Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

BERTARUH NYAWA DI ALAS DEMIT (Part 6 END) - Kekuatan Berlipat

Malam itu suasana semakin gila, tanpa mereka sadari, pertarungan malam itu adalah pertarungan terakhir sebelum akhirnya mereka bebas dari cengkeraman Alas Demit.


“Aku nggak akan mati, kalian lah yang akan mati, atau pergi dari sini sekarang”

Kilatan-kilatan cahaya muncul setiap Kelana mengayunkan kerisnya menuju demit-demit di dekatnya. Semuanya sudah terkapar, tinggal demit serigala paling besar yang masih berdiri.

“Ati-ati karo demit siji kuwi, awakmu ora iso sembarangan nyekel awake. Kesaktiane gede, setara karo Buto Ireng sing kok lawan karo Murni"

(Hati-hati dengan demit satu itu, kamu tidak bisa sembarangan memegang tubuhnya. Dia sangat hebat, setara dengan Buto Ireng yang kamu lawan sama Murni)

“Memangnya kenapa, Sanjaya? Eh, memangnya kenapa, Bu Utari?”

“Awake diselimuti aura jahat. Kowe perlu kekuatan gede, karo perlindungan sing kuat” (Tubuhnya diselimuti aura jahat. Kamu perlu kekuatan besar, dan perlindungan yang kuat)

“Gowo rene tanganmu” (Bawa kemari tanganmu)

Kelana mengulurkan tangannya, melalui Sanjaya, Bu Utari mengirimkan energi pada dirinya dan memberikan perlindungan di tubuh Kelana agar aman manakala melawan manusia serigala itu.

Kelana memegang pusaka keris kasembadan di tangan kanannya. Dia berdiri tegak sambil memusungkan dada, dengan tatapan tajam lurus ke depan. Kelana sudah lebih siap untuk bertarung.

Sekarang, mereka berdua berhadapan dengan manusia serigala itu. Kelana mencoba menghujamkan kerisnya pada makhluk itu, namun dengan mudah ia menghindar dan menepis setiap serangan yang diberikan Kelana.

“Crrasssshhh”

Cakaran tajam demit itu berhasil melukai leher Kelana. Kelana teriak kesakitan, tubuhnya pun terpental agak jauh. Sontak, tubuh Kelana sempoyongan. Ia berusaha berdiri tegak dengan memegang ranting pohon di dekatnya.

Bu Utari tak sempat menolongnya, beliau masih berkutat dengan demit di depannya. Tak lama, Kelana merasa ada perubahan pada dirinya, luka cakaran itu berangsur sembuh dengan sendirinya.

“Mungkin, ini yang efek energi yang diberikan Bu Utari tadi” ucap Kelana. Kini, Kelana kembali ke sedia kala lagi, ia bangkit, lalu kembali bertarung lagi.

“Aku ora bakal kalah sedurunge aku ngerasakno getihmu bocah gendeng!” (Aku tidak akan kalah sebekum aku merasakan darahmu, anak gila!) gertak demit itu.

Kelana melihat tubuh Sanjaya diam, namun mulutnya komat-kamit merapalksan mantra. Setelahnya, Sanjaya kembali menghentakkan kakinya ke atas tanah, lalu menghujam tubuh demit itu tepat di dadanya.

Tangannya mengkoyak isi dadanya, lalu mengeluarkan semua isinya. Pertarungan mereka bagai pertarungan dua makhluk yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.

“Aku ora iso mati… Aku abadi neng Alas Demit iki” (Aku tidak bisa mati…. Aku abadi di Alas Demit ini)” ucap demit itu, sebelum akhirnya menghilang, melebur dengan hitamnya kegelapan malam.

“Memang gila…. Ini benar-benar gila dan nggak masuk di akal dan nalarku” ucap Kelana.

Sekarang, Sanjaya tergeletak di atas tanah. Sukma Bu Utari nampaknya sudah meninggalkannya dan Sanjaya hilang kesadarannya.

“SANJAYA…… KELANA…..” panggil Zafar dengan berteriak menghampiri mereka berdua.

“Dimana saja kamu?” tanya Kelana karena baru menyadari keberadaannya.

“Aku sembunyi. Kalian berdua benar-benar gila” umpat Zafar.

Kelana dan Zafar mengangkat Sanjaya ke tempat lebih aman, lalu menyenderkannya pada pohon. Kelana mencari bungkusan gula kelapa yang ia bawa untuk dimakankan kepada Sanjaya dan untuknya sendiri.

“Sanjaya! Apa kamu baik-baik saja?” tanya Kelana.

“Huugghhh…..huggghhhh” Sanjaya lemas, saat sadar, ia mendapati Kelana dan Zafar duduk di dekatnya, sambil komat-kamit meracau tak jelas.

Ia lantas berpegangan pada Kelana dan Zafar untuk mencoba duduk sambil mengingat-ingat apa yang baru saja menimpanya.

“Kenapa badanku sakit semua? Dan kenapa aku bisa disini? Perasaan, tadi ada di dalam tenda” gumam Sanjaya bingung. Napasnya tersengal.

“Iya. Tapi, tiba-tiba kau menggeram lalu lari keluar tenda” kata Zafar.

“Lihatlah pintu tendanya, rusak” imbuh Zafar.

“Haa?” desis Sanjaya.

“Tadi Bu Utari kemari, tapi hanya sukmanya saja yang kesini. Dia menggunakan tubuhhmu sebagai wadahnya, lalu menyelamatkanku dari demit serigala tadi”

Degggg….

Sanjaya menelan ludah, antara percaya dan tidak.

“Lalu kemana beliau sekarang?”

Kelana menggeleng, “Entah di mana sukma Bu Utari sekarang, mungkin dia sudah kembali lagi ke tubuhnya.” Rupanya, Bu Utari melebihi dari apa yang ia pikirkan.

“Apa aku sekarang baik-baik saja?” tanya Sanjaya.

“Ya, aman” jawab Kelana.

Malam itu, mereka bertiga memutuskan untuk beristirahat dulu sebelum kembali melanjutkan perjalanannya esok hari.

Pintu tenda yang rusak mengakibatkan hawa dingin dengan mudah menyeruak dan menusuk hingga ke tulang. Meski demikian, udara dingin malam itu seperti menyelimuti otak dan jiwa mereka bertiga yang sudah panas akibat setiap tragedi yang menimpa mereka sejak awal perjalanan.

Pagi pun tiba, malam sangat cepat berlalu saat mereka gunakan tidur. Rasa-rasanya mata dan tubuh ingin lebih lama menikmati nikmatnya alam bawah sadar.

“Bangun! Ayo kita lanjut, tinggal beberapa lagi kita bisa keluar dari Alas ini” ajak Zafar.

Walau kaki rasanya sudah ingin copot, energi yang kian lama kian terkuras, mereka kudu mulai melangkahkan kakinya lagi, membelah belantara hutan yang sangat rapat agar cepat menemukam sebuah kebebasan.

“Ya Allah….”

“Aku yakin, Engkau masih sayang pada kami bertiga, Engkau masih memberikan kami kesempatan hidup untuk beribadah kepadamu di dunia yang Kau ciptakan dengan segala keindahan di dalamnya”

“Ya Allah… Engkau selalu ada pada setiap derap langkah kami. Semoga Engkau selalu melindungi kami bertiga dimanapun kami berada. Bismillah”

Kemarin, Bu Utari memintaku menulis ini ;
“Opo sing kok karepke ono neng kene, mentas ngelewati iki, awakmu bakal mbalek neng panggon sing kok goleki. Ora ono srengeng neng kene, kabut-kabut bakal ngalangi mripatmu. Gunakno keresikane batinmu kanggo ngelewati wilayah iki.

Ojo percoyo karo sopo-sopo kecuali awakmu wong telu nek wes mlebu neng kene. Ojo sampek ilang pikir lan tetep waspodo”

“Apa itu artinya, setelah melewati tempat itu, kita akan selamat?” tanya Zafar.

“Ya, sepertinya begitu” jawab Kelana dan Sanjaya bersamaan.

Kelana kembali mengeluarkan pusakanya.

“Ada apa, Kelana?”

“Jaga-jaga. Yang tertulis itu seperti kalimat peringatan yang diberikan Bu Utari”

“Sanjaya, apa kamu aman?” tanya Kelana.

“Aman” balasnya.

Beberapa puluh meter selanjutnya, keadaan mulai berbeda, hutan menjadi lebih rapat, pohonnya tinggi-tinggi dan rumpur-rumput yang tumbuh di area itu hampir setinggi pinggang orang dewasa. Semakin jauh melangkah, kabut tebal pun perlahan datang dan menghalangi penglihatan mereka.

“DUARRR”

Tiba-tiba terdengar bunyi ledakan yang sangat keras. Kelana terhenyak, matanya membelalak waspada.

“Apa lagi itu, Kelana?” tanya Zafar.

“Hhhhhmmmmmmrrrgggg…… HHmmmrrrrrgggghhhh…..”

Suara rintihan aneh riba-tiba saja terdengar dan kedengaran dekat. Kelana menoleh ke belakang, memperhatikan kondisi kedua temannya. Suara ini terasa tak asing di telinganya.

“Apa kalian baik-baik……”

Belum sempat Kelana selesai dengan kalimatnya, tiba-tiba muncul sesosok Buto yang berjalan merangkak dari arah belakang, lalu menyerang Sanjaya dan Zafar di depannya.

“Awas, Sanjaya… Zafar” teriak Kelana.

Tapi, usahanya terlambat, Buto itu sudah menghantam Sanjaya dan Zafar hingga terpental membentur pohon dan bebatuan di dekatnya.

“Sanjaya…. Zafar” Kelana lebih dulu membantu mereka, lalu menjauhkannya ke tempat yang lebih aman.

Angin bertiup, menerpa semua yang dilewatinya, serta membawa gumpalan kabut putih di sekitarnya. Dedaunan dan ranting kering tampak beterbangan. Rumput-rumput liar di sekitar Kelana pun sampai merebah hingga menimpa tanah. Kaki Kelana sampai goyah menahan terpaan angin.

“Buto Ireng!” ucap Kelana. Tapi, saat ini, ia hanya melihatnya sendirian.

“Akhire, aku ketemu kowe meneh, bocah menungso. Ojo mbok pikir aku wes kalah. Marak ngendi wae langkahmu, bakal tak gudak” (Akhirnya, aku bertemu lagi denganmu, anak manusia…. Jangan kamu pikir aku sudah kalah. Kemanapun langkahmu, aku akan mengejarmu)

“Ambumu nggudo kabeh demit sing manggon neng alas iki. Termasuk aku” (Baumu menggoda semua demit yang tinggal di hutan ini. Termasuk aku) ucap Buto Ireng

Kelana menggeram, lalu mengatakan “Aku tak perlu basa-basimu, apa yang kamu mau? Biarkan aku pergi dari sini dengan tenang”

“HAHAHA….” Buto Ireng tertawa mendengarnya.

“Kowe pancen ora ngerti, opo imbuh-imbuh ora ngerti? Kebeh demit neng kene kepengen ngerasakno getihmu, bocah lanang Jumat kliwon” (Kamu memang tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu? Semua demit di sini ingin merasakan darahmu, anak laki-laki Jumat Kliwon)

“Batur-baturmu iso lungo lan bebas seko kene, tapi ora karo kowe. Kowe tetep neng kene, dadi santapanku, kanggo nambah kekuatanku. Piye? Gelem nompo tawaranku?"

(Teman-temanmu bisa pergi dan selamat dari sini, tapi tidak denganmu. Kamu tetap disini, menjadi santapanku untuk menambah kekuatanku. Gimana? Mau menerima tawaranku?)

“Aku diciptakan Gusti Allah dengan akal, tidak sepertimu yang hanya diselimuti tipu daya dan aura jahat. Aku nggak sudi menerima tawaran dari demit sepertimu” jawab Kelana dengan lugas, lalu menarik keris yang sudah ia genggam.

“Ora usah wedi, cah bagus…. Gusti Allah ngiringi awakmu. Awakmu bakal iso tarung ngelawan makhluk iku” (Tidak usah takut, cah bagus…. Gusti Allah mengiringimu. Kamu bisa melawan makhluk itu) suara Bu Utari tiba-tiba saja kedengaran di telinga Kelana.

“Ora usah wedi, cah bagus…. Gusti Allah ngiringi awakmu. Awakmu bakal iso tarung ngelawan makhluk iku” (Tidak usah takut, cah bagus…. Gusti Allah mengiringimu. Kamu bisa melawan makhluk itu) suara Bu Utari tiba-tiba saja kedengaran di telinga Kelana.

“Awakmu mung dewekan, yakin bakal ngelawanku?” (Kamu hanya sendirian, yakin akan melawanku?) ucap Buto Ireng, lagi-lagi dengan tertawa meledeknya.

Hati Kelana bergejolak. Namun, dia tidak punya pilihan lain. Berlari hanya akan sia-sia, langkahnya hanya kecil, tak sebanding dengan langkah Buto Ireng yang sangat besar. Buto Ireng akan mudah mengejarnya. Kelana memberanikan diri berbicara lantang.

“Neng endi baturmu sijine? Mesti wes mati mergo bar tarung wingi kae, HAHAHAHA” (Di mana satu temanmu yang lain? Pasti sudah mati karena pertarungan kemarin, HAHAHA) Kelana membalas meledeknya sambil tertawa dengan lantang.

Buto Ireng terpancing, memang mudah memancing emosi demit jahat sepertinya. Buto Ireng memulai aksinya, ia bergerak seperti akan membaca sebuah mantra. Tak lama dari situ, banyak kehadiran demit-demit yang lain berjumlah belasan.

Ternyata, Buto Ireng membawa serta bala pasukan pengikutnya. Yang jika dijelaskan, wujud bala pasukannya serupa manusia, namun telah lama mati, dengan beberapa anggota tubuhnya yang tak lagi ada.

Ekspresi wajahnya pun tampak beringas kelaparan, bahkan, salah satu yang berada paling depan seluruh wajahnya mengelupas, tinggal mulut yang mangap-mangap. Pocong-pocong hitam dengan wajah hitam legamnya pun juga muncul diantara mereka.

“Dimanapun selalu ada pocong-pocong itu, aku heran, apa hutan ini adalah tempat untuk melestarikanmu?” tanya heran Kelana.

“Hrrrgggghhhh Hhhrggghhhmmh” mulut mayat-mayat hidup itu mengeluarkan suara mengerang seperti kelaparan.

Kelana diam, ia mulai merapalkan amalan untuk membuat pagar gaib untuk melindungi diri yang pernah ia baca dalam sebuah buku.Amalan yg entah akan bekerja atau tidak,karena ia baru mencobanya sekarang. Kelana lalu memakan gula kelapa di saku celananya. Sekarang, ia jauh lebih siap

“Apa kalian nggak ada keinginan buat membantuku?” teriak Kelana pada Sanjaya dan Zafar. Melawan segini banyak, rasanya mustahil jika ia lakukan sendirian.

Belum sempat kawannya muncul, mayat-mayat itu mulai berdatangan menyerang Kelana.

“Bagg… Buggg…. Kraakkk”

Bunyi pertarungan Kelana dengan mereka. Kelana banyak merobek, bahkan memutus tubuh mayat-mayat hidup itu sampai menghamburkan semua isi di dalam tubuhnya hingga tercium bau busuk.

Beberapa kali, Kelana mengernyit heran, merasakan tenaganya mengalir jauh lebih kuat berkali-kali lipat dari biasanya. Keris di tangannya, layaknya sebuah pedang yang membabi buta membunuh setiap demit di dekatnya selayaknya membunuh seeokor nyamuk yang mencoba menggigitnya.

Area hutan itu kini dikotori oleh potongan-potongan tubuh mayant yang berbau busuk. Sementara, Sanjaya dan Zafar lagi-lagi menyaksikan Kelana bertarung.

Namun, kali ini berbeda, Kelana lebih brutal, dia seperti kerasukan setan yang haus akan darah, tapi bukan darah manusia, tapi darah para demit hutan yang selalu mengganggunya.

“Huuaaaaaa” Kelana berteriak garang, lantas berdiri di antara demit-demit itu dengan kedua kakinya yang mengangkang mempertahankan keseimbangan. Gigi-giginya gemerutuk, mulutnya komat-kamit merapalkan doa-doa penguat yang ia ketahui.

Kelana sedikit lengah, tanpa ia sadari, Buto Ireng bergerak menuju tempat Sanjaya dan Zafar berlindung.

“Aku memang kau lihat lemah, tapi, jangan sekali-kali kau meremehkanku. Jika kamu berani menyakiti dua sahabatku, ku habisi nyawamu!”

“Sanjaya…. Zafar…. Larilah sekuat yang kalian bisa” suruh Kelana dengan berteriak.

Kelana berlari mengejar Buto Ireng, seraya berteriak memanggilnya.

“Jika aku mati di sini, itu lebih baik, karena aku mati untuk melindungi orang-orang yang membantuku hidup”

“BUTO IRENG…… Akan ku habisi nyawamu sekarang juga” ucap Kelana. Ia lari secepat yang ia bisa. Mulutnya merapalkan kalimat syahadat dan bersholawat dengan lantang.

“Aku lebih mulia darimu, aku akan terus bertumbuh kuat, dan semua itu berawal dari sini” ucap Kelana, dia menancapkan keris kasembadan tepat di perut kiri Buto Ireng. Buto Ireng menggeram, berusaha melepaskan tusukan itu dari tubuhnya.

Tapi, saat itu Kelana sangat kuat, ia tak mudah dikalahkan begitu saja.

“Sejatine awakmu sopo, bocah menungso, kenopo awakmu nduwe kesaktian sing koyo ngene” (Sebenarnya kamu siapa, anak manusia, kenapa kamu punya kesaktian macam ini)

Buto Ireng berteriak, suaranya menggema seisi hutan. Pohon dan rerumputan di dekatnya pun terhempas karena suaranya.

Beberapa detik setelahnya, Buto Ireng tersungkur di hadapan Kelana. Ia mati, dan menimbulkan bau yang teramat tidak sedap.

Kelana lemas, Sanjaya dan Zafar menghampirinya, lalu membawanya menjauh dari sana, meninggalkan Buto Ireng bersama para pengikutnya yang mati di tangan Kelana sendiri. Kelana menangis, tak menyangka jika pendakiannya akan panjang dan banyak menemui petaka seperti ini.

“Apa yang kita lakukan selanjutnya?” Zafar bertanya.

“Apa, apa jalan keluar masih jauh? Kapan kita bisa bebas dari sini?” ucap Sanjaya.

“Cah bagus, opo sing ono neng alam iki, kabeh ono sing gawe, sing gawe Gusti Allah. Awakmu kabeh saiki mlakuo, mengko bakal ono telaga. Sedurunge awakmu mbalek neng panggon sing kok karepke, resikono awakmu nganggo banyu seko kono.

Wes cukup, aku leh ngandani awakmu kabeh, cah bagus. Sok mben, yen awakmu kabeh nambah dewasa lan kuat, ojo dumeh lan ojo sombong marang liyane. Neng alam iki ora gur awakmu sing urip. Ati-ati yo, ngger, cah bagus"

(Cah bagus, apa yang ada di alam ini, semuanya ada yang menciptakan, yang menciptakan adalah Gusti Allah. Kalian semua sekarang berjalanlah, nanti akan ada telaga. Sebelum kalian pulang ke tujuanmu, bersihkanlah badan kalian dengan air yang ada di danau itu.

Sudah cukup, aku menasehati kalian. Nanti, jika kalan sudah dewasa dan bertambah kuat, jangan sombong kepada sesamamu dan makhluk-makhluk yang lainnya. Di alam ini, tidak hanya kalian yang hidup. Hati-hati ya, cah bagus)

Lagi-lagi suara itu muncul. Seperti suara Bu Utari yang memberi mereka bertiga sebuah wajangan yang menenangkan dengan suara lembut dan bijaksana.

“Apa kalian dengar juga?” tanya Kelana.

“Iya”

“Iya. Aku mendengarnya”

Ketiganya mendengar semuanya.

“Aku yakin, itu adalah Bu Utari. Beliau selalu mengawasi kita selama masih terperangkap di sini” ujar Sanjaya.

Tak lama, kabut mulai terbuka, suasana hutan pun kian terbuka. Di ujung mata, tampak sebuah danau cantik dengan pancaran sinar matahari di permukaannya.

“Aku seperti melihat surga” ucap Zafar.

Mereka bertiga mempercepat langkah, lalu membersihkan badannya yang sudah mirip gelandangan yang sudah berminggu-minggu hidup di jalanan, tak pulang ke rumah. Aneh, segala luka dan memar di sekujur tubuh mereka perlahan hilang manakala dibasuh dengan air dari danau itu.

“Telaga apa ini?”

“Aku nggak pernah mandi dengan air sesegar ini” tukas Sanjaya.

“Iya. Aku minum pun rasanya enak, beda dengan air galon isi ulang di kosku, hahahahaha” balas Zafar tertawa.

Kelana membersihkan setiap luka di tubuhnya. Setiap basuhannya, ia masih saja kepikiran, mengenai dirinya yang berubah seperti ini. Ia tak menyangka, jika luka-luka di tubuhnya diakibatkan oleh pertarungannya dengan demit-demit di hutan ini.

Sanjaya yang menyadari Kelana pun menegurnya, “Ada apa, Kelana?” Kelana tersenyum.

“Kira-kira, ada takdir apa yang disiapkan Tuhan untukku, ya, sehingga membuatku menjadi seperti ini?”

Sanjaya menghampiri Kelana, lalu memeluknya sebagai seorang sahabat.

“Tenanglah, aku sebagai sahabatmu, akan ada saat kamu membutuhkan pertolonganku. Iya nggak, Far?” ucap Sanjaya

Zafar mengangguk, seraya bergabung dengan keharuan dua sahabatnya.

Malam itu, mereka bertiga bermalam di tepi danau, menghabiskan sisa malam dengan lelah yang sudah tak tertahan. Malam itu, terasa malam yang paling tentram mereka rasakan selama di dalam hutan.

Paginya, saat burung-burung mulai berkicauan, saat sinar merah di angkasa meninggi, mereka terbangun, dan mulai mempersiapkan diri untuk kembali melanjutkan langkahnya pulang. Kelana mengajak Sanjaya dan Zafar untuk cepat memulai pergerakan.

“Ayo kita jalan lagi, aku merasa kalau kita sudah dekat dengan tujuan kita. Ingat kan pesan Bu Utari yang kamu bacakan kemarin?” ucap Zafar sambil menunjuk Zafar.

Walau keadaan jauh lebih baik, tapi rasa lelah dan pegal masih saja mereka rasakan. Hangatnya selimut dan empuknya kasur sudah sama-sama mereka rindukan. Mereka bertiga lantas berjalan, melewati beberapa tanjakan dan turunan di bawah mentari pagi yang kian lama kian naik.

Harapan mereka sama, yakni segera kembali bertemu dengan peradaban manusia dan segala kehidupannya.

Sampai, saat mereka baru saja menaiki punggungan untuk kesekian kalinya, dari situ mereka melihat, sebuah ladang warga dengan beberapa petani yang sedang menggarapnya.

“Alhamdulillah, kita selamat, kita selamat. Allah masih memberi kita kesempatan hidup. Kita mau lewat mana?” tanya Kelana. Mereka bertiga sejenak beristirahat, sambil mencari jalan turun menuju ke ladang di bawah sana.

Beberapa saat kemudian, setelah jalan sudah ditentukan, mereka kembali melangkah lagi. Langkah mereka saat itu sangat yakin, karena langkah mereka menuju sebuah kebebasan yang sejak kemarin mereka tunggu.

“Aku bebas”

“Aku selamat”

Setelah mencari yang cukup jauh karena harus mengelilingi satu bukit dahulu, mereka bertiga pun sampai pada tempat yang mereka harapkan sejak lama.

“Mas” panggil bapk-bapak yang tak jauh dari keberadaan mereka.

“Mas-masnya dari mana? Dari mendaki? Kok keluar hutannya dari sini?” tanya bapak-bapak itu dengan rasa penasarannya.

“Kami dari mendaki, Pak. Kami sempat salah jalan, lalu mencari jalan turun yang lain, dan sampai kesini” jawab Kelana sedikit berbohong, karena belum ingin cerita sebenarnya diketahui orang lain.

Bapak-bapak itu memperhatikan mereka bertiga seperti menaruh rasa curiga.

“Lalu mas-masnya naik lewat mana?”

“Desa Wanadya, Pak”

Bapak-bapak itu terkejut mendengarnya, pasalnya, desa Wanadya berjarak cukup jauh dari tempatnya.

“Apa di sini ada ojek yang bisa mengantar kami ke sana, Pak? Kendaraan kami disana” tanya Sanjaya.

“Mampir ke rumah saya dulu saja, Mas. Sepertinya kalian kelihatan lelah” ajak Bapak itu.

Di rumahnya, mereka disuguhi beberapa makanan dan minuman yang sudah beberapa hari ini tidak mereka rasakan. Sembari makan, mereka kembali ngobrol soal perjalanannya.

“Lain kali, lebih hati-hati lagi. Di dalam hutan, banyak sekali makhluk ciptaan Tuhan yang tidak bisa kalian tebak bagaimana watak dan wujudnya. Sebegai manusia, kita hanya bisa belajar dan berdoa, agar dijauhkan dari segala mara bahaya yang datang.”

"Bersyukurlah, kalian bisa turun dengan selamat”

Kelana terkejut mendengar perkataan beliau, “Apa bapak ini tau cerita yang sebenarnya?” tanya Kelana dalam hati.

Kelana menganggukkan kepalanya, tak tahu harus menjawab bagaimana.

“Jadikan ini pelajaran ya, Mas. Lain kali lebih hati-hati lagi” ucap beliau lagi.

Saat sore, mereka diantarkan oleh beberapa warga ke desa Wanadya tempat mereka memulai pendakiannya, kemudian sejenak istirahat di rumah Pak Teguh lagi untuk sekadar cuci muka dan menghela napas. Beberapa warga yang berpapasan, melihat mereka dengan wajah yang tak biasa.

“Sebaiknya, kita cepat-cepat pulang saja, orang-orang menatap kita seperti curiga” ajak Zafar.

Sanjaya dan Kelana pun langsung setuju, namun, ternyata Pak Teguh mendengar percakapan mereka.

“Tidurlah disini dulu, Mas” ucapPak Teguh menawari mereka. Lagi-lagi dengan senyum dan tatapan curiga.

“Bahaya, jika kalian langsung pulang” imbuh beliau.

Malamnya, mereka kembali dijamu oleh beliau, beliau memang terkenal baik sekali kepada setiap pendaki yang singgah di rumahnya. Malamnya, untuk kesekian kalinya, mereka bertiga tidur di atas ketinggian yang berselimut hawa dingin.

Bedanya, malam ini tanpa rasa waspada akan bahaya demit yang mengintai, karena tidur di rumah Pak Teguh.

Paginya, sekitar pukul sembilan, mereka bertiga pamit untuk kembali ke kota dimana mereka mengenyam pendidikan tinggi.

“Hati-hati ya, Mas. Jangan kapok, dan jika kembali mendaki kesini lagi, datanglah kemari, jangan sungkan” pesan Pak Teguh sebelum mereka bertiga memutar gas motornya.

-TAMAT-
close