Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LARANTUKA PENDEKAR CACAT PEMBASMI IBLIS (Part 15) - Nitis Sungsang


Jagadnata menegang, seluruh urat timbul membentuk jalur biru di lengan dan dan paha.  Siap memuntahkan tenaga hasil pertapaan puluhan tahun. Jumlah senjata yang sudah terhisap dalam pusaran angin sudah berjumlah ratusan, membentuk sebuah bola raksasa berisi pecahan pedang dan tombak yang berputar-putar di atas kepala.

Bunyi logam berdenting akibat berbenturan satu sama lain. 

Siluman Nagindi dan Gagak Rimang serta Menggala mengambil langkah mundur untuk menghindari ledakan mahadahsyat yang akan segera terjadi. Sementara ribuan pasukan Jerangkong berpusar seakan terhisap ke satu titik semakin mendekati Jagadnata.

Langkah kaki tulang mereka bergemeretak karena terseret pusaran angin kencang.

"Musnahlah kalian!" teriak Panglima dari Kalingga itu sambil mengarahkan kedua telapak ke atas kepala sepenuh tenaga.

Suara menggelegar keras memekakkan telinga. Angin kencang riuh bersautan.

Bola itu diledakkan Jagadnata dengan menggunakan ajian jagat segoro Bumi. Mata pedang dan tombak pecah ke segala arah. Bagai bintang yang meledak, mengirimkan jutaan bilah tajam bagai  meteor ke semua penjuru mata angin.

Menghantam ribuan belulang tengkorak yang mendekat hingga hancur berkeping-keping. 

Pasukan Jerangkong itu rontok bagai ulat tersapu hujan semalam.

"Bukan main dahsyatnya jurus ini!" jerit warga Desa Bakor.

"Tentu saja, ditangan Guru, kemampuan sejati jurus ini meningkat puluhan kali lipat. Tidak bisa dibandingkan!" ujar Candini sambil  menaruh melindungi mata agar tidak terkena serpihan tulang yang hancur terbawa angin.

Nagindi yang masih berwujud ular besar pun tak mampu menghindar, walau sudah mengambil langkah mundur masih ada beberapa bilah logam menancap diantara sisik keras.

"Bangsat, ilmu orang ini tidak bisa dianggap enteng!" geram Nagindi sambil menggoyang tubuhnya agar bilah tajam itu rontok.

Ular raksasa itu kemudian bergerak meliuk kencang di rerumputan lalu meloncat menerkam Jagadnata dengan mulut menganga, namun Panglima itu sudah siap, telapak tangan kanan diputar membentuk lingkaran penuh tenaga dalam. 

Sontak serpihan belulang yang tajam ditanah  terhisap ke arah tangan Jagadnata. Panglima sakti itu akan mengerahkan jurus andalannya lagi.

"Nah serang aku ular siluman, biar kau rasakan kembali ajian Jadat Segoro Bumi!" 

Angin kencang kembali menerjang dari kedua telapak tangan Jagadnata yang didorong bersamaan, bagaikan hujan deras mengguyur mulut Nagindi dengan serpihan tulang belulang yang tajam.  

Mulut raksasa ular itu terpentang lebar, Nagindi tak mungkin lagi menghindari serangan, namun siluman ini sangat licin dan sakti.

Asap kehijauan segera menyebar dari sisik Nagindi yang besar. Siluman ular itu kembali malih rupo menjadi manusia. Dengan melayang berputar ia mengeluarkan ajian "Naga Bumi bergelung". Ajian ini menghasilkan angin pusaran tameng tenaga dalam yang sukar ditembus. Semua senjata jarak jauh yang mengarah ke dirinya terpental keras.

"Bagus! Rupanya kau masih punya banyak ilmu simpanan" jengek Jagadnata sambil menyiapkan kuda-kuda bersiap menyerang lagi.

Nagindi tak memberi napas, ketika jarak mereka sudah berhadapan, tangan wanita itu menyerang lurus dengan membentuk kepala ular, mematuk tiga kali ke arah kaki Panglima itu. Jagadnata segera mengerahkan tenaga dalam ke kakinya dan menahan pukulan dari bawah itu dengan samping betis dan telapak kaki.

Tapak tangan Jagadnata segera berayun terpentang lebar menyasar batok kepala Nagindi dengan ajian Tepak Pasir Segoro Geni. Telapak itu tampak bersinar kebiruan. Namun dengan lihai tangan Naginda bergerak lemas membelit telapak itu terus merayap ke pundak kanan Jagadnata bagai ular.

"Ular Iblis Membelit bukit!" seringai Nagindi. 

Mau tak mau Jagadnata membentengi wajahnya dengan telapak kiri dari patukan jemari Nagindi.

Plakkk...

Saat jari Nagindi membentur telapak kiri Jagadnata timbul benturan mahadahsyat yang membuat keduanya terdorong dua langkah mundur. Tangan kedua orang sakti itu terasa kebas dan linu.

Kemarahan panglima Kalingga itu bertambah karena musuh ternyata sama kuat, ia kembali mengincar pundak kanan Nagindi dengan pukulan tapak bumi. Keistimewaan jurus ini adalah pukuluan datang bertubi-tubi bagaikan gelombang air di laut, saat satu pukulan ditahan maka akan menyusul gelombang pukulan yang lain terus menerus tanpa henti. Setiap pukulan mampu menghancurkan kerasnya batu karang hingga berkeping-keping. Serangan ilmu Angin dan Hujan terkenal karena pukulannya yang tanpa henti merangsek musuh, begitu rapat tanpa jeda, karena itu musuh yang lengah terpukul sekali maka dia akan hancur seperti bubur karena tak akan mampu membendung ratusan pukulan susulan. Ilmu ini membutuhkan tenaga dalam luar biasa besar serta pengaturan tenaga yang luar biasa rumit.

Nagindi tidak kalah lincah dengan ajian Iblis Siluman Ularnya, ia mengirimkan patukan ular yang gesit, licin dan penuh tipuan. Lengah sedikit badan bisa lubang besar karena dipatuk. Arah pukulan pun mengarah ke titik yang mematikan yaitu mata, ketiak, ulu hati dan kemaluan.

"Bangsat!" teriak Jagadnata saat kedua jari Nagindi mampir hendak mencongkel dua bola matanya. Dengan sigap lelaki itu merunduk lalu mengirimkan delapan belas tapak Segoro Geni ke perut Nagindi, namun siluman iblis itu menghindar dengan berputar ke kiri. Tangan iblis itu mencakar hendak merobek isi selangkangan jagadnata. 

"Bajingan!" teriak Jagadnata menaikan lutut sebagai tameng. Tangannya mengirim gelombang angin kuat ke arah dada. 

Jika kaki Jagadnata tidak secepat angin maka selembar nyawanya sudah melayang sedari awal.

"Akh!" jerit Nagindi, walau dia sudah menghindar, imbas angin pukulan musuh melintas disamping pinggang terlalu kuat membuat wanita itu terhuyung mundur. 

Jagadnata tidak putus menyerang, ia kembali memusatkan tenaga, kedua tangan membentuk lingkaran, ketika tapak itu diarahkan kedepan sinar biru terang menyorot, menimbulkan suara bersiut seperti tiupan seruling, itulah jurus tingkat tinggi Jagad Segoro Bumi. 

Nagindi melayang setinggi dua tombak untuk menghindari sinar biru menyilaukan, instingnya mengatakan jurus ini sangat berbahaya. 

Blamm...

Ledakan dahsyat terdengar, siluman itu tercekat melihat watu tumbal yang ada di belakangnya hancur jadi debu. 

"Sekali lagi, kemarilah makhluk jahanam!" teriak panglima Jagadnata sambil menyilangkan kedua telapak tangannya. Tubuhnya diselimuti aura kebiruan. 

Nagindi menggeram, batu sakral tempat Kanjeng Ratu Gondo Mayit bertapa sudah lumat, ia harus membalas kekurangajaran manusia dari Kalingga itu. Kedua matanya bersinar hijau terang. Ia akan memuntahkan jurus andalannya juga. Sepasang sinar inti racun. 

Semakin tinggi ilmu para pendekar yang berlaga maka akan semakin lama pertarungan. Apalagi jika tingkat kesaktian sudah memasuki tahap pertapa maka adu kesaktian akan semakin jarang berganti dengan adu ilmu kadigjayaan dan tenaga dalam. 

Dalam adu tenaga dalam, jurus yang dikeluarkan tidak banyak namun akan semakin berbahaya dan mengandung daya hancur mahadahsyat. Petarung harus mampu menakar tenaga yang dikeluarkan musuh dan mengimbanginya, kesalahan sedikit akan fatal akibatnya.

Apabila kurang sedikit tenaga maka menimbulkan celah bagi kekuatan lawan untuk menerobos masuk. Layaknya lubang kecil dalam dam air, jika dibiarkan lama maka memperbesar daya rusak air dan akan membuat seluruh bendungan jebol. 

Luka dalam akan lebih fatal akibatnya daripada luka luar. Retak, tergores bahkan patah tulang bisa disambung kembali oleh ramuan tabib, tetapi luka dalam akan merusak organ vital seperti hati, limpa, jantung bahkan bisa menghancurkan saluran pembuluh darah. 

Dua larik sinar hijau keluar dari mata Nagindi bertumbuk dengan sinar biru dari telapak Jagadnata, menimbulkan ledakan keras. 

Namun tidak membuat keduanya surut, mereka kembali bertukar serangan hingga ratusan jurus berlalu. 

Siluman Gagak Riman menyimpan rasa irinya melihat kesaktian Nagindi, saat ini dari empat panglima iblis, ilmu Nagindi yang paling kuat setelah dibantu kekuatan Nyi Ratu Gondo Mayit, namun kondisi kali ini sangat riskan, kehilangan siluman ular itu sama saja dengan kekalahan besar untuk Istana Jalmo Mati. Ia harus memberi pertolongan. 

Ketika siluman Gagak Rimang ingin turut membantu Nagindi, sesosok bayangan menghalangi, Menggala dengan pedang suci Sinar Matahari yang berkilat dalam genggaman. 

"Jangan lari dari pertempuran, siluman, aku lawanmu!" hardik Menggala. 

Siluman Gagak Rimang mendengus kesal. Ia melayang rendah menghampiri patih dari Kalingga itu. Pertarungan keduanya juga tak terelakkan. 

Sementara di pinggir padang rumput Candini dan para prajurit melihat keempat sosok sakti itu mulai berlaga.

"Saatnya kita maju membantu mereka" ajak Sasrobahu ke penduduk desa Bakor. 

"Apa maksudmu? jika kita ikut terjun dalam pertempuran itu kita cuma akan mengganggu. Apalagi guruku orangnya sangat ksatria, pantang untuk dibantu" cegah Candini. 

Sasrobahu menggeleng, "Apa kau tidak melihat, tulang belulang yang terserak itu? Sebentar lagi iblis Jerangkong itu akan hidup kembali. Sebelum wujud mereka kembali utuh kita harus menghancurkan tulang itu agar tetap menjadi serpihan"

Candini dan para penduduk desa Bakor terkejut, mereka menoleh ke tanah dan memang serpihan tulang berwarna putih itu bergerak-gerak dan mulai bergeser. Mereka harus segera bertindak.

Namun Candini belum berani memutuskan. Ia takut jika bertindak ceroboh justru akan mengundang bencana lebih besar lagi. 

"Kata Sasrobahu benar, sebelum pasukan Jerangkong kembali menjelma kita harus menghancurkan sisa-sisa tulang mereka. Aku setuju dengan saran Kang Sasrobahu!" perintah Mbah Darkun, sesepuh desa Bakor. 

Sasrobahu kemudian langsung meminta prajurit turut beserta warga kembali ke padang rumput. Sembari melihat arah pertempuran yang sengit dan menghindarinya. 

Seluruh prajurit dibantu dengan para penduduk desa berduyun menginjak dan menghancurkan sisa belulang sebisanya, ada yang diinjak, ada yang dipukul dengan batu atau senjata lain. 

Dari kejauhan sepasang mata berwarna merah mengkilap menatap dari kejauhan.

Ni Ayu Sukma Abang,

Gadis cilik itu entah kenapa mengakhiri tariannya, lalu duduk bersimpuh dengan jarak satu tombak dari Murni. Keduanya saling berhadapan. Ia seakan tidak memperdulikan pertarungan dahsyat yang berada di tengah padang rumput.

"Bagaimana ini Ni Ayu, Watu Tumbal telah hancur. Apakah ritual ini telah gagal?" seru Murni. Suara dibuat risau padahal sejatinya dalam hati ia bersyukur meja itu hancur berkeping-keping. Artinya acara tumbal telah gagal, tidak ada darah yang ditumpahkan untuk memuaskan hati para pemuja iblis itu dan warga bisa selamat. Semoga saja para prajurit Kalingga bisa memenangi pertempuran.

"Duduklah Murni, kau akan menyaksikan ritual Tumbal berjalan kian sempurna" Mata Ni Ayu bercahaya gemilang memancarkan sinar kemerahan. Murni menjadi tercekat, mendadak seluruh tubuhnya terasa lumpuh kedinginan, badan hingga ujung kaki membeku tidak dapat digerakkan. Hanya mulut dan lidahnya masih mampu bersuara. Anehnya badannya seperti terhipnotis ikut duduk bersimpuh di depan Ni Ayu walau ia tidak memerintahkannya.

"T-tapi Ni Ayu Watu T-tumbalnya?"

Ni Ayu menyeringai seram. Kulitnya tampak kemerahan dibalut sinar Purnama.

"Kamu salah, mereka salah, watu tumbal sebenarnya adalah padang rumput ini, seluruh orang yang gugur di tempat ini menjadi tumbal hahahaha!" 

Murni ternganga tak percaya, namun ia menyadari sesuatu yang ganjil. Rumput getah getih berwarna merah itu nampak tumbuh lebih panjang tanpa ia sadari. Awalnya tidak melebihi mata kaki namun kini entah bagaimana sudah setinggi lutut.

"A-apa ini"

Rumput itu seperti hidup lalu mulai membelit pergelangan tangan dan kedua kakinya. Menjerat lehernya seakan tak mau melepas hidup-hidup.

Ia berteriak minta tolong namun Ni Ayu tertawa tergelak dengan menutupi mulut memakai kain kebaya merah. Matanya terus berpendar merah seakan menusuk ke dalam pikiran Murni.

"Rumput getah-getih ini tumbuh dari hawa iblis yang bercampur dengan darah orang mati yang dikuburkan disini." terang Ni Ayu.
"Kuberitahu sebuah rahasia, sebenarnya padang rumput ini adalah kuburan masal manusia korban kerajaan Gusti Ratu Gondo Mayit! Sehingga setelah matipun mereka menjadi Jerangkong dan masih menghamba kepada penguasa hutan Tumpasan." 

Tanah di bawah mereka kemudian terasa melunak dan keduanya seakan amblas ke bawah setengah meter. 

Mendadak di lubang itu muncul pancaran cairan kental berwarna merah seperti mata air. Semakin lama semakin banyak hingga menjadikannya kolam setinggi pinggang Murni.

Cairan itu kental dan hangat serta berbau anyir. Mengaduk perut gadis malang itu dengan rasa mual tak tertahan.

"I-ini Apa ni Ayu?" tanya Murni menggigil  gemetar menahan takut.

"Ini adalah darah yang tertumpah sepanjang pertempuran ini Murni. Baik darah dari mayat ataupun mereka yang terluka dan menetes jatuh ke tanah akan diserap oleh akar Rumput Getah-getih dan dikumpulkan kedalam kolam penitisan yang aku panggil"

Ayu terperanjat, karena mual ia muntahkan sedikit cairan asam yang ada di perut. Terasa getir dan kecut bersamaan. Lehernya serasa terbakar.

"Kenapa harus muak Murni? bukankah sedari awal manusia diciptakan dalam pertumpahan darah tanpa ujung. Mereka bertikai demi nafsu dan menumpahkan merah yang mengaliri seluruh isi tubuh sendiri. Sekali darah tertumpah maka tidak akan berhenti sampai semua yang bernama manusia musnah dari muka bumi. Manusia tidak akan pernah belajar dari keserakahan mereka. Bukankah itu sudah lumrah?"

Suara Ni Ayu terdengar berganda ditelinga Murni, seakan ada sosok lain dalam diri dayang siluman itu turut berbicara. 

Murni sendiri tidak mampu menjawab soalan sulit itu. Ia berusaha menguasai dirinya dan mengembalikan pikiran supaya jernih agar bisa lolos dari jeratan Ni Ayu.

"Penitisan, apa maksudnya Ni Ayu?" tanya gadis itu susah payah berusaha mengulur waktu. Darah sudah menggenang sampai ke pundak. 

Murni berusaha menggerakkan kaki dibawah kolam, tapi tampaknya mata Ni Ayu terus memancarkan sihir yang membekukan sekujur badan.

"Dalam Kitab Sangang Wengi, yang paling berbahaya bukanlah ilmu kesaktian. Melainkan kemampuannya untuk menentang takdir ilahi"

Mata Murni membulat, apa maksudnya menentang takdir? Apa dia sudah gila?

Ni Ayu kembali tersenyum seperti tahu apa isi pikiran Murni. "Manusia diciptakan dengan segala keterbatasan Murni, sesakti-saktinya mereka mengolah ilmu kadigjayaan dan kanuragan mereka tidak dapat melawan takdir saat manusia diciptakan bahwa suatu saat raga akan dipisah dari ruhnya entah itu usia seratus-duaratus atau seribu tahun pun kematian pasti datang menjemput. Batasan ruang dan waktu ini membuat manusia sebagai ciptaan, berbeda dengan sang pencipta, namun manusia dianugerahi kecerdasan yang membuat mereka berusaha mencari jalan agar bisa hidup abadi. Dengan cara menyeberangi batasan menuju ketiadabatasan."

"Ketiadabatasan?"

"Menciptakan hukum selain hukum yang telah ditetapkan, itulah jalan kitab sangang wengi. Dengan bersekutu dengan iblis, menyerahkan diri pada unsur kegelapan, kita bisa memutar kembali hukum penciptaan. Dengan kata lain kita bisa hidup abadi. Iblis telah mengajarkan wasiatnya"

Bulu kuduk Murni meremang mendengar sosok di depannya telah bersekutu dengan iblis. Mungkinkah iblis sudah berbicara lewat mulut Ni Ayu? 

"Caranya adalah... kau tahu bagaimana kehidupan manusia ditakdirkan? jawab pertanyaanku ini Murni."

Gadis cerdas dari desa Bakor itu menelan ludah yang tercampur darah yang terasa asin, setengah mati berusaha berbicara. 

"Kehidupan bermula dari perkawinan orang tua, menjadi janin yang hidup dalam kandungan. Setelah itu kita dilahirkan sebagai bayi kedunia. Setelah itu kita tumbuh menjadi dewasa lalu menua setelah itu... Mati."

"Betul sekali, cah Ayu, itulah siklus kehidupan manusia, tiada lain. Tetapi ada cara untuk mencurangi kematian. Yaitu ilmu Nitis Sungsang dalam kitab yang mengajarkan cara untuk terlahir kembali menjadi muda... " Ni Ayu terdiam sejenak lalu melanjutkan. "Alih-alih bertambah tua, ilmu ini membuat badanku kembali menjadi benih iblis setiap siklus tujuh purnama. Setelah proses tumbal kembar selesai maka aku akan menitis kembali dengan badan yang muda dan sehat"

Murni menjadi bergidik. Entah sudah berapa ratus tahun usia Ni Ayu sebenarnya. 

"Selamat untuk kanjeng Ayu, namun ijinkan hamba keluar dari kolam ini karena hamba tidak mempunyai setitik ilmu kanuragan pun, hamba mohon" pinta Murni mengiba. 

"Tidak, aku sudah punya rencana sendiri terhadapmu. Kau tenang saja percaya pada sahabatmu ini"

Murni terlalu berat untuk menggeleng, darah kental menyelimuti seluruh rambutnya. Iapun mulai pasrah. 

Kolam Darah sudah mencelup badan dua gadis sebatas leher. Wajah Ni Ayu semakin mengerikan karena dia mandi mencelup wajahnya dengan darah kental berbau amis. Matanya melotot dengan gigi bertaring kemerahan. 

Jantung Murni berdenyut kencang.
"A-ayahku pernah berkata, jika kita menginginkan suatu hal yang besar maka harus ada pengorbanan besar dibaliknya, yang kau dapat akan setimpal dengan yang kau berikan" 

Ni Ayu Sukma Abang tertawa senang. 

"Gadis pintar, itulah makanya aku sangat suka kepadamu. Tiada pengorbanan lebih berharga selain jiwa manusia. Dan ritual kali ini, pengorbanan tumbal seratus jiwa sangat berarti bagiku karena ilmuku akan naik tahap ke tujuh dari ilmu Sangang Wengi. Aku membutuhkan banyak jiwa manusia sebagai tumbal pengantar kolam darah untuk mencapai tahap ketujuh. Setelahnya aku tak perlu lagi untuk menitis kembali. Saat itu ilmuku cukup sempurna untuk menjadi ratu kegelapan di dunia ini hahaha"

Ni Ayu mengusap pipi Murni. Seperti ada perasaan sayang. 

"Dan kau sangat beruntung Murni karena akan menjadi dayang utama penunggu Tumpasan. Aku telah memutuskan menjadikanmu tangan kananku. Saat kolam darah ini penuh, maka darah iblis akan memenuhi tujuh lobang dalam kepalamu, ingatan masa lalumu akan terhapus dan kekuatan sejati Sangang Wengi akan berinang dalam tubuhmu. Kau akan menjadi wakilku paling sakti, bahkan para panglima bawahankupun tidak seberuntung nasibmu. Tugasmu sebagai tumbal kembar sebentar lagi selesai Cah Ayu"

Murni membelalak ternyata Ni Ayu mengetahui bahwa ialah tumbal kembar tumbar sejatinya. 

"Ba-bagaimana kamu tahu?"

"Semua yang berjalan diatas tanah Tumpasan ada dalam pengawasanku Murni. Setiap mata pohon, burung, laba-laba, kelelawar semua makhluk di hutan adalah mata bathinku, aku telah melihat semuanya termasuk usahamu yang kesana kemari mencari pertolongan agar tidak ditumbalkan. Aku sudah tahu semuanya hahaha"

Murni terkejut bukan main, hati seperti dilolos dari tempatnya begitu tahu jatidiri sosok dihadapannya. 

"Ja-jadi kau adalah..."

Ni Ayu terus mencelupkan wajahnya dan setiap kali kepalanya timbul, anak itu semakin bertambah muda beberapa tahun dan makin lama kepala bocah itu berubah menjadi bayi merah atau orok yang bersuara mengerikan. Didahi bayi itu ada dua benjolan menyerupai bakal tanduk. Suaranya seperti jerit tangis tetapi bukan suara manusia melainkan binatang buas. 

Namun Murni tetap tak kuasa bergerak untuk meninggalkan kolam jahanam itu, ikatan rerumputan itu sangat kuat membelenggu dan darah dalam kolam terus meninggi sampai ke mulutnya. 

Ah ia tak mau ingatannya terhapus dan menjadi budak iblis, ia mau pulang dengan selamat! Tolong!  Dimanakah kau Larantuka? 

Suara jerit bayi itu tak terdengar lagi, sekejap Murni berusaha melirik makhluk ganjil dihadapan, agak sulit memang dengan mukanya yang menghadap ke atas untuk menghirup udara, ia tak mau cairan kental itu memasuki tujuh lubang dikepalanya. 

Sosok Ni Ayu seperti terbungkus telur dengan cangkang transparan, urat urat darah nampak berdenyut-denyut di cangkang itu, dengan sesuatu seperti janin raksasa didalamnya. 

Apakah benih iblis siap dilahirkan kembali? Murni ingin menangis, mungkin lebih baik ia tewas melawan para Jerangkong daripada menjadi budak kelahiran benih iblis. 

"T-tolong,  yaa Gustiii" teriak Murni walau mulutnya beberapa kali kemasukan cairan darah. Perutnya bagai dililit besi panas saat darah mulai masuk terhirup ke dalam hidung dan mulut. 

BERSAMBUNG
close