Persidangan Gaib Di Gunung Balsiah
(Note. Nama gunung disamarkan, nama universitas dicut, semua nama bukan sebenarnya).
2016. Tepat aku semester 1 alias Maba di salah satu universitas berbasis Islam di Semarang. (coba univeristas apa?). Setelah melewati proses OPAK (?), dan kuliah umum. Aku berminat sekali untuk mengikuti UKM Mawapala (Mahasiswa Pecinta Luna Maya, eh salah) 😁
Dari keinginan itulah akhirnya aku mendaftar dan tak perlu banyak syarat-syarat karena memang tak banyak mahasiswa yang mau bergabung dengan ukm ini. Aku diterima menjadi bagian dari pecinta alam.
Dari sinilah awal langkah menuju persinggungan (lagi) dengan dunia jin.
°°°
Di UKM ini kami tak langsung dianggap sebagai anggota resmi melainkan berstatus magang. Sampai kami selesai memenuhi "target" yang diintruksikan oleh para tetua. Dimulai dari yang paling mudah. Seperti membuang sampah pada mantannya (eh tempatnya). Bukan cuma sampah kami. Tapi sampah di wilayah teritori fakultas kami. Capek? Yaiyalah wong melakukan itu tiap hari. Jadi setiap sore kami berkumpul dibagi kelompok lantas menyebar memungut sampah. Kegiatan ini membuatku lebih mudah beradaptasi dan saling mengenal antar sesama geng magang Mawapala.
"Kamu mengambil jurusan apa Wafa?"
"Aku di Hukum Pidana Islam, kamu sendiri ?" Balas tanyaku.
"Alhamdulillah aku diterima dijurusan Falak"
"Wah.. pandai menghitung dong?." "Hahaha"
"Oh ini aku punya pertanyaan, bumi itu bulat atau datar sih sebenarnya?" Aku bertanya
"Kayanya segitiga sama sisi deh"
"Hahaha bercanda aja.."
Temanku ini namanya Faiq, orangnya humble (humbel?) lumayan tajir, ganteng juga.
Singkat cerita, satu minggu berturutan kami satu geng magang sudah melaksanakan pemungutan sampah di sekitar kampus. Yap.. ini tugas pertama. Tugas kedua, kami akan melakukan kampanye yang ada kaitannya dengan save our heart (tulisannya betul gak) dengan gerakan 'car free day' (mobil bebas hari/ngarti sendirilah). Jadi setiap ada yang masuk ke lingkungan kampus, harus memarkirkan mobil/motor di tempat yang disediakan Mawapala. Lalu mereka turun dan jalan kaki. Adapun kami bertugas menjadi "tukang parkir".
Hampir lupa. Jumlah geng magang kami yaitu 17 campuran dari 9 mahasiswa dan 8 mahasiswi. Asoy kan..
Tugas kedua selesai. Kami akan dipersiapkan untuk melakukan sesuatu yang lumayan berat bagi yang belum terbiasa. MENDAKI GUNUNG. Sebab masih belum terbiasa para tetua memilih gunung yang tingginya -+ 1000-2000an mdpl. Terpilihlah gunung BALSIAH.
Untuk kelancaran pendakian gunung ini kami dibina kekuatan fisik, mental dan all about of rescue (duh blibet). Selama 1 bulan dengan jadwal 3 kali pertemuan dalam seminggu. Hingga akhirnya sekira tanggal 4 di bulan Mei kami akan berangkat ke gunung Balsiah.
"Teman-teman terutama geng magang camawapala, hari ini kita akan berangkat ke gunung Balsiah dengan memakai angkutan berupa dam/truk. Kita akan mendaki dari jalur pendakian Tarum sehingga nanti kita akan menemukan sebanyak 5 pos pemberhentian sebelum sampai di puncak Balsiah. Saya harap kalian benar-benar menguatkan tekad dan mengumpulkan seluruh mental kalian. Karena ini merupakan ajang pembuktan dari proses awal sampai akhir. Jangan lupa barang serta peralatan yang wajib dibawa jangan sampai ketinggalan" Papar ketua Mawapala.
"Ashiiaapp" Kompak kami menjawab.
Jam 9 pagi kami meluncur dari kampus menuju kaki gunung Balsiah di daerah Batu Mesin. Perjalanan yang lumayan menyenangkan, meskipun kontruksi jalan yang turun naik. Kami semua ber-17 dengan para tetua Mawapala ber-9 (5 perempuan + 4 lelaki) bergumul dalam bak truk. Sekitar pukul setengah 1 siang, kami pun tiba di Batu Mesin. Setelah menurunkan perlengkapan pribadi tas dan segala macamnya. Kami diintruksikan untuk sholat duhur terlebih dahulu untuk kemudian berkumpul lagi di pos pendaftaran.
Kami semua terbagi ke beberapa kelompok kecil. Ya wajarlah sudah insting manusia untuk berkumpul dengan yang mereka kenal tapi malu-malu sama yang lain. Aku bersama temanku Faiq, Yusuf, Gepeng, dan Bais berkelompok menuju mushola kecil untuk sholat duhur.
Singkat cerita selesai kami sholat, sembari memakai sepatu Bais bertanya.
"Fa, di tasmu ada aqua, bukannya sudah ada yang tanggung jawab bawa air minuman"
"Oh ini, ini spesial" Aku menunjuk aqua yang ada di kantong tasku. Aku tak memakai tas gunung (carier),
memang tak punya dan malas buat menyewa. Toh tak diwajibkan juga. Jadi 'sistem' naik gunung pada pendakian pertama ini (bagiku, entah bagi yang lain) para tetua mengatur sedemikian rupa demi memperlancar tugas terakhir ini. Kami bert-17 dibagi ke dalam 3 kelompok yang ke semuannya mendapatkan tugasnya masing-masing. Sedangkan kelompokku (aku, faiq, yusuf, bais dan nela) selain kebagian tugas membawa 1 tenda ukuran besar dan perlengkapan tidur, masing-masing dari kami membawa makanan ringan dari mulai rasa asin sampai manis ada semua. Entah kelompok lain membawa apa saja aku juga tak terlalu paham. Mungkin ada obat-obatan, air minum, kopi, susu, lontong (nasi padang 😁), kompor gas, gelas plastik dll. (Klo disebutin semua gak jadi cerita horor malah kaya mau jualan).
°°°
Setelah semua selesai melaksanakan sholat kelompokku segera merapat ke pos pendaftaran begitu juga teman-teman yang lain. Di pos pendaftaran kami melengkapi administrasi pendaki seperti absen nama, KTP atau identitas diri lainnya bagi yang belum punya.
Ternyata karena jumlah kami yang lumayan jumbo, 17+9= 26 maka kami wajib didampingi oleh satu orang pendamping (gaed, lupa inggrisnya) demi kenyamanan dan keamanan bersama. Para tetua tak masalah meskipun sempat tak setuju karena mereka sudah terbiasa mendaki tanpa pendamping. Tapi karena takut terjadi hal yang tidak diprediksi sebelumnya akhirnya mereka mengiyakan.
1.30 para tetua menyuruh kami untuk makan terlebih dulu. Sambil menunggu waktu asar. Karena rencana pendakian akan start jam 3.30 sore kami masih ada waktu untuk berleha-leha, melihat pemandangan sekitar, selfie dan tentunya makan.
3.30 Kami start mendaki via Tarum, dengan posisi 2 tetua + 1 gaed (laki-laki) berada di depan sebagai pemimpin perjalanan. Diiringi anggota kelompok Satu dan dua (aku masih belum hafal nama-namanya) kemudian di belakang mereka ada 5 tetua (perempuan) diikuti kelompok 3 (aku disini) dan ditutup oleh 2 tetua (laki-laki). Mendaki.. Mendaki... Mendaki.. Istirahat.. Minum.. Mendaki.. Istirahat. Minum begitu seterusnya.
Karena memang jumlah kami lumayan banyak dan juga masih amatir, aku rasa lebih sering istirahat ketimbang semangat berjalan.
Maghrib Pos 3. Istirahat. Mendengarkan adzan tiba-tiba...
"Arrrgghhhhh" ada yang berteriak begitu kencangnya, tak perlu waktu lama untuk mengetahui dari arah mana suara itu. Ternyata dari kerumunan pendaki lain yang tengah turun (pulang). Sekitar 5 orang (2 perempuan 3 lelaki) sedang memegangi 1 orang perempuan.
Kami yang melihat kejadian itu, sontak kaget. Kenapa dia kok tetiba menjerit, hypotermia kah ? Atau di gigit ular ?. Masih dalam kesimpangsiuran, gaed dan beberapa tetua kami inisiatif menghampiri. Aku tak terlalu jauh pun tak dekat juga. Hanya mendengar percakapan mereka.
KESURUPAN
Dari tadi sudah ditangani oleh salah satu dari mereka tapi tak mempan juga. Malah yang mencoba menyadarkannya justru terkena serangan-serangan fisik. Akhirnya sebisa mungkin dipegang kedua tangannya dan kedua kakinya untuk mengendalikan tenaganya yang kuat. Serba salah. Didiamkan dia akan lari, dipegang dia berontak terus. Senja mulai memerah. Kami riuh. Ingin melihat dari dekat. Para tetua kami mencoba mengendalikan suasana supaya kelompok tetap pada satu komando. Kemudian..
seseorang menawarkan diri untuk membantu memecahkan kebuntuan. Di kontur tanah yang meninggi dan kanan kiri jurang serta remang cahaya senter. Seorang gadis meraung-raung, aku tak tahu dia kerasukan apa. Baru kali ini aku melihat kejadian yang membuat bulu kuduk mengembang.
Ternyata Gepeng menawarkan diri untuk ikut membantu menyadarkan pendaki yang kesurupan tadi. Aku tak tahu apakah memang Gepeng ini punya basic dibidang per-jin-nan atau iseng belaka. Tapi mana mungkin dalam kondisi seperti ini dia bercanda. Aku masih memperhatikan ketika Gepeng menekan jempol kakinya. Pertama terlihat gadis itu meraung seolah kesakitan. Tapi alih-alih makhluk itu keluar justru semakin ngeri saja. Pada kebuntuan ini, Gepeng enggan menyerah diajaklah makhluk tersebut komunikasi.
"Saha maneh ?" Loh kok Gepeng malah pake bahasa Sunda. Ia memang berasal dari daerah Jawa Barat, tapi ini kan di Jawa, atau mungkin makhluk yang ngerasuki itu memang masih dari tatar Sunda. Aku masih tak ingin ikut campur. Semoga Gepeng bisa mengkondisikan.
"Aing ucing gede" (Aku kucing besar). Jawab si gadis tersebut yang tentunya suaranya sudah berubah seperti lelaki.
"Ek kumaha maneh dina awak ieu budak?" (Mau apa kamu berdiam di tubuh anak ini)
"Sia malkudu nyaho, ieu urusan aing jeng kolot aing" (Kamu tak perlu tahu, ini urusanku dengan orangtuaku"
Gepeng belum juga putus asa. Dia membacakan ayat suci. Hasilnya tak mempan juga. Aku yang sedari tadi cuma melihat dan memperhatikan mulai penasaran. Dari percakapan tadi makhluk yang menguasai ini tipe zoan (hehe) yap, MACAN. Biasanya jika macan maka dapat dipastikan makhluk tersebut hasil tanam. Paham maksudnya? Maksudnya makhluk tersebut memang sengaja 'disuruh' untuk menjaga. Bilamana ada yang menggangu gadis itu, maka sang macan tersebut yang berontak tak menerima. Tapi kenapa dan siapa yang menanam macan pada seorang gadis ini. Motivasinya apa, padahal harusnya si penanam tahu hal itu dapat membahayakan induk inangnya. Apalagi perempuan, kondisi jiwanya sering tak stabil. Dan juga sering kedatangan tamu bulanan. Benar-benar sebuah misteri. Apakah aku perlu membantu ?. Tapi aku masih khawatir akan kejadian beberapa bulan lalu.
Setelah sebelumnya mata batinku ditutup. Aku mencoba membuka paksa dengan sendiri. Serba salah. Dalam kebingunganku, tanpa diduga. Satu tetua (laki-laki) mendekati si gadis yang tengah dipegangi oleh temannya dan dibantu dari sebagian tetua Mawapala. "Arrgghhh". Mas tetua, Hendra, aku kira ingin membantu justru malah menyerang gadis tersebut. Hendra mencakar muka gadis itu. Belum sempat mendapat jawaban kenapa mas Hendra melakukannya, tiba-tiba, entah tenaga darimana gadis yang sedang duduk dan ditahan oleh mereka tadi, mampu melepaskan diri dan balik menyerang mas Hendra. Situasi ini semakin gawat saja. Sekarang sudah ada dua makhluk berbeda mengisi di tubuh yang berbeda pula dan bermusuhan.
Aku harus segera mengusahakan sesuatu. Situasi ini tak bisa dibiarkan sampai larut. Antara aku dan mas Hendra serta gadis itu berjarak sekitar 3 meter. Dengan sekuat kehendak hati. Ya Allah hamba niat menolong, tak ada maksud lain selain daripada menolong.
Bismillahirrahmanirrahim. Tak tak tak. Aku injakan kaki ke tanah (bumi) tiga kali. Seketika Hendra dan sang gadis yang hampir saja mengadukan masing-masing tubuhnya diam memaku.
Aku mendengar beberapa omongan dari keduanya. Aku tak peduli. Terserah kalian mau apa yang jelas niatku sekedar menolong. Gelap mulai menjalar meskipun belum terdengar adzan isya. Angin berubah lebih dingin mungkin karena kami hampir mendekati puncak. Sekonyong-konyong ada suara burung berkeak-keak. Di Desaku itu pertanda kematian.
Teman-temanku masih setengah sadar apa yang aku lakukan. Aku meminta para tetua untuk memegang si gadis dan mas hendra. "Arep opo kowe.. Ek kumaha sia" (mau apa kamu) keduanya berbicara bersamaan. "Bukan urusan kalian" jawabku. Menghadapi makhluk seperti mereka kita harus lebih tegas daripada gertakan mereka. Aku membisiki pak gaed untuk memenuhi permintaanku. "Pak, tolong teman-teman semua diberitahu buat bersholawat, cukup dalam hati mereka, biar ini dan mas-mas tetua yang menangani". Mendengar itu pak gaed langsung memberitahu teman-teman. Aku ditemani 3 tetua dan teman si gadis. Aku meminta mereka supaya memegangi mas hendra dan si gadis. "Puuhhh.." aku tiup telinga kanan si gadis, dia mengerang. "Sreeett" aku tarik dari ekor punggungnya sampai ke pundak, lantas aku lemparkan jauh-jauh. Seketika si gadis langsung lunglai. Hal yang sama aku juga lakukan ke mas Hendra. Mereka masih lemas, apalagi si gadis. Aku ambilkan air dibotol aqua. Air ini sebelum berangkat ke gunung, sudah aku asmai terlebih dahulu di kontrakan. Air spesial. Aku mengisi di gelas plastik. Aku meminta keduanya untuk minum. Tak berselang lama, mereka berdua mulai membaik dan tepat saat adzan isya mereka pulih seperti sedia kala.
Puncak persidangan gaib.
"Kubang Walingi"
Aku tak berani bertanya lebih lanjut apa sebenarnya yang terjadi pada gadis itu. Khawatir justru membuatnya takut dan kesurupan lagi. Aku cuma bertanya nama. Namanya Laela asal Cirebon sedang kuliah di Semarang. Dan mendaki kemarin hari. Sore ini tengah turun bersama rombongannya. Selesai istirahat dan mengumpulkan tenaga. Laela dan kelima temannya turun gunung di temani gaed yang mendampingi kami. Sedangkan kami tetap melanjutkan perjalanan sampai puncak. Meski tadi harus melewati rumusan musyawarah. Mengingat kengerian yang menimpa barusan. Rasa penasaran akan tugas terakhir membuat kami semangat, tak takut. Dan sebagai wujud ikhtiarku, aku bagikan air spesial di sebotol aqua tadi. Mereka pun antusias meminumnya. Kami pun mendaki lagi. Diterangi cahaya senter.
Namun.. Aku merasa seolah ada yang mengawasi gerak-gerikku. Ya, di belakang. Sedangkan di kanan kiriku, terdengar bisikan-bisikan. Seperti dua orang/kelompok yang tengah membicarakan sesuatu. Halusinasi? Atau efek kelelahan? Ah. Aku tepis segala kemungkinan buruk yang mungkin saja akan terjadi selanjutnya. Mendaki... Mendaki.. Istirahat.. Mendaki.. Mendaki.. Keak.. Keak.. Burung gunung malam nyaring sekali.
"Kamu dengar gak suara burung barusan?" tanyaku pada Nela.
"Ah jangan nakut-nakutin, aku gak denger apa-apa". Papar Nela.
"Loh, mosok kamu gak dengar ? Lagian aku gak nakut-nakutin kok"
"Gak dengar sumpah, sudahlah jangan mistis gitu" Nela tampak tak nyaman. Aku pun bertanya pada Yusuf, ternyata dia juga tak mendengar. Ah mungkin perasaanku saja.
Jam 8 malam. Akhirnya sampai juga di puncak gunung Balsiah. Ternyata sudah ada sekitar 5 tenda yang berdiri. Artinya ada pendaki lain selain kelompok kami. Sesuai rundown acara kami berbagi tugas. Laki-laki mendirikan tenda. Perempuan menyiapkan minuman dan makanan penghangat. Ini kali pertama aku menyapa puncak gunung. Uh dingin. Hidungku tersumbat oksigen. Wajahku berciuman dengan awan (ciye). Suasana yang begitu "sumringah" bagi mereka yang punya pasangan. Hupt. Imajinasiku diganggu dengan suara burung lagi. Kenapa dia mengikutiku sampai puncak. Dibalik keremangan cahaya, sesuatu nampak bertengger di tenda kelompok pertama yang sudah berdiri. Entah kenapa orang-orang di sekitar hirau akan kehadirannya. Jangan-jangan memang hanya aku yang melihat itu.
Sekitar 10 meter jarak aku dengan sesuatu itu. Bentuknya segede ayam jago. Warnanya hitam lekat. Kedua kakinya merah. Paruhnya panjang. Sedangakn kedua matanya bersinar keunguan. "Keak..keak". Oh ternyata suara tersebut berasal dari burung itu. Aku tak takut justru penasaran. Apa gerangan yang dilakukan burung itu di sini.
"Waf.. Ada apa ? Ngelamun saja, ayok mangan, tuh sudah diteriakin tetua" Bais mengeplak pundakku. Ternyata semua tenda sudah berdiri. 5 tenda untuk 26 orang, muat? Ya muatlah. Mungkin. Hehe
Aku dan semua camawapala beserta para tetua sudah minum dan makan. Ya, sekitar jam 10 malam. Aku berinisiatif ke tenda untuk mengqodlo sholat magrib dan dilanjut sholat isya. Sedangkan teman-teman yang lain gandrung ngobrol ngalor ngidul di luar. Tidak ada api unggun karena jelas dilarang. Yang ada sorotan senter ditemani kopi hangat. Memang agenda setelah sampai puncak cuma ngobrol. Sedangkan besok pagi baru diisi materi serius.
Assalamualaikum.. Assalamualaikum.. Aku selesai sholat isya. "Seeeerrrrtt" angin diluar terasa menerobos tenda. Temperature semakin rendah.
Tetiba:
"Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh" suara serak seperti seorang kakek-kakek mengucapkan salam tepat di depan tenda. Tanpa berpikir aneh-aneh, aku menjawab salamnya.
"Waalaikumussalam waroh matullahi wabarokatuh wa ridwanuh" aku menjawab lengkap. Sembari membuka kancing tenda. "Seeett" aku keluar membungkuk, lalu wajahku mendongak. Ternyata benar seorang kakek-kakek berbalut busana serba putih. Di belakang kakek tersebut ada dua orang lagi.
Pertama, Memakai seragam kerajaan lengkap dengan pernak-perniknya. Kedua, pakaian serba hijau. Aku terkejut. Siapa gerangan mereka. Lebih terkejut lagi ketika aku melihat sekeliling hanya ada lapangan luas. Kemana tenda-tenda yang tadi berdiri, orang-orangnya juga tak ada. Aku ada dimana sebenarnya. Apa yang terjadi kepadaku. Atau apa yang terjadi kepada teman-temanku..
"Persidangan Gaib Di Gunung Balsiah"
Aku terpaku. Bukan karena dingin. Bahkan hawa sekitar sudah berubah lebih hangat. Ada apa ini? Aku dimana? Masihkah ini di puncak Balsiah. Kalau iya, kemana teman-temanku dan yang lainnya. Tenda merekapun tak ada. Kalau aku sudah berpindah, dimana gerangan daku.
"Kamu masih saja gumunan, nak. Padahal bapakmu sudah mengajarimu kalimat-kalimat untuk mencerahkan pandangan batinmu." Kakek serba putih itu menasehatiku.
"Ya Allah.. Maaf mbah, saya ada dimana?" Tanyaku kebingungan.
"Nak, kamu masih di gunung Balsiah.
Sekarang seorang lelaki perkasa berbusana kerajaan menjawab pertanyaanku.
"Tapi..." Omonganku dipotong ketika lelaki tadi melanjutkan.
"Ya.. Di alam kegaiban gunung Balsiah. Atau biasa kami menyebut jagading lelembut"
"Kenapa saya sampai berada di sini?"
Aku benar-benar banyak sekali pertanyaan.
"Mari anakku. Kita duduk dulu, semuanya akan terang benderang" Ajak kakek tua.
"Nggih mbah, mari"
"Begini nak, kami bertiga adalah khodam dari kalangan jin. Saya adalah Ki Sastro Bondowoso. Ini yang berbusana kerajaan Prabu Satyakencana. Dan ini yang berbaju hijau Kiyai Soko.
"Sebentar lagi akan datang sesuatu yang bisa saja membahayakan keselamatanmu. Sedangkan kami bertiga adalah khodam yang mencoba menahan itu semua. Tentu atas kehendak Sang Maha Perkasa, Allah Swt. Meski kami dan dirimu tak ada pertalian nasab. Tapi sesama makhluk haruslah saling tolong menolong dalam hal kebajikan. Maukah kamu tahu siapa kami bertiga ?" Papar Ki Sastro Bondowoso.
"Nggih.. Saya akan mendengarkan penjelasan nJenengan." Jawabku
Berceritalah Ki Sastro Bondowoso. Aku mengangguk, ada kagum & gumun.
Pada intinya. Ki Sastro Bondowoso adalah khodam dari kakekku (bapak dari bapakku). Sedangkan Prabu Satyakencana adalah khodam milik bapakku. Dan Kiyai Soko sendiri merupakan khodam dari pedang (gaib) yang aku simpan di lemari. Lalu kenapa mereka bertiga kompak menemuiku di puncak Balsiah. Ada apa gerangan. Padahal dari penuturan Ki Sastro Bondowoso mereka berada di tiga tempat berbeda, berjauhan. Ki Sastro Bondowoso di Timur Kediri. Prabu Satyakencana di Barat Cirebon. Dan Kiyai Soko berada di rumahku, di Tengah Jepara. Sebagai pengetahuan saja, sifat dari khodam itu beragam. Salah satunya ada yang menyatu dengan badan si pemilik khodam. Selain itu ada juga yang terpisah dan memiliki kehidupan sendiri. Biasanya yang terkahir ini merupakan khodam dengan efek negatif minimal.
Aku kehilangan waktu. Tak tahu jam berapa. Antara suasana gelap dan terang menyatu, temaram. Seluas mata memandang pohon-pohon yang asing menjulang tinggi, akarnya menjulur kemana-mana. Bukit-bukit seperti siluet serigala. Tanah-tanah basah berwarna merah.
"Saya sudah membuat garis lingkaran lihat di sana, mari kita masuk ke lingkaran tersebut". Kiyai Soko yang sedari tadi diam, mengajak kami memasuki lingkaran tersebut. Ya sebuah lingkaran cukup luas di tanah. Kami berempat duduk bersila, aku di apit oleh Prabu Satyakencana di samping kananku, Kiyai Soko di samping kiriku dan Ki Sastro Bondowoso di depan. Posisinya membelakangi kami. Nampaknya Ki Sastro Bondowoso ini bersikap seperti orang tua yang tengah mengasuh anaknya. Dalam keadaan apapun harus selalu siap menghadapi setiap kemungkinan. Setidaknya itulah yang aku rasakan saat ini. Penasaran bercampur takut membayangi isi pikiranku.
"Mereka sudah mulai datang. Siapkan diri kita. Terutama kamu Wafa, banyak ingatlah nama Tuhanmu, mereka datang untuk kamu"
Tak lama dari pembicaraan Ki Sastro Bondowoso ada satu sosok bertubuh tinggi besar. Di belakangnya diikuti lusinan makhluk berbagai macam coraknya. Namun yang lebih dominan berbentuk Macan hitam.
"Itu Brotoseno, prajuritnya dari kalangan jin Macan Kumbang"
Ungkap Ki Sastro Bondowoso.
Jarak antara lingkaran kami dengan pasukan Brotoseno sekitaran 15 meter. Hawa panas begitu terasa. Kemudian dari arah kiri Brotoseno muncul satu pasukan lagi yang tak kalah banyak jumlahnya. Pemimpinnya Genderewo. Matanya menyala tanduknya runcing, gigi taringnya memberi kesan keganasan makhluk ini. Aku kira ini rombongan terakhir. Tapi dari kanan Brotoseno makhluk-makhuk seperti Kuntilanak, pocong, tuyul, dan lainnya memenuhi sisi kanan Brotoseno.
Lalu seorang kakek berbusana adat jawa dilengkapi keris di belakangnya secara tiba-tiba muncul.
Ki Sastro Bondowoso berucap "Dia adalah pemilik dari semua perewangan disini. Namanya Ki Benas. Dia seorang dukun, manusia"
Menghadapi situasi ini aku belum juga paham. Apakah ini hanya mimpi ? Ada apa ?.
"Saya Ki Benas, datang kesini untuk meminta keadilan dari apa yang dilakukan anak itu". Sembari tangannya menunjuk arah mukaku.
Loh-loh apa yang telah aku lakukan ?
"Apa salah saya ? Keadaan apa yang membuat njenengan datang kemari ?" Aku mencoba memberanikan diri bertanya. Siapa yang tak kaget, menghadapi situasi ini. Belum mendapatkan jawaban atas transformasinya aku masuk ke jagading lelembut. Datang lagi tamu-tamu entah darimana dan memiliki tujuan apa. Terlebih lagi saat mengatakan ingin menuntut keadilan kepadaku. Aku ke gunung bukan untuk dituntut, aku ke gunung memenuhi tugas Mawapala. Seandainya saja aku tak dipegangi ilmu untuk tak kaget pada keadaan terburuk dalam hal bersingungan dengan dunia gaib, aku sungguh sudah kehilangan kesadaran. Di samping kiri kanan depanku, mereka memperkenalkan diri sebagai khodam penjaga. Yang aku juga belum tahu betul kenapa mereka mengapit diriku. Lebih jauh, Ki Sastro Bondowoso yang seolah menjadi wakil pembicara dari ketiganya. Aku harap dia juga mewakiliku menyelesaikan masalah gelap ini. Apakah teman-temanku mengkhawatirkanku? Asal tahu saja, seseorang yang beralih alam ke dunia gaib maka mereka kehilangan panca indra untuk dunia nyata. Begitu juga saat di dunia nyata mereka tidak tahu aktivitas dunia gaib.
"Kamu baca asma pelindung diri, yakinkah hatimu" Prabu Satyakencana berbisik lirih di telingaku. Akupun mengiyakan.
"Saya yang akan menjadi wakil dari anak ini, ada apapun juga, saya akan membelanya" Ki Sastro Bondowoso memulai pembicaraan dengan Ki Benas.
"Saya tak ada urusannya dengan kamu, urusan saya dengan anak itu, dia membakar dan melemparkan penjaga yang berada di cucuku" Setengah berteriak Ki Benas menyatakan maksudnya.
"Maksud njenengan apa ? Sedari tadi saya baik-baik saja" Aku memang belum paham arah dari pembicaraannya.
"Kamu diam saja, biar saya yang menjawab dan menjelaskan." Ki Sastro Bondowoso memperingatkan kepadaku.
"Kamu siapa ? Sudah saya katakan, saya tidak butuh dengan kamu" Papar Ki Benas.
"Saya Ki Sastro Bondowoso, khodam dari kakeknya anak ini"
"Apa kamu tahu cucumu itu sudah menyiksa penjaga di cucuku ?, apa kamu mau bertanggung jawab ?" Ki Benas semakin terlihat marah.
"Sekarang kita dudukan masalah ini secara benar, berikan waktu kepada cucuku buat menjelaskan keadaan peristiwa tadi"
Ki Sastro Bondowoso menawarkan solusi.
"Tak usah berkilah, saya sudah mendapatkan laporan kejadian tadi dari perewanganku" Ki Benas bertambah murka. Keris yang berada di punggungnya kini berpindah di tangannya.
"Brotoseno, suruh pasukanmu menyerang dan membawa anak itu kemari" Perintah Ki Benas kepada Brotoseno.
Tanpa tedeng aling-aling, Brotoseno menunjuk lima macan kumbang untuk menyerang kami. Ternyata tanpa diduga kelima macan kumbang tersebut terpental jauh sebelum mencapai titik dimana kami berada. Melihat itu Brotoseno memerintah prajuritnya yang lain. Namun lagi-lagi mereka terpental, terkapar kesakitan.
"Insya Allah lingkaran ini bisa menjadi tameng dari serangan mereka" Prabu Satyakencana memberitahuku.
Jangan tanya seramai apa sekarang jagading lelembut gunung balsiah. Erangan kesakitan dan kemarahan dari makhluk-makhluk Ki Benas membuat pengang telinga. Aku cuma berdo'a dengan asma-asma pelindung diri. Karena memang itu yang bisa ku lakukan. Bahkan aku masih belum mencerna sabab-musabab peristiwa ini terjadi.
Loh, kemana Prabu Satyakencana tiba-tiba hilang dari samping kananku. Mataku mencari ke arah sekitar. Ternyata dia berada di depan, sedang berhadapan dengan Brotoseno. Entah apa yang mereka berdua hendak lakukan.
Ternyata Kiyai Soko juga ikut berhadapan dengan Genderewo, aku yakin mereka tengah mengadu ilmu. Alih-alih mengadu ilmu secara fisik mereka hanya menggunakan tenaga dalam. Tak butuh waktu lama, Prabu Satyakencana mampu melumpuhkan Brotoseno dan Kiyai Soko mengalahkan Genderewo. Melihat itu prajurit-prajuritnya nampak ciut, tak memperlihatkan keganasannya lagi. Sedangkan Ki Benas tertegun cukup lama. Kemudian dia berkata.
"Anak itu telah melukai penjaga yang berada di tubuh cucuku Laela"
"Biarkan anak ini menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi tadi di jalur pendakian gunung Balsiah. Sehingga darisana semua akan terang benderang." Papar Ki Sastro Bondowoso.
"Maksud njenengan Laela yang tadi kesurupan itu ?" Aku bertanya pada Ki Benas.
"Kesurupan? Siapa yang kesurupan, aku sengaja menanam penjaga di badan cucuku untuk menjaganya dari serangan gaib. Tapi kamu malah seenaknya mengusir dan melukai Kolo Cokro".
"Apakah yang dimaksud Kolo Cokro itu penjaga dibadan cucu njenengan ?" Tanyaku.
"Ya" Ketus Ki Benas.
"Begini biar saya jelaskan, tadi di tengah pendakian ke puncak Gunung Balsiah, ada gadis kesurupan, sudah ditangani oleh teman-temannya tapi tak sadar juga. Di saat kegentingan itu ada teman saya yang ikut kerasukan dan menyerang cucu njenengan. Dari itulah saya ikut ambil bagian demi keselamatan cucu njenengan. Adapun penjaga yang terusir dan terluka itu, saya benar-benar tidak berniat untuk melakukannya. Saya juga tidak tahu kenapa cucu njenengan sampai kontak dengan penjaganya. Bisa jadi ada suatu sebab diluar pengetahuan saya dan njenengan". Ketika aku menjelaskan ini keadaan tubuhku bergetar hebat. Aku yakin, tubuhku sudah tak kuat berlama-lama di jagading lelembut. Melihat ini Ki Sastro Bondowoso berucap.
"Sudah jelaskah penjelasan cucuku ini Ki Benas ?.
jelas tidaknya itu tergantung penerimaanmu dari pembelaan diri cucuku. Sekarang saya akan memulangkannya ke alam manusia tubuhnya sudah panas. Wafa pejamkan matamu"
Ki Benas cuma diam, entah menerima atau tidak penjelasanku. Sedangkan aku memejamkan mata dan "jlag" tiba-tiba sudah berada di tenda. Aku keluar dari dalam tenda untuk memastikan apakah aku telah kembali di alam manusia puncak Balsiah. Ternyata memang aku telah kembali. "Ueeekk.. Ueekk.." Aku muntah begitu deras, teman-teman yang melihat keadaanku segera menolong.
"Kamu kenapa Wafa?." Teman-temanku silih bergantian menanyakan keadaanku.
"Aku tak apa-apa, sedikit mual saja."
Setelah merasa baikan, aku masuk lagi ke dalam tenda di temani Gepeng. Aku begitu terkejut ketika melihat jam tangan Gepeng.
"Apa jam kamu baik-baik saja ? normal ? hidup ?"
"Yaiyalah.. wong jam baru beli, ngarang kalo rusak, kenapa emang?" Jawab Gepeng.
"Gak apa-apa"
Ternyata aku beralih alam cuma beberapa menit saja. Perasaan sudah berjam-jam. Mungkinkah siklus waktu di alam gaib berbeda dengan di alam manusia ?. Ah sudahlah, tak penting. Oh iya.. Bagaimana keadaan Ki Sastro Bondowoso dan yang lainnya. Menurutku misteri ini belum terselesaikan. Mungkinkah ada pihak lain selain aku dan Ki Benas yang menjadi pokok permasalahan?
***
Singkat waktu setelah acara Mawapala selesai. Dan aku beserta rombongan sudah turun dan dinyatakan lolos menjadi bagian dari Mawapala, ya seenggaknya untuk beberapa saat ini.
Tiga hari berselang dari kejadian di jagading lelembut gunung Balsiah. Kebetulan aku pulang ke Kudus, di rumah sekitar tengah malam. Aku di datangi Ki Sastro Bondowoso tidak dengan Prabu Satyakencana dan Kiyai Soko. Ki Sastro Bondowoso menjelaskan sebenarnya, Laela tidak tahu kalau dalam dirinya ditanam penjaga.
Karena ketaktahuannya itu dia tak mampu mengontrol penjaganya sendiri. Boro-boro mengendalikan justru dia (Laela) sendirilah yang dikendalikan. Jangan dikira memiliki khodam dalam diri itu enak, seseorang akan mudah marah dan merasa jadug dibanding lainnya. Terlebih induk inangnya seorang perempuan.
Secara alamiah perempuan akan lebih sensitif ketika bersinggungan dengan perkara gaib. Artinya mereka mudah diganggu, alih-alih ditanam penjaga untuk menjaga justru khodam itu bisa membahayakan pemiliknya. Percayakah? khodam itu pembantu jangan dijadikan majikan.
Selain itu, ada hal yang luput dari pandangan Ki Benas. Ketika Laela kontak dengan penjaga yang ada dalam dirinya, itu terjadi sebab ada pemicu di sekitarnya. Dan pemicu itu ialah salah satu prajurit gaib dari kerajaan di gunung Balsiah. Tidak tahu persisnya seperti apa, tapi pada saat aku sudah beralih ke alam manusia sekitar sebelas punggawa berikut satu prajurit yang berkonflik, mendatangi tempat dimana Ki Benas dan Ki Sastro Bondowoso berada. Dari salah satu juru bicara mereka.
Diketahui mereka telah menonton kejadian dari awal datangnya Ki Sastro Bondowoso dkk, disusul pasukan Ki Benas. Hanya saja mereka tak mau turut campur meskipun satu prajurit mereka juga terlibat konflik di pendakian tadi. Dan ternyata prajurit itulah yang merasuk di raga tetua Mawapala. Kenapa prajurit dan penjaga di tubuh Laela bertarung ? berikut penjelasan dari kedua belah pihak.
Menurut si prajurit, Laela bersikap seolah-olah menyombongkan diri sebab telah berhasil menundukkan puncak Balsiah. Dalam pandangan si prajurit ini yang menyombongkan diri itu ialah penjaga yang ada di dalam tubuh Laela. Tentu si prajurit tidak terima, karena gunung Balsiah ialah wilayah kerajaan yang dipimpin oleh Ratunya yang ia hormati. Semacam sebuah kewajiban untuk mempertahankan kewibawaan kerajaannya maka terjadilah pertarungan antara si prajurit itu dan si penjaga.
Di tengah sesi pertarungan datanglah rombongan kami. Sebelum pertarungan selesai aku telah lebih dulu mengusir si penjaga dari dalam tubuh Laela dan si prajurit dari tubuh mas Hendra. Apakah mereka terluka karena ulahku? Tidak pasti, tetapi dari penuturan Ki Sastro Bondowoso keduanya mengalami luka bakar yang cukup hebat.
***
Lain lagi ceritanya yang disampaikan oleh Kolo Cokro-nya Ki Benas. Dia mengaku bahwa prajurit itu akan membahayakan lahir-batin Laela sehingga sebagai penjaga dia wajib melindungi tuannya.
***
Meskipun sempat terjadi pertengkaran tapi tak membuat adanya pertarungan antara pasukan Ki Benas dan para Punggawa kerajaan gunung Balsiah. Mungkin Ki Benas sadar bahwa dia masuk di area musuh yang memiliki kekuatan lebih daripadanya. Sehingga mengalah dan menerima keputusan ialah jalan terbaik. Keputusannya adalah, Laela dilarang naik gunung Balsiah selama 3 tahun berturutan, lepas dari masa itu Laela boleh naik kembali dengan catatan melepas penjaganya di bawah kaki gunung Balsiah.
***
Lalu apa keputusan buatku ?. Tak ada. Selain diberi petuah untuk berhati-hati dalam menetralisir orang yang terkena gangguan jin. Karena bagaimanapun mereka juga makhluk yang bisa terluka dan memiliki rasa sakit. Setelah menjelaskan semua ini, Ki Sastro Bondowoso pamit undur diri.
Bagi kalian yang memiliki khodam penjaga berhati-hatilah.
~SEKIAN~