Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

ROGOH NYOWO (Part 7) - Pengorbanan


Bagian 7
PENGORBANAN

"Ibu... Mbahhhh....!"

Jerit Wuri, yang terkejut melihat tubuh dua wanita sepuh, Laswati dan Mayang, tiba-tiba tergeletak di lantai beralaskan karpet hijau.

Mayang sebentar-sebentar memejamkan matanya, sembari meringis menahan sakit. Darah masih terus mengalir dari sudut bibirnya yang membiru. Menunjukan jika luka bagian dalam yang di rasakan, tak main-main.

Sedang Laswati, terlihat linglung. Matanya sembab, rambutnya tergerai acak-acakkan, serta tubuh yang gemetar, seakan masih merasa tercekam.

"Mari iki, ojo pisan-pisan maneh, mbaleni papan panggonan iku. Mergo wes di gawe Jenggolo iblis Jrangkong." (Setelah ini, jangan sekali-kali lagi, mendatangi rumah itu. Sebab sudah di buat tempat naungan Iblis Jrangkong.)

Satu suara berat tetiba saja terdengar tegas, dari sesosok lelaki tua, yang baru saja muncul dan membelakangi ketiganya.

Blangkon batik berpadu jas hitam khas tetua adat Kejawen, yang di kenakan sosok tersebut, membuat tercengang Mayang dan Laswati.

Seakan menjadi tanda dan membuat keduanya mengenali siapa sosok tersebut.

"Romo...." ucap Mayang lirih.

"Pangapunten Eyang...." sahut Laswati sambil mengatupkan kedua telapak tanganya dan bersimpuh.

"Aku gak iso suwi-suwi. Iling-Ilingo welingku kabeh. Iki ngunu, mergo welase Kanjeng Ndoro Ratu, iso nylametno nyowomu wengi iki."

"Nduk Wuri, jogo temen Canggahku. Mbisuk, ben Canggahku iku seng ngadepi Jrangkong. Mergo geteh angete, seng biso nembus balung sum-sum e, Jrangkong." ucap sosok lelaki sepuh, yang masih berdiri membelakangi, tanpa menoleh sedikitpun.

Tubuhnya yang berbau khas kemenyan dupa berpadu kembang setaman. Perlahan berjalan pelan, menembus dinding papan dan menghilang di kegelapan malam. Meninggalkan isak tangis Wuri serta Laswati.

Namun, sebaliknya Mayang. Ia sedikit tersenyum bahagia, saat melihat sosok yang sudah puluhan tahun tiada, kini bisa bertemu kembali, meski hanya punggung dan bau tubuh khasnya saja yang dapat ia lihat dan cium.

"Bulekk! Maafkan saya. Maafkan kebodohan saya, yang sudah membuat Bulek, jadi seperti ini." Tiba-Tiba saja Laswati bersimpuh dan menangis tersedu-sedu, di pangkuan Mayang.

"Tak apa-apa Laswati, bukan salahmu. Aku malah bersyukur dengan kejadian ini. Sebab, bisa bertemu Romo kembali." sahut Mayang pelan, dengan sunggingan senyum di sudut bibirnya yang masih teraliri darah.

"Nduk Wuri, simpan kembali pusakamu. Ingat! Apa yang sudah di pesankan Romo, Eyangmu, kita taati bersama." sambung Mayang, sambil menatap Wuri dengan sayu.

Anggukan kepala Wuri, menjadi satu jawaban atas pesan yang di ucapkan Mayang. Meskipun masih menyisakan gurat sedih bercampur bingung. Apalagi, mengenai sosok Lelaki Tua yang di panggil Eyang dan Romo.

***

Malam semakin beranjak larut. Menyisakan gelap dengan hembusan angin yang mulai dingin menusuk. Membuat hampir seluruh penduduk di bumi Pahlawan, terlelap dalam mimpi indah masing-masing.

Namun, ada satu kediaman yang tampaknya masih dalam keadaan terjaga semua penghuninya. Sebuah rumah bercat kuning, dengan penerangan cahaya lampu-lampu yang terang, menunjukan satu ukuran kelas menengah keatas.

Sekilas, jika di lihat dari mata telanjang, rumah dengan taman depan dan samping, seakan dipenuhi kedamaian dan ketenangan. Tapi akan berbeda jika di lihat dengan mata batin.

Seperti halnya malam itu, kecemasan dan ketegangan tampak menyelimuti se isi penghuni rumah, yang terdiri dari dua orang laki-laki dan dua perempuan, tengah menunggui seorang wanita muda yang sedang berjuang untuk menjadi seorang Ibu.

Sedangkan di luar kamar, tepatnya di salah satu sudut belakang sebelah kanan, sesosok lelaki tua berikat kepala kain hitam, terlihat duduk bersila.

Kepulan asap dupa yang tertancap dan terbakar pada sebuah nampan kuning, menyelimuti sekitaran tempat itu, ikut menebarkan aroma mencekam,

Liringan gema suara lirih, yang keluar dari bibir hitam sang lelaki tua, terhenti seketika, saat telinganya mendengar suara tangisan bayi melengking.

Namun, sepertinya bukan suara tangisan bayi itu yang membuat bibirnya berhenti melafalkan mantra kuno, melainkan suara ringikan kuda yang riuh, seolah ikut menyambut kelahiran Sang Jabang bayi.

***

Suasana haru, bahagia, menghiasi wajah Murni, Lasno dan Winarni. Setelah beberapa lama berjuang mempertaruhkan nyawa, demi menantikan kelahiran Sang bayi laki-laki mungil, akhirnya terbayar, setelah suara tangis kecil melengking memecah kesunyian malam.

Namun, berbanding balik dengan raut wajah seorang wanita tua yang membantu proses kelahiran Win. Dari awal Sang Bayi menghirup udara dunia, ada banyak keanehan yang di rasakan sang TAYEM (dukun Bayi).

Mulai bau Arus tak seperti biasa, sampai suara ringikan Kuda yang sangat jelas terdengar di telinganya.

Apalagi, ketika ia memandikan Sang Bayi, air yang di buat membasuh tubuh mungil, berubah hitam berbau prengus. Membuatnya tertegun merasakan keanehan.

"Teruskan merawatnya!" terjingkat Nenek Tayem, mendengar satu suara bentakan.

Sejenak ia menghentikan tanganya yang sedang mengusap tubuh Sang Bayi. Matanya mengedar ke sekeliling ruangan mencari sumber suara.

Akan tetapi, sampai matanya berulang menatapi tiap sudut kamar, ia tak melihat atau menemukan sosok lain, selain Win dan kedua orang tuanya.

Rasa takut mulai menyergap jiwa Mbok Tayem, berkali-kali ia mengusap tengkuknya, melirik kesana kemari, mencari keberadaan beberapa pasang mata yang di rasa seperti mengawasi setiap geraknya.

Jantunganya semakin berdetak kencang. Keringat mulai membasahi tubuh dan baju dombor yang melekat di kulit keriput, saat hidungnya mencium bau wangi mawar dan kamboja begitu menyengat.

"Duh, Gusti. Ono opo karo bocah iki? Ono opo karo Ibune? Ono opo karo griyo niki...?" tanya Mbok Tayem dalam batin, sambil mempercepat tanganya membasuh dan mengusap tubuh Sang Bayi.

Sedikit lega Mbok Tayem, setelah selesai memandikan Sang Bayi. Apalagi, bau Arus tak wajar yang membuatnya mual, seketika hilang. Meski wangi mawar dan kamboja masih pekat.

"Buk, mau di kasih nama siapa ini putranya?" tanya Mbok Tayem, setelah selesai memakaikan kain beberapa lembar pd tubuh Sang Bayi.

"Nanti saja Mbok. Biar saya yang memberinya." Tiba-tiba saja Mbok Tayem dan Win, serta kedua orang tuanya, di kejutkan satu suara dari arah pintu kamar.

"Ohh, iya Pak." jawab Mbok Tayem, setelah tau siapa sang pemilik suara.

"Yang penting, selesaiakan saja tugas Mbok." ujar kembali sosok lelaki yang tak lain adalah Sudiro.

"Oh, ya Mbok. Mana Ari-Ari Anak saya?" sambung Diro, bertanya sambil melangkah masuk.

"Itu, Masih di Lepan, Pak. Tapi belum saya bersihkan." jawab Mbok Tayem.

"Biar saya saja yang bersihkan dan menguburnya, Mbok." sahut Diro, sambil mendekat kearah sebuah tempat bulat beralaskan kain putih berlumur darah.

Lasno dan Murni, mertua Diro, yang sedari awal hanya diam, sedikit heran bercampur bangga. Melihat sosok Diro, mau bersusah payah dan mengotori tanganya untuk mengurus Batur anaknya. Begitu juga Winarni yang tersenyum melihat sang Suami, bersedia ikut andil.

Yang ia lihat dan anggap sebagai wujud kasih sayang, seorang ayah. Meskipun selama ini, Win. Menganggap sosok Sudiro seorang yang acuh dan dingin. Tapi tidak bagi Mbok Tayem. Ia melihat sesuatu tak wajar, ketika Diro ingin mengurus sendiri Batur Bayi yang belum bertanda Nama.

Keinginan Mbok Tayem, yang akan melarang Sudiro mengambil Batur Bayi, seketika tertahan. Saat ia yang hanya berjarak dua meteran dari Sudiro, kembali mencium bau Arus pekat. Tak hanya itu, sebentar kemudian tubuh sepuh Mbok Tayem, memucat dan dingin.

Saat melihat Diro mengangkat kain yang membungkus Batur, bersamaan munculnya sesosok wanita cantik, berkemben, tersenyum sinis penuh ejekan.

"Gusti! Onten nopo niki, Gusti...." seru Mbok Tayem dalam hati.

Tubuh sepuhnya terdiam kaku. Meskipun sosok wanita berselip bunga mawar di telinga, sudah berlalu mengikuti Diro yang keluar membawa Batur Bayi. Namun, batinya masih di landa ketakutan luar biasa.

"Aduh... Tolong, Mbok!" satu jerit kesakitan, seketika membuyarkan lamunan Mbok Tayem.

Segera ia membalikan badannya, ingin menghampiri Win, yang menjerit. Namun Sayang, bukanya mendekat, Mbok Tayem malah beringsut mundur.

Tubuhnya semakin memucat dan gemetar. Wajahnya pias tak berdarah, saat dengan jelas, menyaksikan sekumpulan sosok makhluk hitam bermata bolong, tengah mengerubungi Win.

Sambil menjilati atau melumuri tubuh Win bagian perut dan bawah, dengan lendir-lendir kecoklatan, berbau busuk menyengat.

"Mbok! Ada apa? Kenapa Mbok, ketakutan." ucap Murni, Ibu Winarni, setengah teriak.

Murni bingung melihat Mbok Tayem, bukanya menolong Win yang merasakan sakit pada perut dan bagian tubuh bawahnya, tapi malah mundur dengan mimik ketakutan.

Mbok Tayem menyadari, jika Murni, Lasno bahkan Win sendiri, tak melihat beberapa makhluk hitam bermata bolong berada di kamar dan samping Win.

"Tidak... Tidakkk! Maafkan saya, Buk. Saya tak bisa menolong!" sahut Mbok Tayem histeris sambil keluar kamar dengan buru-buru.

"Mbok! Mbok!" teriak Lasno, memanggil Mbok Tayem yang sudah keluar kamar.

Kepanikan seketika menghantui Murni dan Lasno. Sedang, Win. Masih meringis dan merintih menahan sakit. Wajahnya yang seputih kapas, bersimbah keringat.

Jari-jari tanganya mencengkram kuat, kain sprai laman kasur, bermotif bunga matahari. Semakin membuat Lasno dan Murni kebingungan, tanpa tau harus berbuat apa untuk menolong putri mereka.

Satu hal yang terlihat aneh. Ketika kepanikan, erangan, jeritan dan rintihan dari Win serta Murni, seolah tak berpengaruh pada sosok Bayi laki-laki mungil, yang terbaring di ranjang kecil, sebelah ranjang tempat Winarni.

"Kang, cari Diro! Kita bawa Nduk Win, ke puskemas atau kemana saja. Cepat! Kang." ucap Murni panik dan kalut.

Tanpa menunggu lagi, Lasno segera beranjak ke luar kamar. Langkah buru-buru Lasno, terhenti tepat selangkah dari pintu, saat ia berpapasan dengan Diro, yang baru selesai membawa Batur Anak pertamanya.

"Ada apa, Pak?" tanya Diro heran melihat wajah panik Lasno.

"Nduk win... Nduk Win, kesakitan." jawab Lasno gugup.

Diro segera melangkah masuk, mendahului Lasno. Wajahnya yg awal ikut terlihat tegang, tiba-tiba berubah datar. Bahkan, tak terlihat sedikitpun rasa Iba, atau khawatir. Meski di lihatnya, Win Istrinya. Masih meringis kesakitan.

"Tolong... Tolong saya Mas...." ucap Win lirih, saat melihat Diro mendekat dan meraih tanganya.

"Tenang, Kamu akan baik-baik saja." sahut Diro, sambil meremas genggaman tangan Istrinya.

"Sakit, Mas." kembali Win, merintih.

Sejenak Diro, terdiam. Matanya mengitari isi ruang kamar, sebelum menatap lekat Murni yang masih terisak, di dampingi Lasno.

"Mbok Tayem kemana?" tanya Diro, yang baru menyadari jika sosok Mbok Tayem, tak di jumpainya.

"Dia pulang. Dan... Dan pulangnya, seperti orang ketakutan." jawab Lasno, ragu-ragu.

Diro tak segera menyahut, tapi ia langsung menatap ke arah samping kiri Win. Yang di matanya ada senyum dari sosok cantik, berkemben batik corak.

"Jangan kamu pikirkan Nenek Tua itu." Satu suara lembut dari sosok dengan harum mawar itu, membuat kelegaan di wajah Diro.

"Sepekan lagi, akan kuambil ABDI INANG ku ini. Dan segera Kamu cari pengganti, untuk merawat ABDI SASONGKO JATI, yang bakal meneruskan pengabdianmu." Tegas sosok yang tak lain RATU PAMBAYUM, sembari tersenyum dan menatap wajah Win.

"Nak Diro, apa tidak sebaiknya kita bawa Nduk Win, kerumah sakit atau puskesmas." Sedikit terjingkat Diro, mendengar suara Lasno.

"Tak usah, Pak. Sebentar lagi Win, akan sehat." jawab Diro, tanpa menoleh.

Lasno dan Murni, hanya bisa saling pandang. Mereka bingung mendengar jawaban Diro. Tanpa mereka sadari, jika Diro sedang berinteraksi dengan calon majikan baru putri mereka.

Kelegaan seketika menghapus rasa bingung dan panik Lasno dan Murni. Saat mendapati ucapan Diro yang terbukti, setelah Win mulai tenang tanpa merasa sakit. Apalagi, melihat Diro yang saat itu begitu semangat mengurus Win, memudarkan rasa curiga, terutama dari Murni.

Kini ia nampak bisa tersenyum menggendong cucu pertamanya. Kebahagiaan saat itu memancar terang dari wajah mereka, tanpa tau, jika itu hanya akan bertahan sepekan saja.

***

Malam semakin merambah jauh, menghampiri suasana larut, yang membuat sebagian orang makin terlelap dalam pelukan dan buaian mimpi. Begitu juga yang terlihat pada rumah berdinding tembok separo.

Keheningan nampak menyenyakkan para penghuni rumah, sebelum derap langkah buru-buru dan gedoran pintu, memecah kesunyian.

"Buka pintunya!... Buka!" teriak sosok sepuh, masih dengan menggedor-nggedor pintu.

Namun, sampai beberapa saat lamanya, tak ada sahutan apapun dari dalam. Sosok yang tak lain adalah, Mbok Tayem, tersandar di tembok. Nafasnya memburu cepat, dengan wajah pucat terbasahi keringat. Matanya mengerjap sebentar, sebelum di edarkan ke sekitaran halaman yang remang.

Beberapa kali nafasnya tersengal, ketika hidungnya kembali mencium bau Arus pekat, bercampur wangi mawar menyengak.

"Tolong....!" teriaknya kembali dengan suara yang mulai tersendat putus.

Tangan Tua keriputnya, terlihat gemetar meraih gagang pintu yang terbuat dari kayu. Ia goncang kuat-kuat dengan sisa tenaga yang ada. Air matanya mulai mengalir deras, menampakkan ketakutan yang memuncak.

Manakala suara ringikan Kuda riuh, seperti tengah berbaris di halaman dan sedang memperhatikanya.

"Mbok Tayem... Mbok...."

Sebuah suara panggilan, terdengar lirih di telinga Mbok Tayem. Namun sanggup membuat tubuhnya menggigil. Sebab, Mbok Tayem tau, siapa pemilik suara itu.

Dingin, kaku, tubuh Mbok Tayem. Saat wangi mawar berpadu kamboja begitu pekat, mengiringi sesosok wanita cantik, berjalan mendekatinya dari kegelapan malam.

"Jangan takut, Mbok. Aku ingin berterima kasih padamu." ucap sosok Ratu Pambayun, pada Mbok Tayem, yang masih bersandar di tembok.

"Sebagai imbalan, aku ingin simbok menerima ini." sambungnya sambil menyerahkan sesuatu berbentuk gumpalan.

Tak ada kata-kata yang bisa Mbok Tayem ucapkan. Mulutnya seperti terkunci rapat. Keringat dingin masih terus mengucur dari tubuh ringkihnya yang sedikit bungkuk, menandakan jika ketakutan masih menyelimuti jiwanya.

Apalagi, saat Mbok Tayem melihat bercak darah masih segar dari bibir Ratu Pambayun, yang ia yakini dari sesuatu yang di kunyah, atau lebih tepatnya Batur Bayi, membuat tubuhnya semakin kaku.

"Ayo Mbok! Terima!"

Bentak Ratu Pambayun, tak sabar melihat Mbok Tayem yang hanya terdiam. Gemetar tangan Mbok Tayem, saat menerima seonggok gumpalan hitam kemerahan, berbau amis.

"Makan!"

Perintah Ratu Pambayun kembali, sembari melototkan bola matanya. Mbok Tayem terperangah. Wajah tua itu menengadah, memberanikan diri menatap sosok cantik namun bengis.

Wajahnya yang sudah penuh garis-garis keriput sejenak menciut, seolah tak percaya dengan apa yang ia dengar, jika ia harus memakan seonggok daging mentah, salah satu bagian Batur Bayi, ABDI SASONGKO JATI.

"Ampun... Ampun...." Rintih Mbok Tayem, memohon.

Namun, bukan rasa iba yang di tunjukan sosok Ratu Pambayun, melainkan tawa keras dan tatapan sinis, seperti begitu bahagia melihat ketakutan Mbok Tayem. Tak cukup sampai di situ.

Setelah tawa kerasnya mereda, sosok Ratu Pambayun memberikan isyarat seringaian pada beberapa makhluk hitam bermata bolong, yang kemudian disambut ringikan-ringikan Kuda ramai riuh. Membuat Mbok Tayem hanya bisa menangis tanpa suara.

Tanganya masih berusaha untuk meraih gagang pintu. Tapi sayang, hanya angin kosong yang ia sentuh.

Tubuh Mbok Tayem seketika lunglai tanpa daya. Nafasnya sesak tersengal, mendapati dirinya sudah tertipu oleh samaran mata dari sosok Ratu Pambayun.

"Mau pilih mana? Kamu makan? Atau tubuh rentamu itu, yang menjadi santapan mereka!" kembali ucapan dari Ratu Pambayun, membuat tubuh Mbok Tayem seperti terlolosi.

Kepasrahan terpancar jelas dari wajah Mbok Tayem, yang sudah tersimpuh. Tak ada lagi yang bisa ia lakukan untuk menyelamatkan selembar nyawa sepuhnya. Apalagi dirinya baru saja menyadari, jika tempat di mana ia berada, bukanlah alam nyata, tapi alam jagad lelembut.

"Silahkan kalian cabik-cabik tubuhku! Tapi tak sudi! Jiwaku, sukmaku menjadi budak atau pengikutmu." jawab Mbok Tayem, sembari melempar gumpalan daging Batur Bayi, anak Sudiro.

Ratu Pambayun terkesiap melihat apa yang di lakukan Mbok Tayem. Ia tak menyangka dengan keputusan Mbok Tayem, seolah malah menantangnya. Bahkan, gumpalan yang sejatinya ia ingin Mbok Tayem untuk memakanya, malah di lempar dan mengena wajahnya.

Rahang mulut Ratu Pambayun mengencang gemeretak. Dua bola matanya melotot tajam. Menunjukan kemarahan yang memuncak.

"Tuwekan goblok! Rencek sak balung sum-summu!"

"Plakkkk...."

Suara bentakan keras dari sosok Ratu Pambayun, lalu di susul sebuah tamparan tangan, membuat Mbok Tayem terguling ke sisi kiri. Darah seketika mengalir deras dari sudut bibir dan hidung Mbok Tayem.

Matanya mengerjap sayu, meski masih bisa sedikit menyunggingkan senyum sinis, membuat ledakan amarah Ratu Pambayun semakin memuncak.

"Tuo rakedugo! Rogomu ra kanggo gawe!" Kembali suara keras Ratu Pambayun menggema, saat menghampiri dan melihat ejekan dari Mbok Tayem.

Di seretnya tubuh lemah Mbok Tayem, dengan menarik rambut panjangnya yang sudah penuh uban. Kini, bukan hanya rintihan yang terdengar dari Mbok Tayem, melainkan lolongan menyayat saat tubuhnya harus merangkak mengikuti seretan tangan Ratu Pambayun.

"Buukk...."

Tubuh Mbok Tayem tersungkur setelah di lempar tangan penuh kekuatan Ratu Pambayun dan menghantam kaki-kaki keras, sosok hitam bermata bolong.

"Paksa dia untuk menelan ini!" Perintah Ratu Pambayun seraya melemparkan gumpalan daging Batur Bayi, pada sosok-sosok hitam yang menjulurkan lidah panjang mereka, sambil meringik. Mbok Tayem hanya pasrah, tanpa bisa melawan, saat jari-jari hitam, membuka paksa mulutnya.

Hanya lenguhan yang terdengar, ketika seonggok daging hitam kemerahan sebesar jempol kaki, tersumpal di mulutnya. Tangan Mbok Tayem mengepal kuat. Wajahnya mendongak dengan mata melotot sampai urat-urat lehernya tersembul menegang.

Tawa keras melengking kembali menghiasi tempat luas tak bertuan. Yang di susul ringikan riuh seakan sebuah sorakan, ketika melihat tubuh Mbok Tayem, mengeliat-liat dan tersungkur diam dengan mata terpejam.

***

Malam sudah melewati waktu larut. Suara nyaring ayam berkokok, menjadi penanda jika waktu sudah hampir berganti fajar. Menggugah sebagian orang untuk segera beranjak dari nikmatnya terlelap di peraduan mimpi.

Tp tidak bagi sesosok laki-laki yang tengah duduk di kursi teras belakang. Wajahnya mencerminkan jika ia tengah terbebani sesuatu yg sulit untuk di pahami. Meski sudah berulang kali kejanggalan atau kejadian aneh ia lihat dan saksikan, tp tetap saja batinya menolak untuk percaya.

"Apa sebenarnya yang terjadi? Apa benar yang di katakan Mbah Ilyas tentang Sudiro?" tanyanya dalam hati, sembari menyandarkan kepalanya pada telapak tangan untuk menyangga.

Matanya yang merah, karena semalaman tak terlelap, menerawang jauh, menatapi langit yang hampir memunculkan semburat-semburat merah. Ingatanya ia paksa memutar kembali, memory peristiwa dan kejadian yang sudah hampir setahun berlalu.

Di mana awal kebahagiaan bagi dirinya, tapi petaka bagi saudaranya.

Sejenak kepalanya kembali ia tegakkan. Tangan kirinya merogoh saku baju, mengeluarkan sebungkus rokok beserta korek jiponya.

Namun, baru saja ia ingin menghidupkan api untuk membakar sebatang rokok yang sudah terselip di bibirnya, seketika ia urungkan.

Perlahan ia bangkit sambil matanya menyorot lurus ke arah sudut belakang, tepatnya di sebuah bangunan kecil yang menghadap ke selatan.

Alam yang hampir terang, sedikit membantu pandanganya melihat jelas, sesosok lelaki tua berbaju komprang, lengkap dengan ikat kepala yang sama berwarna hitam, keluar dari bangunan kecil itu.

Langkah lelaki tua itu mengendap pelan, melewati halaman belakang, di mana sang lelaki berkemeja tengah memperhatikanya. Seketika, rasa penasaran bercampur curiga, memaksa sang lelaki berkemeja,

perlahan melangkah, mendekati bangunan yang baru saja di tinggalkan sang lelaki tua berikat kepala hitam.

"Apa yang di lakukannya, di bangunan sekecil itu?" gumamnya lirih, pada dirinya sendiri.

Langkahnya terhenti sejenak, manakala sedikit jelas, matanya melihat sekelebat wajah dari sang lelaki tua, meski jarak mereka lumayan jauh. Membuatnya langsung mengerutkan kening, mengingat-ingat tentang sosok tersebut.

"Sepertinya, aku pernah melihat lelaki itu? Tapi di mana?" gumamnya kembali, yang masih berusaha untuk mengenali pemilik wajah itu.

"Ahh, ya. Dia kan...."

"Bapak mau kemana?"

Tiba-Tiba saja, satu suara mengejutkan dan memutus gumaman lirihnya.

"Sebaiknya, apa yang bukan urusan Bapak, tak perlu Bapak tau! Dan tidak perlu Bapak cari tau." ucap Diro sengit, setelah mendengar penjelasan mertuanya, Lasno.

Lasno sendiri terdiam. Matanya menatap punggung dan langkah Diro, yang berlalu meninggalkanya. Meski sang menantu sudah memberikan penjelasan dan sedikit di bumbui sebuah peringatan, tapi Lasno, tak bisa mengurangi rasa penasaranya.

Bahkan, dengan adanya kalimat mengandung larangan dari Diro, semakin membuat Lasno bertekat untuk mencari tau.

Matahari pagi sudah menunjukan sinar hangat, ketika Lasno memutuskan untuk kembali ke rumahnya sendiri.

Meninggalkan Murni Istrinya, yang di tinggal untuk merawat Winarni. Namun, di tengah perjalanan, Lasno merubah arah laju kendaraannya, saat dalam benaknya muncul bayangan Mbok Tayem.

Lasno meyakini jika Mbok Tayem pasti mengetahui sesuatu, sebab Mbok Tayem teramat ketakutan, waktu melihat Win yang kesakitan.

Mobil Lawas Lasno terus melaju. Melewati jalanan hitam aspal yang sudah banyak mengelupas, sebelum menapak jalan sempit berkerikil.

Hingga tiba di satu persimpangan, Lasno harus berhenti dan memarkirkan mobil tua nya, di tepian jalan berparit.

Kening Lasno mengkerut, saat kakinya baru menginjak tanah pasir lorong jalan menuju rumah Mbok Tayem.

Matanya menatapi dengan seksama kerumunan laki-laki yang berjalan beriringan dengan wajah-wajah tegang. Ada rasa tak enak dalam hati, ketika telinganya mendengar ucapan-ucapan pelan dari mereka saat berpapasan menyangkut nama Mbok Tayem.

Dari semua kalimat-kalimat yang Lasno dengar, ia menyimpulkan, jika ada sesuatu yang menimpa Mbok Tayem. Perasaan tak enak semakin bergelanyut dalam benak Lasno. Saat memasuki halaman rumah dengan bangunan tembok separuh, yang terlihat paling ramai saat itu, di antara deretan rumah-rumah yang lain.

Wajah-Wajah bingung dan tegang dari deretan para lelaki yang tengah duduk dan berdiri bergerombol, serentak menatap Lasno, sebelum satu teriakan keras dari arah dalam, mengejutkan semuanya.

"Itu dia!" sekejap, puluhan lelaki yang tadinya hanya menatap, langsung mengepung Lasno.

Wajah Lasno langsung memucat. Buliran-buliran keringat mulai mengucur dari pori-pori kulitnya.

Menunjukan ketakutannya, saat melihat puluhan lelaki berubah garang, dengan sebagian tangan mereka sudah memegang senjata.

"Benar ini orangnya, Kang?" ucap salah satu lelaki yang menenteng sebuah golok.

"Benar! Saya lihat dia kemaren ikut menjemput Mbok Tayem!" jawab lelaki setengah umur, yang berdiri di depan pintu.

"Saya yakin dia tau kejadian sebenarnya! Atau malah dia pelakunya!" sambungnya sambil melangkah, mendekati Lasno, yang masih berdiri mematung.

"Maaf... Maaf. Saya tidak tau ada masalah apa ini?" ucap Lasno sedikit memberanikan diri.

"Masalah apa? Kamu tanya masalah apa!" hardik lelaki yang kini sudah berdiri di hadapan Lasno dengan melotot.

"Kemaren kamu ikut jemput Mbok Tayem! Dan sekarang Mbok Tayem di temukan tak bernyawa." Sambung lelaki itu, dengan wajah merah penuh amarah.

Lasno sendiri begitu terkejut mendengar penuturan lelaki di depanya. Darahnya seolah menyatu mengalir ke jantung, membuat detakanya kian kencang terpacu.

"Udah, Kang. Nyawa-bayar-nyawa." Sahut menyahut suara dari puluhan lelaki yang sedari awal diam mendengarkan, kini terlihat marah sembari mengacungkan senjata-senjata tradisional yang biasa di pakai mereka bertani dan berkebun, pada Lasno.

Lasno beringsut mundur. Tubuhnya gemetar menyadari jika nyawanya sedang terancam. Namun, tak banyak yang bisa Lasno lakukan ketika beberapa tangan begitu cepat menyambar dan memegangi tubuhnya.

Hampir saja Lasno menjadi bulan-bulanan puluhan lelaki yang sudah memuncak amarahnya, sebelum beberapa derap langkah kaki buru-buru datang seraya berteriak.

"Hentikan! Jangan main hakim sendiri!"

Suara keras dari seorang lelaki tua berkalung sorban, seketika menghentikan puluhan lelaki yang hampir mengamuk Lasno.

"Dia tidak bersalah! Dia juga ikut jadi korban!" sambung lelaki tua berkopiah hitam tingkat, sambil berjalan menerobos kerumunan.

"Kalian bakal berdosa jika menyakiti atau bahkan membunuhnya." Di tariknya lengan Lasno menuju ke dalam rumah.

"Duduklah. Dan kalian! Segera persiapkan untuk mensucikan jenazah Mbok Tayem." Perintah sang lelaki berjubah pada Lasno untuk duduk, dan beberapa orang lelaki yang masih berdiri di ambang pintu.

Lasno yang duduk berhadapan dengan sang Lelaki penuh wibawa, menarik nafas lega. Di pandanginya wajah-wajah asing yang ikut duduk mengelilingi dan juga menatapnya masih penuh curiga.

"Ambilkan dia air minum." Perintah sang lelaki berwibawa, pada seorang muda, yang sedari kedatanganya selalu mendampinginya.

"Maaf, Pak. Saya benar-benar tidak tau dengan musibah yang menimpa Mbok Tayem." Lasno memberanikan diri membuka percakapan.

"Iya, Saya tau. Bukan bapak pelakunya. Tapi, orang yang sudah menjadi bagian keluarga Bapak, yang sudah berbuat tega!" jawab sang lelaki bersorban pelan, namun penuh charisma. Tersentak Lasno mendengar penjelasan dari lelaki yang ia yakini sebagai seorang kiay.

Wajahnya menciut dengan mata menyorot penuh makna.

"Maksud, Bapak?" tanya Lasno, penasaran.

Sang lelaki tak langsung menjawab. Bibirnya tersenyum menatap Lasno yang masih di landa antara bingung dan cemas.

"Apa yang Bapak ketahui tentang menantu Bapak?" ucap sang Kiay, balik bertanya.

Sejenak Lasno menundukan kepalanya, di samping matanya tak kuat saat berbenturan pandang dengan Sang Kiay, ada rasa tak enak ketika mendengar kalimat yang menyinggung menantunya.

"Ohh, ya. Perkenalkan dulu. Nama saya Hambali," ucap lelaki berjenggot tipis menyebut namanya, seraya mengulurkan tangan kanannya.

"Saya Lasno, Pak." sahut Lasno yg langsung menerima uluran tangan Pak Hambali.

"Saya tau Pak Lasno, tak begitu tau siapa sebenarnya sosok menantu Bapak. Tapi saya yakin, Bapak tau ikhwal Mbok Tayem sewaktu di rumah dan menolong anak Bapak saat melahirkan?" ucap Pak Hambali.

Lasno terhenyak, pikiranya berkecamuk. Ada keraguan yang mencoba menahanya untuk bercerita. Namun, di sisi lain, Lasno berpikir "Mungkin ini jalan untuk mengetahui kejelasan."

Wajah sendu di iringi tarikan nafas panjang, mengawali cerita Lasno. Mulai dari penjemputan sampai akhirnya Mbok Tayem pulang paksa dalam keadaan ketakutan.

Pak Hambali sesekali termangu dan menganggukan kepalanya. Antusias di wajahnya semakin mengembang, manakala Lasno menceritakan seluruh kejanggalan yang ia rasakan, sejak anaknya mengandung sampai melahirkan.

Beberapa kali Lasno mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan, sebelum mengakhiri semua ceritanya. Sedikit tenang jiwa Lasno setelah meneguk segelas air putih yang di berikan Santri dari Pak Hambali.

"Sudah kuduga. Jika semua ini ada campur tangan, dari jiwa-jiwa hitam." ujar Pak Hambali, sembari menarik nafas berat.

Perlahan Pak Hambali bangkit, tanganya menyilang ke belakang dan menumpukan kedua telapak tanganya.

Matanya menatap hampa ke arah jendela kayu yang terbuka, seperti tengah memperhatikan beberapa orang yang sedia mempersiapkan pemandian jenazah Mbok Tayem.

"Pak Lasno, kapan-kapan bisa ke tempat saya, jika bersedia." ucap Pak Hambali sambil mengucapkan alamat kediamannya.

Lasno menganggukan kepala dan sempat ingin mengucapkan sesuatu, tetapi urung. Ketika suara gaduh dari luar membuat dan menarik perhatian semua orang yang ada di dalam, termasuk Pak Hambali.

Nampak iringan puluhan orang yang baru saja tiba, sembari memikul sesuatu, di sambut jerit tangis beberapa perempuan yang menanti dan berdiri di halaman. Suasana duka seketika menyelimuti kediaman sederhana Mbok Tayem, yang di huni empat orang, termasuk Mbok Tayem sendiri.

Isakan dan kesedihan juga begitu terasa dari beberapa tetangga yang ikut menyaksikan, saat sebujur tubuh tua, terbungkus tikar anyaman, di turunkan dari keranda darurat terbuat dari bambu. Semakin menyayat jerit tangis terdengar, ketika tikar pembungkus mayat Mbok Tayem di buka.

Antara kesedihan mendalam dan takut, melihat kondisi mayat Mbok Tayem. Tubuhnya membiru, dgn mata melotot keatas. Jari-jari kedua tanganya yang mencengkram lehernya sendiri, kaku menegang, hingga tak mampu di rengkuhkan. Membuat beberapa orang merasa ngeri dan memalingkan wajahnya.

"Innalillahi wa inna illaihi roji'un...." ucap Pak Hambali saat mendekat dan di ikuti beberapa orang, termasuk Lasno.

"Kita segerakan saja untuk mengurus jenazah Mbok Tayem." seru Pak Hambali, pada beberapa orang yang langsung beranjak.

"Pak Lasno, tolong Bapak ikut kami mengurus jenazah Mbok Tayem. Masih banyak yang akan saya sampaikan pada Pak Lasno, tapi bukan di sini." ucap Pak Hambali, setengah berbisik.

Lasno mengangguk, seraya mengiyakan ucapan lirih Pak Hambali. Namun, ketika Pak Hambali berlalu dari sampingnya, mata Lasno terbelalak kaget. Tubuhnya sebentar kemudian terasa dingin.

Beberapa kali matanya di kerjapkan, seperti ingin memastikan, bahwa satu sosok yang sedang ia lihat hanya sebuah bayangan hampa.

"Gak mungkin!" gumam Lasno lirih.

Ia seperti tak percaya dengan apa yang di lihat matanya. Apalagi, saat itu sosok yang ia lihat tengah berdiri adalah, sosok yang baru saja di angkat untuk di sucikan.

Bayang-Bayang sosok Mbok Tayem masih terus membekas dalam benak Lasno. Meski sudah beberapa kali sebuah doa yang di ajarkan singkat oleh Kiay Hambali ia baca, namun masih saja jiwanya di liputi ketakutan.

Keresahan Lasno semakin membuncah, saat senja semakin meredup menandakan waktu bakal berganti petang. Yang pada akhirnya, membuatnya menyerah. Ia tak kuasa lagi menahan letupan kecemasan, hingga memutuskan untuk mendatangi kediaman Kiay Hambali, saat itu juga.

Di pacunya mobil lawas yang ia dapat dari sang menantu. Tak perduli dengan suasana alam yang mulai terselimuti mendung, menambah waktu semakin cepat merengkuh gelap.

Suara Azdan Maghrib yang terdengar berkumandang di sisi kanan kiri jalan saat melewati Masjid atau pun mushola kecil, sedikit menyejukan nuansa hati Lasno yang tengah di rundung kalut dan takut. Sampai terbersit dalam hatinya untuk berhenti dan ikut menunaiakan kewajiban.

Namun sayang, ada bisikan lain yang lebih kuat, hingga membuatnya urung melaksanakan niatnya.

Sejenak Lasno melambatkan laju mobilnya saat tiba di sebuah persimpangan. Wajahnya mengkerut, mengingat kembali ucapan Pak Hambali yang menyebut tempat kediamannya.

Setelah beberapa detik berpikir, Lasno meneruskan perjalanannya dengan memutar stir kemudi ke kiri. Melewati jalan berkerikil dengan penerangan cahaya dari lampu-lampu teras rumah warga di sisi kanan kiri. Tak ada keanehan di rasa Lasno saat itu.

Ia tetap fokus dengan menatap lurus ke depan untuk menghindari jalanan berlubang.

Sampai akhirnya, konsentrasi Lasno sedikit pecah oleh kabut-kabut tipis yang tiba-tiba muncul, bebarengan dengan jatuhnya rintik gerimis.

Jarak pandang yang pendek, mulai membuat kesulitan Lasno untuk menghindari lubang-lubang jalan, yang ia rasa semakin banyak di jumpai. Sampai beberapa kali mobilnya harus berhenti, hanya sekedar mengangkat tenaga agar bisa melewati kubangan yang lumayan dalam.

Lasno mulai merasakan kejanggalan, saat melewati gapura kecil bertuliskan Jawa Kuno. Keanehan semakin ia rasa, setelah jalanan yang ia lewati, berubah lurus dan rata tanpa lubang kubangan dan kerikil.

Keraguan seketika muncul dalam benak Lasno, sampai memaksanya menghentikan laju mobil dan menepi di sebelah kiri.

Hening dan sunyi Lasno rasakan tempat sekitar. Hampir tak ada yang bisa ia lihat kecuali kabut tipis dalam kegelapan.

Di tambah hawa lembab sangat di rasa Lasno, saat kepalanya keluar dari kaca samping mobil untuk meyakinkan keraguannya, yang saat itu begitu kuat menyeruak.

Belum sempat Lasno berpikir lebih jauh, ia sudah di kejutkan dengan bau wangi kembang Kamboja dan mawar, begitu pekat menerjang Indra penciumanya.

Bulu halus di tengkuk Lasno meremang. Matanya mengedar mencari sumber wewangian yang dirasa amat dekat dengan keberadaanya.

Sayang, hanya hembusan angin dingin yang menerpa wajahnya, semakin membuat jiwanya tercekam. Hingga beberapa saat Lasno berpikir, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk memutar kembali mobil dan berbalik arah.

Namun, baru saja Lasno berhasil memutar mobil dan ingin meninggalkan tempat yang rasa aneh, ia di kejutkan dengan sesosok bayangan, yang terlihat dari sorot lampu mobilnya.

Jantung Lasno berdebar-debar ketika bayangan itu terlihat melangkah mendekati mobilnya yang terpaksa ia hentikan. Matanya tak lepas menatapi bayangan yang semakin dekat, semakin jelas memperlihatkan wujud utuh sesosok wanita cantik berkemben kain batik bercorak.

Lasno terkesiap seolah tak percaya, mendapati perempuan seorang diri di tempat aneh nan gelap. Apalagi, perempuan yang tengah melangkah lenggak lenggok dengan anggunya, terlihat sangat cantik.

Rambutnya panjang sepinggang tanpa terikat, menambah ke ayuanya saat tertiup angin lembut menggerainya ke belakang, bersama setangkai mawar yang terselip di telinganya.

"Siapa sampeyan? Kenapa malam-malam begini di sini dan sendiri?" tanya Lasno, pada sosok wanita yang berhenti dua meteran dari mobilnya.

"Seharusnya saya yang bertanya! Kenapa kamu berbalik arah?" sahutnya yang balik bertanya.
Lasno sedikit heran melihat sang perempuan bisa tau ia akan berbalik arah.

"Knp? Knp kamu ragu? Apa kamu tak ingin nantinya bisa bersama dgn Anak dan Istrimu?" Berdesir darah Lasno mendengar penuturan sosok wanita itu. Jantungnya kembali berdegup kencang. Matanya tajam menatap sosok wanita yang tengah menyunggingkan seutas senyum kecil dari sudut bibirnya

"Siapa Kamu! Dan apa urusanmu dengan keluargaku!" tanya Lasno tegas.

Tawa keras seketika menggema, membuat Lasno semakin yakin jika sosok wanita itu bukanlah manusia. Apalagi Lasno juga baru sadar, bau wangi Bunga Kamboja dan Mawar, berasal dari sosok wanita tersebut.

Keringat mulai mengucur dari tubuh Lasno. Wajahnya memucat dan mulai kaku saat rasa takut menguasai jiwanya.

"Cepat! Tinggalkan tempat itu." Tercekat Lasno mendengar suara nyaring di telinganya. Suara yang tak asing, namun tanpa wujud, membuat Lasno bingung.

Sementara sosok wanita yang baru saja menghentikan tawa kerasnya, sekejap mata kemudian menatap nyalang pada Lasno.

"Sebentar lagi, Kamu akan ikut menghuni Istanaku. Setelah anakmu menjadi ABDI INANGku!" seru sosok wanita itu kembali, sembari menyeringai sinis.

Gemetar tubuh Lasno. Tubuhnya dingin. Terbayang wajah anaknya yang tengah mengecap bahagia dengan kelahiran anak pertamanya. Terbayang wajah istrinya yang juga ikut merasakan satu kebahagiaan. Namun, kini ada sosok iblis yang ingin merampas mereka.

"Cepat Lasno! Tinggalkan tempat itu!"

Tersentak Lasno mendengar kembali suara keras tanpa wujud. Sejenak Lasno terdiam berpikir, sebelum kakinya menginjak kuat pedal gas, membuat mobil lawasnya menggerung keras.

Lasno sempat melirik sosok wanita, yang masih berdiri sambil menyisir rambut hitamnya dengan jari-jari tangan. Expresi wajahnya datar, seolah tak perduli dengan Lasno yang siap menancap laju mobilnya.

Decitan roda-roda mobil yang terdengar memekakkan telinga, memecah kesunyian gelap malam pekat. Di mana Lasno yang tengah di landa ketakutan, memacu laju mobilnya begitu kencang. Berkejaran dengan suara tawa nyaring sosok perempuan yang seperti terus mengikutinya di belakang.

Hingga sampai beberapa saat lamanya, Lasno yang merasa mobilnya sudah melaju begitu kencang, tapi seolah tak beranjak dari tempat pertama ia menepikan.

Menyadari hal itu, Lasno menghentikan mobilnya. Wajahnya menegang. Saat matanya menatap sekitaran tempat yang sama persis dengan tempat awal ia curigai.

"Kamu tak akan bisa keluar dari tempat ini!"

Satu suara pelan, tapi sanggup menghentakkan Lasno. Perlahan kepala Lasno memutar untuk melihat dan memastikan Sang pemilik suara.

Wajah Lasno mempias, guratan ketakutan terpancar jelas setelah melihat senyum seringai dari sosok wanita bertangkai bunga mawar, sudah duduk di jok belakang mobil.

Lasno membalikan kembali kepalanya, tapi lagi-lagi, pemandangan menakutkan terpajang di depan mobil, yang masih menyala dua buah lampu dengan cahaya putihnya. Mata Lasno kembali melotot dengan tubuh gemetar.

Lututnya menggigil kuat, mendapati wanita tua berdiri tepat di depan seperti sengaja menghadang.

Sorot mata wanita tua bertapi kain jarik tajam menyilau. Bibirnya meringis, menunjukan deretan gigi hitamnya.

Rambutnya yang panjang beruban, tergerai ke depan menutupi sebagian wajahnya, dan sesekali tersibak angin menampakan utuh wajah seramnya.

"Mbok Tayem," gumam Lasno.

Lasno benar-benar dalam titik kepasrahan. Tak ada lagi yang mampu ia perbuat. Tubuhnya seolah sudah tak bertulang, mendapati dua sosok berada di depan dan belakangnya.

Lasno memejamkan matanya, siap menerima apapun yang bakal di lakukan dua sosok perempuan itu, sebelum satu bisikan seperti memberinya satu kekuatan kembali.

Bisikan dari suara berat yang langsung bisa di bayangkan wajah pemiliknya oleh Lasno. Hingga tanpa sadar, mulut Lasno yang baru saja terkunci, seketika bibirnya bergerak naik turun seperti melafalkan sesuatu.

Sampai beberapa saat lamanya, Lasno yang masih tercekam membuka matanya. Meski belum berani menoleh, namun Lasno masih yakin, jika sosok wanita ayu berkemben masih berada di jok belakang. Tercium dari wangi bunga mawar dan kamboja yang begitu menyengat.

Lasno terpaku diam. Ada yang lain di rasa dalam dirinya, seperti dua kekuatan sedang tarik menarik. Membuat dadanya bergemuruh, dengan nafas memburu, sesak.

Seringaian tajam dari sosok Mbok Tayem, yang masih menatapi Lasno, seketika sirna. Berganti Auman dan geraman, manakala siluet-siluet putih, tiba-tiba saja muncul menabraknya. Begitu juga yang terjadi dengan sosok wanita berkemben.

Sosoknya yang sudah berada di luar mobil Lasno, mengeluarkan bentakan-bentakan keras penuh amarah pada beberapa siluet putih yang mengurungnya.

Tempat gelap berhawa lembab yang tadinya sunyi, kini berubah riuh ramai. Kilatan-kilatan bergantian menyambar antara putih dan hitam, membuat Lasno yang menyaksikan dengan mata telanjangnya, menggigil ketakutan.

"Cepat kamu tinggalkan tempat itu!" Satu suara keras, kembali menggema di telinga Lasno. Membuatnya tersentak dari ketakutan. Wajah pucatnya sejenak berpaling dengan mata mengedar, mencoba mencari pemilik suara.

Namun, tak ada siapapun yang bisa ia lihat, kecuali bayang-bayang hitam dan putih yang tengah bergumul.

"Cepat pergi! Sebelum terlambat!" kembali suara itu terdengar keras, membuat Lasno tersadar.

Tanpa menunggu ketiga kalinya, Lasno segera menginjak gas mobilnya kuat-kuat. Tak perduli dengan bayangan yang riuh menghadangnya. Tak perduli dengan geraman dan umpatan sebagai letupan amarah, saat mobil tuanya melaju, menerobos siluet hitam dan putih tanpa tersentuh.

Kali ini Lasno benar-benar yakin dengan jalan yang ia lalui. Meski masih begitu gugup penuh ketakutan, tapi satu kekuatan seperti menuntunya untuk segera bisa keluar dari tempat itu. Tak sedikitpun telapak kaki Lasno menginjak rem,

walaupun jalan yang di laluinya penuh lobang, membuat tubuhnya terguncang. Tapi, guncangan jiwa yang ia rasakan jauh lebih dahsyat, sehingga ia tak memperdulikan apapun meski kadang kepalanya beberapa kali terbentur bagian-bagian dalam mobilnya.

Entah sudah berapa puluh kilo meter dan berapa puluh menit ia lalui dengan penuh ketakutan. Sampai akhirnya, ia bertemu sebuah persimpangan jalan, membuatnya melambatkan laju kendaraanya.

Sedikit kelegaan terpancar dari raut basah wajah Lasno, saat menepikan Mobilnya ke sebelah kiri jalan, sebelum masuk jalan simpang. Nafasnya masih kencang memburu ketika ia mengusap buliran keringat di wajah dan lehernya.

Tanpa menyadari dua pasang mata, tengah memperhatikanya di balik gelapnya seberang jalan.

Lasno sempat menghempaskan tubuhnya di kursi kemudi, sebelum kembali tersentak oleh satu suara yang sudah menuntunya keluar dari tempat asing.

"Jangan sia-siakan waktumu!"

Lasno terkesiap kaget. Saat kepalanya tegak, matanya menangkap siluet putih yang berlalu cepat, menembus pekatnya malam ke arah kanan persimpangan.

"Ikuti apa yang kamu lihat, sekarang!" ucap suara yang sedari awal Lasno selalu dengar, menuntunya kembali.

Lasno yang baru menyadari jika dirinya belum aman, langsung melajukan Mobilnya. Meskipun siluet putih yang sempat ia lihat, sudah tak terlihat kelebatanya, namun Lasno yakin jika jalan yang kini di laluinya benar dari petunjuk suara itu.

Lasno sempat terkejut, setelah menempuh beberapa puluh menit perjalanan, ia nampak mengenali jalanan yang sedang di tapaki. Sebuah jalan yang baru tadi pagi ia lalui dan memang ia tuju kembali untuk bertamu ke rumah Pak Hambali.

Betapa ngerinya Lasno membayangkan kembali peristiwa yang baru beberapa jam berlalu. Ia sempat tak habis pikir, bagaimana ia bisa masuk tempat asing berhawa lembab penuh kengerian yang hampir membuatnya tak bisa kembali.

Berpikir sampai di situ, Lasno ingin segera bertemu dengan Pak Hambali. Di sisi lain, ada satu pertanyaan yang seketika masuk dalam benaknya, yaitu pemilik suara yang sudah menuntunya. Sebab Lasno tau dan hafal dengan sang pemilik suara, namun belum tau keberadaan sosok tersebut.

Tak terasa perjalanan Lasno sudah memasuki persimpangan kembali. Yang ia tau salah satunya menuju rumah Mbok Tayem, tapi kali ini, ia mengambil jalan berlawanan, yang tampak lebih lebar. Meski terlihat sunyi dan sepi, namun suasana tenang begitu di rasakan Lasno.

Ketenangan dan kelegaan Lasno sebentar kemudian kembali berganti ketegangan. Saat ia berjarak beberapa meter dari sebuah gapura bertuliskan huruf Arab, tiba-tiba saja satu dentuman lumayan keras terdengar di belakang mobilnya.

Lasno yang melihat kebelakang dari kaca spionya, terkejut bukan main, ketika matanya menangkap dua sosok wanita tua berdiri berdampingan, dengan salah satu dari mereka memegang sudut kanan mobilnya.

Sorot mata dua wanita tua yang Lasno kenal, tampak merah menyala, menunjukan satu amarah terpendam yang siap di letupkan.

Lasno yang kembali ketakutan, bingung dan terdiam kaku. Jantungnya berdegup kencang saat mobilnya tak mampu lagi berjalan, meski berkali-kali ia injak gas kuat-kuat, namun hanya deru mesin menggerung yang terdengar.

Apalagi, ia melihat dari kaca spion dua sosok wanita yang ia kenal, berjalan mendekatinya.

Seringaian-Seringaian sinis nan sadis dari bibir dan mata dua sosok itu membuat darah Lasno seolah berhenti mengalir.

Wajahnya pucat pasi dengan keringat kembali membasahi seluruh tubuhnya, melihat kengerian dua sosok berbau wangi bunga kamboja, tinggal beberapa langkah dari tempatnya.

Nasib baik rupanya masih menaungi Lasno. Saat beberapa jengkal lagi tangan-tangan berkuku tajam dua sosok wanita tua itu sampai pada leher Lasno, seberkas cahaya putih lebih dulu menghantam keduanya.

Lengkingan jeritan melolong dan menyayat, sejenak membuat Lasno terpaku. Merinding seluruh tubuhnya, menyaksikan kejadian yang begitu cepat. Matanya mengerjap seraya memalingkan wajahnya.

Ketika di lihatnya dua sosok wanita tua, terpental dan terguling sembari menjerit serta mengepulkan asap dari tubuh keduanya.

"Turun dan masuklah ke dalam gapura!"

Lasno yang tengah ketakutan dalam kengerian, seketika beranjak membuka pintu mobil dan turun, setelah mendengar kembali suara yang amat di kenalnya. Setengah berlari Lasno meninggalkan mobil dan dua sosok yang masih terguling mulai menghitam dengan bau gosong mulai menyengat.

Lasno terus melangkah cepat. Tak perduli lagi dengan suara jeritan dan geraman yang tiba-tiba riuh ramai di belakangnya. Tubuhnya sudah seperti tak bertulang saat langkahnya sampai di depan sebuah bangunan layaknya joglo, yang masih terang penuh pencahayaan dari beberapa lampu.

Kakinya sudah tak kuasa berpijak, saat akan menapak naik ke atas lantai Joglo yang sedikit bertingkat. Tubuhnya roboh tersungkur dan tersimpuh tak berdaya. Matanya nanar mengitari sekeliling bangunan, sebelum isi semua pandannganya berubah gelap gulita.

***

"Di mana Aku?"

Mungkin pertanyaan ini yang pertama terbersit dalam pikiran Lasno, saat matanya terbuka, mendapati tubuhnya sendiri terbaring di atas Ambal tebal berselimut kain putih.

Harum aroma cendana yang memenuhi ruangan bersih nan rapi, membuat ketenangan tersendiri dalam batin Lasno.

Lama Lasno terdiam dalam pembaringan. Matanya menatapi atap putih plapon kamar dalam ruangan.

Menikmati hawa sejuk mendamaikan, sebelum derap langkah kaki terdengar menghenyakkanya.

"Bapak sudah bangun?" ucap seorang pemuda berkopiah, yang baru masuk dan melihat Lasno memalingkan wajahnya dengan mata terbuka.

"Dimana saya?" sahut Lasno, balik bertanya.

"Panjenengan di Pondok Abah Hambali, Pak." jawab Sang Pemuda sambil menunduk.

Lasno seketika tersentak. Meski tubuhnya masih terasa lunglai, ia paksa bangkit dan mendekati Sang Pemuda.

"Di mana Pak Hambali, Kang?" kembali Lasno bertanya seperti panik.

Sang Pemuda bersarung yang melihat kepanikan dalam diri Lasno, terdiam sambil menatap lekat wajah pucat Lasno. Tanganya yang tengah menyangga nampan, segera menyerahkan segelas air kekuningan pada Lasno.

"Monggo, di minum dulu, Pak. Sebelum saya antar ke tempat Abah." ucap Sang Pemuda, sambil mempersilahkan dengan jempol tangan kanannya sebagai isyarat.

Lasno yang menerima gelas terasa hangat, mengangguk pelan, sebelum meneguk habis air kekuningan dalam gelas yang beraroma Jahe. Kesegaran seketika menelusup persendian tulang Lasno. Memantapkan langkahnya, mengikuti Sang Pemuda dari belakang.

Sampai pd ruangan bercahaya remang, Lasno terperanjat kaget, melihat dua sosok berjubah putih dengan salah satu di antaranya tengah terbaring. Sosok yg sedari awal membantu Lasno keluar dari lingkaran Iblis, meski hanya suaranya, kini terlihat lemah dan pucat dalam pembaringan.

"Pakde Ilyas!" seru Lasno, menatap tubuh sepuh yang terbujur di samping Pak Hambali.

"Pak Lasno, mari... silahkan masuk." sahut Pak Hambali dengan ramah, penuh wibawa.

Lasno melangkah pelan, meninggalkan Pemuda yang mengantarnya di depan pintu. Matanya tak lepas menatap tubuh pucat Mbah Ilyas yang terbaring beralaskan anyaman janur kuning.

"Pakde, maafkan saya. Maafkan kebodohan saya. Maafkan ketamakan saya." ucap Lasno penuh kesedihan.

Perlahan, wajah tua dengan mata yang awal mengerjab, menoleh dan terbuka. Senyuman kecil tersungging dari sudut bibirnya yang masih terlihat bercak darah mengering, menandakan jika ia tengah mengalami luka dalam.

"Kang Ilyas sudah tak dapat bicara lagi, sejak kejadian di rumahmu. Aku sendiri yang hanya mendengar beritanya dan mendapati keadaan Kang Ilyas sudah seperti ini." Jelas Pak Hambali, dengan wajah menggurat rasa iba.

"Benar Pak, itu terjadi karena saya dulu tak menggubris nasehatnya." sahut Lasno membenarkan, dengan nada penuh penyesalan.

"Sudahlah, Pak Lasno. Bukan waktu yang tepat untuk membahas masa lalu dan sudah terjadi. Sekarang yang terpenting Pak Lasno wajib bersyukur, sudah selamat dari cengkraman Iblis Ratu Hitam.

Dan semua ini tak lepas dari Kuasa ALLAH melalui Kang Ilyas. Meski dirinya sendiri harus menanggung LAYENG TOHPATI." Jelas Pak Hambali, sembari mengusap dada Mbah Ilyas yang membiru.

Lasno makin hanyut dalam kesedihan dan rasa bersalah. Ia menunduk menitikan dua bulir bening kala mendengar erangan lirih Mbah Ilyas. Dadanya bergemuruh menahan nyeri saat tangan Pak Hambali menekan sedikit kuat warna biru pada dada Mbah ilyas,-

yang seketika di sambut muntahan darah hitam, mengalir dari bibir pucat Mbah Ilyas.

"Butuh waktu lama untuk memulihkan kondisi Kang Ilyas. Semoga saja fisik beliau di beri kekuatan oleh ALLAH." Ucap Pak Hambali yang di amini lirih oleh Lasno.

Jiwa Lasno sedikit terguncang, ketika mendengar Mbah Ilyas memaksakan diri menggerakan mulutnya, yang hanya bersuara pelan tanpa adanya kalimat yang jelas. Namun, dari raut wajahnya yang pucat, terlihat rasa khawatir begitu mendalam.

Apalagi, saat tangan lemahnya menggoncang tangan Lasno, seperti menyiratkan satu perintah untuk di segerakan.

Lasno yang sedih bercampur bingung, menatap penuh tanya pada Pak Hambali. Tanganya menggenggam erat jari-jari dingin Mbah Ilyas, menunggu Pak Hambali, yang tertunduk menghela nafas panjang nan berat.

"Kang Ilyas, mengingatkan keselamatan anak dan Istri Pak Lasno. Beliau ingin agar Pak Lasno segera menjemput dan membawa mereka keluar dari Rumah yang sejatinya SAUNG IBLIS RATU HITAM." Ucap Pak Hambali, sedikit menjelaskan apa yang di maksudkan Mbah Ilyas.

Terhenyak Lasno mendengar semua kalimat Pak Hambali. Terngiang kembali ucapan-ucapan sosok wanita berkemben, menyangkut semua keluarganya.

"ABDI INANG."

Tanpa sadar, Lasno bergumam menirukan kalimat yang ia dengar dari sosok wanita yang hampir mencelakainya.

"Dari mana Pak Lasno tau kalimat itu?" sahut Pak Hambali, penasaran.

"Dari sosok wanita, yang saya temui di tempat gelap dan lembab. Juga di tempat di mana suara Pakde Ilyas menuntun Saya hingga bisa keluar serta sampai di sini." Jawab Lasno menjelaskan.

"Sulit... Akan sangat sulit, jika memang keadaanya seperti itu." Gumam Pak Hambali, sembari menatap nanar jauh ke atas.

"Apa maksudnya, Pak?" tanya Lasno dengan raut wajah bingung dan menegang.

"Abdi Inang, adalah istilah tumbal wajib yang sudah di tandai jauh-jauh hari. Sukma calon Abdi Inang, akan di ambil saat waktu yang sudah di tentukan dan di sepakati antara pemuja dan yang memuja.

Jadi, akan sulit untuk menyelamatkanya, sebab tanda calon Abdi Inang, hanya orang-orang tertentu dan ikut terlibat persekutuan itu, yang tau persis letak dan waktunya." Jawab Pak Hambali.

Jantung Lasno seketika berdegup kencang. Terbayang kembali wajah Win, putrinya yg kini dalam bahaya. Tak hanya itu, wajah Lasno seketika merah padam, membayangkan wajah Sudiro, seolah tengah tersenyum mengejek di pelupuk matanya, membuat tanganya mengepal kuat menahan amarah.

"Jangan terbawa hawa nafsu Pak Lasno. Kita masih punya ALLAh. Jadi kita bisa memohon pada-NYA untuk keselamatan Anak dan Istri Bapak." Ucap Pak Hambali menenangkan Lasno yang ia lihat tengah terbawa emosi.

"Lalu bagaimana nasib anak dan Istri saya, Pak? Sudah jelas mereka akan di jadikan Tumbal oleh si keparat Sudiro!" ungkap Lasno dengan suara bergetar.

"Tolong mereka, Pak. Saya mohon...." sambung Lasno dengan suara parau di barengi membungkukan badan.

"INSYA ALLAH, Pak Lasno. Bukan hanya Saya, tapi Bapak juga. Kita akan sama-sama berusaha membebaskan Anak dan Istri Bapak dari lingkaran Syetan, dengan pertolongan dan ijin ALLAH."

Baru saja Pak Hambali menyelesaikan ucapan yang kembali di Amini Lasno, tiba-tiba saja, dari atas atap tempat mereka bercengkrama, terdengar suara gemeratak panjang, dan di susul liringan dahsyat seperti suara benda keras berbenturan.

Lasno dan Pak Hambali yang sama-sama terkejut, sejenak saling pandang, sebelum Pak Hambali yang lebih dulu bangkit, segera beranjak melangkah keluar.

"Kamu jaga di sini! Balutkan kain putih itu pada tubuh Kang Ilyas dan tutup pintu ini rapat. Jangan kemana-mana sebelum aku datang." Pesan Pak Hambali pada dua orang pemuda santrinya, yang baru saja ia panggil dan tiba.

Kedua Pemuda sedikit gondrong yang memakai sarung dan berkopiah lipat, hanya mengangguk dan menunduk. Keduanya tau, jika Sang Guru sudah berpesan seperti itu, bisa di pastikan ada masalah serius dan besar yang sedang terjadi.

"Jangan putus berdzikir selama di dalam." kembali Pak Hambali berpesan, pada dua santrinya.

"Njeh, Bah." Sahut kedua Santri bersamaan yang masih menunduk, sebelum Sang Guru melangkah keluar, di ikuti Lasno di belakangnya.

Hawa panas seketika di rasa Lasno, saat kakinya yang mengikuti langkah Pak Hambali, menapak di halaman samping bangunan yang mirip sebuah Pendopo atau Aula, lumayan besar.

Meskipun tiupan angin sedikit kencang, sampai menggugurkan daun-daun kering dari pepohonan yang sengaja di tanam di sebelah Aula, akan tetapi, tubuh Lasno dan Pak Hambali, tetap saja merasakan gerah, hingga keringat mulai keluar dan merembes, membasahi tubuh keduanya.

Bukan hanya itu, Lasno yang berdiri di belakang Pak Hambali, mulai di landa ketakutan, saat matanya melihat puluhan bayangan hitam melayang dan berputar di atas atap genteng. Yang sebentar kemudian berhenti dan melayang turun seperti tau kedatanganya dan Pak Hambali.

Sejenak suasana hening namun penuh ketegangan. Ketika sosok-sosok hitam berdiri tepat di hadapan Pak Hambali dan Lasno. Lutut Lasno seketika lemas, menatap puluhan sosok hitam bermata bolong, dan berambut panjang acakan menebarkan bau busuk menyengat.

Keringat di tubuhnya seolah enggan untuk berhenti mengucur, sama seperti rasa takutnya yang sulit ia tekan. Tapi Lasno melihat hal berbeda dari Pak Hambali. Sosok berjubah penuh kharisma itu tampak tenang, meski di hadapanya puluhan makhluk mengerikan,

tengah mengerang dengan membuka mulutnya yang tak berahang, menampakan gigi besar mereka bersama dua taring di sudut bibir serta lidah hitam yang panjang menjulur.

Tak ada ketakutan sedikitpun, yang terpancar pada wajah bulat Pak Hambali.

Bahkan, seutas sunggingan senyum masih sempat beliau tunjukan saat makhluk-makhluk itu mulai mendekat ke arahnya.

"Mundurlah, Pak Lasno." perintahnya, saat menyadari kondisi Lasno yang ketakutan.

Tanpa menunggu perintah kedua kali, Lasno segera melangkah mundur. Tubuhnya yang masih basah oleh keringat, tetap terlihat gemetar walaupun kini jarak dengan makhluk-makhluk itu sudah sedikit jauh.

Matanya tak lepas menatapi tubuh Pak Hambali, yang dalam sekejap sudah di kelilingi makhluk-makhluk berlidah panjang menjulur, meneteskan lendir-lendir hitam berbau busuk pekat. Namun, lagi-lagi Lasno di buat terpana oleh sosok Pak Hambali.

Tak sejengkal pun, kaki pengasuh sebuah Pondok Pesantren Salaf itu beranjak dari tempat awalnya berdiri. Beliau masih tampak begitu tenang, menghadapi puluhan makhluk bermata bolong.

Hanya bibirnya yang terus bergerak sama, seperti tengah melafalkan suatu bacaan berulang-ulang, dengan mata mulai terpejam. Hawa panas semakin menyeruak di sekitaran tempat itu,

saat makhluk-makhluk hitam yang mengepung Pak Hambali, berubah bagaikan siluet atau bayangan, bergerak kesana kemari begitu cepat.

Lasno tertegun dengan harap-harap cemas. Matanya terus menatapi sosok hitam bagaikan kilat yang menyerang Pak Hambali, tanpa berkedip.

Dalam hatinya, ia berdoa supaya Pak Hambali bisa mengalahkan makhluk-makhluk peliharaan menantunya.

Hingga beberapa saat kemudian, kilatan-kilatan bercahaya hitam dan putih bersiutan saling berbenturan. Mengeluarkan suara berdesing dan mengobarkan percikan-percikan api,-

sampai membuat tempat sekitar terang benderang.
Lasno beringsut mundur. Wajahnya ikut menegang dengan mata mengedar mencari sosok Pak Hambali yang tertutup cahaya putih dan bayangan hitam.

Lama Lasno menyaksikan kejadian yang terpampang nyata di depanya. Bau busuk menyengat yang mendominasi tempat sekitar, seolah tak di hiraukan. Ia masih terus mencari sosok Pak Hambali dengan penuh kecemasan.

Sampai akhirnya, satu suara keras menggema, menggetarkan seantero lokasi Aula.

"ALLAH HU AKBAR... ALLAH HU AKBAR... ALLAH HU AKBAR...."

Teriakan keras dengan menyebut SANG KHALIK, dari bibir Pak Hambali, seketika menghempaskan puluhan bayangan hitam yang mengelilinginya.

Jeritan demi jeritan susul menyusul, saat siluet hitam berubah kembali menjadi makhluk-makhluk bermata bolong, bertumbangan dengan mengepulkan asap panas berbau gosong menyengat.

Keringat tampak membasahi wajah serta tubuh Pak Hambali, yang masih berdiri tegak sembari menatap makhluk-makhluk hitam, tengah bergulingan dan mengerang kesakitan, sebelum sirna meninggalkan jejak-jejak gosong tubuh mereka.

"ALHAMDULILLAH...." Gumam Pak Hambali, memanjatkan Syukur.

Namun baru saja kedua telapak tangan Pak Hambali mengusap wajah letih penuh kelegaan, setelah berhasil menghanguskan sosok-sosok Makhluk hitam, kembali harus merasakan ketegangan.

Ketika liringan angin panas bergelombang datang secara tiba-tiba menghantam tubuhnya yang berbalut jubah putih. Meski tak sampai merobohkanya, tapi cukup membuat tubuh Pak Hambali tersurut mundur beberapa langkah.

Lantunan kalimat Istighfar beberapa kali terucap dari bibirnya, saat merasakan panas pada dadanya. Pandanganya mengedar mencari pemilik kekuatan besar yang sudah membuat nafasnya terasa sesak.

Namun hingga beberapa saat lamanya, hanya hawa panas mencekam yang di rasa Pak Hambali, tanpa adanya tanda-tanda kemunculan bayangan atau pun sosok yang di carinya.

Pak Hambali terdiam sejenak. Sorot matanya masih mengitari sekitaran tempat kakinya berpijak, seakaan masih menyelami hawa aneh yang terasa lain saat itu. Di tambah wangi bunga Kamboja dan Mawar yang muncul pekat bersliweran, seperti tengah mengitari dirinya.

Pak Hambali yang sepertinya sudah tau dan menyadari keadaan sekitarnya, segera memejamkan matanya. Kedua tanganya bersedekap, dengan bibir kembali bergerak cepat melafalkan lantunan Do'a, guna melawan Aura hitam yang mengurungnya.

Lasno, yang tadinya terlihat cerah, kini kembali tercekat, menyaksikan Pak Hambali terlihat sedikit panik, dan tengah berdiri diam dengan bersedekap.

Beberapa kali ia melihat Pak Hambali memutar tubuhnya seperti tengah menghindari sesuatu. Tapi kali ini mata Lasno tak mampu melihat bayangan atau sosok apapun, kecuali sosok Pak Hambali, yang sudah terbasahi keringatnya sendiri.

Beberapa saat lamanya Lasno menunggu penuh rasa was-was, hingga satu dentuman sangat keras terdengar menggelegar, di barengi lengkingan panjang bersambung erangan berat dari dua sosok yang sama-sama terpental dan roboh terguling di tanah berpasir.

Hening, sesaat tempat berhawa panas yang mulai berkabut. Di mana dua sosok yang terkapar sama-sama berusaha bangkit perlahan. Sedangkan Lasno yang ikut merasakan guncangan menghentak, seketika pucat pasi, mendapati satu sosok yang baru saja terdengar menjerit,-

bangkit dengan wujud teramat mengerikan. Tubuh sosok itu di penuhi bulu-bulu tipis hitam kecoklatan. Matanya merah menyala dengan tanduk sejengkal serta wajah memiliki moncong bergigi besar putih mengkilat.

Pak Hambali yang juga sudah kembali bangkit menatap nanar sesosok makhluk berbau arus menyengat, yang juga tengah menatapnya dengan mata merah, besar dan bulat layaknya mata seekor Kuda.

Tubuhnya sedikit sempoyongan, saat menyeka darah merah dari sudut bibirnya. Namun wajahnya yang pucat, masih terlihat baluran ketenangan.

"Saya harap kamu kembali ke asalmu dan jangan menganggu manusia-manusia yang tak berdosa." ucap tegas Pak Hambali pada sosok yang berjarak beberapa langkah darinya.

Sebuah suara ringkikan di akhiri satu erangan, keluar dari mulut sosok itu, sebagai respon ucapan Pak Hambali, sebelum sosoknya perlahan berubah dan menjelma menjadi sesosok wanita ayu berselip setangkai mawar di telinganya.

"Meskipun aku tak mampu membunuhmu saat ini, tapi jangan harap aku melepaskan Tetalen yang sudah mengikat." kini, bukan suara ringkikan yang terdengar, melainkan suara nyaring dan lantang dari sosok perempuan berambut panjang, berbalut kian kemben.

"KULLU NAFSIN DZAIQOTUL MAUT, TSUMMA ILAINA TURJA'UN... Jika Aku masih bisa bernafas saat ini, itu semata karena ALLAH, sebagai Sang Pemilik, Bukan karena hal lain." dengan tegas Pak Hambali menyahut ucapan dari sosok berbau wangi Mawar berpadu Kamboja.

"Untuk kali ini aku mengalah! Kulepaskan satu jiwa itu sebagai perkenalan kita." Sahut sosok itu sambil menatap Lasno, sebelum melayang dan menghilang di kegelapan malam.

"Tapi rungokno! Iki Sabdoku seng kudu dadi pepileng Siro kabeh! GETEH PANGKEP SENG WES MBANJIRI SAK JERONING KUBANGAN LAWANG ALUSKU, RA BAKAL KENO SIRO ILANGI. MERGO IKU WES DADI TETALEN PATI! YEN SIRO TETEP MEKSO MBUSAK TULISAN ANGKORO SENG TEMANCEP MARANG ALUSE SUM-SUM PUTIH!

BAKAL AKEH NYOWO SENG DADI GANTINE!" Satu suara tanpa wujud, nyaring menggema menembus gendang telinga, sesaat kepergian sosok perempuan yg tak lain, adalah sosok RATU PAMBAYUN. Seolah menjadi satu penjelasan bercampur sebuah peringatan, yg seperti di tujukan pada Pak Hambali.

Tercengang Lasno mendengar suara menggetarkan dari sosok Ratu Pambayun. Sedangkan Pak Hambali, sejenak menarik nafas panjang dan menghempaskanya begitu saja, sebelum bibirnya mengucap Istighfar berulang-ulang.

Dari sinilah di mulainya perang batin yang melibatkan antara hitam dan putih. Semoga masih berkenan mengikuti sampai akhir cerita ini, yang tak bisa sempurna saya jabarkan alur penulisanya.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close