Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KINASIH (Part 3) - Dendam Arwah Perempuan Pekerja Komersil

Masih bersama Lastri dan Gama.
Seru, Susah, Seram & Tegang. Mereka lalui bersama.


Sejenak Bapak itu terdiam, pandangannya tajam ke arahku. Sebelum satu kalimat lanjutan yang membuatku terkejut bukan main. Bukan karena ucapan tegas dan beratnya, melainkan satu kalimat bernada kebenaran dari semua peristiwa ini.

***

“Kinasih itu... saudaramu, Nduk. Tapi beda ibuk.” Pelan ucapan yang keluar dari bibir orang tua yang biasa di panggil warga setempat Mbah Warno. Sosok orang tua yang di tuakan di desa.
“Saudara saya, Pak!” aku menggeleng, masih tak percaya.

Mbah Warno mengangguk pelan sembari menghembuskan nafas. Seolah apa yang baru saja ia ucapkan mempunyai sejarah cerita yang kelam, terlihat dari pandangannya menatap lurus ke depan, seperti mempunyai beban yang berat.

“Iya, Nduk. Kinasih itu saudaramu tapi beda ibu. Akan Bapak ceritakan nanti, yang penting kalian bermalam dulu di rumah Bapak. Soalnya kedatangan kalian kesini sudah tercium oleh manusia biadab itu, yang Bapak takutkan kalau terjadi hal yang tidak diinginkan terjadi.”

Lagi-lagi Mbah Warno memperingatkan.
“Ya sudah kalau begitu, Mbah. Kami nurut saja.” Sahut Gama menyetujui perintah dari Mbah Warno sekaligus mengakhiri obrolan kami berlima.

***

Tak terasa waktu terus berputar, rasa bosan dan suntuk mulai aku rasakan yang sedari tadi hanya duduk bersender di ruang tamu. Ingin rasanya keluar rumah tapi ingat dengan pesan dari Mbah Warno, kalau aku dan semua teman-temanku tidak di ijinkan untuk keluar rumah.

Sedangkan Murni, Riri dan Gama, mereka baru saja terbangun dari tidurnya.
Aku kemudian bangkit, ingin menghilangkan rasa bosan. Sesekali aku mengitari dalam rumah Mbah Warno, dari ruang tamu hingga dapur, tak ada yang menarik. Hanya beberapa barang perkakas seadanya.

Tiba-tiba aku di kejutkan oleh anaknya Mbah Warno yang mendadak saja muncul dari arah ruangan lain.

“Cari apa, Mbak?” tanya anak perempuan Mbah Warno, saat setelah keluar dari ruangan yang kemudian melihatku.

“Oh... engg... enggak Mbak. Hanya muter-muter saja, bosan.”

“Lha Bapak kemana Mbak, kok saya cari gak ada dari tadi?” sambungku bertanya, membuka obrolan agar anak Mbah Waro tak curiga.

“Bapak lagi keluar Mbak, gak tahu kemana perginya. Kenapa Mbak?” ucapnya balik bertanya.

Namun sebelum aku menjawab pertanyaannya, teralihkan oleh suara decitan dari arah pintu depan, Mbah Warno masuk, kemudian menghempaskan tubuhnya di kursi depan pintu. Membuatku menoleh ke arah sana. Terlihat wajah Mbah Warno yang begitu pucat dan kelelahan,

seperti habis melakukan aktivitas yang berat. Buru-buru aku berlari ke arah Mbah Warno, ingin memastikan.
Sesampainya di sana, Riri, Murni dan Gama yang juga melihat kedatangan Mbah Warno pun juga ikut menghampiri.

Sepertinya mereka juga penasaran, kenapa Mbah Warno datang dengan wajah pucat seperti itu.

“Dari mana...Pak?” ucapku ragu sambil duduk di sebelah Mbah Warno, karena di saat bersamaan, firasatku berkata ada sesuatu yang tidak beres.

Apalagi yang aku dengar dan aku lihat dari Mbah Warno bukanlah sebuah kalimat, melainkan hembusan nafas berat.

“Nduk...”

Kali ini giliranku yg menghela nafas berat. Aku melirik ke arah Riri, Murni dan Gama yang kini sedang memperhatikan Mbah Warno dengan ekspresi wajah tegang.

“Iya, Pak. Bapak kenapa? Kok sepertinya kelelahan?”

“Bapak gakpapa...” ada jeda tercipta beberapa detik saja, sebelum Mbah Warno melanjutkan kalimatnya. “Cuman ada sedikit masalah tadi.”

Ada beberapa kemungkinan buruk yang langsung terlintas di kepalaku.

Tapi di antara kemungkinan itu, aku memilih menanyakan yang paling buruk terlebih dulu, dengan harapan aku langsung mendapat jawaban ‘bukan’.

“Soal Kinasih, Pak?”

Sayangnya, Mbah Warno memberikan jawaban yang sebaliknya.

"Iya, Nduk"

Aku langsung menghempaskan punggungku di senderan kursi kayu. Entah kenapa mulai detik itu aku merasakan ada hawa atau energi lain ketika sebutan nama Kinasih di ucapkan. Seolah ada sesuatu yang tiba-tiba saja membuat rasa khawatir dan peduli mulai menyeruak.

Seperti ada sebuah ikatan batin.
“Awakmu kudu secepate, Nduk...” (Kamu harus cepat, Nduk...)

Suara berat Mbah Warno terdengar begitu jauh sekarang. Aku butuh beberapa waktu untuk mencerna semuanya. Walau aku paham betul apa yang di maksud oleh Mbah Warno dengan permintaan itu.

“Bebaskan Kinasih. Sebelum ritual penumbalan di mulai”

Aku masih di selimuti keraguan. Tapi seakan Mbah Warno mengetahui isi dalam pikiranku, Mbah Warno langsung memberiku jawaban atas ketakutanku.

“Kalau masalah itu, tidak usah khawatir, Nduk. Bapak bantu dari sini. Dan bawalah ini untuk jaga-jaga dari makhluk prewangan wanita biadab itu.” sembari berucap, Mbah Warno memberikanku sebuah bungkusan kecil warna hitam.

“Ini apa, Pak?” aku bertanya penasaran.

“Simpan dulu, itu buat jaga-jaga kalau nanti ada yang mengganggu kalian sewaktu perjalanan ke sana.” pungkas Mbah Warno sebelum meninggalkan ruangan dan masuk ke dalam kamarnya.

“Besok sebelum pergi, kita ke rumah Mas Eko, dia akan memberitahu jalannya. Rumahnya dekat, hanya selisih sepuluh rumah dari sini.” ucap Riri saat setelah Mbah Warno berlalu.

Aku, Muni dan Gama mengangguk, mengiyakan.

Setelah itu tak ada lagi obrolan yang di rasa penting bagiku. Karena malam itu, adalah malam terakhir kami bermalam di rumah Mbah Warno untuk bertamu.

Tak terasa, mataku yang sejak kemarin terjaga, akhirnya mampu terpejam kala siutan angin dingin menerpa wajahku, rasa tenang mulai menghinggapi, hingga tak terasa, perlahan aku terpejam terbuai dalam alunan mimpi.

***

Menjalang pagi, setelah semua sudah siap, aku, Riri, Murni dan Gama berpamitan kepada Mbah Warno untuk menemui Mas Eko. Akhirnya mobil yang kami tumpangi melaju, meninggalkan rumah Mbah Warno menuju rumah terakhir yang bakal menjadi penunjuk jalan. Rumah Mas Eko.

Matahari kian menghangat, cahayanya menerobos masuk ke jendela. Lima belas menit berlalu, lima gelas teh hangat yang tersaji di atas meja ruang tamu kini tinggal separuh. Awalnya, Mas Eko menyambut kami dengan hangat.

Tapi, ketika Riri membuka percakapan dan menjelaskan maksud kedatangannya, Eko langsung menjaga jaraknya.

“Aku mau ke Krajan, Mas. Kita mau ke sana karena ada suatu hal yang penting. Dan maksudku kesini untuk meminta tolong. Karena Mas Eko yang tahu tempatnya.”

Eko tak langsung menjawab. Pandangannya kemudian melihat kami bergantian, seolah ada rasa tak percaya dengan ucapan Riri barusan, yang membuatku semakin tak sabar untuk mendengar jawabannya.

“Gimana, Mas? Bisa bantu?” aku spontan bertanya, setelah Mas Eko tak langsung menjawab pertanyaan Riri.

“Aku kan sudah menjelaskan dulu, Ri? Aku tidak mau ikut campur!” sengit kali ini yang di ucapkan Eko kepada Riri, membuatku semakin menambah penasaran lagi.

Pasalnya, aku bisa melihat ekpresi wajah Eko ketika dia menoleh ke arah Riri. Ada guratan rasa kecewa yang aku tangkap, namun itu baru dugaanku saja.

Aku sebenarnya tak benar-benar mengenal pria ini, namun kalau di lihat dari cara mereka mengobrol, sepertinya mereka sudah berteman lama. Bisa jadi mereka dulu adalah teman satu kerjaan. Atau mereka pernah ada hubungan? Tapi apa mungkin wanita cantik seperti Riri ini mau sama Eko yang bisa di bilang biasa saja ini. Hmmm. Aneh! Batinku.

“Lastri!” lagi-lagi Riri menginterupsiku, menoleh ke arahku.

Atau apakah ini orang yang pernah di ceritakan Riri sebelumnya kepadaku, ya?

Berawal dari perkenalan Riri dan Eko yang sama-sama berprofesi sebagai jurnalis.

Kalau tidak salah, Riri pernah bercerita kepadaku, kalau Eko ini orangnya baik, supel, suka bercanda namun memiliki empati yang tinggi dan keras kepala jika sudah menyangkut urusan jurnalis.

Satu hal lagi yang paling aku ingat, cerita kenangan Riri tentang Eko, bagaimana Eko dengan keras kepala melanjutkan liputan di sebuah desa tiga bulan lalu. Eko tak peduli walau di sana sedang ramai konflik yang di sebabkan pemilihan lurah,

Eko tetap masuk dan meliput yang kabarnya semua anggota yang lain mundur dari lokasi karena intimidasi dari preman setempat.
Hingga sampai Eko bisa keluar dengan selamat dan berkali-kali teleponnya terus menerus menerima pesan ancaman dan panggilan masuk dari nomor tak di kenal.

Bahkan Eko sempat terpaksa tak masuk kantor lantaran di teror oleh orang asing yang mencurigakan mondar-mandir di depan kantor. Sampai julukan Eko si pemberani itu menyebar di seluruh internal kantor.

Hal itulah yang membuat Eko menolak memberikan bantuan kami ketika beberapa waktu lalu Riri meneleponnya. Meminta bantuan untuk memberi petunjuk jalan menuju sebuah desa terpencil yang di duga banyak para korban meninggal akibat persembahan, yang Eko takutkan jika tidak bisa kembali lagi dengan selamat.

Dan aku juga bisa melihatnya dengan jelas bagaimana Riri ini menghormati Eko, bagaimana cara dia membiarkan Eko melanjutkan ceritanya tentang apa yang sebenarnya terjadi.

Dan setiap kali Eko bercerita, setiap kali itu pula aku dibuat terperangah tak percaya.

Benar-benar tak percaya, bahwa aku sudah mengambil tindakan yang terlalu jauh.

“Gara-gara itulah kami kesini, Mas. Kami tidak tahu lagi gimana cara untuk masuk dan mendekat ke lokasi, karena kami benar-benar tidak tahu jalannya.

Jadi kami berempat datang kesini untuk minta tolong sama Mas Eko...” sekarang giliran Gama yang ikut bicara. Eko melirik sedikit ke arahnya sembari tersenyum sinis.

“Kalian ini sok berani masuk ke daerah orang, padahal kalian ini gak tahu apa yang sedang kalian hadapi...”

Jika aku menangkap perkataan dari Mas Eko ini, sepertinya Mas Eko berharap kita semua sadar untuk menjauh dari tempat yang bakal kita kunjungi.

Tapi aku tahu sifat Riri dan Gama, mereka berdua tak gentar, justru kali ini Riri malah membalas dengan nada yang lebih keras.

“Terus kenapa, Mas? Tujuan kita cuman satu. Membantu membebaskan saudara temanku di sana!

Mas Eko juga tahu sendiri kan kemampuanku? Kalau aku sudah sampai sini dan meminta bantuan, itu berarti ada masalah serius!”

“Sekarang coba kalau di balik. Apa yang akan Mas Eko lakukan jika di posisi Lastri!”

Seketika membuat Mas Eko sedikit terjingkat, tampaknya Mas Eko tidak menduga kalau Riri bisa setegas itu. Aku yang sedari tadi hanya menyimak obrolan mereka sampai dibuat terkejut dengan ucapan Riri barusan. Riri memang cocok kalau dijadikan seorang pemimpin. Batinku.

Tercipta suasana hening sejenak, aku merasakan ada energi yang meluap-luap yang keluar dari tubuh Riri. Kalau di lihat dari kerutan wajah Mas Eko, aku bisa menebaknya, kalau ucapan Riri barusan mampu membuat Mas Eko diam yang berarti ada benarnya.

Tapi tak lama Riri kemudian nerocos kembali.
“Sekarang aku dan teman-temanku di sini memang tidak tahu apa-apa! Dan kamu Mas, yang tahu segalanya tentang tempat itu, malah diam saja tidak mau membantu! Miris aku Mas.

Kita yang dari luar daerah saja mau bertindak sejauh ini demi menolong seseorang. Sedangkan yang tahu sejarahnya, yang tahu segalanya tempat itu malah diam saja!”

Aku bisa melihat dengan jelas bagaimana emosinya Riri, sampai Mas Eko yang terlihat mendapatkan tamparan keras dari ucapan Riri pun kini berdiri, matanya melotot, tangannya mengepal, sepertinya Mas Eko mau bertindak dengan kekerasan.

Namun di dahului Gama yang juga ikutan berdiri, kemudian maju mendekat di samping Riri. Memberikan perlindungan jika tiba-tiba Mas Eko mau melayangkan kepalan tangannya ke arah Riri.

Namun sedetik kemudian, aku dan beberapa orang yang ada di dalam ruangan itu seketika menoleh ke arah suara yang sempat membuat kami semua teralih. Di sana, aku melihat seorang wanita muda berpakaian setelan daster warna merah muda sedang berdiri di ambang pintu ruangan lain.

"Cukup! Cukup bikin kacau di sini!!"
Bibirnya bergetar, bahunya naik turun menahan amarah yang begitu membara. Kemudian pandanganku tertuju ke arah kepalan tangan Mas Eko yang mulai melemah, begitu juga dengan tubuhnya yang sekarang ia hempaskan ke kursi. Dia jatuh terduduk.

“Mbak Anisa...” ucap Riri saat setelah wanita yang baru saja mampu mengalihkan kami semua berucap.

Oh ternyata Riri juga kenal dengan istri Mas Eko. Namanya Mbak Anisa.

“Mbak Riri kalau mau ke sana, saya bisa menunjukkan jalannya. Tapi nanti lewat jalur lain yang aman untuk bisa masuk ke lokasi tanpa ketahuan orang yang jaga.

Seketika membuatku menganga, kaget. Kemudian Mas Eko berdiri dan mendekat ke arah istrinya.

Tampaknya Mas Eko tak percaya jika istrinya sampai berucap seperti itu.

“Jangan, Dek...” ucap Mas Eko pelan.

Tapi istrinya bergeming. Dia bahkan tak menatap Eko, dan terus menusukkan pandangan ke arahku dan orang-orang di hadapannya bergantian.

“Saya tahu apa yang di lakukan wanita tua itu. bahkan saya juga kenal dengan orangnya. Karena dulu saya pernah bekerja dengannya sebagai pembantu. Itulah kenapa suami saya tidak mau membantu kalian untuk pergi ke sana. Karena dia tahu, saya keluar karena di selamatkan Mas Eko...”

Anisa menghela nafas panjang agar tangisnya tidak pecah.

Tak lama berselang, setelah Anisa ikut duduk bersama kami, suasana yang awalnya tegang kini berangsur tenang.

“Nanti lewat jalur sana. Itu jalan terakhir kalinya saya dan Mas Eko lewati.” Kata Anisa pelan, namun mampu didengar olehku dan yang lainnya.

Kini aku dan mereka berlima, Gama, Riri Murni, Eko dan Anisa berdiri menghadap hamparan hutan yang dibatasi oleh pagar anyaman bambu.

Kalau menurut Anisa, dulu pagar itu belum ada.
“Dek... biar aku saja yang mengantar mereka, kamu tunggu di rumah.” Ucap Eko ragu.

“Ri, temanmu ada yang mau tinggal di sini, gak? Buat nemenin istriku di rumah?” sambungnya bertanya kepada Riri.

Aku yang mendengar itu, kemudian melirik ke arah mereka berlima bergantian, kemudian terhenti ke arah Murni yang sedari tadi menunjukkan gelagat kurang nyaman.

“Murni, kamu kenapa? Atau kamu mau di sini nemenin Mbak Anisa?” ucapku spontan, menunjuk Murni.

“Eh ... iya Las. Aku baru mau bilang itu. Badanku mendadak gak enak, ini.” Sahut Murni yang mendadak memijit pundaknya sendiri.

“Heleh ... kelakuanmu, Mur. Kelihatan banget kalo takut.” Aku mendekat ke arah murni berbisik.

“Yasudah kalau gitu, nanti kita langsung nerobos masuk ajaa, biar aku yang di depan. Mbak Murni sama istri saya tunggu di rumah gpp kan?” Eko menoleh ke arah yang lain. Semua termasuk aku mengangguk setuju. Sedangkan Murni dan Anisa menunggu di rumah.

Tapi dari balik keremangan malam, aku bisa melihat keresahan Mas Eko dari guratan wajahnya.

“Kenapa Mas? Kok sepertinya khawatir?” aku bertanya dan Mas Eko menoleh ke arahku. “Oh tidak papa, Mbak.” Lagi-lagi Eko ragu untuk menyampaikan keresahannya.

“Dek... doakan Mas, pulangnya selamat.” Eko menoleh ke arah istrinya.

Anisa mendesah. Dahinya berkerut. “Halah Mas, koyo ra reti wae, sampean kan bolang.” (Halah Mas, kayak gak tahu saja, sampean kan bolang) Ucap Anisa yang mampu membuatku dan beberapa orang yang lain tertawa.

“Mas, Mbak...” sapa Anisa. Aku dan yang lain ikut menoleh ke arah Anisa.

“Sebelumnya saya ceritakan sedikit mengenai tempat yang akan kalian datangi. Jalur ini agak berbeda, kalian harus melewati hutan yang lumayan panjang. Hanya ada satu perempatan kecil di dalam sana,

setelah itu kalian harus melewati jalan setapak yang langsung tembus ke desa. Desa yang di huni oleh dukun tua yang bekerja sama dengan wanita yang Mbak Lastri dan Murni kenal Mami tersebut. Atau nama aslinya Bu Ratih. Desa itu masih masuk ke dalam kelurahan Krajan.

Namun secara adat, Desa Krajan agak berbeda. Hampir semua anaknya pergi merantau, terutama yang masih muda. Jadi bisa di bilang hanya tinggal para orang tua saja. Namun setelah insiden berdarah itu, sekarang sudah tidak ada yang mau meninggali,

hanya ada si Dukun tua itu sama Bu Ratih dan beberapa pesuruh lainnya. Sedangkan rumah bordir yang Mbak Lastri dan Murni itu, adalah hasil dari pesugihan yang memakan korban pegawainya.

Nanti setelah melewati pagar bambu itu, jalurnya akan sedikit susah karena benar-benar akan menerobos hutan. Dan jangan lupa untuk mengawasi langkah masing-masing, nanti setelah kurang lebih dua ratus meter, akan menemukan jalan setapak.

Dari situ kalian masih nuruti saja jalannya lalu masuk lagi ke dalam hutan.” Sambung Anisa menjelaskan panjang lebar.

Aku mendekat. “Jadi kita tidak naik mobil, Mbak?”

“Tidak Mbak. Ini adalah jalur setapak dan ini adalah jalur memutar.” Anisa kemudian beralih ke suaminya yang mengangguk paham dan membawa parang di tangannya. “Mas Eko, aku tunggu di rumah, hati-hati di jalan.”

Eko mengacungkan jempol dengan mantab.

"Bismillah. Ayo berangkat!" ucap Eko kemudian, saat setelah semua sudah siap.

Aku kemudian berbaris sesuai urutan yang sudah di sepakati, lalu satu persatu dari kita melompati pagar, masuk ke dalam hutan dan hilang di telan gelapnya hutan.

Aku butuh waktu untuk indera penglihatanku bisa beradaptasi dengan gelapnya malam. Hanya lampu senter yang menjadi satu-satunya alat penerangan selama aku menyusuri hutan ini. Hingga tak lama, Eko meminta untuk mematikan lampu senter,

kini aku dan yang lain benar-benar harus beradaptasi lagi dengan gelap tanpa penerangan.

“Sudah mau sampai. Lampu senter di matikan. Dan kita bicara seperlunya saja.”

Tepat setelah Eko berucap, aku yang di belakang Riri yang juga ikut mendengar seketika berhenti sejenak. Pandanganku menelisik, menelusuri sunyi yang seolah memerangkap, menyajikan pemandangan berupa jalan setapak dan pepohonan tinggi menjulang. Masih di dalam hutan.

Kuhembuskan nafas dalam saat kegelapan semakin kuat menarik, meregangkan oto leher sebelum berjalan kembali ke depan. Aku kemudian berbelok ke kiri dan kembali menerobos hutan. Bagiku, ini adalah perjalanan panjang yang benar-benar menguras tenaga.

Sedangkan Riri, yang aku amati dari belakang, mungkin dia sudah terbiasa dengan hal seperti ini. Apalagi dia sorang jurnalis, waktunya akan lebih banyak ia habiskan untuk di lapangan dan bertemu banyak narasumber.

Tapi tetap saja, selama perjalanan, aku mendengar berkali-kali Riri menghembuskan nafasnya yang sudah mulai berat. Berkali-kali juga aku yang ada di belakangnya harus membatu Riri ketika kewalahan.

Awalnya aku pikir, perjalanan ini mungkin menghabiskan waktu sekitar dua puluh menit, tapi ternyata hampir satu jam juga tak kunjung sampai.

Oh iya aku sampai lupa, di belakangku ada Gama. Dia masih terlihat tenang walau nafasnya juga sudah mulai terengah-engah.

Gama ini orangnya pendiam, tapi sekali dia berucap akan membuat wanita mana pun terpesona dengan suaranya yang lembut, mencerminkan kasih sayang.
Hingga di satu titik, di mana setelah aku keluar dari jalur setapak dan kembali lagi harus menerobos hutan untuk kedua kalinya.

Aku benar-benar sudah kehabisan energi. Berkali-kali aku meminta Mas Eko untuk berhenti untuk istirahat, namun tetap saja hal itu mustahil untuk mengembalikan tenaga. Apalagi aku sampai lupa untuk membawa air minum.

“Gimanaa, Las? Masih bisa lanjut?” Riri berbisik padaku setelah dia membantuku menyenderkan punggungku di salah satu pohon.

Aku tak langsung menjawab. Justru pandangku teralih oleh satu cahaya yang ada di depan sana.

Semakin terfokuskan, mataku menangkap seberkas sinar berwarna putih. Sinar itu jika aku perhatikan dengan lebih tajam, berasal dari lampu yang menggantung di sebuah bangunan berlantai.

Kemudian aku menoleh ke arah Riri, Gama dan Eko, tampaknya mereka juga melemparkan pandangannya ke arah sana. Sepertinya mereka juga menyadari akan satu hal tersebut.

“Kita sudah dekat, Ri. Sekarang gini saja siapa yang mau menunggu di sini? karena gak mungkin kalau kita ke sana semua!”

Oke, sampai di sini aku baru ingat. Bangunan itu sama persis dengan apa yang aku lihat dan masuki kemarin malam sebelum bertemu dengan Gama.

Setidaknya aku sudah memiliki gambaran dalam rumahnya. Sekarang tinggal siapa yang akan menemaniku ke sana. Pikirku demikian.

“Lastri...” aku menoleh ke arah Gama memanggil.
“Kenapa, Mas?”

“Kamu yang sudah pernah melihat rumah itu, dan kamu adalah saudara Kinasih. Mau tidak mau, kamu harus ke sana.”

“I-iya, Mas. Benar. Aku sudah pernah melihat bangunan itu.”

“Sejak kapan kamu Las?” tanya Riri penasaran.

“Malam kemarin Mbak, waktu Mbak Riri panik mencariku. Ceritanya panjang Mbak.” Balasku menjelaskan.

“Oke! Kalau begitu, biar Lastri sama aku yang ke sana. Mbak Riri dan Mas Eko tunggu di sini.” Gama kemudian menoleh ke arah Riri dan Eko. “Gimanaa, kalian setuju?”

Riri dan Eko mengangguk setuju.
Lagi-lagi aku menangkap keresahan di wajah Mas Eko.

“Kenapa lagi Mas?” tanyaku kepada Mas Eko.
“Gakpapa, Mbak. Hati-hati.”

Aku dan Gama kemudian melanjutkan perjalanan, dengan langkah pelan sebisa mungkin untuk meminimalisir suara yang mengundang perhatian.

Dalam perjalanan ini, aku sempat menoleh ke belakang. Menyaksikan jarak yang semakin jauh dan menjauh dari Eko dan Riri, dan semakin mendekat dengan bangunan berlantai dua yang penuh misteri.
“Lastri, berhenti!” Gama memberi tanda kepadaku untuk berhenti.

Sekarang dari tempatku berdiri, aku bisa melihat dengan jelas, bangunan dengan penerangan lampu itu ternyata ada yang menjaganya. Tepatnya di area paling depan yang bersebelahan dengan gerbang besi. Ada dua orang laki-laki bertubuh gempal di sana.

Aku dan Gama mengamati situasi di depan sana dengan seksama.

“Ada dua orang yang jaga, Las. Tubuhnya besar-besar. Gawat ini!” bisik Gama.

Aku tahu Gam, kalau ada yang jaga. Tapi kenapa kalau aku di dekatmu seperti ini, aku merasa nyaman ya? Hihi...

Di antara dua orang yang sedang menjaga itu tampak sedang mengobrol. Tapi bagaimana caranya aku masuk ke sana tanpa ada yang tahu. Aku langsung putar otak dan hal yang ada di pikiran saat itu langsung aku sampaikan kepada Gama.

“Bagaimana kalau dengan cara ini, Mas?” tanyaku kemudian sembari merobek kaos oblong tepat di dadaku.
“Astaga, Las.” Sahut Gama yang langsung mengarahkan pandangannya dengan tatapan tak percaya. Setelah melihatku merobek kaos yang membuat sedikit terlihat lebih seksi.

“Hanya dengan ini Mas yang bisa mengalihkan perhatian mereka.” Aku menoleh ke arah dua orang penjaga di sana.

“Jangan gila kamu! Di tunggu dulu sebentar, Las. Ya kalau itu berhasil, kalau kamu malah di tangkap dan ketahuan itu kamu yang melarikan diri, gimanaa?”

Aku mendecak lidah, mau tidak mau aku harus menunggu, karena pada akhirnya harus aku akui bahwa ide gila ini adalah ide yang sepenuhnya gila dan bodoh. Apalagi aku baru sadar, kalau aku keluar dari rumah bordir itu juga karena bantuan Murni dan Riri.

Aku tidak akan menyia-nyiakan usaha mereka.

Tak lama, aku dan Gama tenggelam dalam kesunyian. Membiarkan suara binatang malam menjadi musik pengiring sembari pandanganku tertuju ke arah bangunan itu.

“Las, kamu takut gak?” tiba-tiba Gama melontarkan pertanyaan yang membuatku kaget, tapi aku tak langsung menjawabnya. Aku memilih diam, walau bulu kudukku terus merinding setiap kali melihat sosok-sosok hitam yang sedari tadi berkelibat di sekitar.

Sepertinya Gama tak peduli dengan diamku. Berikutnya Gama malah melontarkan pertanyaan kedua yang kali ini membuatku harus menoleh.

“Lastri? Ini waktu yang pas untuk menceritakan semuanya kepadamu tentang Kinasih. Kenapa Kinasih bisa seperti itu.”

“Memangnya kenapa, Mas? Apa yang aku baca di buku itu tidak lengkap?”

Gama tersenyum pahit.

“Bertahun-tahun Kinasih kerja di sana, sebenarnya Kinasih itu dijebak oleh orang dalam yang juga kerja di sana.

Ternyata Bu Ratih membuka lowongan pekerjaan itu hanya untuk mencari tumbal tapi dengan embel-embel pekerjaan. Dan Murni tahu sesuatu....”

Tiba-tiba kalimat Gama terhenti, dia tidak meneruskan kalimat berikutnya, manakala aku dan Gama mendengar suara kendaraan seperti truk melintas dari arah depan, tepatnya di bangunan itu. Truk itu kemudian berhenti.

Dan terdengar suara wanita-wanita mengerang kesakitan, tidak hanya satu tapi ada beberapa yang berteriak meminta tolong.

“Aaahhh...toloooong...toloooong...sakiiiiiit”

Aku dan Gama saling pandang. “Denger gak, Mas?” ucapku hampir bersamaan dengan Gama.

“Ayo Las, waktu kita gak banyak!”
Aku dan Gama langsung berdiri. Kita berjalan pelan sembari mengawasi arah jalan setapak yang aku yakini itu menuju arah bangunan, tempat di mana dua penjaga itu sudah sibuk dengan kedatangan truk barusan.

Aku dan Gama sekarang berpacu dgn waktu. Aku tak lagi menghiraukan suara keributan dari wanita2 yang baru saja di siksa di sana. Justru itu malah menguntungkanku dan Gama. Setidaknya aku dan Gama mempunyai kesempatan untuk segera menyelamatkan Kinasih di dalam bangunan itu.

Sesampainya aku di depan pintu gerbang yang masih sama dengan penglihatanku kemarin, namun bedanya di sebelahnya ada gubuk kecil yang baru di bangun. Aku dan Gama bersembunyi di balik gerbang sebelah kanan yang masih tertutup oleh semak belukar.

“Jangan buru-buru, Las.” Gama menoleh ke belakang, nyaris berbisik. Kemudian Gama berdiri mengamati sekitar halaman bangunan. Sepi tak ada lagi penjaga. Tampaknya mereka sedang di sibukkan dengan korban-korban yang akan di ritualkan.

Sekali lagi Gama berdiri dan memastikan kembali.
“Aman, Las! Ayo buruan!”

Aku dan Gama masuk, berjalan nyaris berlari. Hingga aku dan Gama tiba di halaman yang luasnya kira-kira 10 meter persegi, seperti gambaran kemarin.

Aku tiba-tiba terhenyak saat Gama menarik tanganku, membuyarkan lamunan singkat karena perasaan aneh yang bercampur aduk.

“Bukan saatnya untuk melamun, Las. Sekarang di mana ruangan yang kemarin kamu lihat. Dan kita tidak ada waktu banyak untuk menyelamatkan Kinasih!”

sahut Gama dengan nada tegas.

Antara takut dan heran. Ketika aku baru saja masuk ke dalam bangunan. Kali ini aku benar-benar di buat terkejut dengan apa yang ada di hadapanku.

Bukan dari perkakasnya melainkan bercak darah yang sudah mengering sudah memenuhi lantai keramik warna putih yang berdebu. Karena setelah ini, suara jeritan melolong meminta tolong kembali menyeruak masuk ke dalam telingaku.

Aku memejamkan mata, mencoba untuk fokus. Sedangkan Gama masih sibuk dengan pencariannya di sekitar. Hingga tanpa aku sadari, tanganku seperti ada yang menuntun. Aku berjalan mengikuti. Sampai tiba di depan pintu yang tertutup di salah satu ruangan, mataku terbuka.

Di sana, tepatnya di dalam sebuah ruangan tertutup, suara tangisan menyayat kembali terdengar. Aku kemudian menoleh ke belakang untuk memanggil Gama. Tak lama Gama menyusul.

“Mas, dia ada di dalam sini.” aku menunjuk satu ruangan yang firasatku mengatakan kalau Kinasih ada di dalam ruangan ini.

Tak lama, Gama mundur mengambil ancang-ancang dan dgn sekuat tenaga menendang pintu kayu tersebut. Namun percobaan pertama gagal, tapi Gama tidak menyerah.

Kemudian Gama mundur lagi, kali ini mencoba ancang-ancang dengan jarak sedikit jauh. Gama lari kencang, dan Braaak! Pintu kayu terbuka lebar. Tanpa buang waktu, aku dan Gama menyalakan senter dan menerobos masuk ke dalam.

Dan apa yang aku lihat di dalam ruangan ini, tak akan pernah bisa aku lupakan seumur hidup.

“An**ng! Aku berteriak ketika aroma amis bercampur bangkai mengobrak-abrik indera penciumanku, begitu pun dengan Gama yang spontan langsung menutup hidungnya dengan tangan sebelum mengucapkan sebuah nama.

“Mbak Asih...”

Aku bisa melihat bagaimana ekspresi Gama ketika melihat seonggok jasad perempuan yang di duga itu adalah Kinasih, membuat kedua kakinya lemas dan terduduk di lantai. Tangannya kaku, memegang senter yang mengarah tepat di tubuh perempuan di hadapannya.

Seorang perempuan dengan rambut yang sudah memanjang dan tebal dan nyaris awut-awutan, tersenyum ke arahku dan Gama. Sebuah senyuman lebar mengerikan, menampakkan gigi-gigi hitam. Tubuhnya bau amis dan bau bangkai yang keluar dari sayatan-sayatan luka di tubuhnya.

Hingga baju yang di kenakannya, yang Gama yakini itu adalah baju yang terakhir kalinya Gama lihat sebelum adanya peristiwa gila ini. Membuat isi perutnya terpaksa Gama keluarkan lantaran ada rasa jijik.

“Hhihihihi...hihihihi!!” perempuan itu terus terkekeh, seperti binatang yang meringkik. Tangannya menggapai-gapai ke arahku dan gama. Sedangkan lehernya di ikat dengan tali layaknya binatang.

“Astagfirullah...” Gama mendesis dengan mulut bergetar, menyaksikan kebiadaban yang tersaji di hadapannya. Kemudian Gama berjalan mendekat ke arahnya.

Bahkan aku sendiri masih tak mampu bergerak, ketika Gama maju sambil melepas tali yang mengikat leher dan kakinya.

Setelah Gama berhasil membuka ikatan tali, satu pemandangan harus aku saksikan bersama Gama di dalam ruangan itu. Pemandangan yg bagiku itu begitu mengerikan. Tubuh yg sudah tersayat dan mengeluarkan bau busuk itu kemudian berdiri dan menari-nari layaknya seorang penari striptis.

Walaupun satu kakinya miring ke arah berlawanan.
Tanpa harus diberitahu-pun, aku sudah tahu kalau aku harus segera pergi dari tempat ini. Dengan terburu-buru, Gama meraih tubuh Kinasih dan menggendongnya dan berlari kencang keluar dari bangunan.

Sedang tepat di belakangku, Gama mengikuti dengan langkah yang tentu saja tak bisa secepat lariku. Beban yang dibawanya jauh lebih berat.

“Lastri! Jangan cepat-cepat larinya! Tunggu aku!”

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close