Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

60 HARI TITIS AJI MENGHILANG


lir kumitir
Mambang
Kumbang lanang
Sira mabur angin njebat
Sira mlumpati gunung
Njegur nyilem

JEJAKMISTERI - Menggelegak darahku, bergejolak batinku, gelap mataku. Bagaimana tidak, aku Pengusaha muda yang sedang di puncak jaya, saat ini harus terima nasib meringkuk di sel sempit 6X6 meter, bersama bromocorah, bandit dan pembunuh kambuhan.

Kemarin aku masih seorang pengusaha yang sedang nikmat nikmatnya berusaha. Bebas kemana saja, yang kutahu hanya menumpuk duit dan duit. Sekarang aku terperangkap dalam permainan seorang pejabat yang gila kuasa. aku dituduh pengusaha gelap tak berijin plus serangkaian fitnah palsu yang gila. Hukum sering tajam ke bawah, tumpul ke atas. 
Seperti petir di siang bolong, aku yang bebas tiba-tiba di kerangkeng nyaris tanpa kemungkinan bebas, karena tuduhan berlapis.

Begitulah :
Macan kumbang ireng
Surem surem mlipir kenikir
Ucul pikir cul sukma cul joyo
Dadi dadi dari dadi weruh winarah

Kuulang-ulang mantera pemberian buyutnya buyutku, lambaran mantera ini kuperkuat dengan mengurangi kenyangnya perutku. Aku puasa. Mulai dijebloskan penjara. Hari pertama kupikir sepekan saja, aku akan dibebaskan. Rupanya hukum di negeri kutilang ini, hanya berpihak pada yang kuat saja.

Meski aku tergolong penguasa kecamatan ternyata diatas langit masih ada langit lagi. Terus kuulang mantera itu, dalam keputusasaanku yang mendalam.

Hari ke 13 :
Sambil menahan lapar selama matahari terbit aku menuntut pada langit siang dan penguasa malam, aku menuntut pembebasanku dari penjara. Biar badanku ada dalam sel besi kotak tetapi jiwaku harus bisa. Lepas bebas, apapun caranya.

Macan kumbang lanang

Ireng ireng wulune
Sir telisir sir sirna
Saka raga saka mata
Terus kuulang mantera hitam itu, tidak ratusan kali, ribuan kali, mungkin jutaan kali. Makin hari tekadku makin kuat. Lidah batinku lapar pembuktian.

***

Hari 40
Tak kuperdulikan. Tubuhku yang makin kurus dan kumis, serta berewok yang tumbuh panjang tak beraturan. Pancaran mukaku panas, membuat kumpulan gali, penjahat yang satu sel denganku atau yang di sebelah sel ku jadi enggan menatap mataku. Malas berdebat dengan mulutku. Aku jadi pendiam. Mataku api menyala dan kata-kataku menusuk lebih tajam dari duri salak.

Makin bertambah minggu, bertambah bulan badanku terasa ringan dan penuh enerji. Dingin, panas dan sepi tak kurasakan lagi. Aku mengadu kepada bumi, kepada langit. Aku protes, teriak sekuat-kuatnya. Aku Titis Aji tak akan kalah dipermainkan nasib. Aku kuat, sekuat batu karang !.

Walaupun urusan hukumku tidak kunjung selesai, aku tak perduli aku terus menahan lapar, puasa dan merapal mantera hitam, ilmu kumbang mambang.

***

Hari Ke 57
Makin kurus dan, makin acak-acakan rambut dan bulu jenggot dan kumisku. Tapi batinku makin pemuh dendam dan amarah. Dari empat penjuru angin aku mulai bisa mendengar suara-suara di kejauhan. Suara orang yang tawar menawar di pasar sebelah penjara. Suara kepala penjara yang menawanku tanpa ampun. Suara pelacur yang sedang melayani pelanggannya di gang buntu sebelah. Ah !

Terus kurapal mantera hitam itu sebagai pengganti sumpah serapah pada orang-orang yang memfitnahku. Memojokkanku Dan memenjarakanku tanpa pasal dan tujuan jelas. Aku tak perduli. Terus kurapal mantera kegelapan tanpa mengampuni diriku lagi. Lelah dan tidur tak pernah kuperdulikan lagi.

Tepat hari ke 60
Aneh, aku sudah tak merasa lapar lagi. Mantera pun sudah tak terdengat lagi, semua sudah menyatu dengan gerak lidah batinku. Menjelang tengah malam saat sel sepi. Mendadak aku terjerambab pulas tertidur tanpa kusadari.

Saat itu kusadari kematian begitu dekat, tapi kelahiran kembaliku juga begitu dekat. Ruhku mendadak berubah rupa bukan jadi manusia lain tetapi menjelma macan kumbang hitam, lalu aku meraung begitu keras, geramanku teramat keras, menggetarkan tujuh penjuru angin. Lalu Aku melesat dan melompat lepas ke atap tertinggi penjara dengam begitu mudahnya.

Lalu aku berlari dengan kuat dan nekat melompati alun-alun ke pepohonan. Tinggi meloncat ke gunung-gunung yang ada.

Sekali lompat aku sampai di Gunung Slamet ketemu Eyang Ulun, tampangnya sangar, suaranya menggelegar, marah besar padaku.

'Siapa Kau kucing hitam kurang ajar, berani menggangu tidurku, merusak pekaranganku. Kau pikir engkau siapa. Kepingin mati ditanganku ?", ancam penjaga Gua wingit Gunung Selamet.

Aku Titis Aji yang sedang menjadi siluman macan kumbang, bergidik, empat kakiku gemetar dan aku jatuh keras, bersimpuh memberi sembah. Karena sikap hormatku yang baik, Eyang Ulun pun berangsur berubah ramah. Cerita duka laraku dizalimi sesama manusia pun kuceritakan panjang lebar.

"Jadi kumbang Titis Aji yang malang, asal engkau tahu, orang yang memfitnahmu akan mengalami kesialan selama 31 bulan, dia akan merasakan deritamu di penjara. Begitu engkau keluar dia masuk ditempatmu, Eyang jamin. Lega pikirmu ngger ?", tanya sesepuh gaib penjaga alas angker di ketinggian berkabut ini.

Setelah berbicang panjang tentang ilmu hakekat dan tujuan hidup mulia. Aku disarankan untuk silaturahmi ke penjaga gaib gunung di pulau Jawa, Sindoro, Sumbing, Slamet, Galunggung, Merapi sampai Halimun.

Aku ikuti saran beliau, waktu manusia hanya semalam, tapi waktu di dunia peri perahyangan jauh lebih lambat, apalagi dengan kekuatan ilmu macan kumbangku. Sekali lompat aku bisa pindah dari gunung satu ke gunung lain. Setelah bertemu dengan sesepuh gaib, dan mendapat tuturan nasehat rahasia kehidupan.

Aku mohon pamit dan meminta restu untuk hidup lebih jujur, baik, bermartabat. Saat aku mulai lelah bertualang di dunia. Samar. Aku teringat pesan Eyang Ulun agar mengakhiri penjelajahanku di Rejenu, di Gunung Muria.

Sampailah aku di Rejenu, mata air tiga rasa, saat fajar mulai menyingsing. Disitu ada tiga telaga kecil dengan tiga rasa berbeda pahit, getir dan asam. Ada rasa haus batin menggunung pasir di kalbuku. Maka kuminum tiga genangan air melimpah yang tak pernah kering sampai hampir habis. Sungguh tidak masuk akal, sebagai macan kumbang meski cukup besar, perutku tak seberapa, sampai bisa menampung sesapan haus batinku, akan air penyuci keruh jiwaku.

Ada kesegaran luar biasa. Seisi pori tubuhhlu penuh oleh air suci. Nalarku jadi jernih lalu kantuk datang dengan hebat. Badan kumbang hitamku jatuh berdebum ke bumi.

Titis Aji Mati. Titis Aji lama mati digondol macan kumbang hitam terliar, terbesar, terganas, paling menakutkan yang pernah kukenal.

Hening
Suci
Ning.

***

Brak !

"Titis Aji kamu bebas !", teriak supir penjara berkumis baplang meneriakku. Aku tergeragap bangun seperti bayi baru dilahirkan. Ternyata tuduhan berlapis yang ditimpakan kedada Titis Aji tidak terbukti !.

Terima kasih Gusti yang maha wenang. Sembah hormat Eyang Ulun dari Kumbang "Titis Aji" Hitam.
Bila bayi memangis
Aku tidak,
Titis Aji mengaum, Menggeram layaknya macan kumbang hitam lapar mangsa karena satu musim tak makan. Teriakan binatang amukku terdengar ke seluruh relung lantai penjara, semua penghuni merinding takut, menggigil jatuh nyali.

Termasuk sipir tergalak, kumisnya melepes, ngampleh, seperti handuk basah, berbeda denganku, kumis bewok serabutan panjangku, berdiri tegak layaknya kumis macan kumbang, mata putihku menjadi kuning hitam.

Dan seluruh penghuni penjara kaget dan lemas dengkulnya, karena aku keluar dengan menggeram, mengaum dan berjalan tidak dengan dua kaki tapi merangkak layaknya kumbang sejati. Grrrrr !

Tuhan, ampuni aku !
Akhirnya Aku bisa bebas resmi dari penjara besi ini tetapi sekarang aku terpenjara di tubuh hitam berbulu, dan ganas sekali ini, bagaimana aku bisa bebas. Kontrak gaib sudah kuteken dengan darah merah dan putih tulangku.
Auuum !
Auuuuum !

SEKIAN
close