Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

ROGOH NYOWO (Part 6) - Lahirnya Sang Pemutus Rogoh Nyowo


Bagian 6
LAHIRNYA SANG PEMUTUS ROGOH NYOWO

“Akkhhhggg... Aaaakkhhgg...."

Jeritan panjang melengking, mendadak terdengar memecah kesunyian malam, berasal dari sebuah rumah joglo lawas. Dimana, di sebuah kamar yang bercahaya pendar dengan wangi dupa, tampak sesosok wanita muda berwajah pucat penuh keringat tengah mengejan kuat.

Berkali-kali ia mengangkat kepalanya sembari berteriak, tanganya mencengkram kain tilam pembungkus kasur kapuk, dengan mata sesekali terpejam menahan sakit.

Wajah tegang juga terlihat dari tiga orang wanita yang mendampingi. Mereka tak henti-hentinya menguatkan sang wanita muda. Sampai akhirnya, satu suara tangisan Bayi terdengar dan mengakhiri perjuangan sang wanita muda, yang tak lain, WURI.

"Laswati! Cepat kamu ambil lampit putih itu!" ucap perintah salah satu wanita berkebaya batik hitam, pada Laswati.

"Baik, Bulek." sahut Laswati sedikit gugup.

"Dan Sampean Mbok Par! Siapkan air untuk memandikan Bayi ini." Kembali sang wanita bersanggul, memberi perintah pada sosok wanita paling tua, penderek Mbah Sinom dulu.

Sedang sosok wanita berkebaya hitam sendiri, yang tak lain adalah, Mayang. Terlihat memejamkan matanya.

Bibirnya naik turun, suara lirihnya terdengar mengucapkan bait-bait rangkaian kalimat seperti sebuah senandung berirama, dengan bahasa jawa halus, sebelum tangan kanannya yang memegang sebuah welat bambu memutus tali pusar Sang Jabang Bayi.

Satu jeritan melengking kembali terdengar dari Wuri, yang di barengi dengan kemunculan satu sosok wanita ayu dengan wangi melati, manakala Mayang telah berhasil memutus tali pusar.
Sosok wanita ayu, yang tak lain adalah Nyi Lengi, tampak tersenyum seraya mengusap rambut kepala Wuri.

"Kanjeng Ibu." sapa pelan Wuri, yang juga tersenyum dengan wajah pucatnya.

"Kamu berhasil, Nduk. Lihatlah, GETEH PENGAREP sudah terlahir." sahut Nyi Lengi sembari menunjuk Bayi mungil yang tengah di gendong Mayang.

"Dengan kelahiranya ini, maka tugasku menjaga rahimmu, selesai Nduk. Aku akan kembali keselatan." kembali Nyi Lengi menyambung ucapanya, yang sejenak membuat wajah Wuri semakin pias.

"Kanjeng Ibu. Apakah kelak saya tak bisa lagi bertemu dengan Kanjeng Ibu?" ucap Wuri dengan raut kesedihan.

"Tentu saja masih bisa Nduk. Kendit sutra itu nantinya akan menjadi penghubung. Simpanlah baik-baik olehmu." sahut Nyi Lengi dengan senyum tipis seraya bangkit, dan mendekat kearah Mayang dan Sang Bayi Mungil.

"Mayang, kamu tentu tau apa arti dari kelahiran Geteh Pengarep? Jadi jangan sampai kamu lengah. Puluhan manusia, ratusan lelembut sudah pasti akan berebut mendapatkanya sebelum jejer pancernya kembali ke asal." ucap Nyi Lengi pelan, sambil mengusap kepala Bayi yang masih basah.

Mayang mengangguk pelan, sebelum menyerahkan Bayi mungil dalam gendonganya kepada Nyi Lengi.

"Air kembangnya sudah siap Nyai." ucap Mbok Par dari ambang pintu, sedikit membungkukan badan.

"Baik, Mbok." sahut Mayang sebelum Mbok Par berlalu.

Malam semakin merangkak jauh, kesunyian dan keheningan yang membungkam, kembali terusik dengan tangisan Bayi yang baru beberapa puluh menit lalu terdiam, kini semakin kencang saat guyuran air kembang bermantra, membasuh tubuh mungilnya.

Sapuan angin kencang yang menghempaskan daun-daun beringin, juga seolah ikut menyambut kelahiran serta prosesi pensucian Sang Geteh Pengarep.

"Mayang, apa batirnya sudah kamu bungkus?" tanya Nyi Lengi pada Mayang.

"Belum Nyi?"sahut Mayang pelan, setelah selesai membantu proses pensucian Bayi pertama Wuri.

"Sekarang bungkus dan gantunglah. Ingat! Jangan sekali-kali meninggalkanya di saat waktu petang." ucap tegas Nyi Lengi pada Mayang dan Laswati.

"Aku akan kembali kepada Kanjeng Ratu malam ini." sambung Nyi Lengi sembari menatap Wuri dengan tersenyum, sebelum sosok anggunya menghilang meninggalkan wangi melati yang menyejukkan.

***

Sementara itu, ketegang juga terlihat dari wajah berkeriput milik sesosok perempuan tua bertapi jarik batik. Dengusan nafasnya yang memburu, menunjukan jika apa yang tengah ia lihat dari celah-celah pintu, bukanlah satu hal main-main dan sepele.

Sesekali badanya menegak dengan mata dan kening menciut, di sertai gelengan kepala menunjukan rasa tak percaya, dengan pemandangan di dalam sebuah kamar khusus yang di intipnya dari celah pintu.

"Rupanya Tuan sendiri yang menandai Den Ayu." Gumamnya lirih, sembari mengayunkan langkahnya menjauh dari pintu kamar yang tertutup.

Namun, belum sampai sepuluh langkah sosok perempuan tua, tak lain Mbok Idah, berlalu dari pintu kamar itu, ia di kejutkan dengan satu suara panggilan menyebut namanya.

"Mbok Idah!" kembali suara berat memanggil, terdengar untuk kedua kalinya membuat Mbok Idah tercekat.

Mata Mbok Idah mengedar ke sekeliling, mencari sumber suara yang sudah dua kali memanggil namanya. Namun, sampai beberapa saat, Mbok Idah tak menemukan sosok pemilik suara itu.

Bahkan kini bulu kuduknya meremang, ketika hidungnya mulai tersusupi wangi bunga mawar yang tiba-tiba merebak di sekitaran tempatnya berdiri.

"Krriiieett"

Mbok Idah kembali terlonjak kaget, saat suara pintu di belakangnya, terbuka.

Tapi, hanya hembusan angin beraroma wangi dupa berbaur dengan wangi bunga mawar yang Mbok Idah rasakan, saat ia memperhatikan pintu kamar yang sempat dirinya intip terbuka lebar tanpa adanya sesosok apapun keluar dari kamar itu.

Jiwa Mbok Idah tercekam, keringat mulai bermunculan dari lubang pori-pori kulitnya. Namun, dari wajah keriputnya, terpancar sirat keberanian dalam diri Mbok Idah, saat satu dorongan kuat bergejolak menuntunya untuk kembali mendekat ke arah kamar.

Dorongan kuat yang membuatnya sampai di depan kamar, yang tadinya ia lihat dari celah pintu, kini nyata lebar di depanya.

Mbok Idah terdiam sejenak, menatapi ruang kamar yang di penuhi nyala lilin tersusun di lantai dengan taburan bunga-bunga mawar wangi merebak.

Ada gelombang penolakan dalam dirinya, saat satu kekuatan yang entah dari mana datangnya, tiba-tiba seperti maghnet menariknya untuk memasuki kamar bercahaya remang terselimuti asap tipis dupa kuncup.

Tapi, penolakan yang di gaungkan batinya, tak mampu melawan rasa penasaran yang pada akhirnya membuat kaki Mbok Idah menapak di marmer lantai kamar.

Ketika langkah Mbok Idah berhenti tepat di depan lingkaran lilin-lilin yang menyala, satu sapuan angin kencang,-

tiba-tiba menyibak rambut putihnya dan menghempaskan daun pintu kembali tertutup. Kini, Mbok Idah. Benar-benar merasakan hawa mencekam. Tak ada lagi celah untuk ia bisa keluar, meski beberapa kali, sedikit kebatinan yang ia miliki di keluarkanya. Tapi, tetap saja nihil.

"Selamat datang Nenek tua!"

Satu suara sapaan menyengit, tiba-tiba terdengar di telinga Mbok Idah, membuatnya seketika beringsut mundur.

Sedikit gemetar tubuh sepuh Mbok Idah, saat ia menyadari kemunculan sesosok wanita cantik berkemben sebatas dada, tengah duduk di tepian ranjang.

Matanya melirik tajam, sambil jari-jari lentiknya, memainkan, membelai, rambutnya sendiri yang tergerai di depan.

"Nenek tua. Apa kamu puas setelah melihatku? Apa kamu masih penasaran? Apa kamu masih yakin ingin menyelamatkan calon Abdiku yang sudah tertandai?" ucap sosok yang kini terlihat memainkan setangkai mawar merah yang awal terselip di telinganya, masih dengan lirikan tajamnya.

"Si... Si... Siapa kamu!" sahut dan tanya Mbok Idah dengan terbata gugup.

Namun, bukan susunan kalimat yg Mbok Idah dengar sebagai jwban, melainkan suara tawa keras menggema seantero kamar yang keluar dari mulut sosok wanita itu. Membuat Mbok Idah semakin tercekam dan gemetar.

Mbok Idah menyadari jika sosok di depanya bukanlah manusia. Terlebih, Mbok Idah rasakan, ketika seluruh ilmu kebatinan yang ia kuasai telah di kerahkan, namun tak ada sedikitpun berpengaruh pada sosok itu.

"Kamu hanya seonggok ranting rapuh bagiku! Tak berguna!" Sentak sengit, sosok Ratu tak bermahkota, setelah tawa kerasnya mereda.

Tubuh sepuh Mbok Idah seketika lemas, wajahnya memucat, dengan tubuh berkeringat. Tanganya gemetar, serta bibir terkatup rapat.

Berkali-kali ia mencoba menekan handle pintu, tapi sayang, seolah semua ruang untuknya keluar dari kamar itu terkunci rapat-rapat.

"Sekelip mata saja bagiku untuk mengambil selembar nyawa tuamu. Tapi, Aku bisa mengampuni, jika kamu, mau menuruti satu permintaanku!"

Sebuah kalimat tegas bermakna ancaman, yang Mbok Idah dengar dan tak bisa terbantahkan, sejenak membuatnya terpekur diam.

Tapi, sebentar kemudian, Mbok Idah terhenyak dan terduduk di lantai ketika mendengar penuturan kalimat syarat yang di ucapkan sosok Ratu, junjungan Sudiro.

Wajahnya mempias tertunduk, seolah memikul satu beban berat, saat sosok sang Ratu memberikan dua pilihan yang di rasa Mbok Idah sama-sama berat.

"Ada apa Bulek? Sepertinya ada yang di risaukan?" Satu pertanyaaan sedikit mengagetkan Mayang, saat dirinya tengah menatap lurus ke halaman depan Rumah.

Raut wajahnya yang mulai di sisipi keriput, sebentar melega, saat di lihatnya, Laswati, sudah berdiri di sampingnya.

"Nggak apa-apa Laswati." sahut Mayang.

"Kelihatanya ada beban mengganjal yang Bulek rasakan?" Kembali Laswati menyahut dengan expresi masih terliputi tanda tanya.

Mayang terdiam, tarikan nafasnya terdengar berat dengan wajah sedikit berubah. Langkahnya mengayun medekati jendela kayu tanpa kaca. Membuat Laswati semakin bertanya-tanya.

"Sebenarnya Aku khawatir jika Wuri, tetap berada di sini bersama SANJAYA. Sebab, beberapa hari ini, semakin banyak makhluk-makhluk alam sebelah yang datang dan mereka semakin berani." ucap Mayang menjelaskan.

Bukan tidak mengerti bagi Laswati, namun, untuk urusan yang baru saja di kemukakan Mayang, ia tak bisa berbuat apa-apa. Dirinya tau jika Sanjaya (Anak Wuri) bukan bayi biasa pada umumnya, seperti yang telah di jelaskan Nyi Lengi.

"Lalu, apa yang Bulek ingin lakukan untuk Wuri dan Sanjaya?" tanya Laswati penuh harap.

Sejenak, Mayang menatap Laswati, datar. Tanganya menyibak kain putih yang hanya menutup separuh jendela. Memandang alam sore yang hampir masuk petang, sebelum menjawab ucapan Laswati.

"Aku ingin membawa Wuri dan Sanjaya ke tempat asal Leluhurnya. Disana Aku yakin! Sebab Romo, dulu sudah menanam Jangkar Semeti." Jelas Mayang pelan.

"Tapi, bagaimana dengan Rumah dan Wasiat Mbah Sinom? Apakah harus...."

"Bbrraakkk... Bbbrraakkk...."

Mendadak Laswati menghentikan ucapanya. Ketika tiba-tiba satu suara layaknya benda terjatuh dengan keras, yang di susul pekikkan suara perempuan, mengejutkan dirinya dan Mayang.

Kepanikan seketika menyelimuti Mayang dan Laswati. Keduanya bersamaan melangkah dengan buru-buru, menuju sumber suara.

Sesaat mata keduanya terbelalak! Setelah sampai di ruang belakang, tepatnya di kamar khusus peninggalan Mbah Sinom.

Di mana Pancer Sanjaya, yang terbungkus kain putih, tersimpan dan tergantung di ruangan itu. Lebih terkejut lagi Mayang, saat ia melihat satu sosok wanita bergaun putih dombor dan berambut panjang acak-acakan, tengah menyeringai buas.

Matanya hitam menyorot tajam! Namun, bukan itu yang membuat Mayang terkesiap panik, tapi bungkusan kain putih yang tengah di pegang tangan kanan sosok tersebut.

"Celaka...! Kalau sampai Pancer Sanjaya dia makan!" Gumam Mayang kalut.

"Hi...hii...hiikk...hhiikkk..." Tawa ngikik dari sosok berbau wangi kamboja, seolah tau ketakutan Mayang, dengan bungkusan yang tengah di genggamnya.

"Letakkan bungkusan itu! Atau kubakar wujudmu!" Seru Mayang keras.

Sosok itu terdiam. Sorot matanya semakin nyalang mendengar ancaman dari Mayang. Tapi, sebentar kemudian, sosok itu kembali tertawa semakin nyaring, memperlihatkan deretan giginya yang putih, kontras dengan bibirnya yang hitam.

"Laswati! Bawa Mbok Par keluar dari sini!" Perintah Mayang pada Laswati, yang sedari awal hanya tertegun bingung.

Dengan perasaan gugup, Laswati segera menyeret tubuh sepuh Mbok Par yang pingsan di lantai. Sebelum geraman-geraman mulai terdengar ramai di dalam ruangan.

Baru saja Mayang, berniat ingin menghampiri dan merebut bungkusan kain putih berisi Pancer Sanjaya, terpaksa ia urungkan. Terlebih, Mayang sedikit beringsut mudur, ketika beberapa sosok pocong berwajah hitam berbau busuk menyengat, tiba-tiba muncul dan mengelilingi sosok wanita bergaun putih.

Wajah Mayang mempias, tubuhnya mulai berkeringat melihat situasi yang menjadi sulit baginya. Beberapa kali Mayang tampak berjibaku menerobos sosok pocong-pocong hitam, yang seperti sengaja melindungi sosok wanita bermata hitam.

Namun, setiap kali Mayang memaksa, seketika itu juga tubuhnya terjungkal. Mayang meringis menahan sakit, saat kembali jatuh terduduk untuk kesekian kalinya. Dari sudut bibirnya, kini tampak mengalir darah segar.

Matanya nanar menatap sosok pocong-pocong berwajah hitam, yang masih tegak berdiri, dengan kilatan pandangan tajam menusuk.

Dirinya bertambah geram, saat mendengar tawa melengking sosok wanita bergaun putih, sembari memamerkan bungkusan putih padanya. Seakan menantang kembali, untuk Mayang merebutnya.

Tawa ngikik sosok wanita seperti Sibyan, tiba-tiba saja terhenti. Dan sekejap itu juga, berganti dengan lengkingan panjang menyayat, saat satu sosok wanita bertapi jarik, dengan kebaya putih, melemparkan sebuah batu hijau ke tubuh sosok wanita bermata hitam.

Tak hanya itu, kilatan dari sebuah pusaka, keris bergagang kepala naga, menghantam dan menembus sosok pocong-pocong berwajah hitam. Jeritan-jeritan dan erangan dari sosok-sosok pocong, menandai sebelum roboh dan menghilang, membuat suasana sejenak hening.

Nampak kelegaan terpancar dari wajah Sosok wanita yang masih memegang erat keris kecil dan bungkusan kain putih, yang ia pungut setelah terlempar dari tangan sosok wanita bergaun putih dombor. Matanya sayu memandang Mayang, yang sudah di papah Laswati untuk berdiri.

Ringisan kecil sekilas terlihat dari bibirnya, sebelum tubuhnya limbung dan terduduk di kursi dingklik menyandar ke dinding, membuat Laswati, buru-buru menghampirinya.

"Kamu nggak apa-apa Nduk?" tanya Laswati penuh kekhawatiran pada sosok hang tak lain adalah Wuri.

"Tidak, Buk. Hanya nyeri sedikit." jawab Wuri, sembari meremas perutnya pelan.

"Mungkin rahimnya tergonjang saat tadi, Wuri. Menggunakan Keris Laweyan Lenggan." Sahut Mayang, yang sudah mampu berdiri tegak kembali.

"Itulah kenapa Saya ingin kita semua pindah ke Prabon leluhur. Dan sekarang! Mau tidak mau kita harus tetap pindah. Saya tak mau kejadian ini terulang kembali." sambung Mayang dengan tegas.
Wuri dan Laswati saling pandang, mereka berdua tak bisa membantah,-

meski dalam hati dan benak keduanya masih terngiang akan pesan Mbah Sinom, tapi, disisi lain, keselamatan Sanjaya, kini menjadi satu hal teramat penting bagi mereka.

"Maafkan Saya Den Ayu. Terpaksa Saya lakukan ini!"

Seru sesosok wanita sepuh dalam hati. Wajah keriputnya seakan menggambarkan satu keterpaksaan dan beban yang menggunung. Langkahnya sedikit terjinjit menyusuri halaman gelap di belakang Rumah sang majikan, Suntoro.

Rambutnya terkibas acak, tanganya sedikit gemetar saat meletakkan sebuah cawan kekuningan dengan kepulan asap kemenyan, di sudut halaman belakang sebelah kiri.

Tarikan nafas panjang terdengar berat, saat mengawali jari-jari tua miliknya mulai menggali tanah gembur yang sedikit becek. Beberapa kali kepalanya menoleh dan menengadah, seolah ada yang tengah mengawasi, membuatnya mulai merasakan hawa mencekam. Sampai beberapa saat kemudian,-

sosok yang tak lain, Mbok Idah, menghentikan jarinya menggaruk tanah, setelah dirasanya sudah cukup dalam.

Tanganya cepat-cepat meraih bungkusan kain hitam kecil dari dalam cawan, yang bercampur bunga dan kemenyan gunung. Lalu, dengan sedikit keraguan,

Mbok Idah memasukan bungkusan kecil itu kedalam lubang sedalam siku, yang ia gali sendiri dengan tangan telanjangnya.

Mbok Idah tersurut mundur, setelah ia menutup lubang itu kembali, ketika tiba-tiba, telinganya mendengar suara tawa ramai dari dalam lubang.

Wajahnya seketika menunduk. Matanya menatap tajam ke arah lubang, seakan tengah memastikan pendengaranya.

"Celaka...! Rupanya Pancer Cenayang yang telah aku kubur," gumamnya dengan wajah menegang.

Sesaat Mbok Idah terdiam, sebelum ketegangan berubah sebuah kepanikan, saat dirinya menyadari tentang arti dari semua yang telah ia lakukan.

Tanganya kembali gemetar bersaamaan keringat mulai mengucur deras. Ia kembali berusaha menggali lubang yang baru saja ia tutup.

Namun, baru saja dua kali tanganya menggaruk tanah penutup lubang, Mbok Idah melenguh sembari memegang dadanya.

Dari sudut bibir serta hidungnya, terlihat darah segar mengalir deras. Membuat Mbok Idah semakin sadar, jika sesuatu yang ia khawatirkan tengah terjadi pada tubuh ringkihnya.

"Biadab! Tak akan Aku relakan sukmaku di jadikan Cenayang Iblis itu!" geram Mbok Idah sambil mengusap darah dari bibir dan hidungnya.

"Prraangg...."

Suara cawan yang tiba-tiba saja Mbok Idah lempar membentur tembok. Membuat bunga warna-warni dan kemenyan gunung berserak.

Buah dari luapan amarah dan penyesalanya.

"Aku harus cepat pergi dari sini! Aku harus segera menemui Kang Jais. Harus! Harus....!" seru Mbok Idah dalam hati.

Namun, langkah gontai Mbok Idah, kembali harus tertahan.

Ketika penciumanya begitu pekat menghirup aroma wangi Mawar disertai suara ringikan suara Kuda. Membuat kepanikan dan ketakutan bertambah kuat menyelimuti jiwa Mbok Idah.

Sejenak Mbok Idah mengedarkan pandanganya. Mencari sumber suara ringikan kuda dan wangi bunga mawar, yang ia yakini sebagai simbol kemunculan satu sosok, tapi, di sekelilingnya kosong. Meskipun Mbok Idah tak melihat kemunculan mahluk apapun di tempat itu, tapi,-

dirinya bisa merasakan kehadiran sosok itu. Membuat Mbok Idah buru-buru beranjak, walau dengan langkah terseok-seok.

Mbok Idah terus mengayunkan kakinya meninggalkan halaman belakang rumah Sudiro, sembari membekap mulut dan hidungnya sendiri yang masih terus mengeluarkan darah.

Mengacuhkan beberapa pasang mata yang menatapi dengan tajam. Menerobos puluhan makhluk hitam bermata bolong, yang menghadangnya saat keluar dari gerbang rumah Sudiro.

Sampai beberapa saat kemudian, ketika beberapa meter kaki Mbok Idah sudah menginjak jalan hitam aspal, Mbok Idah, tiba-tiba saja tersungkur, setelah tiupan angin panas menerjang tubuh sepuhnya.

"Ini akibat dari campur tanganmu!"

"Dan, beruntungnya aku, ada darah Cenayang dalam tubuhmu."

Mbok Idah terpekik kuat, saat satu sosok dengan suara nyaring, tiba-tiba saja sudah berdiri di hadapan dan memandangnya sadis.

Tubuhnya yang tersungkur dalam posisi tersimpuh, menggigil hebat. Matanya tajam menatap sosok berwajah ayu, berambut panjang dengan setangkai mawar terselip di telinga.

Namun, bukan itu yang membuat Mbok Idah terpekik dan menggigil ketakutan. Melainkan wujud separuh badan dari sosok wanita tersebut.

Separuh tubuh dari sosok wanita itu hitam legam. Berkaki empat serta di penuhi bulu.

Menjadikan Mbok Idah yakin jika dirinya tengah berhadapan dengan sesosok IBLIS yang sering ia dengar keberadaanya.

"Rupanya tipu dayamu, PAMBAYUN!" seru Mbok Idah dengan sisa amarah dan keberaniannya.

"Bagus kalau kamu mengenaliku Nenek Tua!"

"Tak susah payah aku menjelaskan, sebelum menjadikanmu Abdi Cenayangku." Sahut sosok Ratu Pambayun, dengan tatapan nyalang serta senyum seringai.

"Tak akan kurelakan Sukmaku menjadi kacungmu! Biar Ragaku hancur, sekalipun. Aku tak akan sudi!" ucap lantang Mbok Idah, sembari meludahkan darah merah yang masih terus mengalir dari mulutnya.

Mendengar penuturan Mbok Idah yang sengit, Ratu Pambayun tertawa keras. Sorot matanya sinis, sebagai ejekan dan jawabanya.

"Silahkan... Silahkan! Kalau kamu mampu merubah takdirmu Nenek Tua!" ucap sosok Ratu Pambayun sembari menyeringai.

Mbok Idah terdiam. Batinnya terus meruntuk kebodohan dan ketidak berdayaannya. Sebab, sebenarnya ia tau.

Jika Pancer Cenayang yang sudah di kubur dengan tanganya sendiri, menjadi satu simbol ikatan pengabdian sukmanya.

Hembusan angin malam yang semakin dingin. Sejenak, menyisir tempat dimana Mbok Idah masih duduk tersimpuh.

Sebelum, hawa panas yang menjadi awal kemunculan beberapa sosok hitam berbulu dan berekor, berwajah sama persis dengan seekor kuda.

Mata makhluk-makhluk yang ramai meringik, merah nyala. Menatapi sebentar tubuh Mbok Idah yang sudah terkotori ceceran darahnya sendiri, seakan ingin melumat tubuh ringkih berbalut kulit keriput, milik Mbok Idah.

"Bawa Dia!" suara tegas, mengandung perintah dari Ratu Pambayun, di sambut ringikan ramai, dari makhluk-makhluk hitam berkepala kuda.

Mbok Idah benar-benar tercekat hebat. Pekik rintihnya terdengar pelan tertahan. Seolah tersumbat darah yang semakin deras keluar, saat tubuhnya tercengkram jari-jari berkuku tajam yang menyeret dengan paksa.

Tak ada lagi yang bisa di lakukan Mbok Idah, kecuali jeritan melolong yang terakhir keluar dari mulutnya, sebelum tubuhnya hilang bersama puluhan makhluk dan Sang Ratu Pambayun, meninggalkan dua pasang mata yang mengawasi dari awal, di seberang jalan.

Dua sosok pemilik mata itu, tersenyum. Wajah semringah nampak jelas terpancar dari salah satu sosok, yang masih muda dengan pakaian rapi. Tanganya kananya mengusap lembut punggung tangan kirinya, seakan menjadi lambang keberhasilanya.

"Satu Abdi Cenayang sudah berhasil aku persembahkan, kini tinggal Abdi Inang yang harus Aku penuhi." Gumam sosok itu, sambil melirik sosok lelaki tua yang berdiri di belakangnya.

***

Langit bumi Malang, pagi itu masih terselimuti awan-awan hitam tipis. Setelah hujan lebat mengguyur hampir semalaman. Membuat para penduduk di sebuah desa lereng gunung, memilih beraktifitas dan menikmati suasana dingin di dalam rumah bersama keluarga.

Salah satunya, di sebuah rumah joglo lawas, beratapkan genteng, berdinding papan bersusun rapat dan kokoh. Rumah yang baru beberapa hari di huni oleh tiga orang wanita, dan seorang bayi laki-laki mungil, tampak rapi namun sepi.

Hanya terlihat sesosok perempuan belum begitu sepuh, salah satu penghuni rumah itu, tengah berdiri di depan jendela bagian dalam. Kedua tanganya menyilang ke belakang. Matanya lurus menatap tetesan-tetesan sisa air hujan, yang jatuh dari atap genteng.

Wajahnya datar, menyiratkan ada sesuatu yang sedang ia pikirkan begitu mendalam. Terlihat dari beberapa kali tarikan nafas panjangnya, terasa begitu berat, seolah tertekan beban besar.

"Apa yang kamu pikirkan, Laswati?" Satu suara teguran dari belakang, membuyarkan lamunan mendalam, sosok yang tak lain, adalah Laswati.

"Bulek," sahut Laswati, saat menoleh dan mengenali sosok yang baru saja sedikit mengagetkanya.

"Beban apa lagi yang tengah kamu rasakan?" tanya kembali satu sosok wanita berkebaya batik, Mayang.

"Aku hanya memikirkan tentang peninggalan Kang Wardoyo, Bulek." sahut Laswati yang kembali menatap nanar keluar.

"Rumah itu... Rumah yang sulit untuk bisa saya lepaskan. Tapi, tak mungkin saya maupun Wuri untuk menempatinya kembali." Kembali Laswati meneruskan keluh kesahnya.

Sejenak Mayang tertegun, matanya ikut menatap rintik gerimis yang mulai turun, membasahi halaman depan Rumah Prabon peninggalan TRAH RENGKO.

"Tak mudah untuk bisa membersihkan kembali, Rumahmu dari bekas BALAK PROJO. Hanya Sanjaya kelak, yang bisa membuang LEMAH IRENG BALAK PROJO dari pusatnya." ujar Mayang pelan.

"Lalu, apa yang harus saya lakukan untuk rumah itu, Bulek?" tanya Laswati dengan wajah penuh harap.

Sejenak, Mayang menghela nafas. Kakinya mengayun dan mendekat ke arah jendela. Jari-jari tanganya memainkan jalusi kayu dgn mata menerawang jauh, mengingat kembali kejadian demi kejadian, yang sudah memporak-porandakan TRAH RENGKO, menyisakan dirinya sendiri sebagai pemangkunya.

"Nanti malam kita coba kunjungi Rumahmu. Tanpa Wuri dan Sanjaya." ujar Mayang, membuat kening Laswati berkerut.

"Maksud, Bulek?" tanya Laswati.

"Aku ingin mencoba menghancurkan Balak Projo dengan Keris Laweyan Lenggan." sahut Mayang sedikit ragu.

"Tapi, Bulek. Apakah tidak membahayakan keselamatan kita?" timpal Laswati yang juga di liputi keraguan.
"Kita lihat situasinya nanti." Sahut Mayang lirih.
"Kreeaaakk... Kreaakk... Kreaakk...."

"Rupanya sudah ada yang menyambut kita." ucap Mayang pada Laswati, yang baru saja menginjakkan kaki di gerbang rumah Laswati sendiri.

Laswati terdiam. Matanya menatap keatas, dimana klebatan burung-burung hitam, bersliweran saling berpindah dari satu pohon ke pohon lainya.

Lembab, sinung, di rasakan Laswati dan Mayang, saat keduanya mulai berjalan memasuki halaman yang di penuhi serakan daun-daun kering. Bunga-Bunga yang dulu begitu indah, saat di rawat apik oleh Wuri, masih tergantung di teras depan, meski sebagian nampak tinggal ranting.

Seakan ikut merasakan penderitaan Sang pemilik.

Langkah Mayang dan Laswati terhenti sejenak di depan pintu. Ada keraguan yang menghinggapi Laswati, ketika tanganya akan memasukan anak kunci untuk membuka pintu, sebelum sentuhan lembut Mayang, memantapkan hatinya.

Hawa pengap, seketika terasa. Begitu Laswati membuka pintu dan melangkah masuk. Beberapa lampu yang masih bisa hidup dan di nyalakan, memperjelas hunian yg kotor dan berantakan. Hunian yang awal begitu indah bagi keluarga Wardoyo, namun menorehkan luka begitu dalam pada akhirnya.

Mayang, yang berjalan kebelakang, sedikit terjingkat. Ketika mendapati satu sosok tak asing baginya, tengah berdiri dan tertunduk, dengan rambut tergerai acak-acakan.

"Nyai Asih!" gumam Mayang, dengan suara sedikit parau.

Sosok Wanita Sepuh berkebaya lusuh penuh sobekan, perlahan mengangkat kepalanya. Sorot matanya kosong. Wajahnya putih pucat, dengan beberapa luka sayatan mengering dan menghitam, pada bagian pipi memanjang sampai leher.

"Den Ayu, tolong bebaskan saya." sahut lirih sosok yang di panggil Nyai Asih, tapi bukan pada Mayang, melainkan pada Laswati, yang baru tiba di belakang Mayang.

Laswati terhenyak mendengar suara lirih hampir mirip rintihan dari sosok Nyai Asih, yang juga menatapnya sayu. Rasa nyeri seketika menyeruak dalam rongga dada Laswati. Ketika ingatanya kembali di paksa mundur beberapa puluh bulan yang lalu.

Dimana sosok Nyai Asih, adalah salah satu pelindung waris TRAH RENGKO, yang di ikrarkan padanya.

"Nyai, maafkan saya. Telah membuat Nyai Asih terbelenggu." ucap Laswati, dengan suara sedikit bergetar.

"Aku dan Bulek Mayang, akan berusaha membebaskan Nyai!" sambung Laswati sedikit tegas.

Sosok Nyai Asih yang mendengar penuturan Laswati, tiba-tiba memalingkan wajahnya kesamping, tepatnya ke halaman belakang rumah. Matanya nanar menatap ke arah pintu,-

seperti memberi isyarat tanpa suara. Seolah mengerti, Mayang, tiba-tiba saja meraih lengan Laswati yang melangkah hampir melewatinya, menuju pintu.

"Jangan kamu buka!" seru Mayang.

Laswati, sedikit menujukan rasa heran. Sebelum melihat wajah Mayang menegang. Ia juga sempat menangkap kilatan mata Mayang, menyiratkan ada sesuatu yang tak main-main dari balik pintu. Sehingga membuat dirinya memilih menahan diri.

"Ada apa, Bulek?" tanya Laswati, memberanikan diri.

"Aura hitam pekat." jawab Mayang singkat.

"Lemah Ireng JALASUTO, itu sumbernya. Di tambah Balak Projo, membuatku terkurung, terbelenggu." ungkap sosok Nyai Asih.

"Iya, Nyai Asih. Untuk itu saya dan Laswati datang kemari, ingin menghancurkan JALASUTO dan BALAK PROJO, dengan ini." sahut Mayang, seraya menunjukan Keris kecil tanpa rangka, bergagang kepala Naga.

Namun, sosok Nyai Asih yang melihat kilatan Keris yang di pegang Mayang, menggelengkan kepalanya.

"Aku tau kekuatan Keris Laweyan Lenggan, tapi, tak cukup untuk menaklukan JRANGKONG JALASUTO, yang kini menjadi pemimpin di tempat ini." jelas sosok Nyai Asih, sambil menatap tajam daun pintu, yang menghubungkan ke halaman belakang.

"Maksud, Nayi?" tanya Mayang, dengan raut heran.

"Percumah! Keris itu tak akan mampu menembus Jrangkong Jalasuto. Kecuali dengan tetesan darah BOCAH PENGAREP." terang Nyai Asih, membuat Mayang dan Laswati tertunduk.

"Kenapa kalian tak meminta bantuan Kanjeng Ratu?" sambung Nyai Asih, bertanya.

"Krreeaakk...."

Baru saja Mayang akan membuka suara, menyahuti ucapan sosok Nyai Asih, namun urung. Ketika tiba-tiba suara burung keras dan nyaring, seperti tengah berputar tepat di atas genteng, tempat mereka berdiri.

"Dia datang... Dia datang." ucap Nyai Asih, seperti tau jika suara burung itu, satu isyarat.

"Aku harus kembali!" sambungnya, sebelum menghilang. Meninggalkan Mayang dan Laswati yang termangu.

"Hati-Hati Laswati, sepertinya memang ada yang datang!" tegas Mayang, ketika ia mulai merasakan suasana berbeda.

Dan tak berapa lama kemudian, suasana benar-benar begitu mencekam dengan terdengarnya suara riuh ramai, dari halaman belakang.

Di susul bau wangi bercampur dengan bau busuk menyengat, menyeruak sampai tercium ke dalam, di mana Mayang dan Laswati berada.

Kedua sosok wanita yang sudah berstatus Janda ini, semakin merasakan ketegangan, saat suara gemeratak kencang, di barengi gema tawa keras, dari satu sosok yang belum terlihat wujudnya.

"Brraaakk!"

Terjingkat kaget! Mayang dan Laswati, melihat pintu belakang tetiba saja terbuka dan membentur tembok dengan keras. Mata keduanya spontan terbelalak, melihat puluhan sosok mengerikan, berdiri di halaman belakang, yang kini terlihat dengan jelas setelah pintu terbuka.

Berbagai jenis sosok makhluk yang sepertinya memang sudah mengetahui kedatangan sang tuan rumah, nampak melotot tajam, pada Laswati dan Mayang.

Namun, ada satu sosok yang membuat Mayang dan Laswati sempat terperangah. Sosok tinggi, dengan tubuh kurus kerontang.

Dari kaki sampai kepalanya yang berambut panjang, tampak hitam mengkilap. Hanya dua bola matanya yang cekung, berwarna putih menyeluruh.

"JRANGKONG!" gumam Mayang bergetar.

"Sopo! Kewanen mlebu Jenggoloku kene!" (Siapa! sudah berani masuk tempat naunganku ini!)

Suara bentakan keras dari sosok tinggi hitam, Jrangkong, membuat Mayang dan Laswati, sejenak terpaku.

"Ini adalah tempat Anak Cucu saya! Kamu dan pengikutmu lah yang telah lancang, membangun Jenggolo di sini!" sahut Mayang, dengan penuh keberanian.

Tawa keras dari sosok Jrangkong, seketika menggema mendengar ucapan Mayang. Dua bola matanya yang putih rata, menyorot tajam. Tubuhnya yang dua kali lebih tinggi dari tubuh manusia biasa, membungkuk, mendekat, menyeringai, menembus tembok dan gawangan pintu.

Menghembuskan nafas disertai geraman sengit, tepat di depan wajah Laswati dan Mayang.

"Tempat ini sudah menjadi Jenggoloku! Siapapun yang berani mengusik, akan menanggung Jejer Boko Ludahku!" seru sosok Jrangkong, sambil melototkan mata putihnya dan membuka mulutnya lebar.

Memperlihatkan deretan gigi runcing dengan lidah panjang, terbasahi cairan hitam kental berbau busuk menyengat.

Mayang dan Laswati tersurut mundur, menahan rasa mual dan getaran panas dari hembusan nafas sosok Jrangkong.

"Rupanya punya sedikit mainan kamu!" ucap sosok Jrangkong kembali, saat melihat Keris kecil yang di genggam Mayang.

"Enyahlah!" seru Mayang sembari menghunuskan Keris Laweyan Lenggan. Yang tak berapa lama kemudian, dari ujung Keris, muncul kepulan asap putih tipis membentuk satu sosok.

"ABILOWO" geram sosok Jrangkong, setelah terlihat jelas, satu sosok yang keluar dari Keris kecil Laweyan Lenggan.

Sosok bermata hijau, dengan dua sayap bersisik, serta jari kaki dan tangan masing-masing berjumlah empat, berkuku kuncup, runcing dan tajam.

Namun, lagi-lagi sosok Jrangkong, kembali tertawa keras. Seakan tengah meremehkan sosok Abilowo yang mengacungkan kuku tajamnya, sambil mengeluarkan geraman kuat.

Panas! Suasana malam, khusunya di halaman belakang rumah peninggalan Wardoyo. Ketika dua sosok yang hanya terlihat seperti kilatan dan bayangan, tengah saling serang. Dentuman-dentuman kecil memercikan api, mewarnai pergumulan dua makhluk tak kasap mata, berkekuatan besar.

Sampai beberapa saat kemudian, terdengar satu jeritan panjang melengking, mengakhiri pertarungan sosok Abilowo dan Jrangkong.

"Bulekkkk...!" teriak Laswati histeris, melihat Mayang, terpental dan memekik saat tubuhnya terpental menghantam tembok.

Keris kecil Laweyan Lenggan, yang ia genggam ikut terlepas dan jatuh beberapa jengkal di samping tubuhnya. Menandakan jika Abilowo, sosok penghuni Keris itu, tak mampu melawan kekuatan dari sosok tinggi hitam, Jrangkong.

Mata Mayang mengerjap pelan, wajahnya pucat membiru. Keringat mengucur deras dari pori-pori kulitnya, sama halnya dengan darah yang mengalir dari bibir dan hidungnya.

Sedang Laswati, sudah tak kuasa lagi membendung air matanya, melihat tubuh Mayang, satu-satunya anggota keluarga dekat, yang tersisa dari TRAH RENGKO, tergolek lemah berlumur darah.

Berkali-kali Laswati mengusap darah dari hidung dan bibir mayang, yg sudah mengotori kebaya batiknya, sambil menyangga punggung Mayang. Hingga tak menyadari, jika sosok Jrangkong yang tadinya tergelak, kembali menatap dengan bola mata putihnya, nyalang ke arah Mayang dan Laswati.

"Bakal tak dadekne Pucur Jenggolo, Nyowo loroan iki!" ucap sosok Jrangkong sinis, di barengi tangan kanannya yang panjang dan hitam, terangkat tinggi keatas.

Laswati, baru menyadari ada bahaya dari sosok Jrangkong, setelah tangan lemah Mayang berusaha mendorong tubuhnya. Namun, Laswati seperti tak mau menyerah. Tanganya cepat menyambar Keris Laweyan Lenggan, yang tergeletak di sisi kanan tubuh Mayang.

Di sabetkanya menyilang berkali-kali ke arah tangan hitam sosok Jrangkong, tapi tampaknya sia-sia. Sebab, sabetan-sabetan Keris Laweyan Lenggan dari tangan Laswati, seolah menerpa angin kosong. Tak sedikitpun mampu menyentuh kulit atau bagian apapun dari sosok Jrangkong.

Kekalutan seketika menghampiri Laswati. Ia menjerit-jerit dan memekik, sambil terus menyabetkan Keris, meskipun tanpa hasil.

"Hentikan, Laswati." satu suara terdengar lirih di telinga laswati, sejenak menghentikan teriakan dan aksinya.

"Pergilah! Selamatkan dirimu!" kembali suara berat tertahan, dari Mayang, yang masih tergolek dengan tubuh semakin membiru.

"Tidak! Bulek. Aku akan tetap disini! Kalaupun harus mati di tangan iblis ini, biarlah sama-sama." sahut Laswati parau serak.

Namun sekejap kemudian, Laswati diam tergagu. Jantungnya seolah berhenti bedetak. Matanya yang sudah sembab, melebar menatapi puluhan sosok perempuan bergaun putih lusuh, sudah mengelilinginya.

Mata sosok-sosok perempuan berwajah seputih kapas, dengan bulatan hitam, menyorot tajam. Dari perut mereka, terdapat luka berlubang, yang masih meneteskan darah bersama usus yang memburai.

Kini tak hanya bau busuk menyengat, yang tercium oleh hidung Laswati, melainkan bercampur amis darah. Membuatnya beberapa kali membungkuk, menahan mual.

"Cepatlah kamu pergi, Laswati!" kembali Mayang menyeru dengan suara yang sudah mirip sebuah erangan.

"Tidak...!" sahut Laswati tanpa menoleh. Ia masih berdiri, dan menjadi tameng tubuh lemah Mayang. Sambil terus mengacungkan Keris kecil Laweyan Lenggan.

Tawa keras kembali menggema dari sosok Jrangkong, yang di susul suara tawa cekikikan nyaring, oleh puluhan sosok perempuan berambut panjang acak-acakkan, yang berdiri mengelilingi Laswati dan Mayang.

Wajah pias Laswati, menunjukan kepasrahan. Saat beberapa jengkal lagi, tangan hitam sosok Jrangkong akan merobek perutnya. Mata Laswati terpejam kuat, menanti sambaran maut, yang akan menghantarnya pada kematian.

Air matanya masih mengalir deras, membayangkan wajah Wuri dan Sanjaya, cucu pertamanya.

Sesaat Laswati merasakan tiupan angin dingin, sebelum merasakan satu cengkraman kuat, yang menghentakkan tubuhnya. Tak sempat matanya melihat dengan jelas apa yang terjadi.

Hanya telinganya yang mendengar geraman amarah disertai riuh suara pekikan. Sebelum dirinya merasa seolah melayang dalam tarikan kuat melewati lorong gelap tak bercahaya.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close