TUMBAL PENUNGGU SUNGAI
JEJAKMISTERI - "Mang... Mang Kasim...! Tolong Mang, Sita anak gadis saya hilang, terakhir tadi kata istri saya, dia lagi nyuci baju di sungai, tolong diliatin," ucap Pak Dira tergopoh diikuti beberapa warga, meneriaki Mang Kasim yang lagi memisahkan ikan hasilnya memancing.
"Hilang gimana maksudnya, Pak?" Mang Kasim bertanya sedikit terkejut.
"Mungkin ditarik hantu air, Mang, soalnya dia gak sendiri tadi, ada Dina yang juga mencuci baju di sana," ucap pak Dira.
"Sudah ditanya sama Dina, Pak?"
"Sudah Mang, kata Dina mereka lagi ngobrol biasa, tau-tau Sita udah gak ada disampingnya, hilang begitu aja," ucap Pak Dira dengan nafas sedikit tersengal.
"Ayo bapak-bapak masuk dulu, jangan panik begitu, kita lihat apakah Sita memang hilang di air atau tidak," ajak Mang Kasim, diikuti para warga masuk kedalam rumah.
"Tunggu di sini, Pak. Saya ambil keris dulu, tenangkan diri, jangan panik," lagi Mang Kasim berkata, meninggalkan Pak Dira dan bapak-bapak yang lain diruang tamu.
Mang Kasim dikenal warga sekitar bahkan namanya juga banyak dikenal warga dari desa lain karena kemampuannya yang tak biasa, ia mampu melihat hal-hal yang tak kasat mata.
Mang Kasim datang dengan membawa keris ditangannya, duduk dihadapan Pak Dira.
"Tolong bakar kemenyan, Pak," ucap Mang Kasim, mendorong periuk kecil yang berisi kemenyan.
Mulut Mang Kasim berkomat-kamit, membaca mantra, asap kemenyan mulai mengepul, keris di depannya mulai didirikan, dan ajaibnya keris itu mampu berdiri tegak, tanpa ada yang memeganginya.
"Sita memang hilang di air, pak, ada yang menginginkan nyawanya," setelah beberapa saat Mang Kasim angkat bicara, "tahun ini tumbal sungai jatuh pada Sita, tak perlu dicari, besok tepat jam dua belas siang jasad Sita akan muncul ditengah pusaran air, kita tunggu saja," ucap Mang Kasim panjang.
"Padahal saya sering kali berpesan untuk menjaga anak perawan di desa ini, jangan sampai lengah dan dibiarkan kesungai sendiri, ini yang saya takutkan, karena setiap tahun sepanjang aliran sungai ada saja yang kehilangan anak gadisnya, dan saat ini desa kita terpilih," ucap Mang Kasim.
"Malam ini siapkan sesajen, sepasang ayam hitam dan nasi punjung [tumpeng] Ayamnya biarkan hidup, besok ayamnya dipotong di atas nasi punjung, biar darahnya mengalir di atas nasi, lalu kita akan mempersembahkannya, menukar dengan jasad Sita" ujar Mang Kasim.
"Baik, Mang" ucap Pak Dira lemah.
"Sekarang Bapak pulang saja, siapkan semuanya, untuk bapak-bapak semua di sini, tolong kerja samanya untuk membantu Pak Dira, jangan lupa untuk membuat sajen kopi pahit, nanti saya akan menyusul."
***
"Sekarang Bapak pulang saja, siapkan semuanya, untuk bapak-bapak semua di sini, tolong kerjasamanya untuk membantu Pak Dira. Jangan lupa untuk membuat sajen kopi pahit, nanti saya akan menyusul" ujar Mang kasim.
Pak Dira dan beberapa warga meninggalkan rumah Mang kasim, terlihat jelas kesedihan diwajah Pak Dira.
"Pak Dira, apa sebaiknya kita menyisiri sungai dulu, mumpung ini masih sore, mudah-mudahan kita bisa menemukan Sita" ujar Pak Rusdi salah satu warga.
"Iya, bener itu, Pak. Sebaiknya kita menyisiri sungai terlebih dahulu, saya juga masih penasaran ini" Pak Ilham menimpali.
"Bener itu Pak" ujar warga lainnya.
"Baiklah, ayo kita menuju sungai, tapi sebelum itu saya harus pulang ke rumah dulu, menyampaikan kabar ini kepada istri saya, dia pasti khawatir dan menunggu kabar dari kita" ucap Pak Dira.
"Baik, Pak. Kami langsung ke sungai saja, nanti bapak menyusul saja" ujar Pak Rino.
"Terima kasih, Pak. Saya masih berharap anak saya masih hidup" Pak Dira menyetujui usul dari beberapa warga, mereka bersama-sama menuju kearah sungai.
Memang benar, semua warga di kampung ini mengandalkan aliran sungai untuk semua keperluan, karena jarak sungai yang tidak terlalu jauh jadi memudahkan warga untuk menggunakan sungai sebagai kebutuhan.
Para warga tiba di tepi sungai, berpencar menyusuri, berharap ada titik terang tentang Sita.
Tak lama Pak Dira pun menyusul para warga ditepi sungai, setelah menyampaikan pesan dari Mang Kasim tentang Sita, anak mereka, dan sesegera mungkin membuat punjung dan menyiapkan kopi pahit sesuai pesan dari Mang Kasim.
"Pak Dira, bukankah itu bajunya Sita?" Ucap Pak Ilham menunjuk kearah air, ada sehelai baju yang tersangkut pada ranting pohon.
"Iya, Pak. Sepertinya itu benar baju anak saya" ujar Pak Dira.
"Bapak tunggu di sini saja, biar saya yang turun, memastikan benar atau tidaknya itu baju Sita" lagi Pak Ilham berkata.
Pak ilham mulai menuruni tebing menuju pinggiran sungai, meraih selembar baju yang diyakini adalah milik Sita, lalu membawanya naik ke atas tebing.
"Benar ini baju anak saya, Pak. Mungkin baju ini terbawa arus saat Sita mencucinya" ujar Pak Dira, matanya menatap lama kearah baju yang dipegangnya.
"Yang sabar ya, Pak. Berhubung hari sudah mulai malam, sedangkan kita tak membawa alat penerangan apa pun, sebaiknya pencarian kita lanjutkan besok pagi lagi" ujar Pak Rusdi.
"Tadi pesan Mang Kasim, kita harus menyiapkan sepasang ayam hitam, kebetulan di rumah saya ada ayamnya, jadi gak usah mencari lagi, kita langsung ke rumah saya saja, karena ini udah mulai malam, saya yakin akan gampang menangkap ayamnya" kembali Pak Ilham angkat bicara.
"Terima kasih Pak Ilham dan Bapak-bapak yang lainnya sudah membantu saya mencari Sita" ujar Pak Dira.
Hari sudah mulai gelap, Pak Dira dan warga lainnya mulai meninggalkan sungai, berjalan beriringan.
Sementara di rumah Pak Dira sendiri banyak ibu-ibu yang sudah menunggu, membuat sesuatu yang dibutuhkan.
Malam semakin larut, banyak warga mulai berkumpul, mengucapkan bela sungkawa untuk keluarga Pak Dira, begitu juga dengan Mang Kasim ia sudah tiba sejak tadi.
"Begini, besok sebelum jam duabelas kita semua harus sudah mengelilingi pusaran air, saya sudah berkomunikasi dengan penunggu sungai, dia akan melepaskan Sita tepat saat matahari berada di atas kepala, itu artinya tepat jam duabelas siang" ujar Mang kasim, sambil menatap keris yang sejak tadi masih berdiri tegak.
"Kita sudah menyiapkan semua yang mereka minta, malam ini beberapa warga silahkan pulang, dan beberapa warga lagi tetap di sini menemani saya, masih ada yang harus saya selesaikan" ujar Mang Kasim lagi.
Bau kemenyan yang semakin lama semakin menyeruak, malam semakin larut, hanya beberapa warga saja yang masih berkumpul, menemani keluarga Pak Dira. Dan beberapa lagi tetap dengan posisi duduk mengelilingi Mang Kasim yang tetap fokus dengan keris dan kemenyan didepannya.
Tak terasa pagi menjelang, para warga mulai sibuk menyiapkan perahu yang akan digunakan.
Waktu semakin dekat, matahari semakin meninggi, Pak Dira dan warga lain mulai bersiap. Satu perahu yang dikhususkan untuk dinaiki Mang kasim membawa sesajen sebagai permintaan dari penunggu sungai.
"Semuanya, ayo bersiap. Tetap kontrol perahu, arus agak sedikit deras, jangan sampai ada perahu yang terhanyut, fokuskan untuk mengimbangi..!" Teriak Mang Kasim, diikuti anggukkan dari para warga.
Matahari semakin naik, semuanya terdiam, hanya sesekali terdengar deheman dari Mang Kasim yang terlihat fokus, punjung dan ayam telah dihanyutkan, tenggelam terbawa pusaran air, terlihat pusaran air semakin kuat, warga semakin bersiap mengimbangi perahu yang juga ikut berputar.
Mang Kasim mengarahkan kerisnya keatas, arus pusaran air semakin kuat, seakan ada sesuatu yang menggerakkannya.
"Bersiap semuanya...!" Lagi Mang Kasim berteriak diiringi dentuman dari gelombang arus.
Suasana semakin tegang, mata warga tetap fokus kearah arus sambil mengimbangi perahu.
Byurr...
Suara deburan air diikuti sosok yang seakan loncat dari dalam air. Sedikit melambung tinggi lalu terhempas kembali, seakan benar-benar dihentakkan.
***
"Dina... nyuci di sungai yuk" ajak Sita, ditangannya sudah menenteng keranjang pakaian yang mau dia cuci.
"Udah siang, Sit. Sungai udah sepi, jam segini mah udah gak ada orang di sungai" ujarku sambil meneruskan menyapu teras.
"Gak apa-apa, baru juga jam duabelas, pasti masih ada orang di sana" ujarnya lagi. Meyakinkanku.
"Entar aja, agak sorean dikit, Ta. Aku takut kesungai kalo hanya kita berdua aja" ujarku.
"Ngapain takut, Din. Udah ah, buruan jangan percaya sama takhayul" Sita sedikit memaksa.
"Ya udah, tunggu ya, aku ambil baju kotornya dulu" aku beranjak masuk kedalam, meninggalkan Sita yang masih menunggu.
"Iya, gak pake lama ya, aku udah gerah banget ini!" Teriknya dari arah luar.
Aku dan Sita memang sahabat dekat, jarak rumah yang tidak terlalu jauh membuat kami tampak akrab, kemana pun kami pergi, pasti selalu berdua saja. Bahkan Sita juga sering menginap di rumahku, hanya sekedar bercerita.
"Ayok ah, Sit. Ngapain sih pake acara ngelamun gitu?" Ucapku menepuk bahunya, ia yang sejak tadi termenung seketika kaget.
"Ihh... ngapain sih pake ngagetin segala, mau copot tau jantungku" ujarnya sedikit cemberut.
Kami berjalan menyusuri jalan setapak, jarak dari rumah ke sungai memang tidak terlalu jauh, hanya sekitar limaratus meter, namun yang kadang membuatku segan untuk menuju sungai adalah kebun karet yang membentang diantara desa dan sungai.
Apalagi kalau siang begini, para warga lebih banyak pergi keladang, membuat sungai hanya ramai pada pagi dan sore hari saja.
Kami tiba di sungai, sita yang lebih dulu menuruni anak tangga menuju kebawah, aku mengikutinya dari belakang.
"Din, kamu sebelah sana ya, aku yang disebelah sini" ujarnya menunjuk tempat untuk kami duduk.
"Ok" kuacungkan jempol tangan tanda setuju.
"Sit, tau gak, si Ardi kan ngejar-ngejar kamu terus, emang kenapa sih gak ditanggepin?" Ujarku, saat kami sudah duduk dan memulai aktifitas mencuci.
"Gak minat, aku males aja" jawabnya santai, tangannya tetap sigap mengucek pakaiannya.
"Gak minatnya kenapa? Kan dia ganteng, idola para cewek kampung tetangga loh" aku sedikit mengernyitkan dahi, menatap kearahnya sejenak, lalu meneruskan cucianku.
"Yah gak minat aja, dia kan genit, aku gak suka aja dipegang-pegangsama dia, risih banget tau gak," ujarnya panjang.
Ku anggukkan kepala, kami melanjutkan cucian kembali.
"Din, lihat deh, diujung sana ada orang lagi mandi, rambutnya panjang banget, dari tadi dia melihat kearah kita terus, rambutnya selalu dikibas-kibaskan, aku pengen punya rambut kayak gitu," ujarnya menunjuk kearah depan, seketika membuatku menoleh kearah yang ia tunjuk.
"Mana sih, Sit. Gak ada orang di sana" aku yang mengikuti arah telunjuk Sita sedikit terheran, soalnya tak ada siapa pun di sana.
"Disitu, Dina. Masa gak liat sih, tuh kan Ibunya senyum kekita" ujarnya lagi, tangannya sedikit melambai kearah sana.
"Beneran aku gak liat, Sita. Udah ah jangan nakutin, yuk kalo udah kelar kita pulang aja" aku mulai beranjak dari tempat semula, terlihat Sita masih sibuk melambaikan tangan kearah ujung sana.
Sita masih tetap pada tempatnya, cuciannya juga sudah selesai, aku yang mulai berkemas, fokus pada keranjang yang siap kuangkat untuk dibawa pulang.
"Ayo, Sit. Kita pulang" ujarku tanpa menoleh.
Tak ada jawaban sama sekali dari Sita. "Sita, ayo kita pu... lang" aku melihat berbagai arah, tak kutemukan sita, secepat itukah ia pergi, hanya beberapa detik saja, sejenak tadi yang aku lihat dia masih di dekatku. Kenapa bisa tiba-tiba hilang?
"Sita, kamu dimana? Jangan becanda deh, gak lucu tau."
Aku masih mengarahkan pandangan, jantung mulai berdegup kencang, terlihat pakaian Sita yang sudah tertata rapi didalam keranjang cuciannya yang siap dibawa pulang masih teronggok didekatnya duduk tadi, dimana Sita? Gak mungkin ia meninggalkanku sendiri, lagi pula, cuciannya masih di sini.
"Sitaa... jangan bercanda deh, gak lucu, Sita!" Aku mulai panik, menaiki tangga, menyambar keranjangku dan keranjang Sita sekalian, untungnya cucianku dan Sita gak terlalu banyak, jadi bisa kubawa sekalian.
Aku berlari menembus kebun karet, mengedarkan pandangan disela pelarianku, berharap ada Sita yang bersembunyi di salah satu batang karet. Namun nihil tak kutemukan Sita dimana pun berada, sampai aku tiba didepan rumah Sita.
Nafas masih tersengal, meletakkan keranjang milikku dan Sita di teras. Mengetuk pintu rumah Sita dengan keras, entah kenapa, aku masih berharap ada Sita didalamnya.
"Ada apa, Dina? Kenapa kamu kayak ketakutan gitu? Ujar Rila, Ibunya Sita.
"Bik, Sitanya udah pulang belum?" Tanyaku, mengabaikan pertanyaan Bik Rila.
"Loh, bukannya tadi sama kamu, kan tadi Sita pamitnya nyuci di sungai sama kamu" ujar Bik Rila kaget.
"Iya, Bik. Tadi Sita tiba-tiba hilang, makanya aku ke sini, takutnya dia udah pulang" ujarku sedikit panik.
"Dia belum pulang, Dina, coba ceritakan kejadiannya," ujar Bik Rila, terlihat jelas kepanikan dimatanya, lalu kuceritakan dari awal kejadian sampai aku tiba di depan rumah Sita.
***
"Itu jasad Sita, cepat naikkan keperahu, kita harus bergegas membawanya kepinggiran...!" Lagi, Mang Kasim berteriak, keris ditangannya masih diarahkan keatas.
Para warga mulai berusaha menaikkan jasad Sita, jasad terlihat utuh, tak ada cacat sedikit pun, walau terendam didalam air hampir satu hari satu malam, tidak ada pembengkakkan atau pembusukkan, bahkan jasad Sita seperti orang yang baru saja meninggal.
"Mang, jasad Sita sangat berat sekali, gak bisa diangkat, seperti ada yang menahannya" ujar Pak Rusdi, dan diikuti anggukan beberapa warga yang berusaha tetap memegangi biar tidak terbawa arus.
Jasad memang sangat sulit terangkat, bahkan untuk digeser pun sangat susah, padahal sudah berada di atas air.
"Pegang saja dulu, jangan sampai terlepas, saya akan berkomunikasi kembali dengan penghuni sungai" ucap Mang Kasim.
"Wahai penunggu sungai, kami sudah memberikan sesajen sesuai permintaan, lepaskan anak kami ... kami ingin segera mengurusnya," lagi Mang Kasim berbicara disela komat-kamit di mulutnya.
Setelah Mang Kasim berinteraksi sendiri, akhirnya jasad Sita ditarik keatas, jauh terasa ringan dari sebelumnya.
Jasad Sita sudah dinaikkan kesalah satu perahu warga menuju kearah pinggiran desa.
"Cepat kayuh perahu, kita harus bergegas membawa Sita. Pak Dira, setelah sampai nanti, kembali buatkan sajen kopi pahit, Dua punjung telur putih dan kuning, serta perintahkan warga lain untuk mencari tujuh rupa kembang serta tujuh macam buah-buahan, saya akan kembali mempersembahkannya" lagi Mang Kasim berujar.
"Baik, Mang, tapi mungkin proses pembuatan punjung mungkin agak sedikit memakan waktu, Mang. Dan juga pencarian buah agak sedikit lama, soalnya harus dicari ke kota terlebih dahulu."
"Tidak apa-apa, setelah matahari terbenam, baru kita persembahkan" ujar Mang Kasim singkat.
Isak tangis warga yang berkumpul menunggu kedatangan jasad Sita, Bu Rila sendiri sudah berkali-kali pingsan, tak mampu menyaksikan kalau anaknya benar-benar sudah menjadi tumbal dari penghuni sungai.
Setelah berpuluh tahun, baru kali ini di desa mereka terjadi kasus seperti ini.
"Tuhan, kenapa harus Sita yang diambil? Ia anak kami satu-satunya" disela isak tangisnya Bu Rila berucap lirih.
"Yang sabar ya, Bu, ikhlaskan Sita, semoga ia tenang di alam sana" ucap Ibu berbaju hijau salah satu tetangga Bu Rila.
Sita sudah dinaikkan dan dibawa pulang kerumahnya, para warga bergotong royong menyiapkan semua keperluan, termasuk untuk penguburan Sita sendiri.
"Sita harus segera kita kuburkan, tidak boleh berlama-lama, saya khawatir akan cepat terjadi pembusukan" lagi Mang Kasim berucap.
Pemakaman Sita telah selesai, meninggalkan kesedihan yang mendalam bagi Pak Dira dan Bu Rila, hari sudah beranjak petang, para warga sudah banyak yang membubarkan diri walau beberapa masih tinggal untuk menyiapkan keperluan yang diminta penunggu sungai.
Matahari mulai terbenam, perlengkapan semuanya sudah siap diangkat ke Perahu, beberapa warga mulai berkumpul ingin menyaksikan ritual terakhir dari persembahan.
"Saya menuruti perintah dari penunggu sungai, karena saya tak ingin terjadi sesuatu lagi di desa kita ini, selanjutnya, tolong jangan biarkan anak perawan kita untuk berada di sungai sendirian," Mang Kasim berkata sambil menaiki perahu yang berisi sesajen lengkap.
Asap kemenyan mulai mengepul, mengiringi perahu meninggalkan pinggiran menuju arus dimana jasad Sita ditemukan.
Larungan sesajen sudah dipersembahkan.
Lama setelah kejadian itu, tak pernah terdengar kabar ada yang hilang di sungai, semoga seterusnya sungai tak akan menelan korban kembali, biarlah semuanya akan menjadi misteri. Entahlah.
~SEKIAN~