Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

WAKTUMU HAMPIR HABIS (Part 1) - Awal Mula

Sebuah perjalanan menebas alas gunung yang memiliki ketinggian 3428 Mdpl.
"Lekaslah turun atau kalian akan tinggal di sini selamanya"


Bagian 1
Awal Mula Perjalanan dan Ucapan Selamat Datang

Cerita ini berawal dari seorang pemuda yang bernama Aryo Pamungkas, atau kerap dipanggil Aryo. Aryo adalah seorang pemuda perantauan di Jakarta.

Ia berasal dari salah satu desa di kabupaten Batang. Seperti kebanyakan pemuda di daerahnya, ia datang jauh-jauh ke ibukota untuk memperbaiki garis hidupnya dan keluarganya.

Karena kebosanannya dengan hidupnya yang begitu-begitu saja, membuat Aryo ingin kembali lagi ke hobi lamanya yang sudah lama diistirahatkan akibat padatnya jadwal pekerjaan. Ya, aktifitas yang diinginkannya adalah Mendaki Gunung.

Bisa jadi ini adalah upaya pelariannya dari aktifitasnya sebelumnya.

Tapi, siapa sangka, pendakian yang awalnya hanya Aryo gunakan sebagai pelarian dan pelepas penat dari segala aktifitasnya malah menemukan berbagai kengerian di dalamnya

Bagaimana kisahnya? Simak, kisah Aryo dalam pendakiannya di gunung yang memiliki ketinggian 3428 meter dari permukaan laut (Mdpl) atau orang sering sebut, gunung Slamet.
...

Malam itu, Aryo termenung, memikirkan segala masalah yang tidak kunjung ketemu di mana letak ujungnya. Mulai masalah pekerjaan, pengeluaran yang kian hari kian bertambah hingga permasalahan di keluarganya.

Aryo adalah anak pertama dari 3 bersaudara. Ia harus menghidupi kedua adiknya yang masih menempuh pendidikan, karena bapaknya yang sudah lama meninggal dan ibunya hanya berdagang sayur di depan rumah.

Ditambah lagi, belum lama Aryo putus hubungan dengan kekasihnya yang sudah berhubungan selama dua tahun. “Sudah jatuh, tertimpa tangga” mungkin itu peribahasa yang cocok untuknya kala itu.

Di depan kontrakannya, ditemani secangkir kopi dengan sebatang rokok surya membuat Aryo semakin hanyut dalam pikirannya sendiri.

“Kenopo, akeh banget masalah uripku iki” (kenapa, banyak sekali masalah hidupku ini) gerutunya sambal mengeluarkan kepulan asap dari mulutnya. Seakan, setiap asap rokok yang dikeluarkannya berisi segala masalah dan kegundahan yang dialaminya selama ini.

Batang demi batang ia habiskan, hingga kopi nya pun habis bersisa ampasnya saja. Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam, Aryo merebahkan badan kecilnya di kasur di sudut kontrakannya. Besok, ia mesti kerja pagi-pagi. Ya, begitulah kehidupannya yang masih bujangan itu.

“Krrriiiingg….. krririiiinnggggg” jam 06.30 alarmnya bunyi, Aryo masih nyaman dalam tidur lelapnya. Entah sampai bunyi ke berapa, matanya tiba-tiba terbuka. Melihat jam sudah menunjukkan pukul 07.00
“Bajingan, kawanen” (sialan kesiangan) ucap kesalnya.

Aryo yang masih setengah sadar, berlari ke kamar mandi untuk langsung bersiap-siap. Karena sebelum jam 08.00 pagi, ia harus sampai di tempatnya bekerja, jarak kontrakannya ke kantornya tidak terlalu jauh.

Yang membuat lama adalah jalan macetnya ibu kota yang semakin parah seiring bertambahnya waktu.

Dengan tergesa-gesa, rambut semrawut dan pnampilan ala kadarnya, Aryo menyusuri jalanan pagi itu. Beruntung, 7.57 Aryo sudah sampai kantor, artinya ia masih belum terlambat hari itu.

Seperti biasa, saat ia sampai, di mejanya sudah tersaji segelas kopi hangat yang selalu disiapkan oleh Office Boy (OB) kantornya yang bernama Pak Yayan. Banyak dokoumen-dokumen yang mesti diselesaikannya saat itu.

“Yo! Kenapa sih lu? Gak semangat banget” ucap Yudi, rekan kerjanya yang mejanya saling berhadapan dengannya

“Huuuaaaaahhhh…… Ngantuk gua di” Jawab Aryo sambal menguap

“Halahh Yo…Yooo hidup lu begini-begini aja sih”

“Oh ya, gua ajakin ke…..”

“Yudi! Elu di panggil Pak Tangguh tuh di ruangannya” ucap Ririn memutus percakapan Yudi dengan Aryo.

“Bentar, Yo! Nanti gua lanjut lagi”

“Eh, Di!” ucap Aryo, tapi Yudi sudah lebih dulu pergi

Di kantor, Yudi menjadi teman yang paling dekat dengan Aryo. Selain karena mejanya yang berdekatan, Yudi yang sering membantunya tatkala Aryo mengalami kesulitan. Yudi adalah pemuda sebaya Aryo, yang tinggal tidak jauh dari kantor. Ia hidup dan berasal di kota ini.

Aryo pun juga sering menyambangi rumahnya untuk sekedar ngopi atau ngobrol mengenai banyak hal.

Saat hampir jam 4 sore, Yudi baru kembali.

“Capek gua, Yo! Di ajak muter ketemu client tadi”

“Ngopi di tempat Pak Yusuf dulu nanti yuk”

“Oke…” jawab Aryo.

Jam pulang tiba, mereka berdua menuju kedai Pak Yusuf dimana mereka biasanya ngopi disana.

“Kopi hitam panas, gulanya sedikit aja pak” pesan Aryo

“Saya es susu, pak” pesan Yusuf.

“Lahhh… Diii… Diii….. Ngajaknya ngopi, sampe sini lu pesen es susu, jompo lu!” ledek Aryo.

“Hahahaha, pengen minum yang seger-seger gua, Yo! Panas banget tadi keluar kantor siang bolong” jawab Yusuf sambal tertawa.

Kalian punya temen gitu juga, gak? Gayanya ngajak ngopi, tapi sampai sana pesannya teh anget atau susu?

“Elu mau ngajakin gue kemana tadi, Di?” Tanya Aryo.

“Ohh.. iya.. Sampe lupa gue.. Muncak, yuk! Kita cuti bulan depan, kan jum’at tanggal merah, tuh. Senin-selasa, rabu-kamis atau kamis dan seninnya kita cuti”

Wajah Aryo nampak biasa saja, Yudi semakin merayu dan meyakinkan Aryo.

“Gak kangen apa lu, naik gunung lagi? Udah lama kan lu gak naik lagi? Kangen gue pengen masak mie instan sambal ngopi di puncak” ujar Yudi.

“Elu mau ngajak kemana?” Tanya Aryo.

“Hhhmmmmmmmmmm………..” Yudi berpikir.

“Slamet….?” Celetuk Aryo.

“Nah… boleh tuh… gue udah lama pengen ke sana belum kesampaian” ucap Yudi.

Yudi beranjak, ia menuju kalender bergambar logo partai di kedai Pak Yusuf yang tak jauh dari tempatnya duduk.

“Nahh.. ini, Yo! Ini kan libur nih….” Ditunjuknya tanggal yang menunjukkan hari Jumat sampai Minggu. Yudi terlihat semangat sekali menjelaskannya. Tampak raut mukanya yang memang rindu dengan dekapan gunung.

“Lalu kita tambah cuti 2 hari” tambahnya.

“Buset dah, 5 hari dong? Lama bener” Tanya Aryo.

“Kayak anak baru muncak aja elu, Yo! Rencana gue, satu hari buat perjalanan, di gunungnya tiga hari. Tiga hari udah paling lama, ya. Kalau ada tenaga dan nyukup dua hari ya kita dua hari, sisanya buat istirahat dulu di rumah biar santai kita” ucap Yudi.

“Kita cuti bareng emangnya bisa?” Tanya Aryo.

“Bisa lah, kan kita beda divisi. Meja kita doang yang sebelahan”

“Santai lah, Yo…… Gampang itu mah…. Yang penting sekarang kita kelarin dulu semua kerjaan kita, biar gampang pas ditinggal cuti”

Aryo diam, ia berpikir. Dalam hati ia memang memiliki kerinduan dengan gunung dan segala ceritanya.

“Malah diem! Sok mikir elu, Yo!”

“Oke deh, kapan ngajuin cutinya?” Tanya Aryo.

“Senin depan” jawab Yudi.

Setelah sepakat, mereka kembali ke rumahnya masing-masing. Yudi ke rumahnya sendiri, dan Aryo ke kontrakan kecil, dimana ia banyak mempertaruhkan hidupnya di sana.

Di kontrakan, sambal merebahkan tubuhnya, Aryo memperhatikan carier kesayangannya menggantung di salah satu sisi tembok kontrakannya. Carier yang dulu setia menemani perjalanannya dari satu gunung ke gunung lainnya.

“Diluk ngkas kowe tak enggo meneh, sabar yo” (sebentar lagi kamu kupakai lagi, sabar ya) begitu kira-kira ucap Aryo dari dalam hati sebelum akhirnya malam melumat kehidupannya

Hari-hari berikutnya, Aryo jalani seperti biasa, ia belum mempersiapkan rencana pendakiannya sebelum pengajuan cutinya disetujui oleh atasannya.

Singkat cerita, pengajuan cuti Aryo dan Yudi disetujui, mereka bedua cuti di hari kamis dan senin, sehari sebelum dan sesudah tanggal merah. Jaraknya tiga minggu dari tanggal keberangkatan mereka.

Mulai dari sini, mereka berdua mulai mempersiapkan segalanya. Alat, informasi, serta fisik yang harus prima saat hari pendakian. Mengingat tujuan mereka adalah gunung yang memiliki ketinggian tertinggi di Jawa Tengah.

Setiap minggu, sepulangnya dari kantor, paling tidak dua atau tiga kali Aryo dan Yudi pemanasan mempersiapkan fisiknya, mulai dari olah raga ringan, hingga jogging keliling komplek kontrakan Aryo.

Persiapan demi persiapan mereka lakukan, hingga dua hari menjelang keberangkatan. Aryo yang tengah santai di depan kontrakan sambal scrolling-scrolling facebook melihat postingan seseorang bernama Rahmat di grup yang ia ikuti.

“Cari barengan buat ke gunung slamet, berangkat kamis minggu ini dari Bekasi (2 orang)”

Gayung bersambut, Aryo yang merasa masih perlu teman perjalanan, tanpa pikir panjang langsung menghubunginya melalui pesan singkat di facebook.

“Bang, saya juga mau ke Slamet nih. Saya sudah dua orang dari Jakarta, berangkat Kamis juga. Barengan aja kita” ucap Aryo dalam pesannya.

Sambil menunggu balasannya, Aryo menelpon Yudi, memberi tahu jika akan ada kawan lagi yang berangkat mendaki bersamanya

“Di! Gue tadi di facebook nemu orang cari barengan naik slamet hari kamis, ada dua orang, kita gabungan aja ya sama mereka biar kita gak berdua aja” ucap Aryo tanpa basa-basi.

“Serius? Gasss lahh” jawab Yudi setuju.

Tidak lama dari percakapan mereka, Rahmat yang dihubungi Aryo membalas pesannya. Singkatnya, melalui Aryo, mereka ber empat sepakat untuk berangkat bareng dan ketemu di Stasiun Pasar Senen Kamis pagi.

Saat hari yang disepakati tiba. Seperti biasa, Aryo bangun dengan suara alarmnya yang bagi manusia normal sangat menyakiti telinga jika tidak lekas dimatikan. Tapi bagi telinga Aryo yang seperti tersumbat kerikil, suara alarmnya tidak ada artinya.

Dengan segenap nyawa dan jiwa raga yang ada, Aryo bersiap untuk kemudian menuju rumah Yudi. Ya, kami berdua janjian disana. Karena jarak ke stasiun lebih dekat jika dari rumah Yudi.

“Elu ngapain aja, Yo? Lama bener!”

“Lagi siap-siap,nih” jawab Aryo.

“Sialan! Buru berangkat napa! Kereta kita sebelum dzuhur, Yo!” ucap Yudi kesal karena sudah jam 8, tapi Aryo tidak lekas sampai di rumahnya.

Saat semuanya siap, Aryo berangkat ke rumah Yudi. Di sana, Yudi sudah kesal karena lama menunggunya.

“Sorry, Di… Sorry…” ucap Aryo saat sampai di depan rumah Yudi.

“Ayo langsung! Udah ngontak yang barengan sama kita belum lu?” ujar Yudi.

“Hehh lupa gue!”

“Plaaakkkkk…..!!” Yudi reflek menampar helm Aryo.

Saat buka hp, ternyata Rahmat dan kawannya sudah sampai di Stasiun satu jam yang lalu.

Gak sampai satu jam Aryo dan Yudi tiba di Stasiun, ketemu Rahmat dengan kawannya yang bernama Fajar. Singkatnya, mereka berdua juga belum pernah mendaki gunung Slamet.

Suara panggilan penumpang kereta memecah percakapan mereka. Setelah lebih dari lima jam, saat matahari perlahan dilahap oleh gelapnya malam, mereka sampai di stasiun Purwokerto yang merupakan stasiun terdekat dengan Purbalingga.

Jalur yang akan mereka jajal adalah jalur melalui desa Bambangan. Desa yang cukup familiar bagi kalangan pendaki yang akan mendaki gunung Slamet.

Dari stasiun, mereka beralih dengan mobil minicab tua yang sengaja disewa Yudi melalui informasi dari kawannya. Dengan mobil ini, mereka akan diantar sampai desa Bambangan oleh Pak Sukron.

Pak Sukron merupakan warga Purwokerto yang sudah lama membuat jasa antar jemput pendaki yang akan mendaki gunung Slamet.

Hampir dua jam perjalanan sudah ditempuh. Hujan tiba-tiba turun. Mobil mulai menanjak dan memasuki jalan yang lebih kecil.

Ia memperhatikan segala penjuru jalan, sawah dan sungai-sungai yang dilewati Pak Sukron dengan mobilnya dari balik kaca mobil. Jalanan aspal basah ditambah kabut yang mulai terlihat disekeliling jalan.

Saat tengah asyik memperhatikan jalan. Tiba-tiba ada seseorang yang menyita perhatian Aryo. Dari balik kaca, Aryo melihat perempuan paruh baya sedang berdiri menatapnya di atas tanah sawah tak jauh dari jalan raya.

Sorot matanya tajam dengan caping di atas kepalanya. Tubuhnya kokoh berdiri meski rintikan hujan menghantam seluruh tubuhnya. Badannya tersorot lampu kuning kecil yang menggantung di atas bambu dekat situ. Aryo memperhatikannya curiga, dan timbul pertanyaan di kepalanya.

“Siapa dia malam-malam di sana? Dan kenapa ia memperhatikannya begitu?” Tapi, Aryo tidak begitu memikirkannya, Aryo menganggap dia hanya perempuan tua pemilik atau penggarap sawah di sekitar situ.

Tidak lama dari situ, seketika tubuh Aryo tersentak kaget. Karena tiba-tiba ada bisikan datang dari telinga kirinya “ojo mangkat” (jangan berangkat) Aryo kaget, ia tersentak dari duduknya hingga menyebabkan Fajar yang tidur di sebelahnya bangun.

“Kenapa, Yo?”

“Emmmm… gak apa-apa, Jar”

Aryo memperhatikan sekelilinnya, pasalnya, yang ia dengar adalah bisikan perempuan. Belum tuntas rasa penasarannya, tiba-tiba bisikan itu muncul lagi “ojo mangkat” (jangan berangkat) Suaranya lirih.

Perasaan Aryo mulai was-was, dan rasa itu terus bertambah seiring mobil yang terus melaju. Apakah ini sebuah peringatan untuknya? Aryo mulai dihantui oleh suara misterius itu.

“Udah hampir sampai, mas” ucap Pak Sukron sambil melihatku dari kaca spion di atasnya.

Aryo membangunkan yang lainnya. Mobil mulai menanjak tajam menyusuri jalanan desa dan ladang warga. Kabut semakin pekat menyambut saat mereka sampai.

Sesampainya di basecamp, Aryo, Yudi, Rahmat dan Fajar istirahat dan akan mulai pendakiannya besok pagi.

“Malam ini kita tidur dulu, besok pagi baru start trekking, ya” ucap Yudi.

“Okeeee…… Siiiaaaapppppp” jawab semuanya.

Malam itu mereka gunakan untuk istirahat di rumah singgah milik warga. Ditemani dua orang pendaki yang kala itu juga sedang beristirahat yang nampaknya mereka baru turun gunung.

Di atas tikar, berselimut sleeping bag seta ditemani dinginnya udara lereng gunung dan di tambah kabut yang terus menyertai membuat dingin semakin setia menemani. Yudi, Rahmat langsung hilang ditelan malam, menyisakan Fajar dan Aryo yang masih terjaga.

Aryo pun mengikuti, ia ingin segera tidur. Tapi, di sini Aryo menemukan kejanggalan lagi. Pasalnya, hawa dingin yang menyelimuti badannya kini tiba-tiba berubah hangat. Lantas, membuat badannya yang berselimut sleeping bag perlahan gerah dan berkeingat.

Fajar yang melihat gelagat Aryo melepas sleeping bagnya pun menegurnya.

“Mau kemana lu?” tanyanya.

“Gak kemana-mana. Gerah, panas bener” jawab Aryo.

“Gila lu, ya? Dingin gini elu kata gerah?”

Aryo juga bingung dengan keadaannya. Beberapa menit berselang, Fajar menyusul Rahmat dan Yudi yang sudah tidur duluan. Sementara Aryo masih saja terjaga dengan kedua bola matanya yang masih terbuka.

Ternyata, hawa panas yang Aryo rasakan adalah sebuah pertanda, pertanda jika akan ada sesuatu hal yang akan datang menemuinya. Manakala Aryo tengah berusaha memejamkan mata, ada sesosok makhluk datang diantara gelapnya mata Aryo yang sedang terpejam.

Makhluk itu tidaklah asing baginya. Ya, ternyata dia adalah sesosok perempuan paruh baya yang ia lihat tadi di perjalanan. Ia muncul lagi tepat di depannya. Tapi yang ia lihat kali berbeda dengan sebelumnya, kali ini tampak lebih dekat, jelas dan menyeramkan.

Aryo membuka matanya. Dia hilang. Saat Aryo memejamkan matanya lagi. Perempuan itu datang lagi. Aneh, perempuan itu seperti sudah masuk di pikiran Aryo yang entah dari mana asalnya.

Aryo semakin merasa panas, keringat nya pun mulai bercucuran dari balik bajunya. Aryo mencoba memejamkan matanya lebih lama, ia sedikit berani, menunggu apa yang sebenarnya yang ingin perempuan itu lakukan atau sampaikan padanya.

Dan benar, ia datang lagi dengan wujud yang menyeramkan. Kilatan matanya tajam, dengan rambut putih kumal yang terurai hingga bahunya. Wajahnya keriput. Menandakan jika ia adalah perempuan renta yang sudah hidup sangat lama yang entah di mana alamnya.

Ia mengenakan balutan kain hitam dan jarik di bawahnya. Aryo memperhatikannya dengan rasa takut yang kian lama kian memuncak.

Sayup-sayup keluar suara dari mulut rentanya. Sambil tersenyum menyeringai, senyumnya menakutkan, jauh dari kesan elok dan manis. Beda jauh dengan senyuman Anya Geraldine yang mampu membuat siapa saja yang menatapnya tiba-tiba mematung tak bergerak. Hahaha…

Diantara senyumannya yang seram, muncul suara dari dalam mulutnya. “Sugeng rawuh” yang artinya adalah “Selamat Datang” Setelah mengucapkan itu, ia menghilang dalam sekejap.

Aryo membuka matanya, jantungnya berdegup, tubuhnya berkeringat. Ia duduk sambil menghela nafas dan melihat sekelilingnya. Tidak ada yang aneh. Namun, suhu udara yang ia rasa panas sedari tadi, tiba-tiba dingin seketika.

Aryo merasa, jika kedatangannya telah disambut dengan makhluk yang ia sendiri tidak tau dari mana asalnya.

Bagi Aryo, hal mistis bukanlah hal yang baru baginya. Karena dulu, singkatnya,ia pernah kerasukan saat tengah berkemah di sekolahnya dan yang merasukinya terus mengikutinya hingga berminggu-minggu lamanya.

Hal itu membuat Aryo peka terhadap keberadaan mereka yang tak kasat mata hingga sekarang.

Paginya, setelah mempersiapkan segala sesuatunya, termasuk simaksi dan logistik pendakian, mereka berempat mulai pendakian

Pendakian yang awalnya memiliki tujuan melepas penat dari padatnya hiruk pikuk dan bisingnya perkotaan, malah berubah menjadi pendakian menakutkan yang selalu membekas diingatan mereka hingga sekarang.

Jarum jam menunjukkan pukul 10.00 pagi saat langkah mereka mulai bergerak. Sudah ada dua rombongan pendaki yang berjalan sebelum mereka. Kala itu, memang karena kebetulan atau karena apa, pendakian tidak seramai biasanya.

Bismillahirrahmanirrahim…

Perjalanan dimulai…

Selamat datang gunung slamet…

Kami datang…

BERSAMBUNG

Ketakutan Aryo tidak berhenti di situ. Di hutan, tidak hanya Aryo yang dihantui rasa takutnya, tapi seluruh teman-temannya.

*****
Selanjutnya
close