Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LARANTUKA PENDEKAR CACAT PEMBASMI IBLIS (Part 16) - Dewi Kunti Ireng


Alam berubah saat kuasa gelap ilmu hitam merajalela. Bulan purnama bersinar darah, angin tak bertiup, serangga tak berderik. Dibawah fenomena alam ini kekuatan dan kesaktian kaum siluman semakin berlipat ganda. Bukan Tuhan yang Maha Pengasih tidak wujud namun disinilah ujian dariNya datang, dengan bekal kelebihan yang telah dianugerahkan kepada kaum Manusia, sanggupkah wakilNya di bumi ini mengalahkan para iblis dan angkara murka?

Keadaan mulai memburuk kembali saat pasukan Jerangkong terbentuk. Walau masih belum berwujud sempurna, tetapi cukup menyusahkan pasukan Kalingga. Tubuh tengkorak tanpa kepala maupun tangan bahkan tulang dada itu berjalan tak beraturan kesana kemari, berkali-kali dihancurkan tapi kemudian kembali lagi ke bentuk semula.

Beberapa jeritan kecil terdengar pula dari para penduduk desa. Mereka juga terkaget karena rumput getah getih yang berwarna merah darah entah bagaimana telah tumbuh lebat tanpa mereka sadari. Rumput ini setajam belati menyayat dan mengiris betis dan kaki mereka hingga terasa perih. Darah pun bercucuran jatuh ke tanah. Udara menjadi berbau amis. 

"Gila, rumput ini seperti hidup dan membelit ke kaki" jerit warga desa dengan panik. 

"Jangan takut, cepat tebas semua rumputnya" seru warga yang lain.

Mereka pun berusaha memotong dan menebas rumput setan itu. Napas mereka tertahan melihat mayat-mayat prajurit maupun warga desa di balik rerumputan menjadi kurus kering, tulang mereka hanya dibalut kulit, sangat mirip dengan Jerangkong. Darah dan daging mereka  habis disesap sesuatu. 

"Jahanam, lapangan ini sudah dikutuk, yang gugur disini kelak akan menjadi iblis Jerangkong." tukas Darkun. 

Wajah para penduduk desa menjadi pucat pasi. 

"Bakar saja!"

"Benar bakar sampai habis"

Para warga sibuk membakar rerumputan berwarna merah darah itu dengan obor terbuat dari batang bambu yang diisi minyak, api segera berkobar dengan menyala-nyala. 

"Bangsat! iblis ini seperti tak ada habisnya!" seru para pengawal.

"Hati hati juga dengan rumput ini! Tajam sekali" jerit yang lain. 

Diantara kepanikan, Candini menemukan jalan keluar.

"Ilmu hitam ini harus dicari sumbernya, jika bisa menghancurkan sosok yang mengendalikan sihir ini kita pasti bisa mengalahkan pasukan mayat ini" seru Candini ditengah kepungan tengkorak.

"Tapi dimana? siapa yang menebar ilmu sesat ini?" tanya Sasrobahu.

"Pastinya bukan Siluman Nagindi maupun Gagak Rimang, karena mereka berdua sedang sibuk bertempur. Aku yakin ini pasti ulah siluman kecil yang keluar dari tandu itu, ayo kita segera bunuh mereka" ajak Candini seraya melepaskan beberapa pukulan bertenaga dalam ke arah kumpulan Jerangkong hidup. 

"Tapi para penduduk tidak bisa ditinggalkan sekarang"

"Mereka bisa bertahan, jika tidak sekarang maka semua akan terlambat" tukas Candini.

Sejenak Sasrobahu menatap dalam ke kedua mata bening Candini lalu akhirnya mengangguk kecil,  kedua orang itu segera melesat memutari padang rumput seperti walet keluar sarang. 

***

Mata Murni mulai memerah terkena darah, terasa pedih. Dari tujuh lubang telinga hidung mulut,  sudah dimasuki cairan kental berbau anyir itu. Saat ia mulai tenggelam dalam kolam darah, kesadaran Murni mulai mengambang, ia seperti melayang terbang dalam langit berwarna kemerahan. 

Gadis itu menggerakkan tangan dan kaki namun ia tidak bisa maju maupun mundur, ia semakin melayang tak tentu arah. 

Bunyi gamelan aneh entah darimana mendendangkan tembang jawa yang tak pernah ia dengar sebelumnya. Padahal selama berjalan di hutan ia tidak pernah melihat ada orang yang memainkan alat musik dari logam itu. Suara bonang bertalu menimbulkan sensasi tidak nyaman dalam hati Murni.

Sampai tibalah ia di depan sebuah gerbang besar yang melayang di alam merah itu. Pintu itu terbuat dari lempengan batu raksasa berukir aksara jawa kuno dan simbol-simbol yang aneh. 

Sayup-sayup ada suara memanggil-manggil nama Murni dari balik pintu. Jantung Gadis itu berdegup kencang saat tubuhnya tersedot masuk ke gerbang yang mulai terbuka. Ia berusaha meronta namun kegelapan di balik pintu itu seperti hendak menelannya. 

Ketika ia masuk alam sekitar berubah kembali berwarna hitam pekat. Entah berapa dalam Murni memasuki alam gaib. Betapa terkejutnya dia melihat sesosok wanita melayang datang mendekatinya.

Wanita itu berbaju serba putih dengan alis hitam, rambut panjang hitam legam sampai ke perut dan mata berwarna putih tanpa iris. Bibirnya merah pucat nampak tersenyum. Berjalan dengan lembut ke arah Murni. Bau bunga segera menusuk indera penciumannya. 

"Nah Cah Ayu, jangan takut Nduk, aku sahabatmu,  selamat datang di alamku ini"

"S-siapa kau? Dimana ini?" 

Wanita itu tersenyum menggidikkan "Namaku Dewi Kunti Ireng, temanku mengatakan kau datang untuk mencari pasangan hidup sejati Nduk. Jangan khawatir kamu sudah melangkah di depan halaman Rumahmu. Ini adalah gerbang Panyirepan, gerbang batas alam antara alam gaib dan alam demit milik kaum siluman." 

Murni berkerut, "Aku tak pernah mencari pasangan apapun, siapa temanmu itu?" 

"Kau pasti sudah tahu... Ialah Nyi Gondo Mayit, Cah Ayu hihihihi"

Murni hampir pingsan melihat dua pasang tanduk kecil mencuat dari dahi wanita itu, begitu juga gigi taring yang panjang terlihat jelas saat tertawa. Wajah wanita itu berubah menyeramkan dan tak enak dilihat. Sementara tangannya yang keriput berkuku panjang dan hitam menggenggam erat tangan Murni. Ujung kukunya yang panjang terasa sakit menusuk kulit lengan gadis cilik itu.

"Kemarilah Cah Ayu, mari, kita bersama-sama membangun kerajaan kita. Dengan itu kamu akan bisa hidup tenteram kerto rahardjo, menjadi ratu dari segala ratu, semua keinginanmu akan terkabulkan dengan mudah sekali." bujuk Sosok itu sembari melotot. 

Namun Murni, gadis polos usia belasan itu masih termangu tidak tahu harus berkata apa.

"Lihatlah dalam pintu ini tersimpan berbagai ilmu dan aji linuwih yang akan membuatmu tak terkalahkan. Semua akan berlutut dihadapanmu, kekuasaaan akan ada di genggamanmu dengan mudah. Selain itu tersimpan pula rahasia langit dan segala kekayaan emas permata yang terpendam dalam bumi. Dan kau anak muda, akan menguasai ribuan-jutaan bahkan makhluk dari negeri siluman! Bayangkan!"

Pikiran Murni dipenuhi keraguan, segala yang ditawarkan tak satupun pernah ia cicipi, semua terasa bagai mimpi baginya, membuat makhluk seram itu tidak sabaran dan menggeram marah. 

"Kenapa Nduk? Kamu mau memilih yang lain?  Kamu ndak suka sama aku? Jangan main-main, memilih dayang tidak bisa sembarangan Murni" seru makhluk itu sambil mencekik leher gadis itu. 

Murni hendak teriak namun tidak bisa, ia terkejut melihat dibelakang sosok bernama Dewi Kunti Ireng itu ternyata masih ada ribuan makhluk halus berbaris seakan antri ingin masuk ke raga Murni. Wajah mereka sangat menyeramkan dan jauh lebih menakutkan daripada kaum siluman yang pernah ditemui, membuatnya hampir pingsan.

Antara sadar dan tidak Murni masih mengingat wejangan dari ayahnya saat menidurkannya diatas bale-bale bambu, "Ingatlah Nduk, bahwa segala sesuatu haruslah diperoleh dengan kerja keras, keringat usaha dan doa. Jika ada yang menawarkan jalan kebahagiaan tanpa melaluinya maka kebahagiaan itu sejatinya adalah semu, ingat pesan bapak baik-baik." 

Kemudian kembali terbayang wajah Mbah Rejan yang mengingatkan untuk berhati-hati saat melangkah. "Kaum iblis dengan segala tipudaya akan berusaha mengajak kamu ke jalan kesesatan Nduk. Mungkin hari ini kau bisa mendapatkan apa yang kau mau, tapi dikemudian hari kau akan tepaksa mengorbankan orang yang kau kasihi sebagai tumbal. Bahkan dirimu sendiri kelak akan dikorbankan, kau akan menjadi sosok lain, bukan dirimu sendiri."

Ingatan itu seperti air dingin yang mengguyur kepala gadis itu. Murni berusaha mengumpulkan kesadaran yang ia miliki. 

Celaka! apakah ini salah satu penguasa iblis? Saat Murni menerima tawaran itu maka dia akan menjadi seperti Nyi Ratu Gondo Mayit yang bersekutu dengan iblis untuk mendapatkan kesaktian dan umur abadi. 

Dewi Kunti Ireng menyeringai seram.

"Kamu salah Cah Ayu, kaum kami hanya ingin bersahabat denganmu, kita akan saling membantu untuk mencapai keinginanmu, tidak ada yang menjadi tumbal disini." bujuk sang Dewi seperti tahu isi pikiran Murni.

Tidak! Ia tidak mau menjadi makhluk berhati setengah iblis setengah manusia. Apalagi harus mengorbankan keluarga yang ia sayangi satu persatu. 

Murni berteriak kencang. Tubuhnya bergetar hebat seperti diguncang gempa. 

"Tidaaaakkkkk!"

"Oalah nduk, kamu menyia-nyiakan aku, beraninya kamu!" umpat makhluk itu mencekik Murni bersama teman-temanya.

Dalam keadaan terdesak gadis kecil itu berusaha mencari jalan keluar. Namun semua terasa buntu di pikiran. Hanyalah beberapa bait yang pernah ia dengar terlintas di benaknya ia coba lantunkan.

Nandan Asmoro ing Ati
Nadyan Katon Ana
Kaya edan bebasane
Kanggomu aku lila

"Ngomong opo kowe Nduk?" bentak Dewi Kunti Ireng.

Mendadak alam berubah dari berwarna hitam menjadi kemerahan. Cacian Dewi Kunti Ireng terdengar perlahan semakin pelan. Makhluk itu mendongak ke atas dan terlihat semakin marah. Ada sesuatu yang cepat menarik tubuh Murni ke belakang, ia serasa terlempar kedalam jurang dalam. Tiba-tiba keadaan kembali menjadi gelap berkunang-kunang di mata Murni. 

Lalu pundak Murni serasa direnggut sesuatu, sebuah tangan menyeretnya keatas-keluar dari kubangan darah. 

"Hai bangun!"

Suara wanita membuat Murni tersadar, ia berusaha membuka kelopak mata yang terasa lengket. 

Hueekkk...

Murni memuntahkan gumpalan darah kehitaman yang mengganjal di rongga mulut. Ia mendongak keatas sudah ada dua sosok. Satu perempuan berbaju kuning tengah berkacak pinggang. Satunya adalah laki-laki berbaju garis yang ia kenal dan membuat jantungnya berdebar, Sasrobahu.

"Kamu tidak apa-apa Murni? Setengah mati aku mencarimu kesana-kemarin" tanya Kepala Desa Bakor itu seraya memutas sulur yang membelit tangan dan kakinya. Rupanya dia yang menyeret tubuh Murni ke atas kolam.

Murni tak kuasa menatap Sarobahu, ia hanya tersenyum lemah, masih berusaha mengumpulkan kekuatan untuk bergerak, darah kental masih lengket di sela rambut dan sekujur tubuh. Ia menengok ke kolam darah dan membelalak ngeri.

Kolam darah itu telah berubah warna menjadi hitam. Ditengah kolam terdapat benda berbentuk bulat seperti ketuban yang berdenyut-denyut seperti hendak pecah. 

"Apa itu?" tanya Candini dengan mata membulat. Ia melolos pedangnya untuk melindungi diri.

Murni berusaha berbicara tenggorokannya terasa perih, "Ja-janin iblis... sumber malape...taka"

Candini langsung mengerti bahwa di hadapannya ada iblis sakti yang hendak menitis lahir ke bumi. Ia segera mengambil ancang-ancang menusukkan pedang ke benda bulat itu.

Serangannya begitu cepat dan luwes namun sebuah tangan mencekal pergelangan Candini.

"Kau sudah gila? kenapa menghalangi?"

Ternyata Sasrobahu menangkap kuat tangan Candini sehingga ia tidak bisa menyerang. 

"Tunggu dulu!" cegah Sasrobahu.

Namun Candini mengibas cekalan itu, ia menjejak tanah dilanjutkan menyerang dengan jurus Gelombang Air Pasang dari atas. Kesiur angin berhembus kencang dari ujung pedang, ia menebas melintang dengan kecepatan tinggi lima kali dari udara langsung ke titik tengah dari Janin. Namun entah dari mana datangnya, tapak Sasrobahu memapak pergelangan tangan pendekar wanita itu sama cepat hingga ia oleng.

Terpaksa Candini kembali mendarat di tepian kolam. Matanya mendelik meminta penjelasan.

"Jangan bertindak gegabah Candini, kita tidak tahu apa yang akan terjadi bila benda itu ditusuk oleh pedangmu. Bisa saja malah akan mendatangkan malapetaka bagi kita bertiga" larang Sasrobahu.

"Apa maksudmu? serang saat makhluk itu masih lemah sebelum ia menjelma menjadi manusia siluman sebenarnya kau dipihak mana?" bentak Candini dengan alis bertaut.

Sasrobahu berdecak kesal "Janin iblis itu penuh berisi air ketuban yang beracun. Jika tidak hati-hati maka kau akan terkena cipratan."

Sesaat gadis itu ragu, ia memang terkadang bertindak tanpa berpikir dulu. 

"Lalu bagaimana?"

"Kita amankan dulu Murni ke belakang, lalu serang dari jauh!" 

Candini mendengus kesal namun ia menyetujui usul itu. Ia segera memutari kolam darah dengan tatapan tak pernah lepas dari janin yang berdenyut itu. Kedua orang itu lantas memapah Murni kebelakang, saat mereka berbalik hendak menyerang tiba-tiba tanah padang rumput itu bergetar hebat.

Wajah Candini pucat pasi, "Tobat biyung, kita semua terlambat." 

***

Belasan cakar hitam membayang didepan Menggala, inilah jurus andalan Gagak Rimang Cakar Iblis Hitam. Setiap serangan jika ditangkis akan membuahkan serangan baru yang mematikan tanpa ampun membabat musuh. Sekujur tubuh Menggala sudah meneteskan darah akibat luka cakaran. Apabila tidak dilindungi dengan pedang suci Sinar Matahari sedari tadi mungkin ia sudah mampus karena kesaktian musuh dua tingkat lebih tinggi daripadanya.

Tenaganya sudah hampir habis, pedang pusaka itu terasa begitu berat beberapa puluh kati, mungkin ini sudah saatnya ia mengeluarkan ajian pamungkasnya. Menggala berusaha mengatur napas untuk memulihkan tenaga dalam.

"Lumayan juga ilmumu, baiknya kau serahkan pedang pusaka itu padaku" ujar siluman Gagak Rimang dingin.

Menggala meludah darah, "Memberikan pusaka Kerajaan Kalingga kepadamu kaum siluman? jangan harap bermimpi di siang bolong."

Siluman Gagak Rimang menyeringai, memperlihatkan gigi setajam mata gergaji.

"Sebaiknya kau bertekuk lutut karena ajalmu sudah hampir tiba"

Patih Menggala tiba-tiba tertawa terbahak menatap langit malam.

"Apanya yang lucu?"

"Kau kira pasukan Kalingga cuma kami saja? kami memiliki pasukan dengan delapan puluh jenderal setingkat gusti Jagadnata. Pasukanku yang menyerang kalian hanya sebagian kecil saja."

Diam-diam siluman Gagak Rimang terkejut dalam hati. Negara Kalingga ternyata bukan hanya gertakan sambal. Jika ada gelombang serangan kedua datang dengan kekuatan penuh, kerajaan mereka pasti akan kewalahan. Bantuan dari Raja dan Ratu Siluman dari kawasan lain mutlak diperlukan untuk membendung kerajaan Kalingga.

"Kali ini aku akan menggunakan semua tenagaku, kau sebaiknya lari dari pertarungan ini" ancam Menggala.

Namun siluman Gagak Rimang tidak mempan ditipu, dia tahu nyawa Menggala sudah diujung tanduk, bahkan mengangkat pedang ia sudah tidak mampu. "Jika kau menggunakan seluruh tenagamu maka kau akan mati sia-sia manusia, apakah kerajaanmu akan peduli pada mayatmu?"

Menggala tersenyum. Sebagai anak yatim piatu  karena kedua orangtuanya dimakan oleh iblis, sedari kecil ia dibesarkan oleh kerajaan. Ia telah dididik, diberi makan dan dilatih sebagai pasukan pengawal. Tumbuh dengan mental baja prajurit, Ia telah mengabdikan semua yang dimiliki pada Negara Kalingga. Tidak ada yang membebaninya lagi.

Patih itu kemudian memutar pedangnya dengan kedua tangan setengah lingkaran. Tenaganya sudah terkumpul enampuluh persen, hanya itu yang tersisa, namun sudah cukup untuk mengeluarkan ajian pamungkasnya tertinggi yang ia pelajari dari kitab unsur Angin Hujan yaitu ajian ke enam, Mengirim Hujan ke Seberang Gunung.

Jurus ini bertujuan mengirimkan prana tenaga dalam melalui media benda ataupun udara kosong. Pengguna harus memiliki kekuatan tenaga dalam yang mumpuni. Apabila tidak cukup kuat maka kekuatan tenaga dalam itu akan berbalik mengenai pengguna, mengakibatkan muntah darah dari tujuh lubang di kepala dan kehancuran organ dalam.

"Mari adu jiwa bersamaku siluman!" teriak Menggala.

Siluman Gagak Rimang menjerit keras, ia mengeluarkan ajian simpanan Gagak Hitam membuka gerbang kegelapan. Kedua sayap hitamnya segera terbungkus cahaya hitam tebal. Ia sodorkan kedua sayap itu kedepan membentuk jarum jarum cahaya hitam yang melesat bagai hujan.

Menggala mengayunkan pedang pusaka dengan segenap inti kekuatan tersisa. Tenaga yang ditimbulkan mahadashyat, cahaya putih gemilang bak bulan sabit menerobos hujan panah cahaya hitam itu. Memapas semua kekuatan iblis yang menghalangi langsung menuju siluman Gagak Rimang.

Terkejut oleh serangan tak berwujud jarak jauh yang dilontarkan Menggala, siluman Gagak Rimang berusaha menahan dengan kekuatannya. Ia menyilangkan tangan di kedua dadanya lalu mendorong ke depan sekuat tenaga. Ribuan panah hitam kembali keluar dari kedua sayap Siluman Gagak Rimang, namun kekuatan jurus pamungkas Menggala ditambah kesaktian senjata pusaka tidak disangka berkali-lipat daya hancurnya.

Siluman Gagak Rimang segera mengepak sayap sebelah kanan untuk menghindar, cahaya putih tadi melintas hanya selisih satu dim dari dada langsung merobek ujung sayapnya sedikit.

"Bangsat, hampir saja aku celaka" umpatnya.

Berbeda dengan Menggala, ia tidak mampu menghindari serangan siluman Gagak Rimang, puluhan senjata rahasia berwarna hitam menancap di dada dan perut dengan darah menetes bagai anak sungai, rupanya senjata itu adalah puluhan helai bulu burung yang berujung tajam bagai belati. Namun demikian patih itu bergeming seperti tidak merasa sakit. Dia diam saja seperti patung.

"Heh bocah sampai juga kau pada ajalmu!" jengek siluman Gagak Rimang gemas.
"Jika tak ada pedang itu tentu kau sudah mampus dari tadi, sebelum aku bantu Nagindi baiknya kupastikan nyawamu benar melayang."

Ia mendekati Menggala dengan hati hati, setelah dirasa musuh benar tak berdaya tangannya terjulur ke arah kepala Menggala untuk memutas habis batok patih dari Kalingga itu. Begitu telapak tangan sudah menggenggam ubun-ubun musuh tiba-tiba hal tak terduga terjadi, mata Menggala terbuka melotot.

"Kena kau burung sialan, Mengirim Hujan ke Seberang Gunung!"

Teriakan sekarat Menggala terdengar kencang disusul cahaya putih kebiruan dari mata pedang yang ia genggam. Kali ini ia benar-benar mengeluarkan semua tenaga yang tersimpan dalam jiwa dan raganya.

Dalam keadaan terdesak siluman Gagak Rimang hanya bisa melayang mundur keatas namun dia tidak mampu menghindar seperti serangan pertama, cahaya itu terlalu dekat!

"Woeeekkk"

Suara jeritan menggema, Sinar berbentuk bulan sabit itu membabat dada siluman Gagak Rimang. Membuat siluman itu muncrat darah dari mulutnya.

"Bangsat aku tak akan menyerah!!!" teriak siluman Gagak Rimang berusaha menahan sinar cahaya dengan prana di dada hingga dua kekuatan bertabrakan.

Dhuarrrrr...

Ledakan besar terjadi di udara menyisakan serpihan-serpihan hitam berwarna hitam.

Tubuh siluman Gagak Rimang yang sudah tak karuan jatuh luruh ke semak-semak seperti laron yang terbakar api. Bau sangit tercium santer.

Jagadnata terkejut mendengar suara ledakan, ia segera meloncat mundur dari kancah pertarungan dengan Nagindi. Ia melihat asap dari ledakan tersebut dan khawatir dengan keadaan sang patih.

"Haii jangan lari pengecut!" teriak Nagindi sambil mengejar dari belakang.

Dengan sekali kelebat Panglima Kalingga tiba dihadapan patihnya, Menggala tampak berdiri tegak, namun kepalanya menunduk sementara kedua tangannya bertumpu pada ujung gagang pedang Sinar Matahari. Darah menetes dari ujung bibirnya.

Panglima Jagadnata terkaget, ia segera memeriksa detak jantung dan denyut nadi adik seperguruannya itu. Hampir tidak terasa denyut itu. Ia segera mendudukkan tubuh Menggala membuatnya bersila dan menotok titik vital di punggung, segera ia salurkan tenaga dalam ke titik tulang bagian bawah, berlanjut ke titik atas ginjal sampai ke titik tulang belikat.

Menggala segera memuntahkan darah hitam dari mulut, "S-sudah Kakang, simpan tenagamu untuk musuh di depan..." erang Menggala dengan napas terengah.

"Tidak bisa, kau harus tetap hidup adhi! kau sudah janji untuk menjadi panglima sepertiku!" bentak Jagadnata panik, ia pompa lagi tenaganya.

Menggala berusaha menjauhi telapak Jagadnata di punggung napasnya hampir terputus, "Maaf kakang... adhi sudah tidak kuat... Sumpah agung prajurit adhi sampai sini saja..." 

"T-tunggu Menggala"

Sesungging senyum terlintas di bibir Menggala lalu dia ambruk ke depan tidak bangkit lagi.

"Menggala!" teriak Jagadnata.

Namun tidak ada jawaban, kepala panglima itu tertunduk menyesali kepergian anak buahnya.

"Nyawa balas nyawa, patihmu pantas menerimanya hahaha!" tawa Nagindi sambil berjalan santai ke arah Jagadnata. 

Dalam hati ia merasa senang juga gembira karena kini hanya ia satu-satunya panglima tersisa sekaligus penerus tunggal kesaktian Nyi Ratu Gondo Mayit dan istana Jalma Mati kelak.

Panglima itu bangkit dan menatap Nagindi dengan mata memerah, "Kau dan ratumu tanggung bersama, harus membayar dengan bunganya, karena aku telah kehilangan prajurit pintar dan ksatria seperti Menggala"

"Hahaha coba saja!" tantang Nagindi.

Tanpa banyak mulut, Jagadnata segera menerjang Iblis Nagindi dengan penuh amarah, tangannya sigap menyambar pedang suci Sinar Matahari yang tertancap di tanah dan menebaskanya ke batok kepala siluman Ular itu.

Nagindi terkaget akan serangan dadakan Jagadnata, reflek ia menangkap bilah pedang besar itu sebelum menebas tubuhnya jadi dua dengan kedua tangan, namun tekanan Jagadnata begitu besar sampai wanita itu terseret mundur sepuluh tombak. 

Sedari awal kekuatannya hampir berimbang dengan Jagadnata ditambah dengan kesaktian pedang pusaka membuat Nagindi harus  berkeringat dingin. Tentu ia akan jadi bulan-bulanan.

Celaka! jerit Nagindi dalam hati. Nasibnya hampir diujung tanduk.

Tiba-tiba sebuah sinar kemerahan memancar dari belakang Nagindi, menyilaukan kedua mata Jagadnata. Ia ingin mundur dan menarik serangan namun pedang suci seperti tidak mau terlepas dan terikat pada sesuatu. Ia paksakan untuk membuka kelopak mata sebelah kiri mengantisipasi serangan musuh.

Betapa terkejutnya Panglima dari Kalingga itu melihat bilah pedang selebar sampan perahu itu hanya dijepit oleh dua jari lentik seorang wanita misterius.

Wanita dengan sorot iris merah menyala, senada dengan rambutnya yang panjang terurai menutupi bagian atas tubuh yang polos. Kulitnya seputih susu nampak kontras dengan kain jarit yang masih basah kuyup oleh darah.

BERSAMBUNG
close