenda.

"Beres!" ujar Mas Yudi yang telah kembali keluar dari dalam tenda sambil menenteng dua buah cangkir dan kopi sachetan.

"Nih, kamu seduh sekalian, aku mau kencing dulu," Mas Toni meletakkan teko yang dipegangnya, lalu bangkit dan berjalan ke belakang tenda.

"Hati hati kalau kencing Ton, liat kiri kanan dulu, siapa tau ada kuntilanak lagi ngintip!" teriak Mas Yudi sambil menuang air panas kedalam cangkir.

"Cangkemmu!" terdengar Mas Toni menyahut dari arah belakang tenda.

"Hahaha!" Mas Yudi tertawa ngakak, lalu segera meniup niup kopi dalam cangkir yang masih mengepulkan asap dan menyeruputnya dengan sangat nikmat.

"Wuaaahhh...!!! Mantaaapppp...!" ujar Mas Yudi sambil meraba raba kantongnya.

"Lho, rokokku...? Asem ki, ketinggalan di ransel lagi," sambil menggerutu Mas Yudi terpaksa harus kembali ke dalam tenda untuk mengambil rokoknya.

"Dimana sih?" masih terdengar Mas Yudi menggumam sambil mengacak acak isi ranselnya. "Nah, ketemu juga akhir... Woy! Jangan iseng deh Ton!"

Mas Yudi sampai terjingkat kaget saat tenda yang terbuat dari terpal itu tiba-tiba bergoyang goyang. Pikirnya pasti Mas Toni yang sedang mengisenginya.

"Ton?!" teriak Mas Yudi lagi saat tak mendapat jawaban dari Mas Toni.

"Awas kamu kalau macem macem," Mas Yudi segera keluar dari tenda.

"Ton?! Kamu ngapain he?" Mas Yudi tertegun saat mendapati Mas Toni sedang berdiri di samping tenda menghadap ke arah semak semak.

"Kayaknya ada orang deh Yud," kata Mas Toni pelan sambil menyibak nyibak rumpun semak semak.

"Halah! Nggak mempan kalau kamu mau ngerjain aku! Orang mana yang keluyuran malam-malam begini di atas bukit. Kreatif dikit kalau mau ngerjain aku," Mas Yudi mendekat ke arah api unggun, bermaksud untuk melihat singkong yang barusan mereka bakar.

"Lho, mana singkongnya Ton?" tanya Mas Yudi heran, saat tak mendapati umbi singkong diantara nyala api unggun itu.

"Itulah, tadi aku lihat kayak ada orang lagi jongkok sambil mengacak acak api unggun itu Yud. Saat aku kembali dari belakang tenda, orang itu lari ke arah semak semak situ, makanya aku kejar tadi," kata Mas Toni sambil mendekat ke arah Mas Yudi.

"Masa sih Ton? Orang darimana coba yang malam malam keluyuran di tempat seperti ini. Dan, ngapain juga pake acara nyolong singkong bakar segala?" tanya Mas Yudi heran.

"Ya nggak tau juga. Orang kelaparan kali," ujar Mas Toni sambil kembali memasukkan umbi singkong yang masih tersisa.

"Aneh," gumam Mas Yudi sambil menyalakan rokoknya. "Apa jangan jangan ada orang tersesat ya? Eh, beneran yang kamu lihat itu orang Ton?"

"Nggak begitu jelas Yud, orang aku cuma sekilas melihatnya lari ke semak semak situ. Aku kejar udah ilang gitu aja," Mas Toni ikut duduk disamping Mas Yudi.

"Jangan jangan..." Mas Yudi tak melanjutkan ucapannya.

"Jangan jangan apa Yud? Jangan mikir yang macem macem deh."

"Ah, enggak kok," ujar Mas Yudi. "Aku cuma penasaran aja, masa sih ada orang di puncak bukit malem-malem begini. Pake acara nyolong singkong bakar lagi. Gimana kalau kita jebak saja Ton?"

"Dijebak gimana maksudmu?" tanya Mas Toni.

"Kita pura-pura masuk ke tenda saja, lalu kita intip, siapa tau tuh orang balik lagi," bisik Mas Yudi.

"Ide bagus Yud. Ya udah, ayo kita pura-pura masuk ke tenda," Mas Toni ikut berbisik. Keduanyapun segera masuk ke dalam tenda, lalu mengintai dari dalam.

"Nggak ada apa apa Yud," bisik Mas Toni.

"Kita tunggu saja, siapa tau..., eh, lihat itu!"

Kedua pemuda itu lalu terdiam sambil menajamkan pengelihatan mereka. Entah darimana datangnya, tiba-tiba di dekat api unggun sudah nampak sosok bayangan hitam yang duduk membelakangi mereka sambil mengacak acak bara api unggun.

"Sialan!"

"Kita sergap saja Yud!"

"Ayo!"

Woy! Maling!"

Serempak keduanya berteriak sambil melompat keluar dari dalam tenda. Sosok bayangan hitam itu menoleh sambil tetap mengunyah singkong bakar yang dipegangnya.

"Yud...!"

"Itu..."

Langkah kedua pemuda itu terhenti, begitu menyadari bahwa sosok yang berada di depan mereka itu ternyata bukanlah manusia. Entah makhluk sejenis apa. Wujudnya memang seperti manusia, memiliki dua tangan dan kaki, tapi wajahnya..., wajah makhluk itu lebih mirip wajah alien daripada wajah manusia. Dengan dahi yang sangat lebar dan menonjol, lalu dua mata bulat dan besar, mulut kecil dengan gigi geligi yang runcing runcing, serta hidung yang pesek dan lebar.

Tak kalah aneh dengan wajahnya, kedua kaki dan tangan makhluk itu juga sangat berbeda dengan kaki dan tangan manusia. Lengan kurus kecil namun memiliki jari jemari yang panjang dan lebar. Hanya ada tiga jari dari setiap tangan. Begitu juga dengan kakinya.

"Yud, lihat kesana..." Mas Toni berbisik sambil menunjuk ke semak-semak di samping tenda.

"Wedhus!" Mas Yudi mengumpat, saat menyadari bahwa makhluk yang sama mulai bermunculan dari balik kegelapan. Jumlah mereka lumayan banyak. Dan semua menatap tajam ke arah keduanya.

"Yud..."

"Ya..."

"Dalam hitungan ketiga..."

"Kabuuuuurrrrrr...!!!"

Seperti dikomando kedua pemuda itu lari tunggang langgang menuruni lereng bukit, meninggalkan tenda berikut semua barang-barang bawaan mereka. Beberapa kali keduanya jatuh bergulingan karena tak bisa memperhatikan jalan akibat gelapnya malam. Sesekali mereka masih sempat menengok ke belakang, memperhatikan makhluk aneh yang berjalan terseok seok mengikuti mereka.

***

Keesokan harinya, kedua pemuda itu diketemukan pingsan di tengah tengah ladang singkong oleh beberapa orang petani yang hendak pergi ke ladang. Kondisi keduanya sangat mengenaskan. Tubuh mereka penuh luka lecet dan lebam, mungkin akibat terjatuh dan tergores bebatuan.

Keduanyapun segera dibawa kerumah salah seorang warga yang tinggal di kaki bukit. Dan setelah di obati ala kadarnya dan diberi makan, keduanya lalu menceritakan pengalaman yang mereka alami semalam.

"Oalah, pantesan saja, sampeyan berdua mbakar singkong to diatas bukit," kata salah seorang warga begitu mendengar cerita dari Mas Toni dan Mas Yudi.

"Memangnya nggak boleh ya Pak?" tanya Mas Toni dan Mas Yudi hampir serempak.

"Iya. Itu pantangan di atas bukit ini Mas. Ndak boleh mbakar singkong disana," ujar warga itu lagi.

Mas Toni dan Mas Yudi hanya saling pandang. Hampir saja mereka celaka hanya gara-gara singkong bakar. Akhirnya, dengan dibantu warga keduanya kembali ke atas bukit untuk mengambil barang-barang mereka, lalu pulang kembali ke Kedhungjati dengan membawa pengalaman yang mungkin tak akan pernah mereka lupakan seumur hidup mereka.
SEKIAN


close