Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

ISTANA PAKU BULAN DAN PARA PENUNGGUNYA

Bantaran sungai itu dipenuhi oleh rerimbunan tanaman yang tumbuh subur. Dari pohon-pohon yang berukuran sedang sampai yang sangat besar, yang usianya mungkin sudah puluhan atau ratusan tahun. Bagian yang jadi hak milik salah seorang warga, ada juga yang ditanami pohon bambu.  Salah satu desa yang berbatasan dengan sungai itu adalah desa kelahiran saya. Dan dulu, almarhum kakek saya memiliki sebidang tanah yang ditumbuhi pepohonan bambu, di bantaran sungai itu.

Dan cerita pertama yang akan saya sampaikan adalah yang pernah diceritakan orang tua saya.

*Jamuan para Tamu tak diundang*

Salah satu keponakan kakek saya, sebut saja namanya Pakdhe Muin. Semasa hidupnya, Dhe Muin senang sekali memancing, kadang juga menjaring ikan di sungai itu, tepatnya disekitar kebun milik kakek saya. Dulu, sungai disana masih jernih dan memang dikenal melimpah ikannya. Salah satu jenis ikan yang cukup diburu di sungai itu adalah ikan Kakap yang jarang sekali bisa ditangkap oleh orang sekitar.

Hanya beberapa orang yang pernah berhasil menangkap ikan itu. Dari cerita yang saya dengar dari warga sekitar, ikan Kakap yang pernah tertangkap berukuran sebesar balita.

Namun, siapa yang mendapatkan ikan kakap itu, harus bersiap mengalami konsekuensi yang tak diharapkan. Dari bermimpi didatangi penunggu disungai itu, sakit, bahkan bisa jadi meninggal kalau sampai memakan ikan yang didapatkan itu.

Karena itu, siapa yang mendapatkan ikan itu, pasti akan melepaskannya kembali sebelum ikan itu mati di rumahnya. Sudah ada kejadian, yang pernah berhasil menemukan ikan itu, dan membawanya pulang kabarnya, setelah mendapat ikan itu, malamnya orang itu bermimpi didatangi sosok penunggu sungai yang meminta anaknya dibebaskan. Saat terbangun, dan ingin membebaskan ikan itu, ikan tersebut sudah terlanjur mati. Alhasil, selang berapa hari kemudian, orang itu dikabarkan terkena penyakit tak wajar, dan akhirnya meninggal.

Hanya dua jenis ikan yang dianggap tabu oleh warga sekitar sungai. Ikan Kakap dan Lele yang berasal dari sungai itu.

Cerita tentang hewan-hewan mistis dari sungai itu, akan saya ceritakan di bagian yang lain. Dhe Muin, sering menjaring di sungai itu dimalam hari. Ia biasa menjaring ikan sendirian, hanya kadang-kadang saja ia ditemani oleh tetangga atau orang dari desa seberang sungai.

Saat saya kecil, usia dhe muin sudah cukup tua, dan bahkan sampai di usianya itu beliau masih suka menjaring di sungai, disekitar kebun milik kakek saya yang sebelum meninggalnya kakek telah dijual pada warga desa yang lain.

Berdasarkan cerita ibu saya, kejadian itu dialami oleh dhe Muin yang pernah menjaring ikan bersama orang dari desa seberang sungai. Suatu malam, dhe muin berjalan melalui jalanan kampung membawa jaring yang digendongnya. Sambil menghisap rokok kretek klintingan, ia sesekali menyapa orang yang ditemuinya.

"Yah mene wes pak njaring bae dhe? Opo wes do metu iwak e?" (Jam segini sudah mau menjaring saja pak?emangnya ikannya sudah pada keluar?) celetuk seorang warga.

"Lha yo palongo rha. Nek njaring kui ojo ngenteni banyu duwur. Ngenteni yo cok klelep kowe! Hahaha" (Persiapan dong. Menjaring itu, jangan menunggu air sungai naik. Kalau menunggu ya bisa tenggelam kamu!) Jawabnya diikuti suara tawanya yang khas.

"Sampean nek njaring karo sopo bae si?" (Anda kalau menjaring ditemani siapa saja sih?) tanya orang yang sama.

"Biasane yo dewekan. Tapi iki ono sing ngejak, dadine yo aku mending sore mangkate" (Biasanya sih sendirian. Tapi malam ini ada yang mengajak, jadi aku berangkat agak sore).

Setelah sedikit meladeni orang yang menyapanya, dhe Muin langsung bergegas pergi ke arah sungai itu, ke daerah yang jadi penghubung desa.

Di daerah itu ada jukung (perahu lebar) yang ditarik dengan kawat besi, yang biasa dipakai untuk menyeberang para warga antar desa. Jukung itu biasa ditarik oleh seseorang yang berasal dari desa seberang, biasa dipanggil dhe Sa'an.

Dhe Sa'an merupakan orang yang cukup paham dengan keadaan bantaran sungai itu, karena ia sendiri tinggal disebuah gubug, yang tak jauh dari lokasi tempat ia biasa menarik Jukung.

Malam itu, daerah bantaran sungai itu begitu gelap. Tak ada pencahayaan disekitarnya. Satu-satunya pencahayaan yang ada hanya dari lampu senter yang dinyalakan oleh dhe Sa'an yang sedang menunggu penumpang jukungnya.  Dhe Muin sudah terlihat disekitar jalanan dekat bantaran. Dengan hati-hati sambil memegangi jaring yang dibawanya, ia menuruni undakan jalanan setapak kearea sungai yang lokasinya menurun dari area jalan.

Beda ketinggian antara sungai dan jalanan itu sekitar lebih dari 10 meter. Sebelum sampai di area sungai, beliau menyalakan senter besar yang disering dibawanya saat menjaring.

Senter itu coba diarahkan ke arah jukung yang posisinya seperti terparkir diseberang sungai. Beliau mencari keberadaan dhe Sa'an disekitar senter yang menyala. Ketemu, dan dilihatnya lah seorang laki-laki tua, berkulit coklat kehitaman, dengan rambut agak gondrong bersender diatas jukung sambil menghisap rokoknya.

Dhe Muin menepuk tangannya beberapa kali, lalu melambaikan tangannya saat dhe Sa'an menoleh kearahnya.  "Mreneo, aku pak nyebrang!" (Kesini, aku mau menyebrang). Si penarik Jukung itu berdiri, dan mulai menarik tali jukung yang terikat antara satu pohon di area desa kami dan desa seberang. Jukung itu perlahan bergerak mendekat kearah dhe Muin yang sudah berada di bibir sungai. "Kowe ki wes tuo, bengi-bengi senenge ngeligo. Opo ora atis?" (Kamu itu sudah tua, malam-malam tak pakai baju. Apa gak dingin?)

Kebiasaan orang itu memang sering tak pakai baju saat menarik Jukung. Katanya kalau pakai baju panas. Wajar sih, memperhatikan bahwa pekerjaannya itu banyak mengeluarkan tenaga, sampai berkeringat.

Air sungai masih mengalir lembut dan tenang malam itu. Diantara kegelapan malam dan suasana bantaran yang sunyi.

Saat Jukung mulai bergerak menyeberang, sempat terdengar bunyi pohon bergesekan dari arah sebrang. Dhe Muin coba mengarahkan cahaya senternya ke arah bunyi gesekan itu, tiba-tiba ada benda kecil menggelinding, tak kelihatan bentuknya, namun saat benda itu menyentuh aliran sungai terdengar bunyi "byur" yang sempat mengagetkan kedua orang yang ada diatas jukung itu. "Ono sing lewat lek. Mending pak bali opo sido pak njaring?" (Ada yang lewat pak. Lebih baik pulang atau jadi menjaring?) Tanya dhe Sa'an.

"Alah, wes biasa. Ora gumun aku karo kono" (Ah, sudah biasa. Tak heran aku dengan mereka) sahut dhe Muin. "Kowe ki, koyo rak kenal aku kae. Wes dek cilik biasa sobo kali koyo kui tok wedi" (Kamu itu, seperti tak kenal aku saja. Sudah dari kecil biasa main di sungai ini, begitu saja takut)

"Lah, cuman ngomongi lek. Mbok an, ono opo-opo" (Cuma ngasih tau pak. Siapa tau ada apa-apa) Keduanya sudah paham betul bahwa ada sesuatu yang tak terlihat, berada disekitar area bantaran sungai itu.

Dari cerita para sesepuh dan orang-orang yang tempat tinggalnya disekitar bantaran sungai itu, ada sebuah istana tak terlihat, yang keberadaannya tak diabaikan oleh mereka.

Cerita itu disampaikan turun temurun kepada anak cucu yang akan tinggal disekitarnya. Dengan tujuan, agar mereka tidak bertingkah sembarangan yang akan membuat penguasanya marah dan mengganggu warga yang lain.

Dhe Muin bersiap turun dari Jukung, menurunkan Jala miliknya, lalu meninggalkan beberapa linting rokok kretek klinting buatannya. Rokok klinting adalah rokok yang dibuat sendiri oleh penghisapnya. Biasanya hanya membeli tembakau yang kemudian diramu sendiri dengan dicampur ramuan tertentu hasil ekstraksi rempah-rempah dan cengkeh asli. Dinamakan klinting karena memang dilinting / dibungkus sendiri dengan kertas atau klaras (kulit jagung).

Dhe Muin memberikan Rokok Klinting buatannya sebagai imbalan.

"Suwun yo" celetuknya.  "Sek pak ngger kene po bali?" (Masih mau disini apa mau pulang?)

"Dilut meneh paling bali lek. Lha sampean paling yo baline ngesok" (Sebentar lagi juga pulang pak. Pastinya anda juga pulangnya besok). kata dhe Sa'an.

"Yo wes. Ati-ati yo! Hahaha" Seru dhe Muin dengan diikuti tawa "Alah, sampean kui. Ngopo medeni aku. Genah aku wong kene kok" (Ah, anda itu. Buat apa menakutiku. Aku kan orang sini) Gerutu dhe Sa'an.

Dhe Muin pun pergi menaiki jalanan setapak ke arah desa seberang. Dhe Sa'an masih terus memandanginya. Seakan ia memperhatikan sosok lain yang berjalan dibelakang dhe Muin.

Dhe Sa'an tak mengira, malam itu akan terjadi sesuatu pada dhe Muin yang akan membuat keluarganya panik dan khawatir. Benar saja, keesokan harinya keluarga dhe Muin benar-benar dibuat kelabakan. Sudah lewat pagi dan siang, dhe Muin belum juga sampai di rumah. Keluarganya mencari-cari hingga ke desa seberang, namun tak juga menemukan keberadaannya.

Tapi, hal mengerikan terjadi pada keluarga orang yang pergi bersama dhe Muin, sebut saja lek Tarjo.

Rupanya, sebelum adzan subuh berkumandang, ada kejadian aneh menimpa anak lek Tarjo yang masih balita.

Dari apa yang disampaikan oleh mertua lek Tarjo, cucunya yang tidur bersama ibunya, tiba-tiba meronta-ronta. Tak ada suara tangis, cucunya itu meronta dan membuat ibunya kaget. Karena panik, ibu anak itu memanggil orang tuanya yang tinggal serumah. Namun, begitu mereka tiba di kamar, tubuh anak kecil itu sudah bersimbah darah, yang keluar dari setiap lubang ditubuhnya. Tubuh anak itu pun telah melemas dengan mata terbuka. Sontak, hal itu membuat istri lek Tarjo berteriak histeris sampai akhirnya tergeletak pinsan didepan jasad anaknya. Begitu juga dengan mertua pak tarjo, yang langsung berlari keluar dari rumah dan berteriak minta tolong. Teriakan mertua lek Tarjo membuat warga kampung kaget dan berdatangan menuju rumahnya.

Salah satu yang datang merupakan seorang kyai desa, yang saat melihat kondisi anak itu langsung menanyakan keberadaan lek Tarjo.

"Iki lek Tarjo nang ngendi?" (Ini pak Tarjo dimana?) "Mau bengi kui jarene pak mancing pak yai. Mboh saiki nang ngendi wong e." (Semalam katanya mau mancing pak kyai. Tak tau sekarang dimana orangnya.) jawab mertua lek Tarjo yang masih panik dan menangisi cucunya.

"Iki mesti ono opo-opo karo lek Tarjo. Lek-lek, ayo diluru bareng". (Ini pasti ada apa-apa dengan Pak Tarjo. Bapak-bapak, ayo cari kita cari sama-sama)

Beberapa warga laki-laki pun mencoba mencari keberadaan lek Tarjo disekitar bantaran sungai itu. Namun, sampai matahari muncul pun belum ada yang berhasil menemukan lek Tarjo. Dan siang itu, keluarga dhe Muin malah datang dan mencari dhe Muin yang ternyata pergi bersama lek Tarjo.

Dhe Muin dan lek tarjo menghilang selama seharian penuh. Dan miris, pak Tarjo tak sampai menyaksikan anaknya dimakamkan.

Kyai desa yang masih menemani keluarga pak Tarjo, lalu mengatakan sesuatu pada kedua keluarga yang kehilangan. "Niki keluargane panjenengan, rogo lan sukmone iseh kesasar. Tapi bakale bali." (Ini keluarga kalian, jiwa dan raganya masih tersesat. Tapi nantinya akan pulang). Jelas pak kyai.

"Sing disayangke, memang ono hal sing wes kadung kedadean. Njenengan ojo sampe nyalahke sopo-sopo masalah anakmu. Mungkin, pancen wes takdir e keluargamu kudu kelangan. Tapi, mugo-mugo ono hikmahe" (Sayangnya, memang ada hal yang sudah terlanjur terjadi. Kalian jangan menyalahkan siapapun perihal anakmu. Mungkin sudah takdirnya keluargamu harus merasakan kehilangan. Tapi, semoga saja ada hikmahnya). Malam itu pun, kedua keluarga mengadakan acara tahlilan, yang dikhususkan untuk mengirim doa untuk anak lek Tarjo dan keselamatan mereka yang masih menghilang. Ke esokan harinya, dhe Sa'an yang masih sibuk menarik jukung, berbicara dengan penumpangnya.

"Wingi bengi kui, sak durunge njaring, lek Muin ki numpak jukungku." (Malam itu, sebelum menjaring, pak Muin itu naik jukungku) "Tapi, sakwise de'e mudhun, terus lungo pancen ono sing meloni. Ora suwi, boyo ne metu, nggeplakke buntut e." (Tapi, setelah turun, lalu pergi, memang seperti ada yang mengikuti. Tak lama, ada buaya yang muncul, lalu menabok air dengan ekornya).

Beberapa warga yang mendengar, agak tertegun mendengarnya. Pasalnya, mereka tau bahwa jika buaya penunggu sungai itu sampai keluar, tandanya istana itu sedang kedatangan Tamu.

"Sakjane aku meh ngandani dhe muin. Tapi wong e tak nteni ning kali kok rak katok. Nganti tak kiteri nggon kenenan, ora temu" (Sebenarnya, aku mau kasih tau dhe Muin. Tapi orangnya Kutungguin disini kok tidak keliatan. Sampai aku berkeliling sekitar sini, tak ketemu).

Dan semua orang pun menyadari alasan kenapa kedua orang itu menghilang dan belum kembali.  Sore harinya, tepat sebelum adzan maghrib, dua orang yang dikabarkan hilang, muncul dari area bantaran sungai. Dhe Muin, terlihat sedang menggerutu dan lek Tarjo terlihat tak menghiraukannya. "Kowe ki, ngopo ditawani mangan enak ora gelem" (Kamu itu, kenapa ditawari makan enak kok menolak).

"Lha kowe ki wes tak kandani malah melu-melu! Kowe rak reti sing mok pangan kui opo!" (Kamu itu sudah kubilangin malah ikutan makan! Kamu tak tau apa yang kamu makan itu!)

Lek tarjo tetap menghiraukan dhe Muin yang masih terus menyalahkannya. Keduanya pun kembali ke rumah masing-masing. Saat berjalan menuju rumahnya, dhe Muin diserbu oleh para warga yang menanyakan keadaannya.

Ia masih terlihat tenang, dan mengajak semua warga untuk ikut ke rumahnya. Disana lah, dhe Muin akan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Sedangkan saat lek tarjo sampai di area desanya, semua warga pun mengejar dan mengantarkannya pulang. Beberapa warga sampai ada yang berteriak dan histeris melihat lek Tarjo. Seakan mensyukuri lek Tarjo bisa pulang dengan selamat.

"Sing sabar yo lek. Sing sabar!" Seru seorang wanita tua tetangga lek Tarjo.

"Nangopo nju? Ono opo iki?" (Kenapa bu? Ada apa ini?)

"Wes, ayok bali disik." (Sudah, ayo pulang dulu).

"Anakmu Jo!" ada seorang warga yang berteriak.

Dan seketika, lek Tarjo langsung berlari menuju rumahnya, saat mendengar nama anaknya. Betapa luluh lantaknya hati lek Tarjo, mendapat kabar bahwa anaknya telah meninggal saat ia pergi.

Lek Tarjo tak menyangka, hal buruk itu akan menimpanya. Ia sempat tak percaya saat orang-orang mengatakan bahwa ia telah pergi selama hampir 3 hari. Pasalnya, menurut lek Tarjo ia dan dhe Muin hanya pergi tidak sampai satu malam.

Lek Tarjo masih belum menyadari penyebab kematian anaknya, sampai ia mendengar penjelasan Kyai desa itu. Sementara itu, sesampainya dhe Muin di rumahnya, ia bergegas untuk segera mandi. Menurutnya, hal pertama yang harus ia lakukan adalah mandi wajib, untuk menghilangkan segala hadast besar yang entah sengaja atau tak sengaja terbawa ditubuhnya.

Ia cukup mengerti kejadian apa yang baru saja ia alami.

Sehabis mandi, ia segera menanyakan keadaan putranya yang masih bayi. Dan bersyukur bahwa tidak terjadi apa-apa saat ia tak di rumah.

Untuk itu, ia segera menjalankan sholat disertai sholat ghaib untuk siapa pun yang menjadi korban atas kejadian itu. Baru lah, setelah ia selesai sholat dan kemudian menyempatkan diri membaca Alquran dan tahlil, ia menemui keluarga dan beberapa tetangga yang datang ke rumahnya.

Terjadi pembicaraan yang cukup panjang saat itu. Karena dhe Muin pun akhirnya menceritakan apa yang dialaminya. Malam itu, setelah turun dari jukung dhe Sa'an, dhe Muin berjalan menuju tempat ia dan Tarjo telah janjian untuk bertemu. Ia berjalan melewati jalan yang masih berupa jalanan setapak, dimana disekelilingnya masih dipenuhi pepohonan.

Dari arah belakangnya, sesekali ia dengar ada suara terseret seakan mengikutinya. Untuk itulah ia terus melafadzkan ayat kursi selama dijalan.

Sampai lah ia ditempat lek Tarjo sudah menunggunya. Saat itu, ternyata lek Tarjo berada disana bersama seseorang yang baru kali itu dilihatnya. "Kowe karo sopo iki jo?" (Kamu sama siapa ini Jo?) tanya dhe Muin, pada lek Tarjo yang sepertinya juga belum mengenal orang disampingnya.

"Oh, kulo niku tiang saking daerah **** pak. Nah, kulo niku madosi panggonan sing alamate sekitar deso niki. Mung kok kadose kulo nyasar lah, kulo ketemu pak Tarjo niki." (Oh, saya itu orang dari daerah **** pak. Saya sedang mencari tempat yang alamatnya di sekitar desa ini. Tapi sepertinya saya kesasar, dan bertemu pak Tarjo ini).

"Owalah. Lha terus piye iki Jo? Kowe sido melu njaring opo ora?" (Terus gimana ini Jo? Kamu jadi ikut njaring gak?) Dhe Muin menanyakan hal itu pada lek Tarjo, tapi juga menaruh curiga dengan orang asing itu.

"Oh, nggih mboten nopo-nopo pak. Monggo mawon yen badhe njaring. Kulo nggih nembe sanjang kalih pak Tarjo, menawi angsal kulo sekalian nderek" (Tidak apa-apa pak. Silakan saja kalau ingin menjaring. Saya juga baru bilang sama pak Tarjo, kalau diijinkan saya sekalian ikut saja).

"Lha tujuanmu piye? Kok malah meh melu njaring?" (Tujuanmu bagaimana? Kok malah ikut menjaring?)

Orang itu sedikit bingung memberi jawaban. "Lha pripun pak? Kulo mpun kedalon niki, menawi kulo wangsul, nggih kulo mangke malah mboten saget madosi alamat ini" (Gimana ya pak? Saya sudah kemalaman ini, kalau saya pulang, nanti malah saya tak bisa menemukan alamat ini).

"Ora! Ojo melu. Ngendi alamate? Tak uduhi" (Tidak! Jangan ikut. Mana alamatnya? Saya antar)

Orang itu terdiam sejenak, tak tau harus mengatakan dengan jujur, atau harus mencari alasan lain.

Namun, belum sampai orang itu menjawab, dari belakang dhe Muin muncul dhe Sa'an. Dhe Muin sedikit memperhatikan dhe Sa'an. "Lha kowe. Ngopo mrene? Jare pak bali?" tegur dhe Muin. (Kamu. Mau apa kesini? Katanya mau pulang?)

Dhe Sa'an tak menjawab pertanyaan dhe muin. Ia malah mendekati orang itu.

"Iki tamu ne sedulurku lek. Aku mau dipeseni kon ngeter" (Ini tamunya saudaraku pak. Aku disuruh mengantarnya).

Dhe Muin masih bingung dengan dhe Sa'an, belum sempat ia mengatakan sesuatu, dhe Sa'an langsung menarik dan mengajak pergi orang itu.

Awalnya, dhe Muin dan lek Tarjo sudah bergegas untuk pergi menjaring, namun tiba-tiba orang itu berteriak memanggil lek Tarjo dan dhe Muin."Pak, tolong pak!" (Pak tolong pak!)

Lek Tarjo dan dhe Muin pun bergegas menuju ke arah suara. Saat keduanya sudah ditempat orang itu berada, mereka melihat dhe Sa'an sedang ditolong untuk bangun karena terjatuh. "Piye si kowe lek? Biasa lewat kene we tibo!" (Gimana si kamu An? Biasa lewat sini kok jatuh!) Gumam lek Tarjo.

Lek Tarjo pun segera membantu dhe Sa'an bangun. Dhe mu'in tak bergerak dari tempatnya berdiri. Ia masih tetap memperhatikan mereka yang ada ditempat itu. Ia merasa ada keanehan. Tapi ia tak tau harus berbuat apa. Seakan, ia menyadari bahwa mereka akan terjebak pada suatu peristiwa, dan mereka tak bisa menghindar, kecuali ada orang lain yang datang. 

Dhe Muin terus memikirkan bagaimana caranya mereka keluar dari jebakan ini. Setidaknya, bagaimana caranya ia bisa menyelamatkan lek Tarjo. 

Bisa saja ia menyelamatkan diri sendiri, tapi bagaimana dengan lek Tarjo? Ia sudah terlanjur menginjak "oyot mimmang" yang akan menyesatkan langkah mereka, sekalipun mereka berlari dari tempat itu. Tak ada pilihan lain selain diantara 2 pilihan itu. Ikut kemana dhe Sa'an pergi membawa mereka, atau melarikan diri dengan resiko tersesat dan mungkin tak akan selamat jika para penunggu daerah itu mengejar mereka. 

Dhe Muin harus mengambil pilihan bijak, yang mungkin bisa menyelamatkan mereka, yaitu mengikuti kemana mereka akan dibawa.

"Iki meh bali nang nggon ngomahe sampean disik bae pok dhe?" tanya lek Tarjo. (Apa ini kita pulang ke rumahmu dulu saja pak?)

Dhe Sa'an hanya mengangguk. Mereka pun bergegas berjalan mengikuti jalanan setapak itu menuju rumah dhe Sa'an. Anehnya, seingat lek Tarjo, rumah dhe Sa'an tidak begitu jauh dari tempat mereka tadi. Tapi saat itu malah hampir berjam-jam mereka tak juga sampai rumah dhe Sa'an.

Lek Tarjo mulai menyadari apa yang sedang terjadi.

"Dhe, ndewe iki koyone keno oyot mimang" (Pak, kita ini sepertinya kena "oyot mimang") gerutu lek Tarjo, mulai merasa ketakutan.

Begitu juga dengan dhe Muin yang akhirnya mulai khawatir dengan keadaan mereka.

"Wes, tenang wae."(sudah tenang saja) "Mugo-mugo ono sing lewat, terus biso ngilekke awake dewe" (Semoga ada orang lewat, lalu menyadarkan kita). ujar dhe Sa'an, seakan ikut khawatir tapi masih mencoba untuk tenang.

"Lek, mbok gantian" (Pak, gantian dong!) seru lek Tarjo, meminta dhe Muin untuk menggantikannya- "Lha Raimu pekok, gelem-geleme mbopong wong ora kaiki. Kon mlaku dewe bae si" (Dasar bodoh Mau-maunya membopong orang yang tak apa-apa. Suruh dia jalan sendiri) Dhe Muin yang sudah merasa agak takut dan agak jengkel, malah memarahi lek Tarjo.

Tapi dhe Sa'an hanya memasang senyuman, dan berkata sesuatu.

"Karang dasar Muin. Wes, ora opo-opo, aku pak mlaku dewe" (Dasar Muin. Sudah, tak apa-apa, biar aku berjalan sendiri)

Dhe Sa'an pun akhirnya berusaha berjalan sendiri, dengan kaki yang agak diseret.

Mereka berempat akhirnya berjalan terus menyusuri jalanan setapak, yang sepertinya berkali-kali mereka melewati jalanan yang sama.

Berdasarkan mitos yang ada, siapa pun orang yang terkena "Oyot mimang", akan terus tersesat seakan terhipnotis untuk berputar putar melalui jalanan yang sama, sampai ada yang menyadarkan. Dhe Muin mengira-ngira, saat itu seharusnya sudah hampir tengah malam. Dan mereka belum juga tersadarkan dari jerat "Oyot mimang".

Hingga akhirnya, lek Tarjo pun menyerah dan meminta mereka beristirahat sebentar.

Saat mereka beristirahat itu lah, ada orang yang datang. Tapi, ternyata dhe Muin menyadari bahwa orang yang datang itu bukan berasal dari desa itu, bahkan mungkin juga bukan berasal dari alam yang sama dengan mereka.

"Lha iki sampean do nang kene. Wes dienteni dek mau kok ora tekan-tekan."(nah, kalian malah disini. sudah ditunggu dari tadi tak juga sampai)

Dhe Muin pun keheranan.

Dhe Sa'an pun menjelaskan kalau orang itu lah saudaranya yang sebelumnya dia katakan. Dhe Muin tau betul siapa dhe Sa'an, dan ia yakin orang itu bukan saudaranya yang sebenarnya.

Setelah bertemu dengan orang itu, mereka pun dibawa pergi ke suatu tempat yang terlihat seperti rumah megah.

Lek Tarjo keheranan, ia baru tau kalau di desa itu ada orang yang punya rumah megah seperti itu. Malahan dikiranya "Oyot mimang" telah menyesatkan mereka sampai ke tempat yang jauh.

"Lek, iki ndewe nang ngendi?" (Pak, ini kita dimana?) tanya lek Tarjo keheranan.

"Mpun, mboten usah dipikiri rumiyin pak. Sing penting mpun mboten kesasar ten kebon kados wau." (Sudah, tak usah dipikirkan pak. Yang penting sudah tidak kesasar di tempat rimbun seperti tadi) Ujar orang asing yang tadi bersama mereka. Dhe Muin masih terus curiga dengan orang itu.

Dhe saan diajak pergi oleh orang yang mengaku saudaranya itu, dengan alasan hendak diobati.

Mereka bertiga disuruh menunggu ditempat yang seperti teras yang sangat megah itu, hingga pemilik rumah datang menemui mereka.  Lek Tarjo masih terus merasa keheranan, ia pun jadi malah mengagumi tempat itu. Tapi dhe Muin malah memandangi dengan sinis, baik ke arah Lek Tarjo maupun orang asing itu.

Pemilik rumah itu muncul dari arah pintu.

"Owalah njenengan sampun duki mriki" (Wah, anda sudah datang) "Lah, ternyata sareng kalihan tiang mriki." (ternyata bersama dengan orang sini) Pemilik rumah itu sepertinya mengenali dhe Muin, tapi tak begitu mengenali Lek Tarjo.

Singkat cerita, mereka pun diajak masuk kedalam rumah yang sangat megah itu. Orang itu sepertinya ada urusan dengan pemilik rumah, yang kemudian mengajaknya masuk ke sebuah kamar. Sementara dhe Muin dan lek Tarjo dibiarkan menunggu di area ruang tamu.

Dhe Muin masih juga merasa khawatir, rasa takutnya, entah kenapa belum juga hilang. Mungkin karena ia sudah mengetahui dimana sebenarnya tempat mereka berada.

Lek Tarjo sesekali berkeliling disekitar ruangan. Ia sepertinya masih memperhatikan sebuah lukisan yang bergambar aneh. Diperhatikannya lukisan itu dengan seksama. Imajinasinya, seakan membuat gambar di lukisan itu terlihat seperti gambar seorang anak kecil. Anehnya, anak kecil yang ada di dalam lukisan itu terlihat sedang menangis. Ia terus memandang keheranan, sampai dipanggil oleh dhe Muin.

"Jo, ora usah ono-ono kowe! Mrene ngger kene wae!" (Jo, tak usah bertingkah kamu! Disini saja) Lek Tarjo kembali menuju ketempat Dhe Muin berada. Tak lama kemudian, orang asing dan pemilik rumah itu keluar dari kamar. Keduanya seperti telah membuat kesepakatan tertentu, karena sekeluarnya mereka dari kamar, orang asih itu seperti bersalaman dengan pose sungkem, dan orang asing itu terdengar seperti mengucapkan terima kasih.

Setelah meninggalkan dhe Muin dan lek Tarjo cukup lama, orang asing itu mendatanginya, disusul si pemilik rumah. Orang asing itu cukup terlihat gembira, sambil mengatakan bahwa si pemilik rumah baru saja menawarinya makan malam. Lek Tarjo yang belum sempat makan malam, ditambah sebelumnya telah berjalan cukup jauh, memang merasa sangat lapar.

Mereka pun diajak ke sebuah ruang makan, dimana ada beberapa hidangan yang terlihat istimewa dan menggiurkan siapa pun yang melihat. Mereka bertiga pun diajak duduk di meja makan itu untuk bersiap menikmati makanan yang sudah dihidangkan.

Dhe Muin agak curiga dengan semua hal yang ada di tempat itu. Kedatangan mereka seperti sudah diperkirakan.

Siapa sebenarnya orang yang ikut bersama mereka itu?

Lek tarjo begitu antusias, seakan ingin mencicipi setiap hidangan yang ada. Sementara dhe Muin malah memperhatikan setiap hidangan dengan tatapan yang tak biasa.

Lek Tarjo, mungkin tak menyadari apa yang dilihatnya, tapi dhe Muin, secara samar dapat melihat apa yang ada dihadapan mereka.

Makanan yang ada, tak seperti apa yang mereka lihat secara kasat mata.

"Ojo di delokke tok, wes, monggo dicicipi" Seru pemilik rumah Dhe Muin sempat mengingatkan lek Tarjo dengan suara berbisik. Namun, si pemilik rumah terus mempersilakan, bahkan agak memaksa mereka.

Orang yang tadi ikut bersama dengan mereka, sudah mulai mengambil beberapa makanan. Sepiring nasi telah ia ambil, dan seonggok daging ayam dengan bagian yang masih lengkap diambilnya dari bejana yang masih penuh dengan sajian daging yang menggiurkan.

Dari gelagatnya, lek Tarjo hampir ikut mengambil hidangan yang sama dengan orang itu.

Sedangkan dhe muin terus mengingatkannya berkali-kali dengan suara lirih. Dua orang itu, sudah mengambil hidangan masing, masing. Sementara dhe muin tak mengambil apa pun, dan terus beralasan saat dipersilakan. Seketika, dhe muin terlihat begitu ketakutan saat melihat hidangan yang telah mereka ambil, dan siap disantap.

Bukan lagi terlihat sebagai daging ayam, apa yang ada dihadapan kedua orang itu menurut apa yang dilihat dhe muin, telah berubah menjadi seonggok daging anak manusia yang berkepala utuh.

Dhe Muin hanya beristighfar, dan sangat meyakini dimana sebenarnya mereka berada. Lek Tarjo terlihat cukup lahap menyantap makanannya. Begitu pula dengan orang yang duduk disampingnya.

Keduanya seakan menikmati daging ayam yang dimakannya.

"Sampean ora melu mangan rugi lek. Enak e por" (Kamu tidak ikut makan rugi, pak. Enak sekali) "Astaghfirullah", gumam dhe Muin. Si pemilik rumah tak menghiraukan dhe Muin yang hanya memperhatikan kedua orang disampingnya.

Seakan, ia tak peduli dhe Muin ikut makan atau tidak. Ia sudah cukup terlihat senang dengan kedua orang yang begitu menikmati jamuan darinya. Orang disamping lek Tarjo hampir menghabiskan sisa makanannya. Sedangkan lek Tarjo, sudah mulai merasa kekenyangan meski makanan yang disantapnya belum habis.

Ia seakan tak sanggup menghabiskan sisa makanannya.

"Telaske pak, ampun disisani. Mboten sae. Mundak ditelaske setan"  (Habiskan pak, jangan disisakan. Pamali, nanti dihabiskan setan) Tegur orang itu.

Namun, lek Tarjo sudah tak sanggup lagi menghabiskan sisa makanannya, sehingga tubuhnya seakan tak bisa untuk berdiri. Ia menyenderkan tubuhnya di senderan kursi, sambil memegang perutnya. "Tarjo, tarjo, dikandani ojo melu mangan malah nekat", (Tarjo, tarjo, dibilangin jangan ikut makan malah nekat), ucap dhe Muin dalam hati.

Setelah menyelesaikan makan malam itu, ketiga orang tamu itu dipersilakan meninggalkan ruangan dan menunggu pemilik rumah di ruangan awal. Lek Tarjo dan orang itu, berjalan didepan, sedangkan dhe Muin, sepertinya masih memperhatikan sisa makanan lek Tarjo yang belum dihabiskannya.

Sesuatu yang membuatnya bergidik ngeri, saat pandangannya beralih ke pemilik rumah yang memperhatikannya.

Terlihat senyuman nyengir, kepuasan dari wajahnya.

Dhe Muin menjadi orang terakhir yang meninggalkan ruang makan itu, saat tiba-tiba dari arah lain seakan ada gerombolan makhluk yang mengerikan seperti menyerbu sisa makanan yang ditinggalkan lek tarjo.

Seketika, terdengar suara jeritan seorang anak yang berteriak kesakitan dan memanggil orang tuanya.

"Paaaaakkkk", suaranya cukup melengking, tapi anehnya kedua orang yang sudah berada diluar seakan tak mendengar teriakan itu.

"Laa hawla wa laa quwwata Illa billah" Seakan hanya kalimat itu yang mampu diucapkan dhe Muin. Mungkin, saat itulah terjadi sesuatu yang tak wajar di rumah lek Tarjo.

Mereka kembali berada di ruangan awal untuk menunggu si pemilik rumah. Entah apa yang sedang dilakukan, mereka dibuat cukup lama menunggu.

Dhe Muin sempat merasa khawatir terhadap keluarganya. Lek Tarjo kembali berkeliling ruangan itu, memperhatikan keanehan yang sepertinya ia sadari.

"Lek, koyone lukisan ning ruangan iki kok koyo nambah yo?" (Pak, sepertinya lukisan di ruangan ini bertambah ya?) ujar lek Tarjo, merasa keheranan.

Lukisan di ruangan itu, memang telah bertambah dua buah, masing-masing bergambar abstrak membentuk tubuh anak kecil. Lek tarjo, mengamati satu lukisan yang baru dilihatnya, bergambar seperti tubuh anak kecil yang cacat, dengan bentuk fisik yang tak sempurna. Sedangkan lukisan yang satunya, diamati seperti membentuk wajah anaknya.

Belum sempat ia mengamati lukisan itu dengan jelas, tiba tiba si pemilik rumah itu datang menemui mereka dengan raut wajah yang agak berbeda dari sebelumnya.

Ia memanggil dan membentak seseorang yang tadi bersama dhe Muin dan lek Tarjo ke tempat itu. "Sembrono kowe! Barang elek gowo mlebu ngomah iki!" (Sembarangan kamu! Barang jelek dibawa masuk ke rumah ini!)

"Barangmu ora tak trimo. Milih mok jupuk gowo bali, opo ganti rugi?" (Barangmu tidak saya terima. Pilih kamu bawa pulang lagi, atau ganti rugi?)

Dan terjadi pertengkaran di ruangan itu, yang membuat dhe muin dan lek Tarjo merasa ketakutan. Pasalnya, mereka tak benar-benar memahami apa yang sedang diributkan oleh kedua orang yang awalnya dikira saling mengenal itu.

Pertengkaran itu, akhirnya berniat diselesaikan di ruangan lain. Pemilik rumah mengingatkan lek Tarjo dan dhe Muin untuk tetap berada di ruangan itu, dan tidak coba menyentuk atau mengusik benda apa pun yang ada.

Lek Tarjo dan dhe muin hanya menurut dengan tingkah yang agak ketakutan. "Priye iki Jo? Kok dadi koyo ngene?" (Bagaimana ini Jo? Kok jadi seperti ini?) gumam dhe Muin.

"Gara-gara kowe ndadak melu-melu wong kae mrene, malah dadi ndewe kegowo urusan rak genah" (Gara-gara kamu ikut-ikutan orang itu kesini, kita jadi terbawa urusan yang tak jelas.)  Nampaknya lek Tarjo sudah merasa lebih tenang dari sebelumnya, dan hanya menanggapi dhe Muin dengan santai.

"Ah mbuh lek. Aku ora melu-melu urusan e wong kae. Sing penting, aku melu mangan, wes wareg" (Tak apa pak. Aku tak ikut campur dengan urusan orang itu. Yang penting, aku sudah ikut makan, sudah kenyang).

Kedua orang itu pun, tetap menunggu ditempat itu, hingga pada akhirnya ada seseorang yang datang menyusul mereka.

Lek Tarjo agak mengenali orang yang datang. Ia tampak diantar oleh seseorang yang sebelumnya bersama dhe Dasaan. Orang itu meminta pengantarnya untuk menyampaikan maksud kedatangannya pada pemilik rumah. Setelah si pengantar masuk, orang itu menemui lek Tarjo dan dhe Muin yang akhirnya merasa lega.

Lek Tarjo yang mengenali orang itu, menyalaminya saat telah berada didepannya. "Wonten nopo pak, njenengan kok saget mriki?" (Ada urusan apa pak? Anda kok bisa kesini?)

"Mboten nopo-nopo pak. Kulo nggih badhe nusul njenengan, terose sampun dipadosi keluargane njenengan" (Tak ada apa-apa pak. Saya hanya ingin menusul kalian. Sepertinya kalian sudah dicari keluarga kalian).

Tak lama kemudian, si pengantar tadi kembali bersama pemilik rumah. Pemilik rumah itu seperti sudah reda dari emosinya, lalu menyambut kedatangan orang yang sepertinya berasal dari desa yang sama dengan lek Tarjo.

"Nyuwun sewu, nggih meniko angsal, kulo badhe matur kalih panjenengan." (Permisi, kalau diijinkan, saya ingin berbicara dengan anda).

"Nggih, saged. Monggo mlebet rumiyin" (Iya, boleh. Silakan masuk)

Pemilik rumah mempersilakan orang itu masuk kedalam ruangan lain di rumah itu. Sebelum meninggalkan lek Tarjo dan dhe Muin, orang itu berpesan, nantinya setelah ia menemui pemilik rumah, mereka mungkin akan diperbolehkan untuk meninggalkan tempat itu.

Lek Tarjo dan dhe Muin pun mengiyakan isyarat yang diberikannya. Dhe Muin sudah bisa merasa lega, karena sudah ada seseorang yang bisa diharapkan untuk menyelamatkan mereka dari tempat itu.

Dan benar saja, tak lama kemudian orang itu kembali tanpa disertai pemilik rumah.

"Njenengan sedoyo, monggo wangsul rumiyin. Kulo taksih wonten urusan ten mriki." (Kalian berdua, silakan pulang duluan. Saya masih ada urusan disini).

"Mangke, yen sampun medal saking mriki, mending njenengan langsung wangsul ten griyo piyambak. Ampun mampir nggih" (Nanti, kalau sudah keluar dari sini, lebih baik kalian langsung pulang ke rumah masing-masing. Jangan mampir), pesan orang itu.

Lek Tarjo dan dhe Muin mengiyakan pesan dari orang itu, dan langsung pamit dan berterima kasih pada orang itu.

Dan setelah keduanya pergi, orang itu kembali menemui pemilik rumah. Begitulah cerita yang disampaikan oleh dhe Muin kepada pihak keluarganya dan para warga desa yang datang ke rumahnya.

Sampai dengan tahlilan 7 hari meninggalnya anak lek Tarjo, dhe muin ikut datang ke rumahnya di desa seberang.

Disana dhe Muin pun menyampaikan cerita yang sama. Pada lek Tarjo dan keluarganya, dhe Muin menjelaskan. Sejak awal bertemu dengan orang asing yang ditemui dengan Lek Tarjo, dhe Muin sudah mencurigai gelagat orang itu.

Lalu, saat mereka ditemui oleh dhe Sa'an, dhe Muin pun sudah tau bahwa bukan dhe Sa'an yang mendatangi mereka. Sosok yang malih rupo menjadi dhe Sa'an adalah salah satu pengantar dari istana tak kasat mata yang tersembunyi di suatu tempat di sekitar bantaran sungai. Maka dari itu, dhe Muin sempat membiarkan orang asing itu pergi bersama sosok penyerupa dhe Sa'an.

Namun, ternyata ada maksud lain yang mungkin merupakan kehendak penguasa istana, dan akhirnya mereka jadi ikut terbawa pada kejadian itu.

Dhe Muin kembali menjelaskan pada lek Tarjo, saat ia melihat-lihat lukisan yang ada di istana itu, lukisan tersebut merupakan wadah para korban yang diambil oleh penguasa istana. Ada korban yang meninggal karena hanyut disungai, korban tenggelam, dan korban para tamu istana.

Terkait dengan korban para tamu istana, berkaitan dengan cerita tentang buaya putih, yang sudah banyak diketahui warga desa sekitar bantaran sungai. Saat lek Tarjo menikmati sajian yang disediakan, sebenarnya apa yang dimakan oleh lek tarjo adalah sosok anaknya sendiri.

Namun, lek Tarjo melakukan kesalahan, tak menghabiskan makanannya, karena sisa makanan yang terkait dengan jasad anaknya, akhirnya menjadi rebutan para penunggu istana itu. Akibatnya jasad anaknya yang berada di rumah pun kesakitan hingga berdarah-darah.

Dan orang asing yang bersama mereka ke istana itu, memang sudah berniat untuk mengunduh pesugihan ditempat itu. Sayangnya, penguasa merasa tersinggung, karena orang itu memberikan tumbal yang tidak pantas, dan membuat penguasa marah.

Beruntung, mereka berdua diselamatkan oleh seorang warga desa yang ternyata adalah kyai sepuh dari desa itu.

Pak kyai yang hadir pun melanjutkan cerita yang dijelaskan oleh dhe Muin. Saat kyai melihat kondisi anak lek Tarjo di malam kejadian, pak Kyai menduga bahwa lek Tarjo sedang tersesat dan masuk dalam istana.

Tak ingin ada kejadian lain, pak Kyai memutuskan untuk menjemput lek Tarjo yang ternyata bersama dhe Muin.

Setelah mengetahui alasan kenapa mereka bisa tersesat dalam istana itu, pak kyai pun memohon pada penguasa agar membebaskan kedua warga desa yang sebenarnya tak berniat datang kesana.

Terkait dengan nasib orang asing itu, menurut pak Kyai, orang asing itu akhirnya harus mempertanggung jawabkan perbuatannya. Sekaligus menjadi alasan kenapa penguasa istana itu bersedia membebaskan lek Tarjo dan dhe Muin dari istana itu.

Ada pelajaran yang disampaikan oleh pak kyai atas kejadian itu.

Pada dasarnya, istana itu tidak pernah ingin merugikan desa sekitar. Kehadiran hal ghaib yang ada disekitar kita, adalah sebagai penyeimbang sekaligus kontrol. Agar masyarakat sekitar dapat menjaga perilakunya dalam berhubungan antar manusia dengan manusia, maupun manusia dengan hal-hal ghaib disekitarnya.

Kejadian itu pun merupakan pengingat agar jangan ada lagi warga desa sekitar yang memperkaya diri dengan cara yang instan, bekerja sama dengan makhluk ghaib.

Serta, perlunya warga sekitar bantaran sungai, agar berhati-hati ketika berada disekitarnya. 

Ada mitos di sekitar bantaran sungai itu. Konon, warga desa sekitar sungai, menghimbau agar siapa pun yang punya sanak saudara masih keturunan orang T***l (nama salah satu daerah), dilarang mandi atau beraktifitas disekitar bantaran sungai. Saya tak tau apakah berkaitan dengan cerita ini atau tidak.

Tapi mungkin, sosok orang asing yang pernah datang ke istana itu, masih tetap berada disekitar bantaran sungai, dan sering mencari korban yang berasal dari daerahnya untuk diberikan pada penguasa bantaran sungai itu sebagai pengganti tumbal yang pernah ditolak.

SEKIAN

close