Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TERSESAT BERTEMU PENDAKI MISTERIUS GUNUNG LAWU


JEJAKMISTERI - November, 2002, entah tanggal berapa aku sulit mengingatnya. Yang jelas saat itu curah hujan sedang tinggi. Tak berbeda dengan cuaca di Kaki Gunung Lawu waktu itu. Gerimis tipis disertai kabut yang tak terlalu tebal serta tentunya hawa sejuk sedikit menusuk menyambut kedatanganku beserta satu orang temanku ketika hari telah jatuh menuju senja.

Celingak-celinguk kepalaku mencoba berorientasi. Mencoba merekam setiap sudut tempat ini dan menandai di dalam ingatan, tempat atau benda yang aku rasa cukup khas. Begitulah caraku mengenali suatu tempat jika aku pertama kali mendatanginya. Ya, benar sekali, ini adalah pertama kalinya aku mendaki Gunung Lawu. Tak berbeda dengan temanku, sebut saja namanya Kevin. Jalur yang kami pilih saat itu adalah Jalur Cemoro Sewu.

Hanya berbekal informasi dari beberapa orang yang sudah pernah mendaki Gunung Lawu, aku "nekat" melakukan pendakian ini hanya berdua saja. Kata nekat kupilih karena memang mendapatkan informasi mengenai jalur pendakian gunung waktu itu tidak semudah sekarang. Tapi berbekal pengalaman-pengalaman pada pendakian sebelumnya serta ilmu dari pendidikan dasar di organisasi pecinta alam, aku yakin dan percaya bahwa kami pasti berhasil melakukan pendakian ini dan bisa kembali pulang dengan selamat.

Kulangkahkan kakiku menuju ke sebuah bangunan berukuran sedang yang berada di depan gerbang pendakian. Aku percaya itu adalah pos pendaftaran pendakian Gunung Lawu, meskipun tak terlihat seorangpun berada di depan posko tersebut. Mungkin mereka berada di dalam, begitu batinku.

Usai mengucapkan salam, terdengar seseorang menjawab salamku dari dalam. Sesuai dugaanku, mereka memang berada di dalam. Wajar saja, karena suhu di luar cukup menusuk tulang. Tak berapa lama keluar seorang pria berperawakan sedang dengan rambut gondrongnya. Dia mempersilahkan kami masuk. Aku mengutarakan maksud kedatanganku yaitu ingin mendaki Gunung Lawu. Tak butuh waktu lama, beliau memberikan penjelasan mengenai Gunung Lawu, terutama jalur Cemoro Sewu ini. Penjelasan mengenai jalur pendakiannya, pos-posnya, ciri dan karakternya, dan tak lupa segala pantangan-pantangan yang harus dipatuhi oleh setiap orang yang mendatangi Lawu. Aku pun menyimak dengan seksama penjelasan beliau.

"Kalian berdua saja?" Ucapnya di akhir.

"Iya mas" jawabku.

"Jangan mendaki malam ini, besok saja" sambungnya.

"Kami memang berniat mulai mendaki besok kok mas. Malam ini kami mau menginap di sini" jawabku tanpa menanyakan alasan beliau melarangku mendaki malam ini.

Tanpa dilarang pun kami memang tidak berniat langsung memulai pendakian malam ini. Alasanku cukup sederhana, terlalu beresiko bagi kami yang baru pertama kali mendaki Lawu. Apalagi saat ini pendakian Gunung Lawu sedang sepi.

Usai membereskan urusan registrasi sekaligus sudah merasa cukup bekal informasi tentang pendakian kudapatkan, aku pun berpamitan kepada penjaga posko pendakian tersebut untuk mendirikan tenda di area hutan cemara dekat gerbang pendakian. Beliau mengijinkan, dan apabila membutuhkan sesuatu beliau mempersilahkanku untuk menemuinya di posko.

Malam ini kami lewati hanya dengan beristirahat di dalam tenda hingga pagi menjelang. Tak ada kejadian aneh selama kami bermalam di sini. Kami tertidur sangat pulas. Hanya saja saat aku tertidur aku sempat bermimpi bertemu seseorang yang tak kukenal. Dia hanya tersenyum lalu tiba-tiba berubah menjadi burung jalak lalu terbang menjauh hingga tak terlihat. Aku tak memikirkannya, hanya kuanggap sebagai bunga tidur saja.

Pagi yang cukup cerah berhias kicau burung-burung liar membangkitkan semangatku untuk segera memulai pendakian ini. Meski semalam sempat diguyur hujan cukup deras, tapi kami tetap terlelap dengan nyaman dan aman. Tenda yang kami gunakan cukup efektif memberikan perlindungan terhadap cuaca itu. Parit yang kubuat mengelilingi tenda beberapa saat setelah tenda berdiri juga berfungsi dengan baik mengalirkan air hujan menjauhi tenda kami.

Usai sarapan kami membereskan seluruh perlengkapan pendakian kami, menatanya dengan rapi di dalam ransel kami yang masing-masing berukuran 60 liter. Sebagian barang sengaja tidak kami masukkan di dalam ransel. Kami hendak menitipkan barang tersebut di posko pendakian, karena kami merasa tidak akan menggunakan barang tersebut selama pendakian. Barang tersebut baru akan kami gunakan usai kami menuruni gunung ini.

Segala persiapan telah selesai, kami pun datang ke posko untuk menitipkan barang sekaligus berpamitan kepada petugas dan meminta restu supaya pendakian kami berhasil dan selamat hingga kembali turun.

"Kalian hati-hati, sepertinya kalian nanti tidak akan bertemu pendaki lain karena kemarin yang datang hanya kalian saja. Tapi kalau orang-orang yang mendaki untuk ritual mungkin masih ada. Mereka biasa menetap agak lama di atas. Dan ingat, jangan langgar pantangan" pesan petugas posko.

Kami mendengarkan dengan seksama setiap perkataan dari beliau. Kami pasti selalu mengingatnya dan selalu berusaha untuk menjaga sopan santun serta tidak melanggar pantangan di sini. Terlepas nyata atau pun mitos, kami memilih patuh dan menghormati aturan serta pantangan di setiap tempat yang kami datangi. Bukan bermaksud terlalu mempercayai, tapi kami sadar bahwa kami datang sebagai tamu, dan selayaknya kami menghormati aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh tuan rumah.

Usai berdoa yang dipimpin oleh petugas posko, kami memulai perjalanan pendakian kami. Cuaca pagi ini cukup cerah, semoga saja sepanjang perjalanan pendakian hingga turun besok cuaca akan selalu bagus seperti ini. Begitulah salah satu harapan kami. Tetapi jika nantinya yang terjadi tidak seperti harapan kami, kami pun harus bersiap.

Langkah demi langkah kami ayun dengan pasti. Semangat kami masih membara dan terus kami jaga seperti itu. Setidaknya dengan semangat dan harapan yang terus terjaga, jika terjadi hal buruk kami tetap memiliki daya untuk bertahan hidup dan selamat.

Secara umum perjalanan pendakian kami lancar tanpa suatu rintangan berarti. Menjelang sore kami telah sampai di pos 4. Ketika kami hendak melanjutkan perjalanan usai beristirahat sejenak, tiba-tiba langit berubah menjadi pekat. Perlahan namun pasti awan kelabu menutup hamparan biru berhias putih di atas sana. Sejenak aku menengadah. Ada sedikit rasa mengganjal dalam hatiku. Entah apa, aku sendiri bingung untuk mendeskripsikannya.

"Aneh, padahal cuaca cerah lalu tiba-tiba berubah mendung dan hujan adalah hal biasa di gunung. Apalagi di musim seperti ini. Tapi kenapa sekarang aku merasa seperti ketakutan" gumamku pelan.

"Gimana mas?" Tanya kevin ketika menyadari aku bergumam sendiri.

Kevin memang memanggilku "mas" karena usia dia lebih muda 4 tahun dari aku.

"Gak pa2, Vin. Kita lanjut aja sambil nanti kita lihat sikon. Kalau cuaca berubah dan dirasa gak aman, mending kita cari lapak nge-camp aja" sahutku tak mau membuatnya gusar.

"Manut mas" jawabnya santai.

Usai melahap sedikit tanjakan agak curam lepas dari pos 4, kami tiba di jalan mendatar. Lumayan nih bonus, batinku. Tak lama kami sampai di sebuah mulut goa yang arahnya menjorok seperti masuk ke dalam jurang. Di sebuah batang pohon di depan mulut goa tersebut tertancap sebuah penanda bertuliskan "JOLOTUNDO". Aku berhenti sejenak lalu membuka selembar kertas yang diberikan petugas posko kemarin usai kami registrasi.

"Ini goa Jolotundo, Vin. Jadi bentar lagi kita sampai di pos 5. Mulai dari sini kayaknya trek-nya udah enak" ucapku pada Kevin sambil menunjuk peta pendakian di tanganku.

"Ini goa kayaknya serem ya mas" ucap Kevin.

"Serem gimana maksudmu?" Tanyaku.

"Tuh banyak sesajen, mas. Apalagi di dalam tuh banyak banget" ucapnya sembari menunjuk ke dalam goa.

"Bukannya sejak dari bawah tadi kita udah sering ketemu sesajen ya, vin? Di batu gede, bawah pohon, pinggir jalur. Gunung ini memang terkenal kental mistisnya, vin" ucapku.

"Iya sih, mas. Tapi kayaknya goa ini beda deh. Ga tau deh. Aku ga paham soal begituan, mas" sambungnya diakhiri tawa kecilnya.

Aku hanya tersenyum mendengar ucapan Kevin. Tapi entah kenapa tiba-tiba aku merasa seperti ada dorongan untuk melihat dan memperhatikan ke dalam goa. Beberapa saat aku tetap memperhatikan susunan batu-batu dan tumpukan sesajen yang kurasa jumlahnya memang tidak sedikit. Hingga aku sedikit terperanjat ketika tiba-tiba muncul bayangan melintas di dekat tumpukan sesajen itu. Entah bagaimana menggambarkannya, bayangan itu bukan berbentuk manusia atau pun hewan, tapi seperti asap yang menggumpal cukup pekat bergulung-gulung dengan jumlah tidak banyak dan bergerak cepat. Sesekali bayangan itu berhenti di depan sesajen, lalu bergerak lagi kesana kemari hingga kembali berhenti. Tepat ketika bayangan itu berhenti yang terakhir kalinya aku merasa seperti ada mata yang memperhatikanku. Lalu tak lama bayangan itu kembali bergerak sangat cepat menuju ke arahku dan menabrak badanku lalu hilang entah kemana. Aku sangat kaget hingga sempat mundur beberapa langkah mendekati bibir jurang di belakangku.

"Awas mas.." teriak Kevin sembari menyambar tanganku.

Aku langsung tersadar. Entah benda atau makhluk apa yang menabrakku tadi. Yang jelas aku merasakan energi yang cukup besar.

"Ada apaan mas?" Tanya Kevin

"Gak pa2, Vin. Aku kaget aja tadi tiba-tiba ada angin dingin. Kamu ngerasain juga gak? Kayaknya sebentar lagi hujan ini." Ucapku tak mau membuat Kevin takut.

"Iya sih mas. Bener ini kayaknya mau hujan. Trus gimana ini mas" jawab Kevin.

"Kita lanjut aja. Target sampai pos 5 aja dulu. Di sana kita orientasi aja. Kalau gak aman kita nge-camp aja." Ucapku

"Siap mas" jawab Kevin.

Kami pun melanjutkan perjalanan. Dan saat ini aku merasa seperti diikuti dan diperhatikan oleh "sesuatu". Entah apa itu.

Benar saja, sampai pos 5 hujan pun turun. Tak perlu banyak pertimbangan, kami langsung mencari lapak dan mendirikan tenda. Kami memutuskan malam ini kami menginap di sini.

Semalaman di pos 5 nanti akan menjadi malam yang cukup panjang. Banyak kejadian aneh kami alami di sini.

Tak butuh waktu terlalu lama tenda kami sudah berdiri. Tak lupa kami pasang seluruh pasak dan mengencangkan guyline. Parit mengelilingi tenda juga sudah selesai kami buat. Sepertinya malam ini akan terjadi badai. Kami harus "mengamankan" tenda kami supaya tetap kokoh jika dihajar badai dan tetap nyaman kami tempati untuk bermalam.

Malam telah jatuh dengan sempurna meski tak bertabur bintang. Cuaca di luar tenda masih hujan disertai angin kencang dan beberapa kali terdengar suara petir bergemuruh. Cukup menakutkan bagi sebagian orang. Tapi bagi kami, ini merupakan bagian dari nyanyian alam yang harus bisa kita nikmati jika kita memutuskan untuk menggeluti hobi berpetualang di alam bebas.

Untuk membunuh waktu supaya tidak diserang rasa bosan, kami pun mengobrol tentang apapun ditemani dengan kopi panas dan beberapa batang rokok di dalam tenda. Pintu tenda kami buka lebar, tetapi pintu vestibule kami tutup rapat. Sehingga sirkulasi udara di dalam tenda tetap terjaga dan kami tetap aman dari hujan.

Hingga beberapa waktu kemudian, kami mendengar suara langkah kaki di luar tenda. Suara langkah tersebut khas langkah pendaki, terdengar mantap seperti sedang membawa beban, mungkin ransel. Suara yang awalnya terdengar dari kejauhan lama-lama semakin mendekat hingga tiba-tiba suara langkah kaki tersebut tak terdengar lagi seolah orang itu berhenti tepat di depan tenda kami. Hanya saja anehnya aku sama sekali tidak melihat kilatan cahaya senter dari luar dan suara langkah tersebut jelas terdengar hanya satu orang. Jika memang dia pendaki, berarti dia sangat hebat berani berjalan malam-malam sendirian dalam kondisi hujan badai begini tanpa menggunakan senter.

Sejenak aku dan Kevin saling pandang. Aku paham apa yang dipikirkan Kevin.

"Mas, mbak siapapun di luar. Mau naik ke puncak kah? Sendiran aja?" Ucapku seengah teriak dari dalam tenda kepada orang di luar itu.

Tak ada jawaban dari luar. Aku pun jadi merasa penasaran.

"Siapa ya mas?" Tanya Kevin penasaran.

"Ga tau,Vin. Aku cek aja keluar. Takutnya dia emang sendirian dan terjadi sesuatu. Hujan dan dingin kayak gini rawan kena hipotermia, apalagi kalau basah" ucapku lalu segera memakai rain coat.

"Aku ikut mas" ucap Kevin

"Kamu di sini aja, siapin Sleeping bag, jaket, dan masak air buat jaga-jaga" jawabku

"Hati-hati mas" ucap Kevin ketika aku hendak beranjak keluar.

Tanpa menjawab ucapan Kevin, aku segera menuju ke pintu vestibule tenda ini. Kutarik resliting ke atas hingga terbuka sempurna. Dengan bantuan penerangan cahaya senter aku menyisir sekitaran tenda mencari seseorang yang tadi datang. Tapi hingga radius beberapa meter dan mengarahkan cahaya senter ke berbagai sudut aku tetap tidak menemukan siapapun. Jarak pandang saat ini masih cukup baik meskipun hujan masih mengguyur. Di sini aku merasa aneh. Langkah kaki yang kudengar tadi berhenti tepat di depan tenda. Seharusnya dia berada di sekitar tenda. Tapi ketika aku memeriksa ternyata tidak ada siapapun. Jika dia pergi, seharusnya juga terdengar suara langkah dia menjauh. Ditambah lagi kondisi tanah dan rerumputan tidak terlihat bekas jejak orang selain jejakku dan Kevin yang telah hampir pupus tersapu air hujan.

Sadar terjadi kejanggalan aku pun bergegas kembali ke tenda dengan membawa rasa penasaran yang semakin menggebu.

"Gimana mas?" Tanya Kevin ketika aku telah memasuki vestibule dan menutup kembali pintunya

"Ga ada siapa-siapa,Vin" jawabku

"Lah terus tadi yang jalan di depan tenda kita siapa mas?" Tanya Kevin.

"Gak tau. Udah ga perlu dipikirin. Kalau emang itu manusia, besok coba kita cari lagi di sekitar tenda. Kalau bukan manusia, mungkin dia sekedar ingin menyapa kita" ucapku.

Kami pun melanjutkan aktifitas kami. Kami ngobrol santai membicarakan tentang organisasi kami. Membuat rencana-rencanakecil kegiatan nanti serta obrolan-obrolan lainnya. Tentunya tetap sambil menikmati kopi dan rokok sebagai pelengkap. Ketika sedang asik ngobrol tiba-tiba tenda kami bergoyang cukup keras seolah sedang dihantam sesuatu dari luar. Tak pelak kami pun terperanjat.

Bergegas aku mencabut frame ranselku yang berupa batang alumunium berbentuk pipih. Aku akan menggunakan itu sebagai senjata untuk berjaga-jaga. Yang aku takutkan adalah gangguan binatang liar seperti babi hutan. Aku menyuruh Kevin tetap di dalam tenda dan siaga dengan senjata yang sama denganku, sedangkan aku kembali bergerak keluar untuk memeriksa.

Sesampainya di luar aku kembali terheran karena aku sama sekali tidak menemukan bekas jejak manusia maupun binatang liar. Kondisi tanah dan rumput normal rapi seolah tak terjadi apapun. Belum puas memeriksa, aku pun bergerak mengitari tenda dan memperluas area pengamatan. Dan benar saja, kondisi masih tetap sama tidak terlihat adanya bekas jejak di sekitarku. Aku pun yakin bahwa ini adalah sedikit "gangguan" dari penghuni asli gunung ini. Aku harus bersiap.

Baru saja aku memikirkan itu, tiba-tiba datang kabut tebal menuju ke arahku. Hanya beberapa detik saja kabut itu telah menyelimuti setiap sisi wilayah ini. Jarak pandang kini menjadi sangat terbatas, mungkin hanya 2-3 meter saja. Aku bergegas kembali ke tenda sebelum terjadi hal yang tidak diinginkan.

Ketika aku berjalan menuju ke tenda, aku merasakan banyak kehadiran "mereka" di sekitarku. Meski tidak ada interaksi secara langsung, tapi aku jelas merasakan bahwa mereka semua sedang memandang ke arahku. Meski aku tetap fokus memandang ke arah pejalananku menuju tenda, tapi dari sudut mataku aku melihat kilatan-kilatan bayangan samar yang kuyakini adalah bentuk eksistensi mereka. Tengkukku kini menebal akibat bulu kuduk yang berdiri. Seketika aku melantunkan dzikir dari mulutku untuk melawan energi negatif yang kini telah kurasakan semakin kuat.

Sesampainya di tenda aku kaget melihat Kevin meringkuk berselimut sleeping bag dengan wajah ketakutan. Dia terlihat gemetar dengan mata terpejam.

"Kenapa, Vin?" Tanyaku

"Ngeri mas. Tadi kain tenda seperti di pukul-pukul dari luar. Dan aku lihat bayangan tangan orang memegang kain tenda sebelah sana" ucapnya terbata-bata sembari menunjuk salah satu sisi tenda.

"Udah kamu tenang dulu. Berdoa menurut keyakinanmu. Kalau bisa usahakan tidur saja" ucapku padanya.

Kami pun beringsut menempati posisi kami masing-masing lalu segera memakai sleeping bag untuk menahan dingin yang semakin lama kurasakan semakin menusuk. Tak lupa sebelumnya aku menutup rapat seluruh pintu tenda.

Beberapa waktu kami berusaha untuk bisa tidur. Sekejap kulihat Kevin. Nampaknya dia sudah tertidur. Sedangkan aku merasa sangat sulit untuk bisa terpejam. Kulirik jam tanganku, ternyata sudah hampir tengah malam. Tak berapa lama kurasakan hujan di luar semakin deras dan angin juga semakin kencang. Lama-lama angin benar-benar berhembus sangat kencang menghantam tenda kami. Kulihat frame tenda kami meliuk-liuk seolah hampir menyerah menahan kencangnya badai di luar sana. Tak berapa lama aku pun melihat seperti yang dilihat kevin beberapa waktu lalu. Aku melihat kain tendaku seolah di pukul-pukul dari luar. Meski sedikit tersamarkan dengan hantaman angin, tapi jelas kulihat perbedaannya. Disamping itu beberapa kali kulihat bayangan telapak tangan yang menyentuh kain tenda kami. Tak kusangkal, rasa takut mulai menjalariku. Aku pun terus berdoa dan berzikir untuk meminta perlindungan dari Tuhan dan dijauhkan dari godaan setan dan jin kafir. Aku terus berusaha konsentrasi sambil terus berdzikir. Berharap gangguan ini segera berhenti. Cukup lama aku merasakan "mereka" seolah berusaha merobohkan tenda sekaligus mengintimidasi dengan sentuhan-sentuhan di kain tenda ini. Hingga tiba-tiba...

"Buuuuuummmmmmm"

"Gggrrrrrr....... Ggggrrrr....."

Tiba-tiba terdengar suara berdebum seperti ada benda yang sangat besar jatuh ke tanah dan diikuti suara geraman seperti geraman harimau.

"Buuuuuummmmmmm"

"Gggrrrrrr....... Gggggrrrrrrr....."

Tiba-tiba terdengar suara berdebum seperti ada benda yang sangat besar jatuh ke tanah dan diikuti suara geraman seperti geraman harimau.

Beberapa kali kudengar suara geraman harimau tersebut. Seolah sedang berusaha mengintimidasi lawan atau mungkin mangsa. Entah kepadaku atau yang lain. Yang jelas rasa takutku kini seolah telah berada di puncaknya, meski masih terus berusaha kulawan dengan bacaan-bacaan dzikir. Anehnya, Kevin tetap tertidur pulas seolah tidak merasakan kengerian ini. Hingga akhirnya suara geraman itu berganti dengan suara-suara lain seperti orang bercakap-cakap. Hanya saja aku tidak mengerti bahasa yang digunakan.

Suara itu masih terus terdengar. Tak berapa lama nada orang-orang yang bicara di luar berubah meninggi. Mereka seolah sedang berdebat, atau tepatnya saling mengancam. Semakin lama kudengar suara-suara itu semakin lirih hingga akhirnya hilang begitu saja.

Berbarengan dengan hilangnya suara-suara itu, perlahan hujan pun mereda dan angin juga berhembus semakin pelan. Cuaca berangsur tenang meski rintik hujan masih tetap turun membasahi bumi ini. Begitu pula denganku yang merasa semakin tenang tak lagi diliputi rasa takut berlebihan. Perlahan aku pun semakin kehilangan kesadaran dan akhirnya terlelap.

Pagi di hari kedua pendakian ini cuaca sudah tak lagi hujan. Tapi kabut tebal masih menyelimuti setiap sisi Gunung ini. Tak terlihat matahari terbit di ufuk timur, sehingga membuat suhu udara tetap dingin menusuk seperti hari sebelumnya.

Aku dan Kevin bersiap melanjutkan perjalanan pendakian ini menuju ke puncak yang dikenal dengan Puncak Hargo Dumilah. Kami membuat sarapan, lalu membereskan seluruh peralatan dan menatanya ke dalam ransel. Di antara kami tak ada pembahasan mengenai kejadian semalam. Meski tanpa sebuah kesepakatan, kami seolah mengerti bahwa hal tersebut belum waktunya untuk dibicarakan. Setidaknya hingga kami telah turun dan sampai di basecamp nanti.

Setelah semua persiapan selesai dan tentunya kami sudah sarapan dan sedikit pemanasan, kami pun melanjutkan perjalanan pendakian.

"Lewat mana mas?" Tanya Kevin.

"Ga tau, Vin. Peta pendakian kemarin kayaknya hilang deh. Terakhir aku ingat aku simpan di kantong celana, tapi tadi kucari ga ada" ucapku.

Aku mencoba mengamati area sekitar untuk mencari jalur pendakian. Tapi kabut tebal ini benar-benar mengacaukan kemampuan orientasiku. Wajar saja karena jarak pandang tak lebih dari 5 meter.

"Depan situ sepertinya jurang, Vin. Karena arahnya menurun dan ga kelihatan kalau ada jalan. Ketutup kabut juga. Terlalu beresiko juga kalo aku ngamati lebih jauh. Sepertinya kita harus ambil kiri ke arah tanjakan sana. Kayaknya itu ada jalan" ucapku memberikan hasil orientasi meski aku sendiri masih setengah ragu.

Dari sinilah kesalahan fatal terjadi. Aku yang biasanya memilih tidak melakukan pergerakan ketika kondisi tidak aman seperti ini memilih nekat melanjutkan perjalanan. Padahal ini adalah pertama kalinya aku kesini. Sejujurnya ada rasa ragu, tetapi entah dorongan dari mana seolah menyuruhku untuk segera melanjutkan perjalanan. Mungkin itu egoku sendiri yang berambisi ingin segera sampai puncak.

Waktu menunjukkan pukul 08.00 pagi ketika aku mulai mengayun langkah menuju ke jalur yang kuanggap jalur pendakian menuju Puncak Hargo Dumilah. Kevin mengikuti tepat di belakangku. Aku memang menyuruhnya sedekat mungkin denganku. Jangan sampai tertinggal terlalu jauh apalagi sampai tidak terlihat. Sangat berbahaya. Sesekali aku mengajaknya bicara untuk mengetahui bahwa dia masih berada di belakangku.

Beberapa waktu berjalan, jalur yang kulalui ini menjadi semakin terbuka. Tak ada pohon-pohon besar di sekitarku. Hanya rerumputan, beberapa pohon cantigi dan kontur tanah di sekitarku pun terlihat datar. Sepertinya ini area padang rumput atau sabana. Sayangnya kabut yang masih tebal ini menghalangi pandanganku. Sehingga aku tidak bisa melihat kondisi medan hingga jarak yang lebih jauh.

Semakin lama aku berjalan, jalan setapak yang sejak tadi kulalui semakin menghilang. Hanya tersisa hamparan rumput berukuran pendek tetapi rapat di sekitarku. Aku seperti sedang berada di tengah-tengah lapangan yang sangat luas. Perasaanku semakin tidak menentu. Jika aku melalui jalur yang benar, seharusnya jalur pendakian akan tetap terlihat. Karena Gunung Lawu ini cukup populer, jadi sangat tidak mungkin jalur pendakian akan tertutup rapat atau bahkan menghilang seperti ini. Atau mungkin saat ini aku dan Kevin sedang tersesat?

Menyadari terjadi kejanggalan, aku pun mengehentikan langkahku. Aku harus menenangkan diri dulu sebelum mengambil keputusan akan melanjutkan perjalanan ini atau berhenti saja menunggu kondisi membaik. Seperti dalam prinsip tehnik hidup di alam bebas. Jika kita menyadari bahwa kita sedang tersesat, maka harus menerapkan prinsip STOP. Yaitu Sit, Think, Observe dan Plan. Sit untuk berhenti menenangkan diri terlebih dahulu, terutama mengendalikan pikiran supaya tidak panik dan melakukan kesalahan lebih fatal. Think untuk berfikir, mengingat setiap detail perjalanan hingga bisa terjadi kesalahan yang menyebabkan tersesat. Obverve untuk observasi dan analisa. Observasi lokasi, peralatan, perbekalan, kesehatan, kondisi fisik dan lain-lain. Plan untuk merencanakan langkah selanjutnya berdasarkan hasil observasi dan analisa tadi.

"Sepertinya kita tersesat, Vin. Jalur ini aneh. Bukan tipikal jalur pendakian umumnya" ucapku kepada Kevin yang masih tetap terlihat tenang.

"Terus gimana mas? Kita berhenti di sini dulu nunggu kabut ilang atau lanjut cari jalan keluar?" Tanyanya.

"Kita ga tau sampe kapan kabut ini bakal ilang, Vin. Kita juga belum tau resikonya kalo kita tetap di sini. Area ini terlalu terbuka. Sangat berbahanya kalau ada binatang liar atau kalau cuaca memburuk dan terjadi badai seperti semalam. Tenda bisa hancur kebawa angin atau lebih buruk bisa tersambar petir" ucapku.

"Kamu tunggu sini bentar, jangan kemana-mana. Aku mau coba lihat sekeliling siapa tau ada jalan tembusan. Aku bikin tanda pake tali aku ikat di rumput biar bisa balik lagi kesini" sambungku.

"Siap mas" jawabnya

"Ingat, jangan kemana-mana!" tegasku lalu pergi meninggalkannya.

Waktu menunjukkan pukul 10.00. Artinya sudah sekitar 2 jam aku dan Kevin tersesat di area ini. Aku mulai melangkah mengikuti instingku. Karena orientasi medan kurasa sudah mustahil dilakukan dalam kondisi kabut seperti ini, maka insting adalah satu-satunya pemandu yang kini kumiliki. Setiap jarak kurang lebih 5 meter aku memasang penanda berupa tali plastik berwarna orange yang kuikat di rerumputan. Harap dimaklumi aku harus meninggalkan sampah, mengingat kondisi darurat maka terpaksa kulakukan.

Aku terus menyusuri padang rumput yang sekilas kulihat setiap tempat ini terlihat sama. Sulit membedakan antara lokasi yang sudah pernah kulalui dengan lokasi yang baru kudatangi. Satu-satunya pembeda yang mudah kukenali adalah potongan tali berwarna orange yang kuikatkan di rumput. Beberapa kali kutemui adanya sesajen yang diletakkan begitu saja di sepanjang perjalananku. Bulu kudukku seketika meremang. Artinya tempat ini banyak digunakan untuk ritual atau menyepi oleh orang dengan tujuan tertentu. Yang pastinya juga banyak penghuni gaib pula di sini. Aku terus berjalan hingga pada akhirnya langkahku terhenti karena tepat di depanku berdiri kokoh dinding batu menjulang tinggi yang tak terlihat ujungnya.

Wah buntu nih, begitu batinku.

Aku kembali berfikir. Sepertinya sia-sia jika aku mencari jalan keluar sekarang. Lebih baik aku menunggu hingga kabut memudar atau bahkan hilang, sehingga aku bisa berorientasi dengan baik. Dan lokasi di pinggir dinding batu ini juga cukup baik untuk dijadikan tempat camp. Masih ada perlindungan dari dinding ini dari sapuan angin maupun sambaran petir jika nantinya cuaca memburuk. Lagi pula persediaan logistik kami masih cukup untuk bertahan hidup selama 3 hari. Lebih baik sekarang aku kembali ke lokasi Kevin menunggu dan mengajaknya kemari, batinku.

Aku kembali melangkah mengikuti tanda yang tadi kubuat. Kusempatkan melihat jam tanganku, ternyata waktu menunjukkan pukul 11.00. Berarti sudah sekitar satu jam aku menyusuri lokasi ini mencari jalan keluar. Semoga Kevin baik-baik saja.

Cukup lama aku menyusuri jalan mengikuti tanda yang kubuat tadi. Dan kurasa aku sudah cukup dekat dengan lokasi Kevin kutinggalkan tadi. Terus kujaga konsentrasiku untuk mengikuti tanda yang kubuat tadi. Selama aku tidak kehilangan tanda ini, aku juga tidak akan kehilangan Kevin. Saat aku sedang fokus berjalan, tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara seseorang yang seolah berbisik di telingaku.

"Pergi"

Begitulah yang kudengar. Sontak aku menoleh mencari sumber suara tadi. Tapi tak kutemukan seorang pun di sekitarku. Tentu saja, tengkukku meremang. Aku yakin, sangat yakin tak ada seorang pun di sini kecuali aku dan Kevin. Harapanku satu-satunya hanyalah halusinasi. Semoga ini hanya halusinasi. Ya benar ini hanya halusinasi. Begitu fikirku untuk memberikan sugesti pada diriku sendiri.

Kulanjutkan mengayun langkah menuju ke lokasi Kevin tadi. Kali ini kupercepat langkahku supaya aku bisa segera sampai di sana. Samar di depanku kulihat sesuatu bergerak. Kuhentikan langkahku dan bersiaga. Yang aku takutkan adalah binatang liar hendak menyerangku.

Semakin mendekat, semakin terlihat jelas bentuk dari sesuatu yang bergerak tadi. Manusia.. ya itu bentuk tubuh manusia yang sedang bergerak menuju ke arahku. Semakin lama semakin jelas sosok itu terlihat yang ternyata adalah Kevin sedang berlari mengikuti tanda yang kubuat.

"Hah.. hah.. hah.. akhirnya ketemu juga mas" ucapnya diiringi nafasnya yang memburu ketika sampai di depanku.

Sekejap kuamati terlebih dahulu. Apakah ini benar Kevin temanku atau makhluk gaib yang menyerupai Kevin untuk menggodaku.

Setelah aku yakin bahwa ini betul Kevin, aku mulai bicara dengannya.

"Duduk dulu, Vin. Atur nafas, tenang dulu. Ini diminum" ucapku sembari memberikan sebotol air putih.

"Ada apa? Kenapa kamu lari begitu? Seharusnya kamu tetap diam di tempatmu. Bahaya, Vin. Untung saja kamu ketemu denganku" sambungku setelah kulihat Kevin mulai tenang.

"Tadi ga lama pas kamu pergi, mas. Aku masih duduk santai sambil ngudud aja. Tiba-tiba aku dengar suara seperti langkah kaki orang di belakangku. Awalnya hanya satu orang, lama-lama jadi banyak. Aku coba lihat ke belakang ternyata ga ada orang. Aku lihat lagi ke depan sambil terus berdoa dan mencoba tenang. Ga lama aku dengar lagi suara langkah kaki tadi. Kali ini diikuti bau-bauan yang aneh. Gimana sih.. kayak bau singkong bakar tapi campur-campur sama bau kembang. Takut banget sebetulnya aku, mas. Tapi aku juga penasaran. Akhirnya aku nengok kan. Dan gila.. kaget banget aku mas. Tiba-tiba di belakangku ada orang berdiri, tapi yang kelihatan cuma kakinya, badan dan kepalanya ketutup kabut. Tinggi banget. Aku masih kaget sampe ga bisa gerak. Aku masih terus lihatin dia. Lalu ga lama muncul lagi orang lain tapi kecil-kecil. Paling tingginya sepinggangku. Ada 5 atau 6 orang, ga tau lupa aku, mas. Dan wajah dari orang yang kecil itu sangat menyeramkan. Kepalanya ga beraturan, matanya merah menyala dan ada tanduknya. Mereka seperti menatapku tajam. Kulihat mulutnya tersenyum menyeringai seperti mengancam. Seketika aku lari aja. Untung aku masih sadar buat terus ngikutin tanda yang kamu buat ini mas. Ga tau mereka ngikutin atau ga" Kevin menceritakan pengalamannya ketika kutinggalkan tadi sambil bergidik ketakutan.

Jujur aku jadi bingung sekaligus bimbang setelah mendengar cerita dari Kevin. Bukan bingung dengan apa yang diceritakannya, tetapi bingung harus berbuat apa. Kondisi kami saat ini sedang tersesat, cuaca sedang berkabut tebal sehingga membuat kami kesulitan untuk mencari jalan keluar. Ditambah lagi adanya gangguan gaib dari penghuni gunung ini. Bertahan di sini atau bergerak mencari jalan keluar sama-sama beresiko. Keras ku berfikir mencari jalan keluar dari permasalahan ini hingga membuat kepalaku serasa hampir pecah.

"Kita istirahat dulu sebentar di sini, Vin. Setelah ini kita jalan lagi" ucapku.

"Kita kemana, mas? Kamu udah ketemu jalur?" Tanyanya masih diliputi rasa takut.

"Belum. Tapi aku tadi ketemu tempat yang mungkin lebih aman dari tempat ini. Setidaknya aman dulu kalau tiba-tiba nanti badai lagi. Cuma aku ga berani jamin kita aman dadi gangguan mereka" jawabku.

"Duh takut aku mas" ucapnya

"Sama, aku juga takut. Tapi kalau kita nyerah, mereka akan dengan mudah menguasai kita. Bagaimanapun juga kita harus tetap berusaha" ucapku sedikit meyakinkannya.

"Aku manut saja mas" jawabnya pasrah.

Kalau boleh jujur, sejak bertemu Kevin tadi, perasaanku sudah tidak menentu. Aku mempercayai penuturannya. Pasalnya aku sendiri pun merasakan bahwa saat ini mereka ada di sekitar kami. Aku memang tak bisa melihatnya, aku tak pernah bisa melihat penampakan mereka secara langsung dalam bentuk nyata. Tetapi aku bisa merasakannya. Bahkan aku bisa merasakan berapa jumlah mereka saat ini. Yang jelas banyak, sangat banyak hingga tak terhitung. Mereka mengelilingi kami seolah hendak menerkam kami bersama-sama. Cukup kuat energi yang mereka keluarkan, terbukti sedari tadi aku tak berhenti bergidik ngeri.

"Kita jalan aja sekarang, Vin. Jangan terlalu lama di sini. Terlalu dingin" ucapku

"Ayo mas" sahutnya diikuti gerakannya beranjak dari tempatnya duduk.

Kami kembali berjalan menyusuri sabana ini mengikuti tanda yang tadi kubuat. Cukup lama kami berjalan. Mungkin sudah melebihi waktu yang kugunakan saat kembali dari pinggir tebing hingga bertemu Kevin tadi. Tetapi dinding tebing yang tadi kutemui tak juga kutemukan. Aku kembali merasa aneh. Seingatku tidak terlalu jauh. Aku pun menghentikan langkahku dan mengamati sekitarku. Kulihat tanda tali yang ku buat pun masih ada.

"Kenapa mas?" Tanya Kevin penasaran dengan tingkahku.

"Kok kita ga nyampe2 ya, Vin. Seingatku ga jauh kok. Lagian ini tanda tali pun masih ada dan terus kuikuti. Tapi kenapa ga sampai2 ya" ucapku kebingungan.

"Terus gimana mas?" Ucapnya

"Rokok masih?" Tanyaku diikuti ekspresi bengong Kevin yang terheran tiba-tiba aku menanyakan rokok.

"Heh malah bengong. Rokok masih? Aku mau ngudud dulu biar tenang dan bisa mikir" sambungku.

"Oh masih-masih, mas. Nih" ucapnya sembari memberikan sebungkus rokok padaku beserta koreknya.

Kuterima rokok dari Kevin lalu membakarnya dan kulanjutkan dengan menaruh ranselku. Aku ingin beristirahat sejenak di sini menenangkan diri supaya bisa berfikir lebih jernih untuk mencari jalan keluar. Dan rokok membantuku untuk bisa rileks. Lagipula kurasakan punggungku semakin berat dan panas. Mungkin pengaruh beban ransel yang sedari tadi selalu kubawa. Atau mungkin ada beban tambahan.

Suasana di sini tak beda jauh. Sama mencekamnya. Tapi aku sudah sedikit tak peduli. Yang kupikirkan sekarang adalah bagaimana caranya bisa keluar dari situasi ini.

"Di belakangmu mas..." Tiba-tiba Kevin teriak sambil menunjuk-nunjukarah belakangku.

Spontan aku pun menoleh ke arah yang ditunjuk Kevin. Tak kutemukan siapapun atau apapun di situ. Kosong. Hanya tas ranselku yang tergeletak di tanah, selebihnya dinding putih tak tertembus yang terbuat dari kabut. Tetapi tiba-tiba bulu kudukku kembali meremang, seluruh badanku merinding menandakan ada eksistensi mereka di dekatku.

"Kamu bisa lihat, Vin?" Tanyaku padanya.

Aku memang belum mengenal Kevin sepenuhnya. Baru 2 tahun ini aku mengenalnya. Dia adalah juniorku di organisasi pecinta alam. Jadi aku memang belum paham sepenuhnya tentang dia, terutama yang berkaitan dengan gaib. Apalagi, maaf, dia berbeda keyakinan denganku. Jadi memang kami tidak pernah membicarakan hal semacam itu dengannya. Tapi kalau soal pengalaman dan kemampuan mendaki gunung, aku sangat paham sejauh mana kemampuan dia, karena aku sendiri yang melatihnya.

"Kadang bisa kadang ngga, mas. Keluargaku menganut kejawen yang cukup kental, mas. Jadi sejak kecil aku biasa lihat begituan. Cuma karena aku ga terlalu suka dan memang ga ada niat mendalami, jadi ya gitu. Kadang lihat kadang ga" jawabnya dan aku hanya manggut-manggut saja.

"Barusan kamu lihat apa?" Tanyaku lagi.

"Ada seperti orang tiba-tiba muncul duduk di cariermu, mas. Pas aku teriak tadi tiba-tiba hilang gitu aja" jawabnya

"Bentuknya seperti apa?" Sengaja aku bertanya seperti itu mengabaikan pantangan umum dilarang membicarakan jika menemui hal gaib di gunung. Tujuanku sekedar untuk menguatkan mentalku saja. Begitulah caraku melawan.

"Bentuknya biasa sih sebetulnya mas. Kayak manusia biasa gitu. Pakai pakaian biasa, kaos dan celana. Tapi mukanya sangat pucat dan sekitar matanya berwarna hitam. Makanya aku yakin kalau itu bukan manusia" jelasnya.

"Kita lanjut jalan aja, Vin" ucapku.

Sebelum jalan, aku meletakkan bungkus rokok yang telah kosong di dekat salah satu tanda tali.

Kami mulai melangkah. Kevin tetap mengikutiku dari belakang. Kucoba menajamkan konsentrasiku sambil terus berdzikir meminta perlindungan dan jalan keluar dari situasi ini. Tak lupa aku juga menyuruh Kevin terus berdoa menurut keyakinannya.

Cukup lama kami berjalan tapi masih belum bertemu dengan ujung tempat ini atau dinding tebing yang pernah kutemui sebelumnya. Hingga beberapa saat lamanya aku pun akhirnya berhenti. Mataku terus memandang ke bawah ke arah suatu benda yang kukenali. Benar saja, aku melihat bungkus rokok yang tadi sengaja kutinggalkan. Artinya sejak tadi kami hanya berputar-putar saja lalu kembali ke tempat semula.

"Udah ga bener ini, Vin. Coba kamu lihat itu" ucapku sembari menunjuk bungkus rokok di depan ujung sepatuku.

"Jadi kita hanya muter aja dari tadi mas?" Ucapnya.

"Kita dikerjain. Kita dibikin bingung dengan dibuat berjalan berputar saja dari tadi" jawabku.

"Terus gimana mas?" Lanjutnya

"Keluarin kompor, Vin. Kita ngopi dulu" ucapku

Aku rasa memang percuma jika kami terus berjalan tapi ujungnya kembali lagi di tempat ini. Jadi lebih baik berhenti dulu. Dan ngopi adalah solusi terbaik untuk saat ini. Apapun yang terjadi nanti, kami akan hadapi saja sampai batas kemampuan kami.

Meski diselimuti rasa takut dan ancaman teror, kami tetap berusaha tenang dan santai. Sepanjang mereka tidak menampakkan diri secara langsung atau bahkan menyerang, kami pun akan berusaha menikmati situasi ini dengan cara kami.

Gangguan seperti ini memang bukan pertama kalinya kualami. Di pengalaman-pengalaman pendakianku sebelumnya pun aku pernah mendapatkan sambutan semacam ini. Jadi aku tidak terlalu kaget. Meski tetap kuakui, rasa takut dan khawatir tetap kurasakan. Aku khawatir kami tak bisa kembali lagi dan menjadi salah satu korban di gunung ini.

Waktu saat ini menunjukkan pukul 12.30. Lumayan lama juga kami tersesat di situasi dan tempat ini. Saat kami sedang asik menikmati kopi dan sekaligus makan siang, tiba-tiba kurasakan angin berhembus sedikit kencang menuju ke arah kami. Hawa yang lebih dingin pun kini menyeruak menghujam ke seluruh badan kami. Di kejauhan samar kulihat bayangan manusia berdiri memandang ke arah kami. Tak begitu jelas karena tersamarkan pekatnya kabut. Perlahan kulihat tangannya bergerak menunjuk ke arah kami lalu melambai. Entah apa maksudnya. Bisa saja dia menyuruh kami datang, atau mungkin juga menyuruh kami pergi dari tempat ini.

"Vin, lihat ga?" Ucapku pada Kevin sambil menunjukkan sosok itu.

"Apaan mas? Aku ga lihat apa-apa" jawabnya.

"Oke, berarti dia hanya ingin berinteraksi denganku" ucapku

"Yuk jalan lagi" sambungku

Usai membereskan perlengkapan perkopian, kami pun melanjutkan perjalanan. Kali ini kami kembali bergerak tetapi ke arah sosok itu. Entah mengapa instingku mengatakan aku harus kesana. Kevin tetap mengikutiku. Tapi kali ini dia kutugaskan memasang tanda di sepanjang perjalanan. Bagaimanapun juga antisipasi harus tetap dilakukan.

Tapi entah mengapa, semakin kami mendekatinya, sosok itu pun semakin menjauh. Tapi dia tetap melambaikan tangannya. Aku sedikit mempercepat langkahku. Kevin yang berjalan sambil memasang tanda pun jadi sedikit tertinggal.

"Mas tungguin" teriak Kevin di belakangku.

Seolah tak mengindahkan panggilan Kevin, aku tetap berjalan cepat menuju ke arah sosok itu. Hingga akhirnya perlahan sosok itu pun menghilang.

Tanpa kusadari kini aku sendirian. Saat kutengok ke belakang ternyata Kevin tidak terlihat.

"Viiiiin.... Keviiiiin..." Teriakku memanggilnya.

Tak ada jawaban. Mungkin dia terlalu jauh atau suaraku tidak terdengar olehnya sebab terbias kabut yang memang sangat tebal.

Sambil tetap menunggu Kevin, aku mencoba mengamati sekitarku. Tanah yang kupijak sedikit berpasir dan ada beberapa batu berukuran sedang di depanku. Kucoba mengamati lebih seksama, kulihat ada air, ternyata aku berada di pinggir sebuah danau, atau telaga (kemungkinan saat itu aku berada di pinggir Telaga Kuning, Gunung Lawu).

Tak berselang lama, muncul gumpalan semacam asap bergulung-gulung di atas batu yang paling besar di depanku. Cukup lama asap itu bergerak-gerak di sekitar situ, hingga pada akhirnya "blaaaassssstt" asap itu terpecah menyebar lalu menghilang begitu saja. Aku masih tertegun melihat kejadian itu, hingga aku disadarkan dengan datangnya seekor burung jalak yang entah sejak kapan sudah hinggap di atas batu.

Burung jalak itu masih hinggap dan bermain-main di atas batu yang persis berada di pinggir sebuah telaga. Tak lama berselang kudengar langkah kaki sedikit berlari di belakangku. Ternyata Kevin berhasil menyusulku sampai tempat ini.

"Stop dulu, mas. Ketinggalan jauh aku" ucapnya sambil mengatur nafasnya yang ngos-ngosan.

"Sori-sori, Vin. Aku ga tau kayak ga sadar udah jalan terlalu cepet" ucapku

"Beruntung kamu ga nyasar makin jauh tadi" sambungku.

Aku cukup salut dengan mental Kevin. Dia masih SMA kelas 3 tapi cukup bisa mengendalikan rasa takutnya dan tidak panik dalam situasi seperti ini. Tidak sia-sia dulu dia kusuruh menunggui makam tua di salah satu gunung malam-malam saat pengambilan tanda keanggotaan organisasi. Terbukti mental dia terbentuk dengan baik. Disamping tempaan dari jam terbang mendaki gunung selama ini, tentunya.

"Kita dimana ini, mas?" Ucapnya memecah lamunanku.

"Ga tau, Vin. Kemarin waktu di BC kan juga ga dikasih tau kalo ada danau juga kan?" Ucapku

"Bisa jadi danau ini emang lokasinya jauh dari jalur, makanya kita ga di kasih tau" sambungku.

"Terus kita kemana ini mas?" Tanya Kevin lagi.

"Yang penting kita cari tempat aman dulu buat istirahat. Sambil nunggu kabut hilang. Baru kita orientasi lagi buat cari jalan atau bikin tanda SOS. Siapa tau ada yang lihat dan nolong kita" jawabku.

Sambil berfikir untuk menentukan kemana lagi arah kami nanti berjalan, aku masih terus memperhatikan burung jalak yang sedari tadi masih bermain-main di pinggir telaga ini. Burung ini terlihat jinak, sesekali dia mendekat padaku. Tapi ketika hendak kusentuh dia kembali pergi. Tapi dia tak pernah pergi jauh. Masih di sekitaran tempat ini. Iseng kukeluarkan sebungkus mie instan. Kubuka bungkusnya lalu kuremukkan isinya. Kuberikan pada burung itu dan dia pun memakannya.

Kurasa sudah cukup kami istirahat, kami pun berniat melanjutkan perjalanan untuk mencari lokasi yang lebih aman, setidaknya aman dari sapuan badai maupun sambaran petir jika terpaksa kami harus kembali bermalam.

Ketika kami berdiri, burung jalak tadi tiba-tiba datang mendekatiku. Dia hinggap di sebuah batu yang berada tepat di depanku. Matanya terus memandangku seolah sedang mengajak komunikasi. Tak lama burung itu terbang menjauh, lalu kembali lagi, menjauh lagi dan kembali lagi. Seolah menyuruhku berjalan ke arah dia terbang tadi.

Kami pun memutuskan mengikuti burung jalak itu. Entah kemana dia membawa kami. Karena kurasa semuanya akan sama saja. Semoga saja kami menemukan tempat yang cocok dan aman untuk istirahat atau bermalam. Waktu saat ini menunjukkan pukul 14.00. sudah 6 jam lamanya kami tersesat. Beruntung seluruh perlengkapan kami masih utuh. Persediaan perbekalan juga kami perkirakan masih cukup untuk 3 hari. Semoga tidak terjadi hal yang lebih buruk bahkan mencelakakan kami.

Sekitar 30 menit kami berjalan, kami tiba di suatu tempat di mana terdapat hutan di salah satu sisinya. Sepertinya ini salah satu dari ujung sabana ini. Tetapi tempat ini berbeda dengan dinding tebing yang kutemui sebelumnya. Oh iya, sepanjang perjalanan tadi kami tetap memasang tanda seperti sebelumnya.

Aku mendekati salah satu sisi yang terdapat banyak pepohonan. Burung jalak yang tadi kuikuti sudah tidak terlihat lagi. Entah pergi kemana. Aku rasa tempat ini memang cocok untuk mendirikan tenda. Banyak pepohonan yang lumayan tinggi yang bisa berfungsi menahan angin maupun petir. Karena petir akan meyambar benda yang lebih tinggi. Tapi baru kuamati sebentar, tiba-tiba perasaanku berubah tidak enak. Bulu kudukku tiba-tiba meremang. Di salah satu sisi tempat ini kulihat ada semacam lubang besar gelap yang sedikit tertutup dedaunan dari pohon di sekitarnya. Aku tak dapat memastikannya karena pandanganku masih terhalang kabut. Aku berniat mendekat untuk memastikan. Tapi belum sempat kakiku bergerak, tiba-tiba burung jalak yang tadi kuikuti kembali datang. Aku tak begitu memperdulikannya. Aku coba melangkah mendekat, tapi burung jalak itu lagi-lagi datang dan hinggap di tanah tepat di depanku seeolah menghalangiku.

Aku coba mengusirnya. Burung itu terbang menjauh lalu berhenti dan menatapku. Tak lama burung itu kembali lagi dan hinggap di depanku seperti sebelumnya. Aku kembali hendak mengusir burung itu, namun tiba-tiba berhembus angin dingin menerpa wajahku dan seketika darahku berdesir. Aku seperti merasakan sebuah kengerian, atau tepatnya teror. Aku melihat ke arah tempat yang hendak ku tuju tadi. Perlahan kabut tersibak, sedikit lebih jelas kulihat bahwa tempat itu adalah sebuah goa. Terdapat banyak sekali sesajen diletakkan di depan pintu goa tersebut. Sedikit kelegaan, artinya ada manusia yang pernah kesini. Tapi kelegaan itu seketika sirna ketika kulihat seperti ada sorot mata yang menatap tajam ke arahku dari dalam goa.

Aku terpaku seperti tersihir. Kontrol atas panca inderaku seolah sirna. Aku sama sekali tak mampu menggerakkan tubuhku. Hingga tiba-tiba aku merasakan tulang-tulangku lemas tak berdaya. Aku terduduk. Pandangan mataku berkunang-kunang. Ketika kegelapan hampir menguasai kesadaranku, tiba-tiba aku seperti merasakan sentakan yang mirip tersengat arus listrik diikuti hembusan angin dingin cukup kencang menerpaku. Aku seketika tersadar.

Ketika pandangan mataku sudah kembali jelas sepenuhnya, aku melihat kepulan asap di depan pintu goa itu. Asap itu bergerak-gerak di sekitar sesajen yang berada di situ. Tak lama kemudian tiba-tiba Kevin berteriak di belakangku.

"Maaas... Masssss... Ituuu... Lari mas.. ayo lariiii cepeeet" ucap Kevin panik sembari menarikku menjauh, lebih tepatnya berlari.

Kami pun berlari tak tentu arah. Kevin berada di depanku. Dia terus berlari tanpa tujuan yang pasti. Aku terus berusaha mengikutinya supaya kami tidak terpisah. Dia berlari sangat kencang hingga aku sendiri pun kesulitan menyusulnya. Hingga dengan susah payah akhirnya aku kini sudah berada tepat di belakangnya. Dengan satu gerakan menjegal salah satu kakinya, akhirnya aku berhasil menghentikan Kevin dengan cara merobohkannya.

"Vin.. Kevin.. tenang dulu.. stop.." ucapku menenangkan dia.

Kevin terlihat terengah-engah. Bulir keringat terlihat di keningnya. Keadaanku pun tak jauh berbeda.

"Mas.. tadi mass.. ngeriii" ucapnya terbata-bata.

"Tenang dulu.. tenang.. minum dulu baru bicara" ucapku

"Aku Lihat tadi banyak banget mas. Mereka ga suka sama kita. Mereka mau nyerang. Makanya aku lari" ucapnya setelah meneguk air dari botol.

"Apa, Vin? Kamu lihat apa?" Sambungku

"Ada makhluk gede banget mirip yang aku lihat waktu tadi kamu ninggal aku nyari jalur mas. Dia bawa senjata semacam pentungan atau gada gitu, ga ngerti deh mas. Trus di belakangnya banyak banget makhluk yang kecil-kecil semuanya bawa parang. Mereka melihat kita dengan tatapan ga suka. Lalu yang gede kayak mau jalan ke arah kita. Makanya aku ngajak lari" ucap Kevin masih diliputi kengerian.

Aku yang tak bisa melihat bentuk penampakan mereka hanya bisa manggut-manggut mencoba mencerna penuturan Kevin. Memang tadi kurasakan banyak sekali kehadiran makhluk gaib di sekitar goa. Tapi aku tidak yakin apakah mereka berniat baik atau buruk. Aku hanya ingin memastikan tempat tadi hingga aku merasa seperti hampir kehilangan kesadaran lalu tiba-tiba kembali sadar dan Kevin menarikku untuk lari.

Aku kembali berdoa dan berdzikir memohon ampun serta memohon perlindungan dari segala mara bahaya.

Tak lama berselang, burung jalak yang tadi kuikuti kembali datang dan hinggap di tanah tepat di depanku. Burung itu lalu berkicau sambil terus menatapku. Seolah dia sedang berkomunikasi denganku. Aku hanya tertegun memandangnya sebab aku memang tak mengerti bahasa burung.

Usai berkicau, burung itu lalu terbang menjauh dan berhenti lalu menatapku. Aku kembali merasakan seolah burung itu menyuruhku mengikutinya. Kali ini kuyakinkan diriku untuk terus mengikuti burung itu saja. Semoga dia yang nanti menunjukkan kepada kami jalan keluar dari sini.

Kami kembali berjalan menyusuri sabana ini mengikuti burung jalak. Sesekali burung itu berhenti dan berkicau sambil tengak-tengok ke segala arah. Lalu terbang lagi dan kami pun melanjutkan mengikutinya. Beberapa kali kami berhenti ketika burung itu kembali berkicau. Tapi jujur kurasakan saat ini kami tidak merasakan adanya gangguan secara gaib.

Kami terus berjalan. Kulihat jam kini waktu sudah menunjukkan pukul 15.30. Hari sudah menjelang sore. Semoga sebelum gelap kami sudah menemukan jalan keluar. Atau setidaknya lokasi yang aman untuk bermalam.

Tak lama kemudian kami sampai di lokasi yang banyak terdapat pepohonan cantigi. Banyak juga batu-batu berukuran lumayan besar tersebar di segala tempat. Saat aku mengamati lokasi sekitar kami, tanpa kusadari ternyata burung jalak yang tadi kuikuti sudah tidak ada. Entah pergi kemana dia.

Kami berusaha mencari keberadaan burung itu. Karena kurasakan burung itu memang seperti sedang menuntun kami. Kevin pun setuju dengan pendapatku. Lama kami mencari kesana kemari tetapi tetap tidak kami temukan. Hingga tiba-tiba ada suara yang memanggil kami dari kejauhan.

"Mas.. masss.. hooeeee" teriak seseorang entah dari mana.

Kami celingukan mencari sumber suara tadi. Hingga tiba-tiba kami dikagetkan dengan kehadiran seseorang yang berdiri di sebuah batu tepat di belakang kami. Entah sejak kapan dia di situ.

Aku mengamati orang tersebut. Dia memakai pakaian biasa. Celana panjang berwarna coklat tua, sepatu, jaket parasut beserta hoodie yang menutup kepalanya. Dia juga menggendong sebuah ransel besar. Aku yakin dia pendaki juga. Syukur Alhamdulillah aku bertemu dengan orang lain di sini.

"Sampeyan nyasar mas?" Ucap orang itu.

Ketika aku hendak menjawabnya tiba-tiba mulutku tercekat saat melihat bagian wajahnya yang sangat pucat.

"Sampeyan nyasar mas?" Ucap orang itu.

Ketika aku hendak menjawabnya tiba-tiba mulutku tercekat saat melihat bagian wajahnya yang sangat pucat.

Benar sekali, kulit orang, atau pendaki ini sangatlah pucat seperti tidak ada darah yang mengalir. Aku jadi berfikir bahwa dia bukanlah manusia. Lagi pula jika dia memang manusia, apa yang dia lakukan sendirian di sini??

"Tenang saja mas. Saya ini manusia juga seperti sampeyan. Ga perlu takut. Saya juga nyasar di sini" ucapnya seperti mengetahui isi pikiranku.

"Iya mas. Njenengan sendirian saja?" Ucapku padanya sedikit ragu.

"Saya rombongan bersama teman-teman saya. Tapi saya nyasar sendirian di sini. Teman-teman saya sudah pergi meninggalkan saya" ucapnya.

Wah kasihan juga orang ini. Tersesat sendirian tetapi teman-temannya malah pergi meninggalkannya. Tapi tunggu dulu. Bagaimana dia tau kalau teman-temannya meninggalkannya? Sedangkan dia tersesat sendirian di sini. Bisa jadi teman-temannya sedang mencarinya saat ini.

"Ya saya tau kalau teman-teman saya meninggalkan saya, mas. Karena saya sudah menemukan jalannya. Dan mereka sudah tidak ada di sana. Tapi saya memang kembali lagi ke sini untuk mengambil tas saya yang sengaja saya tinggalkan di sini waktu nyari jalan" ucapnya lagi.

Lagi-lagi aku tertegun. Dia benar-benar seperti bisa membaca pikiranku. Aku jadi ragu dengan orang ini. Apakah aku akan mengikutinya atau tidak.

"Sudah ga perlu dipikirkan lagi, mas. Ayo ikut saya saja. Nanti saya tunjukkan jalannya menuju ke jalur pendakian. Tidak perlu takut, saya akan menjaga kalian" ucapnya lagi.

Sepertinya memang tidak ada pilihan lain. Lagi pula sejak pagi tadi aku sudah sangat sering menemui hal janggal dan tidak masuk akal. Badan dan fikiranku sudah terlalu lelah. Lebih baik aku ikuti saja dulu alurnya. Siapa tau memang inilah jalan keluarnya. Jika memang nantinya ditakdirkan aku tidak selamat setidaknya aku mati dalam upaya menyelamatkan diri dan temanku. Bukan dalam kepasrahan semata.

Kami kembali berjalan menyusuri area padang rumput yang juga banyak ditumbuhi cantigi dan beberapa pohon edelweis. Orang itu berjalan pelan namun pasti. Seperti tidak ada keraguan terhadap arah yang dipilihnya.

Sepanjang perjalanan dia sama sekali tak menoleh kepada kami, apalagi mengajak kami bicara. Dia terus saja berjalan dan kami tetap mengikutinya.

Hingga tiba-tiba dia berhenti. Aku dan Kevin pun ikut berhenti di belakangnya. Dia hanya berdiri saja memandang ke depan. Entah apa yang dilakukannya. Samar kudengar dia berbicara, tapi aku tak bisa mendengar dengan jelas. Suara yang keluar dari mulutnya seperti bergumam.

Cukup lama dia berhenti dan kami tetap menunggunya. Hingga suatu ketika dia kembali bergerak. Terus bergerak melewati batu demi batu. Ya benar sekali, jalur yang kami lalui kini jalur berbatu dan menanjak. Hingga sampailah kami di sebuah dinding tebing yang tidak terlalu tinggi. Mungkin tingginya sekitar 5 meter.

"Kita sudah sampai di ujung perjalanan. Kalian jalan saja melalui pinggiran tebing ini. Teruslah naik, nanti kalian akan menemukan jalur pendakian" ucapnya tanpa menoleh.

"Kita barengan saja mas" jawabku

"Tidak. Kalian jalan saja lebih dulu. Ada yang masih harus kulakukan disini" ucapnya.

Tanpa membantah kami pun menuruti perintahnya. Aku melewati orang itu. Dan persis ketika aku di sampingnya, aku mencium aroma wangi kamboja. Aku sempatkan menoleh padanya. Dia tersenyum padaku, meski tetap dengan wajah pucatnya.

Setelah aku melewatinya, oh iya maaf, saat ini Kevin sudah kusuruh mendahuluiku. Jadi dia sekarang berada di depanku. Setelah aku melewatinya, lirih seperti kudengar dia kembali bicara.

"Aku memang harus tetap di sini" sangat pelan namun aku tetap masih bisa mendengarnya.

Seketika aku tersentak. Aku baru teringat bahwa aku belum menanyakan siapa namanya. Dan aku semakin dibuat kaget, ketika aku menoleh hendak bertanya padanya, orang itu sudah tidak ada di belakangku. Lenyap begitu saja meninggalkan aroma wangi kamboja yang cukup menyengat.

Bulu kudukku kini meremang hebat. Bahkan seluruh bulu di badanku merinding. Aku segera bergegas menyusul Kevin karena aku baru menyadari bahwa pendaki itu bukanlah manusia.

Ketika aku berhasil menyusul Kevin, aku segera mengajaknya bergegas. Dan benar saja, sesuai arahan pendaki misterius tadi, kini kami sampai juga di jalur pendakian. Aku yakin bahwa ini jalur pendakian karena aku menemukan beberapa sampah sisa pendaki lainnya. Dan aku semakin yakin, karena aku bertemu dengan rombongan pendaki lain tak lama berselang. Ketika kutanyakan pada mereka, memang benar inilah jalurnya. Aku ikuti saja rombongan itu. Tak berapa lama kami sampai di Sendang Drajat. Di dekat sendang itu terdapat warung. Akhirnya malam ini kami menginap di warung tersebut.

Menurut penuturan pemilik warung, setelah aku menceritakan pengalaman tersesatku, benar yang menunjukkan jalan padaku adalah salah satu pendaki atau mungkin hantu pendaki yang dulu pernah meninggal di sekitar situ. Kadang dia memang menunjukkan jalan bagi pendaki-pendaki yang tersesat. Tapi mengenai makhluk besar dan anak buahnya yang hampir menyerang kami, beliau tidak begitu yakin. Tapi beliau membenarkan bahwa di suatu sisi Gunung Lawu memang terdapat goa yang sering digunakan orang untuk menyepi dengan tujuan tertentu.

Setelah hari berganti, cuaca kini telah membaik. Sudah tidak ada lagi kabut tebal menyelimuti gunung ini. Pagi ini kami melanjutkan pendakian menuju ke Puncak Hargo Dumilah. Perjalanan kami lancar tanpa halangan berarti. Ketika aku berada di pucak, aku melihat ke sekelilingku. Di salah satu sisi bawah sana memang terlihat adanya telaga. Mungkin telaga itulah salah satu tempatku kemarin sempat tersesat. Tapi ketika terus kuamati, aku tak melihat adanya mulut goa. Mungkin memang tidak terlihat dari sini.

Tak lama berselang kabut kembali datang. Sebelum kembali terjadi hal buruk, kami harus segera turun dan menuju ke warung Sendang Drajat tadi. Tapi sebelumnya kami sempatkan berfoto di puncak.

Foto terlampir di bawah adalah hasil foto saat di puncak waktu itu. Terlihat jelas di belakangku kabut cukup tebal dan angin pun kencang.

Uniknya, saat kami tersesat kemarin kami sebetulnya sempat mengambil beberapa foto, tapi tak satupun yang jadi. Hanya gambar polos saja. Waktu itu kami membawa kamera analog isi roll film. Sayangnya foto-foto lainnya hilang entah kemana, termasuk negatifnya.

Sesampainya di warung, kami kembali beristirahat. Kami tak mau terburu-buru turun mengingat kejadian kemarin masih membekas di dalam pikiran kami. Kami takut kembali terjadi sesuatu. Jadi lebih baik kami menunggu pendaki lain yang hendak turun dan minta bergabung. Keputusan yang bijaksana. Benar saja, tak lama kemudian ada rombongan pendaki yang singgah di warung ini. Mereka hendak turun ke basecamp. Kami mengutarakan maksud kami dan mereka tidak keberatan kami bergabung dengan mereka.

Setelah dirasa cukup beristirahat, kami pun melanjutkan perjalanan untuk turun ke basecamp. Sepanjang perjalanan turun cukup lancar. Menjelang maghrib kami semua telah sampai di basecamp.

Malam ini kami kembali menginap di sini. Tapi kali ini kami tidak mendirikan tenda. Kami menumpang tidur di dalam ruangan basecamp. Kami sempatkan cerita kejadian kami tersesat kemarin kepada beberapa petugas basecamp. Mereka hanya tertawa menanggapi cerita kami. Padahal kami sudah sempat khawatir kalau kami tidak selamat.

Ada satu kalimat yang masih kuingat sampai sekarang dari salah satu petugas.

"Itu hanyalah salam perkenalan untuk kalian. Dan dalam situasi seperti itu kok kalian bertemu burung jalak, bisa dipastikan kalian akan selamat. Dan satu lagi, saya jamin kalian, terutama kamu (menunjuk padaku) bakal kembali lagi kesini dan akan terus merasa nyaman di sini. Di Lawu"

Kira-kira seperti itu. Dan memang benar adanya. Sejak saat itu aku merasa seperti terus merasa rindu dengan Lawu. Hingga saat ini terhitung sudah sembilan kali aku mendaki Gunung Lawu. Aku merasa seperti mempunyai suatu ikatan dan kedekatan khusus dengan Gunung Lawu, entah apa itu.

Bahkan ketika aku telah menikah dan memiliki anak. Aku menyematkan nama Gunung Lawu untuk anak sulungku yang kebetulan laki-laki. Yaitu "Mahendra". Mahendra adalah nama lain Gunung Lawu dalam bahasa sansekerta atau jawa kuno. Aku berharap anakku ikut mewarisi karakter Gunung Lawu yang tenang, misterius, melindungi dan memberi kehidupan serta menyimpan kekuatan dahsyat yang sangat berbahaya jika diremehkan.

Demikian cerita pendakian perdanaku di Gunung Lawu yang tak pernah bisa kulupakan hingga saat ini. Semoga ada hal baik yang bisa diambil manfaatnya. Jika ada hal tidak baik, tolong jangan diikuti. Tetaplah menjaga sopan santun dimanapun kita berada. Hormati setiap kebiasaan, adat bahkan "penghuni lain" di setiap tempat atau gunung yang kita datangi. Karena pada dasarnya kita adalah tamu.

S E K I A N

close