Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KINASIH (Part 2) - Dendam Arwah Perempuan Pekerja Komersil


Tak terasa air mataku menetes, bukan karena aku merasa kasihan atau iba, melainkan rasa takutku sudah memuncak. Aku tidak bisa berbuat apa pun, karena sedari tadi, mungkin 15 menit berjalan, tubuhku kaku tak bisa digerakkan.

Hawa lain tiba-tiba menyeruak masuk ke dalam kamarku, entah ini ada sosok lain yang lebih kuat masuk ke dalam kamar atau jangan-jangan Kinasih mencoba untuk masuk ke dalam tubuhku? Karena ini aku baru pertama kali merasakan ada gejolak yang tak biasa. Seperti menolak energi lain.

Mendadak tubuhku terasa berat, perlahan kakiku melemas, seperti tak bertulang. Dengan perlahan tubuhku roboh ke bawah, pandanganku sayu, mulai kabur dan gelap. Aku tidak bisa melihat apa pun lagi, benar-benar gelap.

***

Terdengar suara orang sedang mengobrol. Ada dua orang kalau tidak salah. Suaranya masih terdengar kecil tapi aku masih bisa mendengarkan dengan jelas. Kalau tidak salah itu suara Murni. Tapi satunya lagi siapa? Suara perempuan yang aku belum pernah mendengarnya, baru kali ini.

Aku mencoba untuk membuka mata, memastikan dengan siapa Murni sedang berbicara. Ketika perlahan kelopak mataku membuka tipis, pandangan masih kabur. Tapi aku bisa menangkap dengan jelas wajah Murni. Sedangkan satu lagi? Siapa dia? Siapa yang sedang duduk di sebelah Murni?

Lantas, aku sekarang dimana? Kenapa ini bukan seperti di kamar? Aku berada di sebuah ruangan kecil, di depanku ada dua kursi yang di isi Murni dan satu perempuan yang tidak aku kenal. Tapi di depan mereka ada kaca lebar membentang.

Sebentar! Ku hembuskan nafas perlahan, mencoba untuk tenang. Sekarang aku bisa mengontrol tubuhku. Perlahan aku buka kembali mataku! Semoga apa yang aku lihat beberapa detik yang lalu, tidak nyata.

Dan benar saja, ketika mataku sudah sepenuhnya membuka, dengan jelas aku melihat di depanku ada Murni dan satu perempuan lagi. Aku sekarang baru bisa menebak kalau aku sedang berada di dalam mobil. Namun sejak kapan aku ada di sini!

aku sedikit terkejut ketika perempuan yang duduk di kursi kemudi itu tiba-tiba menyapa.

“Mbak Lastri sudah sadar!” ucapnya, dengan nada yang biasa saja, tidak menunjukkan ekspresi cemas atau panik.

Sedangkan Murni yang mendengar ucapan perempuan di sebelahnya, lantas berbalik, menoleh ke arahku dengan ekspresi wajah penuh kecemasan. Aku sampai bingung sendiri dengan sikap Murni kali ini. Kenapa dia tiba-tiba berubah drastis, bisa sepedulinya denganku.

Padahal aku tahu sendiri sifat Murni kalau di tempat kerja. Apa dia sudah bertobat? Entahlah, aneh!

“Eh Las, kamu sudah sadar! Alhamdulillah ya Allah!” ucap Murni penuh syukur, setelah sesaat melihatku sudah sadar dan siuman.

“Hah? Aku tidak salah dengar? Dia bisa menyebut Allah?” aku mengerutkan kening, heran dan membatin dan mulai muncul banyak pertanyaan yang ingin aku tanyakan kepada Murni.

“Emangnya aku kenapa, Mur? Kenapa aku tiba-tiba ada di sini bersama kalian?” ucapku bertanya penasaran, karena setelah aku terbangun, sudah bersama dua wanita di depanku.

“Dan kamu, siapa?” sambungku sembari memandang wanita di samping Murni melalui pantulan kaca kabin.

“Ceritanya panjang, Las. Nanti kalau kita sudah sampai, akan aku ceritakan semuanya. Dan ini, kenalkan namanya Mbak Riri. Dia yang sudah menolong kita. Sekarang kita mau menemui seseorang.” Jawab Murni menjelaskan.

Dan selanjutnya yang terjadi, aku bersama mereka melakukan perjalanan malam yang begitu jauh dan melelahkan. Aku masih bisa mengingat kejadian terakhir. Peristiwa dimana aku di temui sosok Kinasih di dalam kamar dan meminta pertolongan.

Namun aku masih belum bisa menebak dengan pasti, sebenarnya Kinasih meminta tolong itu untuk apa? Kenapa arwahnya sampai menemuiku dan meminta tolong! Apa Murni tahu semuanya? Karena di dalam buku cerita itu, Kinasih menuliskan nama Murni. Dan satu nama lelaki!

Aku mencoba mengingat-ingat kembali nama lelaki yang di tuliskan Kinasih.

“Gama!” ucapku spontan.

Tiba-tiba Riri yang sedari tadi mengemudi, menekan rem dalam-dalam, membuat kendaraan yang kami tumpangi berdecit dan berhenti seketika. Untung saja di belakang kendaraan kami tidak ada kendaraan lain, mungkin kalau ada akan lain cerita.

“Hey, kenapa berhenti mendadak, Mbak!” aku terkejut dan seketika membentak Riri.

Riri mulai menoleh ke arahku, dengan wajah heran dan sorot matanya yang mengintimidasi.

“Kamu tadi bilang apa, Las? Gama? Kamu kenal dia?” ucap Riri bertanya dengan nada serius. Terlihat sekali bagaimana wajahnya yang mulai menegang.
“Iya! Gama! Memangnya dia siapa?” tanyaku penasaran.
“Oke! Kita berhenti dulu, kita cari warung!” jawab Riri kemudian.

Murni yang sedari tadi diam, sama sekali tidak menimpali obrolan singkatku dengan Riri, membuat rasa penasaranku semakin membuncah. Apa jangan-jangan Murni ada hubungannya? Tapi yang membuat aku lebih penasaran, kenapa di waktu Kinasih masih hidup dan bekerja di sana,

Murni juga ada? Lama-lama aku bisa gila kalau mikirin hal sinting ini! Gumamku.

Mobil pun melaju kembali, mencari keberadaan warung yang masih buka di jalanan sepi ini. Entah berapa kilo sudah melaju, karena sedari tadi aku tidak menemukan ada warung yang masih buka.

Hingga tak lebih dari satu jam, akhirnya Riri membelokkan setirnya ke kanan, memasuki jalanan yang sedikit lebih lebar dan tentunya lebih gelap. Lampu satu-satunya penerangan hanya dari pantulan lampu mobil yang kami kendarai, membuat suasana lebih mencekam dan mengerikan.

Sejenak Riri tertegun ketika memandangiku, kemudian menghembuskan nafas beratnya, seperti orang ingin memulai pembicaraan yang serius.

“Dulu di sana ada sebuah kampung yg di juluki Kampung Jabang Mayit. Namun setelah aku berpisah dgn Gama, aku sudah tak tahu lagi, masih ada atau tidak. Karena di sini adalah awal aku bertemu dengan Gama. Dan di sini jg awal Gama menceritakan semua peristiwa yg di alami Kinasih.”

“Jadi semua cerita yang kamu baca pada buku itu, Kinasih sudah pernah berhasil melarikan diri dan bertemu dengan Gama. Dia menceritakan semuanya di sini.”

“Benar kan, Mur?” sambung Riri yang menoleh ke arah Murni sedang terdiam.
Murni mengangguk, membenarkan ucapan Riri.

“Aku juga tahu, apa yang ada di pikiranmu. Banyak pertanyaan yang ingin kamu sampaikan, kan? Kenapa dengan Murni? Apa dia tahu semuanya? Ya. Murni tahu semuanya, karena dia yang berhasil membuat Kinasih melarikan diri!”

“Dan satu hal yang perlu kamu tahu! Kinasih belum sepenuhnya meninggal, sukmanya tertahan dan Jasadnya masih ada di sembunyikan oleh manusia biadab itu! Tapi tenang, aku sudah tahu dimana tempatnya.”

“Besok pagi sekali, kita akan mencari cara untuk membebaskan Kinasih sebelum dia membalas dendam! Aku ada teman yang setidaknya bisa membantu untuk mencarikan jalan yang aman. Jadi malam ini sementara kita tidur di dalam mobil.

Aku sengaja berhenti di sini karena dari sudut mana pun, keberadaan kita tidak bisa di ketahui orang lain.” pungkas Riri menutup cerita.

Selepas Riri bercerita, ada rasa kagum dan juga khawatir. Kagum karena dia pemberani dan khawatir dengan masalah apa lagi yang akan terjadi esok harinya, karena sampai selarut ini aku belum juga bisa memejamkan mata.

Aku penasaran dengan sosok Gama. Siapa dia sebenarnya? Ketika pikiranku menduga-duga, suara Riri mengejutkanku.
“Las... buruan tidur. Besok aku ceritakan siapa Gama sebenarnya.” Celetuk Riri sembari menyunggingkan senyumnya.
“Eh... iya Mbak.”

Di samping waktu yang semakin larut, aku yang sedari tadi masih terjaga tak sedikit pun merasa mengantuk. aku perhatikan wajah-wajah mereka yang sedang tertidur pulas, Murni dan Mbak Riri.

Ada rasanya ingin memeluk mereka, seolah pertemuan kali ini seperti keluarga yang sudah terpisah lama. Hingga tak terasa tetesan air bening keluar membasahi pipi. Aku rindu dengan keluargaku.

Seakan langit ikut bersedih, murung menggumpal menjadikan mendung merata. Rintik hujan mulai berjatuhan. Membuat suasana malam ini semakin mencekam. Khususnya bagiku yang masih terjaga sendirian. Aku terbayang, bagaimana sakitnya Kinasih ketika dia di perlakukan seperti binatang.

Ada rasa marah dan juga ingin membalaskan dendamnya, namun aku hanyalah manusia biasa yang di bentak sedikit, langsung menciut mentalku.

“Huuhft....” kuhembuskan nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.

Hingga aku tak sadar, kalau ada sesuatu yang janggal aku temukan. Di luar yang awalnya sebuah hutan, kini di depanku ada sebuah bangunan tua. Aku mengucek mata, untuk memastikan kembali. Ternyata memang benar, di depan sana ada sebuah bangunan tua. Seperti bangunan khas belanda.

Aku penasaran. Aku keluar dari mobil.
Gemericik rintik hujan menghampiri begitu aku keluar dari mobil ini. Bersamaan dengan tapak kakiku di atas rerumputan basah, desir angin seolah menyambut, membawa hawa aneh sekaligus bau besi yang menguar tipis, hingga membuatku mengusap hidung beberapa kali.
Selepas menutup pintu mobil dengan pelan, aku terdiam seraya pandanganku menelisik, menelusuri sunyi yang seolah memerangkap raga dalam kelam yang menghantui.

Menyajikan pemandangan berupa tanah lapang 10 meter persegi berselimut pepohonan raksasa yang menjadi batas pandang, tak bisa lebih jauh lagi.

Kuembuskan napas dalam saat kegelapan semakin kuat menarik, meregangkan otot leher yang kaku, sebelum menggelung rambut panjangku ke atas, masih berusaha menenangkan diri.

“Lastri!”
Sebuah suara membuatku menoleh, berbalik ke arah jendela mobil yang masih terbuka. Membuatku dapat melihat wajah kedua temanku dengan jelas meski dengan cahaya minim.

“Coba buka dulu gerbangnya!” Riri, berambut pendek menunjuk gerbang tua yang menjulang tinggi tepat beberapa langkah di depan mobil kami.
“Nanti aku bantu kalo kamu gak kuat. Aku ambil senter dulu,” lanjutnya sambil memperlihatkan sebuah senter di genggamannya padaku.

Tanpa ragu, aku mengangguk. Mengiyakan karena berpikir itu akan mempersingkat waktu kami.
Kututup kepala dengan hodie jaket sebelum melangkah lebih jauh, mendekati gerbang tua yang menjadi pintu masuk untuk kami bertiga.

Meninggalkan jejak berupa gemerisik rerumputan yang terinjak, sekaligus tanah becek yang mau tak mau harus kulewati.

Tak butuh waktu lama, aku sampai di depan gerbang besi yang kini sudah berkarat dimakan usia.

Namun, masih tampak kokoh dengan ujung runcing yang seolah menantang cakrawala, terlilit tumbuhan sulur berduri tajam.
Membuang napas kasar, aku mengulurkan tangan mencoba menyibak tumbuhan sulur berpenerang pancaran lampu mobil di belakangku.
Geradakk!

Suara besi yang saling bergesek seketika memecah hening yang sempat meraja, membawa bau karat yang sesaat merebak, kemudian menghilang bersama semilir angin malam. Sayangnya gerbang ini masih tak mau bergerak,-

seolah ada yang menahan, tak mau membiarkan kami masuk dan mengetahui rahasia yang tersimpan rapat di baliknya.

Sekali lagi, kutarik napas dalam dan kuembuskan kasar. Mencoba mengalihkan segala bayang-bayang yang memenuhi kepala.

Aku mengangguk, menyalakan senter seraya melangkah paling depan. Menapaki jalan setapak kecil yang ternyata dikelilingi ilalang yang menjulang tinggi. Melenggang tertiup angin yang meremangkan bulu kuduk di leher belakang.

Menoleh ke kanan dan ke kiri. Sejauh ini yang dapat kulihat hanya ilalang, tetesan air, dan yang lainnya.
Terlalu fokus menatap sekitar, aku tersentak kala tangan dingin tiba-tiba mencengkram pada satu tanganku yang menggantung bebas.

Jantungku berdebar kian kencang saat tangan itu semakin erat meremas jemariku yang basah.
Merasakan hawa yang tak biasa, kuputuskan untuk berhenti sejenak, perlahan menoleh pada kaitan tangan. Di balik remang, aku melihat tangan yang pucat, menggenggam telapak tanganku erat.

Mengesampingkan rasa takut yang menyesakkan dada, aku menyisir lengan si pemilik, dan saat itulah kudapati wajah Riri dengan kerutan di dahi dan tautan di kedua alisnya, menatapku bingung.

“Ada apa, Las? Kamu ngerasain sesuatu yang aneh?” Tatapan Riri berubah waspada, menyisir kegelapan di sekitar. Sementara satu tangannya menggenggam tanganku semakin erat.

Kuembuskan napas penuh kelegaan, ternyata hanya aku yang terlalu paranoid dengan keadaan sekitar hingga mengira tangan Riri adalah tangan makhluk lainnya.
“Nggak, nggak apa-apa.” Aku menggeleng dengan senyuman canggung.

“Oke, kita lanjut aja kalo gitu, agak cepet, ya jalannya.” Riri yang sebelumnya berada di paling belakang berjalan melewatiku. “Entar kemaleman kita pulangnya.”

Sedetik kemudian, Riri menarikku yang sejenak masih terfokuskan. Membuatku mengalihkan tatapan dari makhluk yang sebenarnya sejak tadi berdiri di antara pohon pisang. Menatap kami dari kejauhan dengan senyum lebar yang mengerikan.

Entah kenapa, aku tiba-tiba dapat melihat mereka, makhluk tak kasat mata yang sebagian orang tak percaya keberadaannya.

Saat itu ada sesuatu yang melintas di pikiranku. Sebuah gambaran yang aneh.

Ada tiga sosok manusia sedang melakukan sesuatu, namun semua itu terlihat hanya siluet hitam. Seperti sebuah petunjuk.

“Akhirnya sampai juga.” Riri berkacak pinggang, tatapannya tertuju pada rumah tua yang kini berdiri di depan.

Setelah hampir lima belas menit berjalan. Akhirnya kita sampai di depan sebuah rumah kuno berlantai dua yang cukup besar. Dindingnya tampak usang dimakan waktu, dengan pintu dan jendela kayu yang ditumbuhi tanaman rambat hingga hampir menyentuh atap.

Namun, dibalik penampakannya yang membuat bulu kuduk meremang, rumah ini masih terlihat rapi dan kokoh meski tanpa satu pun penerangan. Dengan tangga kayu menuju pintu utama dan dua jendela besar di masing-masing sisinya.

Di halaman depan bagian samping kanan ada pohon beringin besar, sangat tua hingga memiliki sulur-sulur panjang. Sedang di bawahnya ada dua ayunan besi yang bergerak pelan. Berdecit diterpa sapuan angin malam.

"Lastri?"
Aku terhenyak saat Riri menarik lenganku.

Membuyarkan lamunan singkat karena perasaan aneh yang bercampur aduk.
"Gimana?" Ia bertanya lagi.
"Di sana." Aku menyorot cahaya senter pada anak tangga kayu yang menjadi pemisah antara dua pagar di masing-masing sisinya.

"Sejak kita datang, ada dua orang di sana, bersembunyi, lalu mengintip di balik pagar teras itu." Aku mencoba menjelaskan apa yang kulihat, Riri tampak mendengarkan dengan saksama.

Aku menatap Riri, “Sepertinya mereka adalah dalang dari semuanya.” Kini tatapanku kembali pd kedua sosok itu.
Kita saling diam untuk beberapa saat, sebelum akhirnya Riri kembali melangkah menuju rumah belanda yg menjadi tujuan utama. “Yuk, masuk aja. Keburu malem.”
KRIIEEKK....

Suara pintu usang yang perlahan terbuka menggema, mengusir sesaat suasana hening yang mencekam.
Ruang gelap dan udara pengap seketika menyapa. Bau busuk yang bercampur debu tebal serasa menusuk penciuman.

"Ugh!" Riri melenguh. Mengibaskan tangan di depan wajahnya yang sudah berpeluh. Menutup hidung, hingga akhirnya sempat terbatuk beberapa kali.
Sementara aku hanya diam. Menatap berbagai 'kehidupan' malam di balik remang. Semakin jelas saat aku terfokuskan.

Ada beberapa yang membuatku mengerutkan dahi karena saking anehnya. Ada juga yang membuatku merasa ngilu hingga lagi-lagi ingin menitikkan air mata. Ada satu pertanyaan yang membuatku gusar, “kejadian seperti apa yang terkubur dalam di balik memori kelam rumah ini?”

Hingga tanpa aku sadari, Riri sudah menapakkan kakinya jauh ke dalam. Membiarkan rasa penasaran menuntun langkahnya ke arah benda-benda berdebu tebal.

Di sudut sebelah kiri ruangan, ada satu set kursi berukuran cukup besar. Lengkap dengan meja kayu panjang di tengahnya. Di samping kursi itu terdapat guci porselen yang pecah menjadi beberapa bagian, masih berserakan.

Menarik napas panjang, kupaksakan kaki untuk masuk. Mengikuti Riri yang tengah melihat-lihat properti tua tanpa tahu apa yang mengelilingi mereka.

Di dalam rumah ini, aku merasakan sesuatu yang berbeda. Banyak hal yang terasa janggal, namun seolah tak ingin diungkap ke permukaan. Saat aku menelusuri sudut demi sudut, sebuah kejadian berputar samar di kepalaku, membuatku sedikit pusing dan mual.

Tapi karena hanya potongan acak, aku tak dapat memahaminya.

Sejenak menoleh, memastikan Riri baik-baik saja. Aku dikejutkan oleh bunyi yang berdenting keras. Terperanjat, aku langsung terfokus pada jam sebesar almari di sudut ruangan.

Di sana ada seorang perempuan berambut sebahu tengah berdiri memandangiku tajam. Mulutnya seolah bergerak ingin bicara, namun aku belum bisa menangkapnya dengan jelas.

Aku berjalan mendekat, ingin memastikan. Namun, di tengah langkah aku tersentak. Getar ponsel di dalam saku membuatku syok sesaat. Aku mengambilnya, melihat nama di layar yang membuat panggilan. Seketika, keningku penuh kerutan. Entah kenapa perasaanku jadi tidak enak.

"Halo, kamu di mana, Mbak?” Aku mengangkatnya. Bersuara sedikit keras saat melihat nama Riri yang tertampil di sana.
"Seharusnya aku yang tanya itu, Las! Kamu dimana! Aku sama Murni terbangun, kamu sudah gak ada di mobil! Jangan aneh-aneh Lastri! Balik!”

Jantungku seakan berhenti berdetak. Napasku tertahan sejenak, aku masih berusaha mencerna apa yang baru saja Riri katakan.
"Mbak Riri dimana sekarang?" Kini suaraku seperti desahan. Dengan tubuh kaku di ambang pintu usang yang entah sejak kapan tertutup rapat.

"Di mana apanya! Aku di mobil sama Murni! Mana ponselmu baru bisa dihubungi lagi." Kini jantungku berdetak cepat. Tubuhku tremor parah. Bergetar hingga tak sengaja menjatuhkan senter yang aku genggam.

Di sana, Riri masih mengomel tak jelas. Tapi telingaku seolah tuli untuk mendengar suara kerasnya. Aku mendadak linglung dengan keadaan sekitar. Hingga tiba-tiba sesuatu yang dingin menggenggam pergelangan tangan kiriku. Menggoyangkannya pelan, membuatku menoleh ragu-ragu.

Di sampingku ada perempuan yang sedang terpasung tadi tengah terduduk dengan tatapan sayu mengiba. Kemudian tersenyum hingga sudut bibirnya menyentuh telinga. Dengan darah yang terus-menerus mengalir dari lehernya yang terbelah.

Sampai tiba-tiba mataku membola saat kepalanya jatuh karena kibasan parang dari arah belakang dan menggelinding pelan. Berhenti tepat di depanku dengan senyum lebar. Ia berkata,
"Tolong aku, Mbak Lastri!"

***

Aku merasa ada guncangan, seperti ada seseorang yang sedang membangunkanku. Tak lama, satu suara juga lamat-lamat terdengar.

“Mbak! Mbak bangun Mbak!”

Benar! Sekarang aku bisa menangkap suara lelaki itu. Dia sepertinya sedang berusaha membangunkanku. Perlahan aku mencoba untuk membuka mata, memastikan siapa yang ada di sana.

Sesaat mataku sudah terbuka, kudapati seorang lelaki muda sudah berada di hadapanku. Aku masih mencerna kembali kejadian yg baru saja terjadi. Kenapa aku tiba-tiba masuk ke dalam rumah tua dan berakhir di tengah hutan seperti ini. Apalagi sekarang ada satu lelaki yang menolongku.

“Adduuuhh... kepalaku pusing!” gumamku ketika aku mencoba bangkit.
“Tenang, Mbak. Sementara Mbak duduk dulu. Karena apa di alami Mbak tadi, menguras banyak energi.” ucap lelaki di hadapanku, menenangkan.

“Yang aku alami menguras energi, Mas? Maksudnya?” ucapku balik bertanya, karena memang aku tidak paham yang lelaki itu jelaskan.

“Jadi, tadi sukma Mbak di tarik sama Kinasih. Dia mencoba untuk memberitahu semuanya, namun karena ini baru pertama kali Mbak alami, jadi Mbak gak kuat.” Ia menjelaskan.

“Maksudnya gimana, Mas? Aku benar-benar tidak paham. Dan kalau boleh tahu, siapa sampean Mas?” aku kembali menanyakan yang memang tidak aku mengerti maksudnya.
“Rumit Mbak kalau mau di jelaskan, besok Mbak akan tahu sendiri.”

“Ohiya, saya Gama, Mbak.”
Gama? Dia baru saja mengenalkan dirinya Gama? Apa ini lelaki yang di maksud Kinasih? Lantas kenapa dia tiba-tiba saja disini, kenapa dia bisa tahu semua kejadian yang aku alami barusan. Aduh aku benar-benar tidak habis pikir dengan semua ini.

Kenapa aku harus bersinggungan dengan peristiwa seperti ini.
Selagi aku berpikir seperti itu, tiba-tiba ponselku berdering. Aku rogoh saku dan disana tertera nama Riri.

“Halo, Mbak? Kamu dimana?”
“Harusnya aku yang bertanya gitu, Las! Kamu sekarang dimana!” jawab Riri dengan nada panik dan khawatir.

“Aku lagi di sebuah tempat, Mbak. Aku gak tahu ini dimana, yang jelas aku di sini bersama Gama. Dia yang menolongku.” ucapku menjelaskan.

“Hah! Kamu sama Gama? Coba kamu tanyakan ke dia, kamu lagi di tempat apa, biar aku susul ke sana!” sahut Riri tak sabar.

“Sebentar, Mbak.”

“Kita lagi di depan kampung Jabang Mayit, Mbak. Aku rasa kita saja yang menyusul mereka, jangan sampai mereka yang ke sini, bahaya!” celetuk Gama. Sepertinya dia mendengar ucapan Riri dari seberang telefon.
“Las! Lastri!” teriak Riri dari seberang telefon.

“Iya, Mbak. Aku sama Gama yang ke sana. Tunggu kita Mbak! Jangan ke mana-mana!” jawabku memberi perintah Riri untuk tidak pergi dari tempat semula.
“Ya sudah Mbak, ayo kita segera bergegas, keburu malam!” ucapnya, yang seketika membuatku terkejut.

Berarti selama aku mengalami kejadian tadi, aku pingsan selama itu, dari malam hingga menjelang malam. Astaga!
“Sudah Mbak, gak usah di pikirkan lagi, kita harus cepat! Akan saya tunjukan jalannya!” ucap tegas Gama, mengakhiri obrolan.

Setelahnya kita berjalan menyusuri hutan, yang di kanan kiri terdapat pohon-pohon yang menjulang tinggi, hanya kegelapan dan suara serangga malam yang menemani kita selama perjalanan. Tak ada obrolan selama perjalanan.

Sekitar 30 menit kita berjalan, akhirnya kita sampai di tempat mobil Riri berhenti. Di sana aku bisa melihat dengan jelas, bagaimana Riri ketika bertemu dengan Gama. Sepertinya mereka mempunyai hubungan yang dekat. Terlihat bagaimana cara Riri memeluknya.

“Bikin iri aja kamu, Ri”. Gumamku.

Setelah kita bertemu dan mengobrolkan rencana untuk membebaskan Kinasih, aku, Riri dan Murni sempat saling pandang. Bukan masalah jarak yang membebani, melainkan sesuatu yang ada di dalam bangunan yang akan kita datangi.

Gama sempat bercerita tentang rumah tua yang sempat Kinasih ceritakan dulu.

Sebuah bangunan belanda yang sudah di tinggalkan lama dan kisah kelam di dalamnya. Bagaimana cara mereka membuat rumah itu menjadi angker dan wingit.

Membunuh dan memperkosa wanita-wanita yang memang sudah tidak laku di jual. Dan bagaimana para penguasa melakukan persembahan iblis untuk menuju jalan kekayaan dengan cara menumbalkan beberapa korban wanita.

Aku yang terfokus mendengarkan Gama bercerita, baru menyadari bahwa, Mami adalah dalang dari semua kejahatan yang telah ia lakukan selama ini. Ternyata kekayaannya hasil dari pemujaan iblis dengan tumbal pekerjanya sendiri.

Aku beruntung bisa keluar dari rumah bordir itu, kalau saja Murni dan Riri tidak membawaku pergi, mungkin tidak akan ada cerita ini.

Selesai Gama bercerita, Riri kemudian mengajak kita bertiga untuk segera bergegas meninggalkan tempat ini, menuju ke sebuah tempat di mana bakal menjadi sejarah panjang nan kelam.

Mobil warna hitam keluaran tahun 90an yang aku tumpangi, melaju menembus gelap malam. Menyisakan bekas laju roda pada hitam aspal, membawa kami berempat ke sebuah tempat. Tempat di mana seseorang yang bakal menjadi petunjuk jalan.

Sekira 1 jam perjalanan, Riri yang sedari terfokus di kursi kemudi, membelokkan setirnya memasuki jalanan sebuah desa, setelah Gama memberi arahan. Aku masih terdiam dan tertegun, mendapati sebuah desa yang benar-benar baru pertama kali ini aku datangi.

Bagaimana tidak, desa yang cukup terpencil ini berada di tengah hutan.

Sedari perjalanan, setelah mengalami peristiwa gila yang aku rasa di luar logika. Membuat kepalaku semakin bertambah pusing. Benar-benar pusing.

Apalagi sekarang, aku bisa samar-samar melihat makhluk yang seharusnya tidak aku lihat. Apakah ini ketidaksengajaan atau memang aku terlahir seperti in? Entahlah, menurutku ini aneh!

Ada satu yang membuatku tambah aneh lagi. Banyak sekali potongan-potongan kejadian yang bisa aku lihat sekilas. Tapi tetap saja, ini membuatku tak nyaman. Apalagi satu kejadian dimana Kinasih di penggal kepalanya, gambaran itu terulang-ulang, seolah menjadi petunjuk buatku.

“Aaaakkhh...!” aku teriak, mencoba menenangkan diri.

Tapi justru teriakanku itu membuat Gama, Murni dan Riri menoleh ke arahku, membuatku sejenak memandangi wajah mereka.

Apalagi ketika melihat wajah Gama, ada kesan tertarik untuk mendekatinya, memeluknya dan mengajaknya untuk bersenang-senang. Aku tiba-tiba rindu untuk menikmati kenikmatan sesaat, tapi aku ingin mengajak Gama. Apa dia mau?

Perlahan, aku mendekatkan wajahku ke wajah Gama, kemudian mencium bibirnya, sembari melepas celananya. Ternyata Gama juga menikmati bibir tipisku. Aduh, Gama. Aku sudah gak tahan!
“Lastriiiiiii!” teriak Riri, memecah suasana seketika membuyarkan lamunanku.
“Sialan!” gumamku.

“Kamu kenapa teriak-teriak! Dari tadi di panggil malah bengong ngliatin Gama!” ucap Riri sedikit kesal.
“Eh engg...enggak, Mbak. Aku ... aku gapapa.” Jawabku terbata dan berbohong.
“Singkirkan pikiran kotormu! Aku tahu apa yang kamu pikirkan tadi!” celetuk Riri.

“Apaan sih, Mbak!”
Sialan, Riri ini sepertinya bisa menerawangku. Oke! Kali ini aku harus berhati-hati jika berada di dekatnya!
Tak lama, Riri memelankan laju kendaraannya dan berhenti ketika sampai di depan sebuah rumah sederhana.

Aku yang melihat suasana sekitar, tampak terkejut, manakala sedari perjalanan tadi, ternyata hari sudah merangkak pagi.

“Oh sial! Aku belum tidur!” gumamku.
Oh iya aku sampai lupa dengan Murni. Dia juga sama, sedari tadi dia hanya diam seribu bahasa.

Sepertinya Murni mempunyai rencana yang belum aku ketahui. Kira-kira rencana Murni apa, ya?
“Lastri! Kamu ngapain!” kejut Murni, sembari menoyor kepalaku.

Sesampainya kami di sebuah desa, tepatnya di salah satu rumah warga. Rumah dengan bangunan limasan khas jawa, dengan halaman yang bisa di masuki tiga mobil sekaligus. Terlihat nyaman ketika aku memasuki rumah tersebut, setelah si pemilik rumah mempersilahkan masuk.

Tidak ada yang aneh waktu aku memasuki dalam ruangan yang luasnya tak lebih dari 3x3 meter persegi. Hanya beberapa almari kayu dan meja bundar yang mengisinya. Terkesan lebih longgar.

Tak lama setelah kami di persilahkan duduk, satu perempuan mungkin seumuranku, keluar, sembari membawa nampan berisi 5 gelas isi kopi di atasnya. Aku bisa melihat dengan jelas bagaimana wanita itu menyuguhkan minumannya di atas meja,-

layaknya wanita desa pada umumnya, terlihat sopan dan santun. Membuat aku teringat dengan suasana kampung halaman.

Terjadi jeda sejenak, setelah Gama menyelesaikan cerita dan maksud kedatangannya. Sebentar lelaki umur 50an itu menghembuskan nafas beratnya, -

kemudian memandang kami bergantian.
“Apa sudah yakin kalian semua mau ke sana?” lelaki tua itu bertanya, menegaskan sesuatu yang membuatku sedikit penasaran. Sebenarnya ada rahasia apa yang di sembunyikan?

Gama dan Riri masih terlihat fokus, sedangkan aku dan Murni seperti orang bodoh, layaknya anak SD yang di ajarkan pelajaran kehidupan, yang belum mengerti apa-apa.

“Bapak hanya mengingatkan, Nak. Kalau di sana itu bahaya. Kalau saja kalian bisa masuk ke sana, Bapak tidak tahu, apakah kalian bisa keluar dengan selamat atau tidak.”

Terkejut aku seketika, setelah mendengar ucapan bernada peringatan dari Bapak tua tersebut.
“Sebenarnya hubunganku dengan masalah ini apa, Pak? Kenapa aku bisa terseret sampai sejauh ini? Aku bingung dan hampir stres kalau kayak gini.”

“Nduk, satu hal yang perlu kamu tahu. Sebenarnya...” belum juga Bapak itu melanjutkan kalimatnya, terjeda oleh satu suara ledakan yang berasal dari atas atap rumah, yang membuat Bapak itu keluar untuk memastikan.

“Bapak rasa, kalian harus menginap semalam dulu! Karena ini adalah sebuah peringatan! Dan jangan sampai kalian keluar dari rumah ini!” tegas dan berat ucapan bernada peringatan kali ini yang keluar dari Bibir tua miliknya. Seolah ada sesuatu yang mengancam.

“Sebenarnya apa, Pak?” aku bertanya, melanjutkan kalimat Bapak tadi yang sempat terjeda karena suatu hal.

Sejenak Bapak itu terdiam, pandangannya tajam ke arahku. Sebelum satu kalimat lanjutan yang membuatku terkejut bukan main.

Bukan karena ucapan tegas dan beratnya, melainkan satu kalimat bernada kebenaran dari semua peristiwa ini.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close