Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

MISTERI SAWAH MBAH MO


JEJAKMISTERI - Ada yang sedikit aneh dengan sawah milik Mbah Mo yang berada di sisi selatan desa itu. Salah satu petak yang berada paling bawah, yang berbatasan langsung dengan kali Gandhu, selalu dibiarkan terbengkalai. Tak pernah sekalipun digarap atau ditanami. Padahal kalau dipikir pikir, petak itu adalah petak yang paling luas jika dibandingkan dengan petak-petak yang lain.

Sawah milik Mbah Mo ini terhitung lumayan luas. Terbentang dari petak paling atas yang berada di sisi saluran irigasi, dan membentang sampai petak paling bawah yang berbatasan langsung dangan kali Gandhu, tersusun berundak undak atau yang biasa disebut terasering.

Kata orang-orang, petak paling bawah dari sawah milik Mbah Mo ini memang terkenal angker. Tak bisa digarap atau ditanami. Ada saja halangan atau gangguan yang terjadi saat ada yang berusaha menggarap petak itu. Dari cangkul yang tiba tiba mengenai kaki si penggarap, sapi atau kerbau yang tiba-tiba ngambek dan tak mau bergerak saat akan digunakan untuk membajak sawah itu, bahkan mesin traktor yang sudah modernpun konon tiba-tiba mati mendadak saat akan digunakan untuk menggarap petak sawah itu.

Sebagai pemilik sawah, Mbah Mo sendiri tak tau pasti akan sejarah sawahnya itu, karena ia hanya menerima warisan dari sang ayah yang kini telah almarhum. Ayahnya hanya berpesan, agar petak sawah yang terakhir itu tak usah digarap atau ditanami. Selain itu, sang ayah juga hanya sedikit bercerita tentang asal usul sawah itu, yang katanya dulu ia beli dari seorang petani kaya yang tiba-tiba menjual semua sawah dan ladang miliknya, sebelum pindah dari desa ini.

Si pemilik sawah itu sendiri, dulu pindah dan menjual semua tanah yang dimiliknya di desa ini bukan tanpa sebab. Laki-laki yang dikenal kaya dan dermawan itu sempat mengalami goncangan jiwa setelah kehilangan anak bungsu kesayangannya, yang saat itu masih berusia belasan tahun.

"Hilang bagaimana Mbah?" tanyaku waktu itu, saat Mbah Mo mengulang cerita yang pernah diceritakan oleh almarhum ayahnya.

"Kata orang sih, anak bungsunya itu diculik sama orang tak dikenal saat sedang bekerja di sawah itu," jawab Mbah Mo.

"Diculik?!" tanyaku setengah tak percaya.

Mbah Mo pun lalu menceritakan kisah beberapa puluh tahun yang lalu itu. Berawal saat sang petani kaya itu menyuruh kedua anaknya untuk menjaga aliran air yang menuju ke sawah itu. Saat itu kebetulan memang musim kemarau, jadi agak sedikit sulit untuk mengairi sawah yang sedemikian luas itu. Harus dijaga dan diatur sedemikian rupa agar semua petak bisa mendapatkan aliran air.

Kedua anak petani kaya itupun segera berangkat ke sawah untuk melaksanakan tugas dari sang ayah. Sementara sang ayah sendiri akan mungurus sawah mereka yang berada di tempat lain. Hingga saat sore menjelang, si anak sulung dari petani kaya itu pulang seorang diri sambil menangis meraung raung dan mengatakan kalau sang adik telah hilang diculik oleh orang tak dikenal di sawah mereka.

Tentu saja si petani kaya menjadi panik, karena ia memang sangat menyayangi anak bungsunya itu. Bahkan ia sempat marah-marah kepada si anak sulung, karena dianggap tak bisa menjaga sang adik. Si anak sulung tentu saja tak terima mendapat omelan dari sang ayah. Ia sudah berusaha keras untuk menyelamatkan sang adik. Bahkan ia sempat berkelahi dengan penculik itu di petak sawah paling bawah yang berada di pingggir kali, sampai tanaman padi di petak itu rusak.

Memang benar, setelah beberapa warga datang ke sawah itu, tanaman padi di petak sawah paling bawah memang rusak parah, seperti habis digunakan untuk berkelahi dan bergumul.

Dicari sampai beberapa hari, bahkan sampai mendatangkan orang pintar, namun anak yang hilang itu tak juga bisa ditemukan. Sampai si petani kaya itu putus asa dan mengalami guncangan jiwa yang sangat berat. Akhirnya ia memutuskan untuk menjual semua sawah dan ladangnya, juga rumah yang ditinggalinya, lalu pindah dari desa ini.

Ayah Mbah Mo sendiri merasa sangat beruntung, karena bisa membeli sawah yang luas itu dengan harga yang sangat murah. Bukan tanpa sebab kalau sawah itu akhirnya dijual murah. Semenjak kejadian menghilangnya anak bungsu dari pertani kaya di sawah itu, mulai timbul desas desus bahwa sawah itu angker, jadi tak ada yang mau membelinya, meski sudah ditawarkan dengan harga yang sangat murah. Hanya ayah Mbah Mo yang akhirnya mau membelinya, karena ia memang tak begitu percaya kalau sawah itu angker.

Sampai suatu ketika, setelah membayar harga yang diminta oleh si petani kaya dan mulai menggarap sawah yang dibelinya itu, barulah ayah Mbah Mo ini percaya kalau sawah yang dibelinya itu angker. Suatu hari, saat ia mulai menggarap sawah itu, dan sampai di bagian petak paling bawah tempat si anak petani kaya itu hilang, ayah Mbah Mo mengalami kejadian yang sangat sulit untuk dipercaya.

Waktu itu hari sudah menjelang sore. Sudah waktunya bagi para petani yang bekerja di sawah untuk pulang. Namun ayah Mbah Mo merasa sedikit nanggung, karena tinggal sepetak lagi sawah yang harus dicangkulnya. Akhirnya ia memutuskan untuk melanjutkan pekerjaannya. Dengan penuh semangat ayah Mbah Mo mulai mengayunkan cangkulnya di petak sawah yang terakhir itu. Namun sesuatu yang janggal terjadi. Ayah Mbah Mo merasa seperti ada tangan yang mencengkeram dan menarik kakinya yang terbenam lumpur sampai sebatas betis.

Tentu saja ayah Mbah Mo panik dan ketakutan. Apalagi saat ia berusaha menarik kakinya keluar dari dalam lumpur, tangan yang mencengkeram pergelangan kakinya itu juga semakin kuat meanriknya. Ayah Mbah Mo pun akhirnya berteriak teriak minta tolong. Beruntung ada warga yang mendengar dan menolongnya. Sejak saat itulah ayah Mbah Mo tak berani lagi menggarap petak sawah yang terakhir itu dan membiarkannya terbengkalai.

"Wah, pantesan saja. Aku juga pernah mengalami kejadian yang kayak gitu Mbah," ujar Kang Bejo yang semenjak tadi ikut asyik mendengarkan cerita Mbah Mo.

"Yang bener Kang?" tanyaku penasaran.

"Iya, beneran. Ada saksinya kok, itu Kang Darso, yang waktu itu sama aku nyuluh (mencari belut) malam malam," jawab Kang Bejo.

"Bagaimana ceritanya Kang?" tanyaku penasaran.

"Begini ceritanya," Kang Bejo melanjutkan ceritanya. Jadi waktu itu Kang Bejo bersama Kang Darso nyuluh malam-malam. Namun tak seperti biasanya, sudah berkeliling dari sawah ke sawah, tak banyak belut yang mereka dapatkan. Sampai akhirnya mereka sampai di petak sawah terakhir milik Mbah Mo itu.

Saat sedang menyusuri pematang petak sawah itu, Kang Bejo tiba-tiba merasa seperti ada yang menahan pergelangan kakinya. Kaget bercampur takut, Kang Bejo refleks mendekatkan lampu petromaks yang dibawanya ke arah kakinya itu. Dan betapa terkejutnya ia saat melihat ada sebuah tangan yang keluar dari dalam tanah dan menarik pergelangan kakinya.

Sambil berteriak teriak ketakutan Kang Bejo berusaha melepaskan kakinya dari cengkeraman tangan misterius itu, lalu lari tunggang langgang meninggalakan Kang Darso yang kebingungan. Kang Darso memang tak melihat penampakan tangan itu. Jadi tentu saja ia bingung, kenapa tiba-tiba Kang Bejo lari meninggalkannya sambil berteriak teriak seperti orang ketakutan.

Selain Kang Bejo dan Kang Darso, ada beberapa warga juga yang mengaku pernah mengalami kejadian kejadian ane di sawah itu, membuatku semakin penasaran dengan keangkeran petak sawah terakhir milik Mbah Mo itu. Dan rasa penasaranku akhirnya terjawab, saat beberapa waktu yang lalu sebuah kejadian tak terduga membongkar semua misteri di tempat itu.

Berawal di suatu pagi, saat aku hendak berangkat ke sawah, (saat itu masih gerimis rintik rintik, setelah semalam hujan lebat), kulihat Mbah Mo tengah duduk termenung di salah satu pematang sawah miliknya. Tentu saja aku heran, kenapa pagi pagi datang ke sawah tidak langsung bekerja, malah duduk melamun begitu. Akupun segera menghampirinya dan bertanya.

"Mbah, sampeyan ki ngopo, isuk isuk kok ngalamun neng tengah sawah?" (Mbah, sampeyan itu ngapain, pagi pagi kok ngelamun di tengah sawah) tanyaku waktu itu.

Mbah Mo pun lalu bercerita bahwa sudah beberapa malam ini mengalami mimpi yang aneh. Dalam mimpinya, Mbah Mo sedang bekerja di sawah itu, lalu didatangi oleh seorang anak laki-laki dengan tubuh dan wajah penuh lumpur. Anak laki-laki itu menangis dan sambat kepada Mbah Mo.

"Mbah, tulungono aku! Aku sengsoro mapan ono ing papan kene! Tulung aku golekno papan sing murwat, supoyo aku ora sengsoro maneh!" (Mbah, tolonglah aku! Aku sengsara berada di tempat ini! Tolong carikan aku tempat yang pantas, agar aku tidak sengsara lagi!) demikian kira-kira tangisan anak laki-laki dalam mimpi Mbah Mo itu.

"Oalah Mbah Mbah, lha wong cuma mimpi saja lho, kok sampai segitunya sampai sampeyan pikirin," ujarku setelah mendengar cerita Mbah Mo.

"Lha gimana nggak kepikiran to Le, kalau cuma sekali dua kali sih ndak begitu mengganggu pikiranku. Lha ini sudah beberapa kali lho aku mimpi yang sama. Gimana ndak kepikiran," ujar Mbah Mo sambil membetulkan letak caping anyaman bambu yang dikenakannya.

"Aku kok jadi teringat sama anak petani kaya yang dulu ilang di sawah ini ya," lanjut Mbah Mo lagi.

"Sudahlah Mbah, ndak usah terlalu dipikirkan. Lha wong kejadian itu sudah puluhan tahun yang lalu. Mending sampeyan pulang saja, daripada gerimis gerimis gini ngelamun di sawah, nanti kalau sakit sampeyan sendiri yang repot. Kalau memang anak itu mau sampeyan tolong, pasti nanti akan menunjukkan jalannya kepada simbah," ujarku sok menasehati. Mbah Mo pun akhirnya pulang. Sedang aku kembali melanjutkan niatku untuk ke sawah.

Malam harinya, hujan kembali turun dengan derasnya, membuatku sedikit khawatir. Sudah beberpa malam ini selalu turun hujan deras. Kalau terus terusan begini, kali Gandhu bisa banjir besar. Dan itu bisa jadi bencana untukku. Padi yang baru beberapa minggu ku tanam bisa rusak diterjang banjir. Atau lebih parah lagi, petak sawahku yang berada di pinggir kali bisa saja longsor tergerus banjir.

Keesokan paginya, kekhawatiranku menjadi kenyataan. Saat aku kembali hendak ke sawah, kulihat kali Gandhu bergejolak, airnya yang keruh kecoklatan meluap dan menerjang sawah sawah yang berada di pinggiran kali itu. Termasuk juga sawahku. Beberapa petak sudah tak terlihat terendam banjir.

Aku hanya bisa termenung memandangi gejolak air sungai yang meluap itu, sambil berharap banjir segera surut dan aku bisa memperbaiki tanaman padiku yang rusak.

"Woy! Ndra, coba kamu kesini sebentar," teriakan Mbah Mo membuyarkan lamunanku. Kulihat Mbah Mo berteriak teriak sambil melambai lambaikan tangannya ke arahku. Laki-laki tua itu terlihat panik. Akupun bergegas menghampirinya.

Banjir sudah semakin surut, dan memperlihatkan petak sawah terakhir milik Mbah Mo yang sepertinya longsor tergerus banjir. Tapi aku yakin, bukan longsornya petak sawah itu yang membuat Mbah Mo berteriak teriak panik.

"Ada apa to Mbah?" seruku sambil menghampirinya.

"Ini lho Ndra, coba kamu lihat, ini aku yang salah lihat atau bagaimana?" jawab Mbah Mo sambil menunjuk nunjuk tebing bekas longsoran di sawahnya. Akupun segera melihat ke arah yang ditunjuk oleh Mbah Mo itu. Di tanah tebing bekas petak sawah yang longsor itu kulihat sebuah benda bulat panjang berwarna putih kecoklatan yang mencuat keluar.

"Apa itu Mbah?" tanyaku penasaran.

"Lha kok malah nanya lho, coba kamu turun ke bawah dan kamu lihat, itu seperti...."

Akupun pelan-pelan menuruni tebing yang licin itu. Sejenak kuamati benda aneh itu, lalu kukorek korek tanah di sekitar benda itu, hingga benda bulat panjang itu terlihat semakin jelas.

"Astaghfirullah, ini tulang Mbah! Tulang belulang manusia!" teriakku sambil terus mengorek korek tanah di sekitar benda itu. Nampak kini sebuah tulang yang sepertinya tulang lengan.

"Walah! Lha kok ada tulang manusia disin to?! Sebentar Ndra, jangan diotak atik dulu. Biar aku manggil warga dan pak Lurah, dulu" Mbah Mo bergegas kembali ke desa.

Dan gemparlah seisi desa di pagi itu. Dengan disaksikan oleh Pak Lurah dan beberapa perangkat desa, aku bersama beberapa warga membongkar 'makam tak bertuan' di sawah angker itu. Satu persatu tulang belulang itu kami kumpulkan, lalu kami bersihkan dan kami bungkus dengan kain kafan yang telah disediakan.

Setelah didoakan oleh sesepuh desa, tulang belulang itupun akhirnya dikuburkan di pemakaman desa. Tanpa nisan, bahkan tanpa nama. Hanya sebuah patok kayu yang kami jadikan penanda untuk makam itu.

Keesokan harinya, Mbah Mo memintaku untuk membantunya memperbaiki petak sawah terakhirnya yang longsor. Sambil bekerja beliau bercerita, bahwa semalam ia kembali mimpi didatangi oleh sosok anak laki-laki itu. Tapi kini penampilannya telah berubah. Tubuhnya sudah bersih, tak ada lagi lumpur yang mengotori tubuh dan wajahnya.

Anak laki-laki itu mengucapkan terimakasih kepada Mbah Mo, karena telah dipindahkan ke tempat yang layak. Ia lalu menceritakan bahwa dulu sebenarnya ia tidak hilang diculik, melainkan dibunuh oleh kakak kandungnya. Mereka berkelahi di sawah, karena sang kakak merasa iri kepada sang adik yang lebih disayang oleh kedua orang tuanya.

Saat sedang berkelahi itu, sang kakak sempat memukulnya, hingga ia terpeleset jatuh dari atas tebing dan kepalanya terbentur batu. Sang kakak yang panik setelah menyadai kalau si adik telah tewas, lalu mengubur jasad sang adik di petak sawah terakhir itu, lalu pulang dan mengarang cerita bohong bahwa sang adik telah diculik oleh orang tak dikenal.

Meski begitu, sosok anak laki-laki dalam mimpi Mbah Mo itu sama sekali tak merasa dendam kepada sang kakak. Ia sudah tenang kini di alam sana. Ia hanya menitip pesan kepada Mbah Mo, kalau suatu saat nanti bertemu dengan orang tuanya, agar Mbah Mo menyampikan salamnya dan menunjukkan makamnya di pemakaman desa itu.

Mbah Mo tak bisa banyak berjanji, karena ia memang tak tahu dimana keberadaan si petani kaya itu sekarang. Tapi yang jelas, kini arwah anak laki-laki itu telah tenang di alam sana, dan tak lagi mengganggu warga yang beraktivitas di sawah itu. Petak sawah terakhir milik Mbah Mo, kini sudah bisa digarap dan ditanami lagi.

~SEKIAN~
close