Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

WAKTUMU HAMPIR HABIS (Part 2) - Melanggar Petuah

Jangan ke sana jika gelap sudah datang, atau kamu akan rasakan akibatnya


Bagian 2 - Melanggar Petuah

Petualangan Aryo dengan ketiga temannya, Yudi, Rahmat dan Fajar berlanjut

Kicauan burung, terik matahari, dan hembusan angin menyambut kedatangan mereka berempat.

Di awal perjalanan ini, Rahmat berada paling depan, disambung Fajar, Yudi dan Aryo berada di belakang.

Jalanan masih landai di awal pendakian. Ladang penduduk yang masih asri pun tak luput dari pandangan mereka. Sesekali, Aryo memperhatikan gadis-gadis desa tulen yang sedang ikut berkebun orang tuanya.

Wajahnya lugu, dan masih bersih dari hiasan make up membuat Aryo kagum memandangnya.

“Ayu tenan rekk” (Cantik banget) ucap Aryo pelan.

Salah satu diantara gadis itu tersenyum melihat Aryo. Nampaknya, ia menyadari jika ada yang memperhatikannya.

Aryo salah tingkah melihatnya.

“Hati-hati, mas” ucap gadis itu.

“Iya mbak” jawab Aryo sambil tersenyum lebar di wajahnya.

Keramahan warga lereng gunung memang tidak ada duanya.

Dua jam perjalanan mereka tempuh dengan lancar.

Sampai akhirnya, sayup-sayup Aryo mendengar suara alunan gamelan yang entah dari mana asalnya.

Saat itu ia menganggap jika suara gamelan itu berasal dari perkampungan warga di bawah.

Namun, lambat laun suara itu semakin jelas seiring langkahnya yang kian naik. Sambil tetap berjalan, Aryo mulai memperhatikan dan menelisik di setiap sisi hutan yang bisa ia lihat.

Aryo melihat ketiga temannya di depan, sepertinya, mereka tidak mendengarnya.

“Di bawah lagi ada acara, ya?” Tanya Rahmat.

Deggg…….. Aryo terkejut dengan pertanyaannya. Ternyata Rahmat juga mendengarnya

“Acara apa?” Tanya Yudi.

“Nikahan mungkin. Denger aja tuh suaranya”

“Suara apa, mat?” Tanya Fajar.

“Gamelan… Emangnya kalian gak denger?”

Langkah Fajar dan Yudi tiba-tiba terhenti.

“Serius lu, mat?” Yudi penasaran.

Fajar tampak kebingungan.

“Lu denger kan?” Tanya Rahmat pada Aryo.

“Iya, lagi ada acara di bawah kayanya. Udah jalan terus aja udah ayok nanti kita break ngemil di pos depan” ujar Aryo menenangkan teman-temannya.

Awalnya yang saling cakap, tiba-tiba hening. Terlihat raut wajah Yudi dan Fajar yang bingung karena ucapan Rahmat.

Jalanan terjal dan berliku menyambut langkah mereka. Hingga sampailah di tanah sedikit lapang yang cukup untuk mereka beristirahat.

Suara alunan gamelan itu masih terdengar di telinga Aryo. Suaranya kencang. Seperti sedang ada pagelaran seni di sekitaran sini. Aryo melihat Rahmat dan memberi isyarat kepadanya.

Rahmat yang menyadarinya pun hanya diam dan berusaha memalingkan perhatiannya dari suara itu.

“Kata orang-orang dulu, kalau mendengar suara gamelan di hutan. Itu pertanda buruk” celetuk Yudi tiba-tiba, yang entah dari mana teorinya itu.

“Kagak usah ngomong gitu lah” ujar Fajar.

Sambil menghisap seputung rokok yang baru dibakarnya, Aryo mencoba membersihkan segala pikiran negatifnya tentang temuan-temuannya di awal perjalanannya ini.

Setelah istirahat, mereka kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini kabut mulai merangkak naik dari bawah, dan menghalangi penglihatan. Tidak lama dari tempatnya istirahat ternyata pos dua sudah dekat.

“Lanjut yak bang. Baru jalan bentar” ucap Rahmat. Semuanya mengiyakan.

Alunan gamelan yang terus menyertai yang hanya di dengar Aryo dan Rahmat.

Tiba-tiba bau wangi datang bersamaan dengan angin yang tiba-tiba muncul.

Kali ini semuanya menyadarinya.

"Harum... bau parfum siapa ini, ya?" tanya Fajar.

"Iya, gue juga nyium baunya" ucap Yudi.

"Ada pendaki kalik di depan" ujar Yudi.

“Ya udah, jalan lagi aja, nanti juga ketemu pemilik bau wangi ini” ucap Aryo sambil mengajak berjalan lagi.

Kabut tebal membuat mereka berempat sulit bernavigasi, apalagi mencari siapa pemilik bau wangi tadi.

Rahmat yang memimpin perjalanan tidak menghentikan langkahnya. Kabut tebal benar-benar menyulitkan pandangan mereka.

Hingga, tanpa disadari saat Rahmat berhenti untuk sekedar beristirahat, salah satu diantara mereka tidak terlihat di mana batang hidungnya.

“Lho, Fajar kemana?” Tanya Rahmat dan Yudi pada Aryo yang baru menyusul.

“Emang gak sama kalian? Kan tadi di depan” jawabnya.

"Lhah....kagak.... gak sama kita" ucap Rahmat.

“Hmmm… Coba kita tunggu dulu, siapa tau lagi kencing” ujar Yudi.

Lima belas menit berlalu dan Fajar masih belum jelas di mana keberadaannya.

Tubuh Rahmat, Fajar dan Aryo semakin dingin karena terlalu lama berdiam diri diantara kabut yang pekat ini.

“Dimana dah tuh anak” Rahmat mulai gugup.

"Jar…..Jar…..” teriak mereka bertiga memanggil Fajar. Berkali-kali memanggilnya, tapi nampaknya usaha mereka sia-sia. Fajar masih belum terlihat batang hidungnya.

Ryo mulai curiga dan mengait-ngaitkan semuanya. Ia curiga jika kehilangan Fajar ada hubungannya dengan hal-hal di luar nalar.

“Ngerasa gak sih, kalau dari tadi kita seperti ada yang memperhatikan?” ucap Rahmat.

“Maksud elu?” Tanya Yudi.

Aryo hanya diam menyimak

“Banyak lah… Susah buat dijelaskan”
Yudi mulai paham yang dimaksudnya.

Mereka berempat terus mencari Fajar. Kali ini dengan menyisir semak-semak yang berada tak jauh dari trek.

Rehat dulu, mau makan. Yang gak sabar nuliso dewe!

Hingga…

Tiba-tiba…..

“Jar!!! Fajar!!” teriak Aryo.

Ia menemukan Aryo sedang duduk bersender pohon yang jaraknya agak jauh dari trek pendakian.

“Mat! Fajar nih”

Mereka bertiga menghampirinya. Fajar sadar, dan nampaknya tidak ada hal yang kurang di badannya.

Tapi… tapi ada yang janggal di raut wajahnya. Wajahnya pucat. Keringat mengalir di dahinya.

“Jar! Elu kenapa jar?”

Fajar hanya diam melamun. Matanya menyorot tajam ke arah yang hanya tertutup kabut.

Rahmat beberapa kali menampar pipi Fajar sambil memanggil namanya, berharap ia lekas sadar. Tapi usahanya sia-sia. Fajar masih mematung yang entah apa sebabnya.

Aryo membongkar tasnya, ia mengeluarkan kompor dan nesting. Lalu merebus air hangat. Sementara Yudi dan Rahmat membalurkan minyak angin ke Fajar.

Ada rasa takut dalam diri Aryo saat ia berusaha meminumkan air hangat ke mulut Fajar. Ia yakin jika Fajar begini karena ulah mereka yang tak bisa dilihatnya.

Rahmat terlihat mulai mebaca rapalan-rapalan yang Aryo juga tidak tau apa yang dibacanya. Hal yang sama terlihat pada Yudi. Ia berdoa dan meminta pertolongan kepada-Nya.

Hingga kurang lebih satu jam. Fajar menunjukkan perubahannya.

“Mat… Dimana ini?” begitu pertanyaan yang muncul dari mulutnya.

“Jar! Slamet…. Di gunung slamet” jawab Rahmat.

“Elu kenapa, Jar?”

“A….aa…. Aku lupa. Tapi tadi ada orang yang minta tolong” ucap Fajar terbata-bata.

“Siapa?” saut Yudi.

“Perempuan…..Muda….. Tadi di sini. Tapi saat gue ke sini… lupa.. gue lupa…” tuturnya.

Tanpa mereka sadari, kabut mulai terseka. Cahaya matahari pun mulai menunjukkan eksistensinya.

Rahmat, Aryo dan Yudi masih menunggu Fajar pulih. Mereka tidak memaksa untuk lekas berjalan lagi.

"Gue udah gak apa-apa" ucap Fajar sambil menepuk kedua pipinya.

"Serius? gak usah dipaksa kalau emang elu gak kuat" ujar Aryo.

"Tenang aja, aman. Ayok lah, kita udah jauh-jauh nyampe sini"

Mereka bermpat berunding kecil karena insiden ini. Jika dilihat, Fajar memang berangsur membaik dan kesadarannya kembali. Disisi lain, mereka juga khawatir jika ini terjadi lagi.

Cukup lama mereka berempat menimbamg semuanya, hingga berakhir sepakat melanjutkan perjalanannya lagi.

Saat sudah memastikan jika semuanya siap dan aman. Mereka berempat bersiap melanjutkan perjalanan lagi.

Formasi sedikit berubah. Yudi dan Rahmat tukar posisi. Yudi depan dan Rahmat berada di nomer tiga.

“Biar gue bisa ngawasin nih anak” ucap Rahmat sambal menunjuk Fajar. Fajar menyeringai mendengarnya.

Jarum jam pada jam tangan Aryo menunjukkan pukul tiga sore saat ia dan teman-temannya melanjutkan perjalanan.

Mereka kembali menyusuri hutan di bawah terik matahari dan kabut yang sesakli menyikap.

Sebenarnya masih terbesit dalam pikiran Aryo “Apa dan siapa yang dilihat Fajar tadi?” Tapi, ia tidak membiarkan pikirannya itu mengusiknya.

Target mereka berempat adalah pos tiga. Karena hampir mustahil jika mereka bias melewati pos empat Samarantu sebelum gelap datang. Terlebih dengan keadan Fajar yang begini.

Kenapa Aryo, Yudi, Rahmat dan Fajar menghindari pos empat saat gelap? Itu karena, saat mereka tengah sarapan pagi di warung dekat basecamp, mereka dihampiri oleh seorang warga dan mengajak mereka berbincang.

Beliau bernama Pak Gagah, rumah beliau tak jauh dari sini. Katanya, ia baru kembali dari ladangnya, dan ingin beristirahat di sini sambil ngopi.

Di situ Pak Gagah memberikan sebuah petuah. Sebuah petuah jika jangan mendirikan tenda di Pos empat Samarantu.

Bahkan, jika gelap datang dan belum melewati pos empat. Mereka dianjurkan untuk berhenti bermalam dan jangan melanjutkan perjalanan.

Beliau juga menuturkan, jika nama Samarantu berasal dari dua kata “Samar” dan “Hantu” Yang artinya hantu yang tidak terlihat (samar).

Warga setempat memiliki kepercayaan. Jika pos samarantu adalah gerbang kerajaan gaib di gunung slamet. Konon, gerbang tersebut adalah dua pohon yang menjulang tinggi berhadapan hingga membentuk seperti dua gapura atau pintu.

Atas dasar itu, Aryo dan yang lainnya menghindari pos empat samarantu.

Tidak ada yang aneh sejauh ini. Fajar terlihat aman, walau sesekali Rahmat menegurnya saat tengah melamun di perjalanan.

Belum genap sembilan puluh menit perjalanan. Mereka sampai di pos tiga.

“Masih terang gini, kita mau nenda di sini?” tanya Fajar.

“Sok-sok an lu, Jar!” saut Aryo.

“Gimana kalau kita lanjut lagi, kalau 17.30 belum sampai pos 4 kita break bangun tenda. Yang penting ada tanah agak luas, kita camping di situ” usul Fajar pada semuanya.

Setelah menimbang semuanya dan memperhatikan kondisi Fajar yang sepertinya sudah sepenuhnya pulih. Semuanya sepakat dengan pendapat Fajar. Mereka melanjutkan perjalannya lagi menyusuri tanjakan demi tanjakan yang menghadang langkah mereka.

Tapi....

Ternyata...

Tanpa mereka sadari. Keputusan inilah yang akan membawa mereka ke dalam petaka-petaka selanjutnya.

“Semangat… Semangat…” teriak Yudi memberikan semangat kepada tiga temannya.

Aryo dan ketiga temannya tidak putus semangat. Mereka terus menyusur dan berjalan menyusuri jalan setapak menuju puncak.

Namun, saat hampir 17.30 petang, mereka belum juga menemukan tempat yang layak untuk dijadikan bermalam. Langkah mereka ragu untuk melanjutkan. Karena artinya, mereka akan melanggar pantangan Pak Gagah. Mereka berempat berunding, menentukan bagaimana rencana selanjutnya.

“Allahu Akbar… Allahu Akbar” suara adzan terdengar dari masjid perkampungan.

Suara kicauan burung perlahan berganti dengan suara hewan-hewan malam. Gemuruh angin yang menyambar ranting dan daun-daun pepohonan menambah kesan mistik bagi mereka yang mendengarnya.

Suasana yang awalnya terang berkat cahaya matahari, kini menjadi gelap, sangat gelap, seperti gelapnya moral para koruptor di negeri ini.

Cuiihhhh!

“Lanjut?” ucap Rahmat.

“Bismillah…Bismillah… Yokk… Jangan putus memanjatkan doa” terang Aryo
Mereka melanjutkan langkahnya.

Dari sini. Rahmat kembali mengambil alih. Ia berada di depan sebagai leader perjalnan. Diikuti ketiga temannya di belakang.

“Jar! Aman kan?” tanya Aryo.

“Aman, Yo! Tenang”

Tiba-tiba langkah Rahmat melambat. Langkahnya tergopoh-gopoh sangat kelelahan.

“Elu kenapa, Mat?” tanya Fajar.

“Capek aja” jawabnya.

Semuanya terlihat aman. Hingga tiba-tiba Aryo melihat hal aneh pada Rahmat. Diantara gelapnya malam yang hanya dibantu cahaya lampu. Aryo terkejut dengan sesosok anak-anak ukuran balita dengan rambut jarang-jarang sedang bergelantungan di carier Rahmat.

Kulitnya tersayat-sayat penuh darah. Badannya terkatung-katung mengikuti langkah kaki Rahmat.

“Mat! Aman?” tanya Aryo, walaupun ia tau sebenarnya apa yang menimpanya.

“Capek.. Berat banget carier gua tiba-tiba”

Aryo bingung. Bagaimana caranya ia bisa memberi tau Rahmat, jika ada sesosok anak-anak sedang ikut dengannya di cariernya. Ia bingung bagaimana memberitahunya tanpa diketahui Fajar dan Yudi.

Aryo memiliki pikiran, ia ingin melemparnya. Aryo mengambil ranting kayu yang ia temukan di dekatnya, kemudian dilemparkannya ke arah sosok anak-anak itu.

“Plakkkk….”

“Napa sih elu, Yo!” tegur Yudi yang mengetahui Aryo melempar Rahmat.

Aryo melemparnya beberapa kali.

Bukannya terusir, yang ada Rahmat malah emosi kepadanya.

“Kenapa, sih Yo?” tanya Rahmat kesal.

"Gak apa-apa, iseng" jawab Aryo sambil tertawa kecil.

Tapi, yang terjadi malah membuat Aryo takut. Sesosok anak-anak tersebut menoleh ke arahnya. Aryo takut, bulu kuduknya meremang seketika. Pasalnya, walau badannya seperti anak-anak, tapi wajahnya terlihat tua. Ia menyeringai dengan darah yang mengalir dari mulutnya.

Aryo tidak asing dengan makhluk yang ia lihat dengan mata kepalanya ini.

"Tapi... tapi siapa? makhluk apa?" Aryo berusaha mengingatnya.

Hobbit…

Ya….

Tidak salah lagi...

Bentuk dan wajahnya mirip hobbit makhluk kerdil yang ada pada film Harry Potter.

Bingung dan takut berkecamuk jadi satu dalam benak Aryo. Tidak berhenti di situ, Aryo baru saja menyadari, jika sosok yang sama terlihat datang lebih banyak lagi mengikuti perjalanannya di kanan dan kiri jalan.

Bahkan beberapa mengganggu langkah kaki Yudi. Beberapa kali menyebabkan Yudi tersandung.

Menurutnya, itu disebabkan oleh terjalnya jalan atau salahnya saat menginjak tanah atau bebatuan

”Tapi… Tapi…. tidak… Mereka yang membuatmu tersandung, Di!” ucap Aryo dalam hati.

Aryo semakin takut melihatnya.

Kakinya gemetar, keringat dingin mulai ia rasakan.

Segerombolan makhluk kerdil itu terus mengiringi perjalanannya. Tapi, hanya Aryo yang melihatnya. Ia menahan rasa takutnya sendirian.

Ingin sekali rasanya ia berteriak, tapi lagi-lagi keberanian menahannya.

Ia hanya mampu berdoa dan bermunajat kepada-Nya, agar apa yang mengelilinya sekarang sirna.

"Bismillah, aku wani, rak ono sing luwih duwur seko Gusti Allah... Bismillah.... Aku iso!" (Bismillah, aku berani, tidak ada yang lebih tinggi dari Allah, Bismillah... Aku bisa!) Ucap Aryo dalam hati.

Bagaimana bisa...

Bagaimana bisa aku menemukan hal seperti ini di sini…

Aryo masih belum menerima jika ia harus dihadapkan dengan hal-hal seperti ini.

Seberapa kuat Aryo, rasa takut tetap datang menyelimuti otak dan perasaannya.

Aryo kesal dan takut. Lagi-lagi ia hanya bisa memendam rasa takutnya sendirian.

"Mat... Di.... Jar....." Ingin rasanya Aryo memanggil mereka dan menceritkan apa yang ia lihat.

Butiran air tak terasa keluar dari kelopak matanya, Aryo menyeka setiap air yang keluar dari dua matanya.

BERSAMBUNG

Perjalanan Aryo, Rahmat, Yudi dan Fajar semakin tidak menemukan di mana ujungnya. Langkah yang semakin jauh dan malam yang semakin larut malah membawa mereka ke sebuah tempat yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya oleh mereka

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close