Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PANTAI TRISIK 1990 (Part 3) - Kembali Ke Daratan


Langkah Djarot terhenti di sebuah lapangan yang luas, hamparan rumput tumbuh di atas tanah. Di sudut-sudut lapangan yang luas itu ada sebuah pohon beringin yang besar sekali. Sulur-sulurnya hampir sebesar lengan anak-anak. Menjuntai hampir menyentuh tanah. Mungkin pohon beringin itu usianya ratusan tahun atau lebih. Sementara di tengah lapangan itu terdapat undak-undakan batu ke bawah. Entah undak-undakan itu menuju kemana.

"Djarot, ini alun-alun istana Gusti Ratu penguasa di sini. Alun-alun ini tempat berkumpulnya prajurit-prajurit penjaga istana. Disamping itu juga tempat untuk menurunkan upeti dari negara-negara kecil di sekeliling istana ini. Kamu lihat orang-orang itu?"

Roro Abang berbicara tanpa ekspresi.

Djarot menyapukan pandangan ke depan. Dilihatnya banyak lelaki bertelanjang dada tampak sibuk mengangkut karung-karung berukuran besar dari beberapa gerobak kuda yang berjajar di tepi alun-alun. Ada yang aneh dengan orang-orang itu meskipun mereka bekerja bersama-sama dan relatif banyak orang. Akan tetapi, orang-orang itu tidak nampak berbicara satu dengan yang lain. Mulut mereka terkunci, dengan pandangan mata kosong. Seperti mayat hidup yang digerakkan oleh suatu kekuatan tak kasat mata. Sampai matanya tertuju pada seorang lelaki muda berperawakan kurus tinggi dengan rambut ikal sebahu sedang menyeret karung yang berukuran lebih besar dari karung-karung yang lain.

"Karjo..," teriakan Djarot seperti tercekat di tenggorokan.

Entah kekuatan dari mana tiba-tiba Djarot bisa setengah berlari mendekati pemuda itu yang dilihatnya sebagai Karjo. Roro Abang hanya diam saja tatkala Djarot berlari ke arah gerobak-gerobak yang berjajar di tepi alun-alun.

"Karjo, Karjo.. dimana Pangat dan Tomo. Lik Kasto tidak bisa diselamatkan lagi"

Pemuda yang dipanggil Karjo itu seperti tidak mendengar suara dan melihat kehadiran Djarot yang hanya berjarak beberapa jengkal dari hadapannya. Karjo masih saja menyeret karung besar yang beratnya mungkin lebih dari satu kuintal. Sementara orang-orang yang ada di alun-alun itu. Tidak ada ekspresi, muka dan pandangannya kosong dan dingin.

"Karjo..." Djarot masih berusaha mendekati Karjo.
Lalu dengan cepat tangan Djarot menahan badan Karjo agar berhenti. Tercekat hati Djarot, badan Karjo seperti bongkahan es batu. Dingin dan beku, dinginnya bahkan sampai mencucuk pori-pori tangan Djarot. Karjo hanya menoleh sebentar sehingga dilihatnya mata Karjo memerah dan bibirnya yang memucat biru, lalu kembali menyeret karung berat itu ke arah kereta kuda yang berada di tepi barat alun-alun.

"Apa yang terjadi pada teman-temanku Gusti," batin Djarot dalam hati.

"Djarot ikut aku ke ruanganmu, istirahatlah dan makanlah. Besok pagi aku akan menjemputmu untuk bertemu dengan Gusti Ratu."
Roro Abang berteriak lantang dari tepi alun-alun.

Seperti ada kekuatan aneh yang mendorong tubuh Djarot perlahan-lahan berjalan ke arah Roro Abang. Hati Djarot masih bertanya-tanya, "Apakah Karjo sudah mati dan dijadikan gedibal di istana ini. Bagaimana dengan Tomo dan Pangat?"

***

Ruangan yang mereka masuki juga diterangi oleh pelita aneh bersinar redup. Satu-satunya perabotan yang ada di situ hanyalah sebuah tempat tidur. Bagian kepala tempat tidur yang bagus berseperai kuning itu berbentuk meja panjang. Di atas meja itu terdapat piring dari perak yang berkilauan dengan setumpuk nasi putih yang masih mengepul hangat, setumpuk sayur kangkung yang ditumis dan menebar bau sedap, lalu sebuah bumbung bambu berisi tuak legen yang harum sekali. Tenggorokan Djarot naik turun, air liurnya terbit di sela bibir.

"Djarot, silahkan dinikmati makanan itu dan beristirahatlah."

Roro Abang berkata sembari berbalik badan lalu meninggalkan ruangan itu.

Tiba-tiba ada rasa tidak enak membuat Djarot belum juga menyentuh memakan hidangan yang disediakan. Tapi dalam ketidak berdayaannya dan kelaparan dia tidak mampu menolak. Sesat nasi dan sayur akan disuapkan ke dalam mulutnya. Tiba-tiba terdengar bisikan yang sangat lirih di telinga Djarot.

"Hentikan Djarot, jangan kamu teruskan. Aku tidak bisa membantumu lagi kalau kau sampai memakan makanan itu. Sabar, tahan nafsumu untuk semua hal. Pasrah dan terus berdoa"

Djarot terkejut, matanya mencari-cari sekeliling. Tidak ada siapa-siapa.

"Suara itu begitu dekat, seperti ada di sampingku. Tapi dimana?"

"Djarot, kau masih eling masih ingat bungkusan kecil yang pernah aku berikan padamu?"

Djarot tampak menerawang, bungkusan? Bungkusan apa?

Tangan kanannya merogoh saku bajunya yang sekarang dilapisi baju pemberian Sang Ratu. Tangannya menyentuh sesuatu benda yang ada di dalam kantong bajunya.

"Bungkusan dari Mbah Kaji," desis Djarot

"Mbah Kaji apakah itu njenengan?," bisik Djarot tertahan.

"Waktuku tidak banyak, cepat buka bungkusan kecil itu. Lalu kau jepit dengan ibu jari dan telunjukmu sampai hancur. Lakukan cepat sebelum terlambat."

Perlahan Djarot membuka bungkusan sebesar kelereng yang dibalut secarik kain putih dengan simpul tali rawe di ujungnya. Di dalam bungkusan itu terdapat bawang putih lanang (bawang putih tunggal tidak bersiung). Lalu dengan sigap dijepit bawang lanang itu menggunakan ibu jari dan telunjuk. Dengan sekali gencet hancur berantakan bawang lanang yang tadi berada di dalam bungkusan.
Sesuatu yang ganjil tiba-tiba terjadi ruangan yang tadinya redup menjadi berangsur-angsur gelap. Lalu diikuti ruangan itu bergetar hebat seperti dihantam gempa berkekuatan besar. Gelegar guntur bersahutan. Tubuh Djarot terpental dari tempat duduknya. Lalu mata Djarot terasa perih dan gendang telinga terasa tuli. Pandangan Djarot menjadi gelap, sayup-sayup terdengar suara ombak dan gelombang yang berdeburan bercampur dengan suara gamelan.

***

Siang itu laut selatan tampak cerah. Ombak memecah tenang di pantai Trisik.
Burung-burung laut terbang berkelompok-kelompok dan angin bertiup membendung teriknya sinar sang surya. Belasan perahu tampak berjejer di tepi pasir. Para nelayan sibuk memperbaiki dan membenahi jaring masing-masing untuk persiapan turun ke laut
malam nanti. Di tepi pantai, dibawah jejeran pohon-pohon kelapa anak-anak ramai bermain-main. Baik nelayan-nelayan maupun anak-anak itu semuanya serta merta memalingkan kepala ketika telinga mereka menangkap suara orang berteriak sambil lari tergopoh-gopoh.

"Ada mayat, ada mayat nyangkut di ujung barat Pandan Segegek.”

Seorang lelaki paruh baya memakai caping bebek nampak terengah-engah.

"Ada apa Mbah Mangun."

Seorang nelayan berbadan gemuk. Serta merta melempar jalanya lalu menghampiri orang tua yang dipanggilnya dengan sebutan Mbah Mangun.

"Soma, tolong laporkan pada Mas Dukuh Joko dan Mbah Kaji. Sementara kalian ikut aku untuk mengurus jenazah itu. Aku sendiri tidak mampu, posisi mayatnya tersangkut di dalam rumpun pandan laut. Bawa parang atau golok untuk membabat pandan-pandan itu."

Nelayan gendut yang bernama Soma itu lalu menunjuk beberapa nelayan untuk melapor ke Dukuh Joko. Dia sendiri diikuti beberapa orang beranjak pergi ke arah Pandan Segegek bagian barat dengan mengikuti langkah-langkah Mbah Mangun yang setengah berlari.

"Mbah Mangun, itu mayat siapa Mbah? Apakah mayat penduduk Banaran?"

"Aku tidak tahu Soma, mayat lelaki posisinya terlungkup. Jadi wajahnya tidak kelihatan. Aku juga kesulitan untuk membalik badannya."

"Dua minggu yang lalu kecelakaan yang menimpa Lik Karjo, juga baru ketemu dua mayat. Mayat Tomo dan Pangat. Mayat keduanya ditemukan sudah busuk terdampar di pinggiran Pandan Segegek juga. Hampir tidak bisa dikenali."

"Hanya mayat Lik Kasto, Karjo dan Djarot yang sampai saat ini belum ditemukan. Tim SAR bahkan sudah menyisir tepian pantai tiga hari berturut-turut tapi nihil. Mbok Narti sampai detik ini juga masih sering menangisi anak satu-satunya Si Djarot. Entah, anak itu masih hidup atau tidak. Biasanya kalau korban sudah lewat dari tujuh hari tidak diketemukan, kemungkinan besar mayatnya tidak akan pernah ketemu. Sudah dikersakke Kanjeng Ratu."

"Stttt.... jaga mulutmu Soma, kamu mau kena tulah dari kata-katamu yang sembrono itu?"

Hardik Mbak Mangun.

Lewat seperminuman teh Mbah Mangun dan Soma serta beberapa orang penduduk sampai di pinggiran Pandan Segegek di sebelah barat. Pandan segegek adalah kawasan di sepanjang barat Pantai Trisik. Pandan Segegek nyaris tak dikenal. Selain pemandangannya jauh dari kesan indah, kawasan itu juga cukup terpencil dan terpisah dari pemukiman penduduk. Sepanjang mata memandang hanya ada tanaman pandan laut. Pandan laut sejenis pohon pandan tetapi memiliki daun yang lebih besar dan serat yang lebih besar dengan duri-duri tajam di sepanjang tepi-tepi daun. Di beberapa tempat menjulang bukit-bukit kecil yang terbentuk alami dari pasir yang menumpuk terbawa angin yang biasa disebut dengan gumuk.

Di tepi bibir pantai sekitar puluhan tombak jauhnya, sesosok tubuh telungkup di rimbunan pandan laut. Jika dilihat dari postur tubuh, sosok itu biasa dipastikan seorang lelaki.
"Itu Soma, mayat yang aku lihat tadi selagi aku cari kayu bakar."

Soma dan bebarapa orang segera mendekati rimbunan tumbuhan pandan laut. Lalu dia mencabut golok yang sedari tadi terselip di pinggangnya. Dengan hati-hati dan dibantu beberapa orang, rimbunan pohon pandan ditebas menggunakan golok untuk mengeluarkan sesosok tubuh yang terlungkup dan terjebak di dalamnya.

Jika dicermati secara nalar, untuk korban tenggelam tidak mungkin tubuhnya bisa terdampar sejauh itu dari tepian laut. Dan anehnya lagi sosok tubuh ini bisa terperangkap ke dalam rimbunan pandan itu sesuatu hal yang mustahil. Karena di tubuh orang yang terlungkup itu tidak ditemukan luka-luka tergores duri pandan yang tajam itu. Setelah bersusah payah memotong rimbunan daun-daun pandan, beberapa orang segera membalikkan tubuh itu ke atas pasir.

Betapa terkejut orang-orang Banaran. Karena sesosok tubuh itu adalah Djarot. Orang yang sampai empat belas hari tanpa diketahui kabar beritanya. Mati ataupun hidup. Lalu dengan sigap beberapa orang menggotong Djarot lalu membaringkan tubuhnya di atas daun kelapa yang telah di susun sebagai alas tidur.

"Akhirnya mayat Djarot ditemukan Mbah," gumam Soma sambil meghela nafas.

"Iya Soma, akhirnya setelah dua minggu tidak ada kabar kita bisa menemukan Djarot meskipun dia telah menjadi......"

Belum sempat Mbah Mangun melanjutkan perkataannya, tiba-tiba terdengar erangan. Sepasang mata Djarot terbuka, mengerang sebentar lalu terpejam lagi.

"Soma, sepertinya Djarot belum mati. Coba periksa nadi dan detak jantungnya."
Soma segera membungkuk lalu memegang pergelangan nadi Djarot sebelah kiri, karena belum yakin. Soma lalu mendekatkan telinganya ke dada Djarot. Lalu dia mendongak.

"Djarot masih hidup Mbah, meski nadi dan detak jantungnya sangat lemah. Musti buru-buru di bawa ke rumah sakit kalau tidak jiwanya bisa tidak tertolong."

BERSAMBUNG
close