MENIKAH DENGAN LELEMBUT
JEJAKMISTERI - Mimpi Buruk di Rumah Baru.
“Semoga kita gak perlu lama tinggal di sini,” kata istriku ketika kami berjalan menuruni jalanan menuju rumah yang ibuku pinjamkan kepada kami.
“Amin. Kita usaha terus pasti ada jalannya punya rumah sendiri,” jawabku, sambil menggendong tas besar di pundak.
Perjalanan kami menuju rumah itu cukup panjang melalui dua turunan dengan pemandangan kebun dan sawah. Dari jalan utama, kami menempuh lima belas menit dengan berjalan kaki sampai akhirnya sampai rumah itu.
Rumah itu terletak di tempat terpencil. Pemandangan sekitar begitu asri dengan pohon-pohon besar mengelilinginya. Tapi, ada keresahan-kerasahan yang muncul. Bagaimana jika terjadi sesuatu dengan istriku? Siapa yang akan menolongnya? Sebab rumah itu jauh dari rumah penduduk lainnya.
Tapi mau bagaimana lagi, kami tidak punya pilihan lain. Kami menikah dengan modal 'dengkul'. Aku pun belum memiliki pekerjaan tetap. Ingin sekali aku pergi merantau ke Jakarta, tapi belum ada modal yang cukup.
Untungnya, ibuku dengan baik hati meminjamkan rumahnya kepada kami untuk ditinggali. Sementara pamanku juga berbaik hati memberikan pekerjaan di sebuah pasar. Itu adalah pilihan terbaik bagi kami suntuk saat ini.
Konon, ini rumah warisan buyut yang belum sempat ditinggali lantaran ibuku tinggal di rumah milik ayah. Rumah ini berdiri di sebidang tanah yang lumayan luas. Namun, rumahnya sendiri berukuran cukup kecil. Bagian dalamnya hanya terdiri dari satu ruang tamu dengan meja besi tua peninggalan zaman Orde Lama dan dua kamar tidur di sisi kanan dan kiri.
Di belakang, terdapat dapur dan kamar mandi. Catnya dikombinasi warna hitam dan putih. Pintu utama merupakan dua daun kaca disandingkan dengan satu kaca yang besarnya sama di setiap sisinya.
Aku dan istriku memilih kamar yang berada di sisi kanan ruang tamu. Alasannya, kamar itu memiliki jendela yang menghadap depan rumah sehingga kita merasa udara akan lebih segar di sana. Berbeda dengan kamar belakang yang dingin dan lembab.
Setelah meletakkan beberapa barang, istriku langsung ke dapur. Ia membuat teh hangat dengan beberapa teh tubruk dan gula yang kita bawa. Sementara aku membongkar tas dan menaruh pakaian lemari yang papannya sedikit berdebu.
Semua perabotan tersedia di dalam rumah. Jadi, kami hanya membawa baju dan beberapa barang pribadi. Seusai memasukkan pakaian, istriku masih di dapur. Ia kesulitan menyalakan api dari bakar karena kondisi lantai yang masih tanah cukup lembab. Ya, seperti sebagian besar penduduk desa di sini memang masih menggunakan kayu untuk memasak.
Aku menunggu istriku sembari duduk-duduk di ruang tamu. Di sana aku merasakan suasana sejuk dan kesunyian panjang. Tidak lama kemudian aku tertidur dan larut dalam mimpi.
Tiba-tiba, suara langkah kaki seseorang yang keluar dari kamarku membuatku terbangun. Mulanya, aku mengira itu istriku. Namun, ternyata bukan.
Perempuan itu berambut panjang. Sempat kulihat raut wajahnya. Masih sangat muda, wajahnya pribumi, dan cukup cantik.
“Kamu siapa kok ada di sini?” aku bertanya kepadanya.
Perempuan itu tidak menjawab. Ia malah tersenyum dan berjalan ke arahku lalu duduk tepat di sebelahku. Ia mencengkeram lenganku dengan cukup erat. Hanya saja aku merasa ada yang janggal. Saat aku ingin melepaskan cengkeramannya, rasanya begitu berat. Badanku terasa lunglai.
Angin berembus ke dalam ruang tamu. Rambut perempuan itu berayun. Seketika itu, wewangian meruap. Aku tidak tahu pasti wangi apa. Tapi, aku seperi tidak asing dengan wewangian itu: kembang melati.
***Perempuan Misterius***
Jantungku berdebar cepat. Aku mulai dihinggapi ketakutan melihat kondisi sekitar menjadi gelap, seakan-akan hari sudah malam. Aku cemas, panik, dan takut. Namun, perempuan itu masih memegangi lenganku.
Dengan segala macam upaya, akhirnya aku bisa menggerakkan tanganku. Aku berusaha melepaskan tangan perempuan itu. Aku terkesiap saat tangannya menjadi terasa dingin dan kasar.
Perasaanku kian tidak enak. Sialnya, aku tidak bisa berbuat apa-apa, selain memanggil-manggil nama istriku.
“Ti…. Ti… Siti, tolong akang,” teriakku, memanggil nama istriku. Tapi aku tak mengerti betul, saat itu suaraku benar keluar atau tidak.
Sama sekali tidak ada jawaban. Aku mengulanginya bebera kali lebih keras. Namun, tetap saja tidak ada jawaban. Sedangkan suasana di sekitarku semakin gelap. Kini aku tidak bisa melihat apa-apa lagi.
Tangan perempuan itu kembali menguatkan cengkeramannya di lenganku. Dengan sekuat tenaga aku memberontak. Sampai pada akhirnya aku mampu melompat dari tempat duduk.
Mataku terbuka, lalu kulihat sekeliling. Ternyata aku masih di ruang tamu. Matahari tampaknya juga masih bersinar di luar sana. Dan, istriku sudah berdiri di belakangku. Ia terkejut melihatku, sama terkenjutnya denganku saat melihatnya.
“Akang kenapa?” tanya istriku.
Aku tersadar semuanya hanya mimpi.
“Mimpi gak enak,” jawabku, sembari mengelap keringat dingin yang membuat kausku basah.
Aku sengaja berusaha menutupi rasa takutku. Aku tidak ingin istriku khawatir.
“Mungkin Akang capek. Minum dulu tehnya,” kata Siti, menaruh segelas teh hangat di atas meja kaca.
Segera kuraih gelas itu lalu meneguknya. Siti menggeleng lalu masuk lagi ke dapur untuk menyiapkan makanan. Hari semakin gelap. Sebentar lagi malam.
Aku duduk lagi di kursi ruang tamu. Kutampar wajahku beberapa kali untuk menghilangkan rasa kantuk yang masih menggelayuti. Bagaimana bisa aku mengalami mimpi buruk di hari pertama tinggal di rumah ini? Semoga ini bukan pertanda buruk.
Seusai makan malam di ruang tamu, aku dan Siti pergi tidur. Rasa lelah masih tersisa. Aku tidur cepat, pun istriku.
Tengah malam, udara di kamar semakin dingin. Hal itu membuatku terbangun. Terdengar suara kodok dan burung hantu yang nyaring memecah kesunyian malam.
Tiba-tiba aku kebelet kencing. Kamar mandi cukup jauh berada di belakang. Namun, aku tidak lagi bisa menahannya. Dengan terhuyung-huyung aku pergi ke kamar mandi.
Begitu kembali ke tempat tidur aku mendengar suara piring dan sendok yang beradu. Aku terdiam sejenak sambil memastikan kalau aku tidak salah dengar. Benar saja, suara itu semakin jelas terdengar.
Hati kecilku melarang untuk kembali ke belakang memeriksa dapur. Jadi, kubiarkan saja suara itu berlangsung selama beberapa saat.
Namun, ketenanganku kembali terusik ketika tiba-tiba pintu kamar terbuka dengan sendirinya. Jantungku berdegup kencang. Tidak ada angin dan tidak ada apa pun. Tapi, pintu kamar terbuka lebar seperti ada yang menarik.
Saat itu juga aku merasa ada entitas lain di rumah itu. Naluri pertamaku ada untuk melindungi istriku yang masih terlelap. Meski takut aku tidak boleh gentar. Sampai akhirnya sesosok perempuan lewat di depan pintu kamarku dari belakang menuju pintu depan. Itu cukup membuat bulu kudukku berdiri.
Ia sempat menoleh ke arahku sambil berjalan. Sangat jelas sepintas kulihat senyumnya.
Keberanian yang tersisa dalam diriku langsung rontok. Tapi aku tetap berdiri tegak demi istriku.
Kukeluarkan sedikit kepalaku melalui ambang pintu untuk melihat ke mana perginya perempuan itu. Nihil, ia lenyap tanpa jejak meninggalkan sebuah teror di dalam diriku.
Tiba-tiba, jantungku hampir dibuat copot oleh sebuah suara keras yang berasal dari dinding ruang tamu. Suara itu seakan-akan membuatku mengira tembok ruang tamu akan runtuh. Aku hanya bisa berdiri dengan wajah tegang. Lalu, sebuah lukisan yang menggantung di dinding ruang tamu bergerak-gerak.
***Kedatangan Wa Ujang***
Hari-hariku selanjutnya berjalan seperti biasa. Beberapa hari kemudian Siti pulang di antar oleh ibuku, sebelumnya aku telah menjelaskan kepada ibuku kalau aku sendiri tidak tahu mengapa aku bisa terbangun telanjang di kamar belakang.
Kukatakan pada ibuku kalau aku ngelindur, ia percaya dengan penjelasanku oleh karena itu ia menjemput Siti di rumah orang tuanya. Malam itu aku pulang pukul sembilan malam, Siti menyambut dengan segelas teh hangat dan makan malam. Ia bersikap biasa terhadapku, mau tidak mau aku berusaha bersikap sama.
Padahal di dalam pikiranku aku masih memikirkan Nyai Diah dan pernikahan yang terjadi di antara kami. Ternyata memang makhluk halus dan manusia bisa menikah, gila memang. Semenjak malam pertama itu, Nyai Diah lama tidak mendatangiku. Sejujurnya aku kecewa, aku rindu akan pelukan hangatnya. Berkali-kali Siti mengajakku untuk berhubungan namun kutolak dengan alasan lelah.
Baru pada malam jumat, Nyai Diah mendatangiku. Kala itu aku pulang larut sekitar jam sebelas malam, Siti sudah tertidur. Aku menemukan Nyai Diah duduk di ruang tamu mengenakan baju yang biasa Siti kenakan. Aku duduk di sebelahnya dan ia memelukku sangat erat, rasa hangat dan wangi bunga melati menguar dan merasuk dalam tubuhku. Tidak butuh waktu lama untuk kami kembali menyatukan diri di kamar belakang, dan itu berlangsung sampai subuh. Seperti biasa Nyai Diah meninggalkanku terkulai lemah di dalam kamar.
Sebelum Siti terbangun untuk solat subuh, aku buru-buru mengenakan baju dan tidur di sisinya. Aku terbangun ketika matahari sudah terang. Aku terlambat pergi ke pasar. Sebelum aku pergi, Siti sempat protes karena makanan yang sudah ia buatkan tidak tersentuh sama sekali. Kukatakan padanya bahwa aku sudah keburu tertidur dan memang tidak merasa lapar malam itu. Siti juga menanyakan mengapa aku tidak solat subuh, aku tidak menjawab dan menghindar.
Kembalinya Siti tidak membawa perubahan apa-apa, kami makin lama makin jauh dan nyaris seperti orang asing sekarang. Aku tidak merasa bersala, biar lah seperti itu adanya. Kunjungan Nyai Diah semakin intens, terutama ketika aku pulang malam. Aku mulai kewalahan melayani hasratnya. Tapi aku tidak bisa menolak karena aku merasa memang tugasku untuk menafkahi batinnya, dan di sisi lain aku juga tidak bisa mengelak dari rasa rinduku yang menggebu kepadanya.
Aku tidak lagi menjalankan solat lima waktu, dan itu semakin menegaskan kecurigaan Siti kalau-kalau ada sesuatu yang aneh terhadapku. Sekarang setiap kali Siti solat magrib di ruang tamu, Nyai Diah keluar dari dalam lemari di kamarku dan kami menghabiskan waktu berdua. Nyai Diah tahu benar kapan Siti selesai solat dan mengaji, jadi kami tidak pernah kepergok.
Di belakangku Siti mulai meminta bantuan orang lain untuk melakukan penerawangan terhadapku, itu kuketahui ketika salah seorang saudara jauhnya bernama Wa Ujang datang ke rumah kami ketika aku tidak pergi ke pasar.
Aku dan Wa Ujang duduk di ruang tamu sementara Siti membuatkan minuman, pria sepuh itu meihatku dari ujung rambut dan ujung kaki. Aku merasa rishi melihat tingkahnya seperti itu.
“Bagaimana kerjaan di pasar?” Tanya Wa Ujang kepadaku.
“Lancar-lancar aja, Wa,” jawabku.
Wa Ujang tertawa pelan. “Gimana uang untuk bekal ke Jakarta? Sudah kekumpul?”
Aku terkejut ia menanyakan itu, seakan ia tahu bahwa aku sudah mulai berhenti menabung karena aku tidak ingin meninggalkan rumah itu. Aku tidak peduli ia akan percaya atau tidak tapi aku mengatakan bahwa bekal sebentar lagi terkumpul. “Jadi gak lama lagi berangkat ke Jakarta?” nada suara Wa Ujang penuh dengan keraguan, secara misterius juga ia seperti sedang membaca isi kepalaku.
Aku mengelak habis-habisan di depan Wa Ujang, aku tak tahu lagi mana benar mana salah yang penting aku menjawab segala pertanyaan Wa Ujang dengan senormal dan semenyakinkan mungkin. Perbincangan kami berakhir tidak jelas, Wa Ujang pamit begitu saja. Aku dan Siti mengantarnya pulang, dalam hati aku berharap ia tidak kembali lagi.
***Anak Ghaib***
Orang tua Siti mendadak sakit, jadi aku ditinggal sendiri di rumah sementara ia merawat orang tuanya di rumah. Siti adalah satu-satunya anak perempuan di keluarganya jadi merawat orang tua sakit merupakan kewajiban yang tidak bisa ditampik. Kepergian Siti memerdekakan aku dan Nyai Diah, kami benar-benar seperti sepasang suami istri sungguhan. Begitu pulang ke rumah berbagai macam makan tersedia di atas meja makan, dan aku memakannya dengan lahap dan dilanjutkan dengan berhubungan intim.
Keesokan harinya itu terjadi lagi, dan lagi. Aku semakin kelelahan, belum sempat mengembalikan stamina aku harus melayani Nyai Diah. Energinya terkuras habis sampai pada titik kemaluanku tidak lagi bisa berdiri, dan Nyai Diah tetap memaksaku melayaninya seperti budak melayani majikannya. Di suatu titik kemaluanku sampai mengeluarkan darah, Nyai Diah meraung karena baginya hal itu adalah pertunjukan spektakuler.
Situasi mulai normal ketika Siti pulang, selama ada dia di rumah Nyai Diah jarang mengunjungiku. Rupanya ia takut dengan Siti keberadaan Siti di rumah. Sekembalinya ke rumah, Siti mengeluhkan mimpi buruk yang kerap ia alami.
Ketika kutanya, ia bilang kalau di dalam mimpi ia seperti didatangi oleh seorang laki-laki bertubuh besar dan berbulu lebat seperti sosok genderuwo. Di dalam mimpi genderuwo itu hanya berdiri sampai menatap Siti dari halaman rumah sementara Siti berada di depan pintu. Siti mengatakan kalau sosok genderuwo itu ingin masuk tapi terhalang oleh kehadiran Siti.
Mimpi buruk itu membuat Siti semakin giat menjalankan solat, ia pun tidak pernah absen untuk berdoa agar kami selalu selamat dari mara bahaya. Aku ingin menemaninya solat tapi aku tidak bisa, aku terganjal sesuatu. Padahal Siti sudah berulang kali mengajak tapi aku terus menolak.
Sesuatu yang mengejutkan terjadi, aku menemukan Nyai Diah duduk di ruang tamu bersama sosok makhluk besar berbulu dan bermata merah persis seperti sosok yang ada di dalam mimpi Siti. Aku duduk di hadapan mereka dengan wajah penuh kengerian, sekujur tubuhku terasa dingin.
“Dia adalah buah hati kita,” kata Nyai Diah.
Aku kaget, dan tidak terima. Bagaimana makhluk mengerikan itu adalah anakku. Aku terpekik pelan dan lari masuk meninggalkan mereka. Di dalam kamar Siti sudah terlelap, namun tangannya masih memegang tasbih. Aku berbaring di sebelahnya, rasa dingin di tubuhku sedikit demi sedikit hilang tapi dari ruang tamu terdengar suara auman kencang sebanyak tiga kali. Aku membaca auman itu sebagai sebuah panggilan dari makhluk itu untukku, dan setelah auman ketiga, samar-samar aku mendengar makhluk itu memanggilku bapak.
Aku menutup kedua telingaku, aku tidak mau dengar. Aku mengutuk diriku sendiri, apa yang telah aku lakukan? Tanpa kusadari aku telah bersekutu dengan makhluk halus hingga melahirkan anak dari bangsa genderuwo.
Mimpi buruk Siti terus berlangsung, dan berubah menjadi sebuah teror. Tapi Siti sama sekali tidak gentar, di dalam mimpinya berkali-kali makhluk itu ingin masuk ke dalam rumah tapi ia tidak mundur sedikitpun.
“Kalau aku takut maka rumah tangga kita jadi taruhannya,” kata Siti kepadaku.
Aku tidak berani memberikan reaksi apa-apa soalnya sosok yang ia perangi di dalam mimpi adalah anak ghaibku. Muncul niatan untuk memberitahu Siti orang tuaku semua yang terjadi, tapi Nyai Diah mengancam bahwa ia akan membunuh istriku bila aku melakukan itu. Nyai Diah tidak main-main, orang-orang pembawa obor yang menemaninya kala mendatangiku adalah garansinya. Aku berada di dalam pusara besar, aku ingin minta tolong tapi tidak bisa. Sedangkan jiwa dan rumah tanggaku berada di ujung tanduk.
Nyai Diah memaksaku untuk pindah ke alamnya dan merawat anak kami bersama, tidak mungkin aku menyetujuinya. Mendengar penolakanku, Nyai Diah bilang kalau dia akan selalu mendatangi tiap malam sampai aku setuju untuk ikut dan membina keluarga di alam ghaib.
***Rumah Nyai Diah***
Pekerjaanku di pasar mulai berantakan, tiap siang aku sering kepergok tidur di sela-sela kardus karena malam harinya aku kurang tidur. Aku memikirkan bagaimana nasibku ke depannya. Siti pun mulai khawatir dengan kondisiku tapi ia tidak berani mengkonfrontasilangsung.
Pada malam hari Nyai Diah memanggil namaku, tak sekalipun kujawab pangilan itu. Mungkin itu membuatnya kesal, dia kemudian memindahkanku dari kamar depan ke kamar belakang ketika aku sedang tidur. Aku terbangun karena ada seseorang membelai rambutku dan itu adalah Nyai Diah. Aku ketakutan melihatnya, ia tidak marah atas ekspresiku. Dia malah sedih.
Ia mengatakan bahwa ia ingin merawatku, dan menjadikanku raja. Kalau perlu ia bisa mendatangkan harta agar aku bisa kaya raya asal aku mau ikut tinggal di alamnya. “Lalu bagaimana saya bisa menikmati harta itu jika tinggal di alam kamu?” Tanyaku. “Kamu tidak perlu berada di alamku selama 24 jam, kamu masih bisa berbagi waktu dengan alammu,” kata Nyai Diah.
Bagus kalau begitu, aku hampir menyetujuinya namun kemudian Nyai Diah mengatakan aku harus meninggalkan Siti, ia tidak menginginkan aku bersama perempuan lain. Itu membuatku mengurungkan niat untuk berucap setuju, biar bagaimana pun cintaku terhadap Siti masih ada dan aku tidak bisa meninggalkannya.
Nyai Diah menyakinkanku kalau ia bisa memberikan semua yang aku inginkan, lebih dari Siti. Diambang kebingungan, Nyai Diah menarik tubuhku, ia mengajakku untuk pergi ke alamnya. Dia ingin menunjukan istananya di alam sana. Aku tidak berontak ketika Nyai Diah menuntunku ke luar kamar dan menyusuri jalan setapak yang diterangi obor. Malam begitu pekat, aku tidak bisa melihat apa-apa lagi selain jalan setapak ini.
Namun sepanjang perjalanan aku merasa sedang menaiki sebuah tanjakan panjang, tidak lama setelah itu sebuah rrumah bak istana menyeruak dari kegelapan. Di halamannya manusia obor telah menunggu kami. Begitu sampai mereka menuntun ke ruang tamu, seluruh perabotannya berwarna emas. Mirip dengan di pesta pernikahan kami. Di ruang tamu telah menunggu seorang anak pemuda berwajah rupawan yang sepintas mirip denganku.
“Apakah ini…”
“Iya, dia anak kita,” kata Nyai Diah.
Pemuda itu tidak seperti yang ada di dalam mimpi Siti. Ia bukan makhluk berbulu dan bertubuh tegap yang meraung-raung seperti singa. Ia adalah pemuda tampan ramah senyum, walau secara logis aku tidak mungkin memiliki anak seumuran itu tapi aku menerima kehadirannya. Kami bertiga duduk dan berbincang sementara para abdi berkeliaran menyediakan makanan dan minuman untuk kami. Suasana menjadi hangat, dan imanku mulai goyah. Memang sudah jalan hidupku memiliki keluarga seperti ini.
Lagian aku juga bisa kaya raya, dan tidak perlu lagi khawatir akan masa depanku. Aku tinggal duduk berpangku tangan sementara aku terus menerus semakin kaya.
Kukatakan kepada Nyai Diah kalau aku mulai berniat untuk menuruti permintaannya selama ia bisa memastikan aku kaya raya.
Nyai Diah menyakinkanku. “Kamu bisa mendapatkan harta sebanyak yang kamu mau, tapi ada syaratnya,” kata Nyai Diah.
“Apa?”
“Kamu harus menyediakan satu jiwa manusia tiap tahunnya sebagai tumbal.”
Aku tersentak kaget, tidak mungkin aku melakukan itu. Aku tidak ingin mengorbankan keluargaku sendiri. Nyai Diah membaca isi hatiku. “Tidak perlu dari keluargamu, kamu bisa mengambil tumbal dari jalan,” kata Nyai Diah.
Nyai Diah menjelaskan kalau aku bisa menaruh semacam santet kepada calon targetku, tumbal itu bisa berupa barang atau uang. Siapapun yang memilikinya maka akan mati. Dalam benakku, itu tidak mengubah apa-apa. Tetap saja aku harus mengorbankan nyawa manusia untuk kepentinganku. Naluri kemanusiaanku menjerit dan aku katakana bahwa aku tidak bisa melakukan itu.
Nyai Diah murka, dia menudingku makhluk tidak tahu diri. Hubungan di antara kami jadi dingin, aku pun jadi tidak nyaman berada di sana. Aku minta Nyai Diah untuk memulangkanku, tapi ia menolak. Aku bersikeras tapi ia tetap tidak ingin memulangkanku. Akhirnya aku lari dari rumah itu, kuikuti jalan jalur setapak tadi.
Di belakangku Nyai Diah memanggil namaku, suaranya tinggi hingga membuat telingaku sakit. Di sela-sela suara Nyai Diah terdengar raungan kencang. Bulu romaku meremang, kupercepat langkahku sambil melihat sekitar. Masih gelap, tidak ada tanda-tanda rumahku. Aku berdoa di dalam hati agar aku bisa kembali ke rumah.
Napasku tersengal-sengal, kakiku mulai sakit tapi rumahku belum terlihat. Aku memutuskan untuk berlari sekencang-kencangnya sebab suara Nyai Diah sudah terdengar dekat di belakangku. Aku berlari dan berlari sampai kakiku mulai goyah, tidak lama lagi mungkin aku akan tersungkur tapi aku tidak menyerah.
Suara Nyai Diah makin dekat, sepertinya ia berada tepat di belakangku. Aku melompat sejauh mungkin, berharap bisa menghindari Nyai Diah.
Aku mendarat di tanah merah, cahaya obor sudah hilang. Sedikit demi sedikit kuangkat wajahku, lega rasanya ketika aku kembali ke rumahku sendiri.
***Kemarahan Wa Ujang***
Setelah kunjungan ke rumah Nyai Diah, Wa Ujang kembali menyambangi rumahku. Wajahnya marah, ia duduk dan menatapku tajam. Ia tahu segalanya. Kunjunganku ke rumah Nyai Diah dan juga rumah tangga yang terjalin antara aku dan Nyai Diah.
Ia menuduhku telah bersekutu dengan jin, tentu aku tidak terima dengan perkataan itu, kalau boleh jujur pada awalnya aku juga tidak punya pilihan sama sekali. Biar bagaimanapun aku masih hamba yang tahu mana yang benar dan salah.
Aku menampik apa yang dituduhkan kepadaku, Wa Ujang memaki-makiku. Suaranya keras sekali sehingga Siti keluar kamarnya. “Ada apa, Wa?” tanya Siti.
“Suami kamu sudah melakukan kesalahan fatal, semoga dia segera tobat.” Kata Wa Ujang.
Siti kebingungan, ia bukan tipe istri yang suka menguping pembicaraan orang jadi sampai detik itu ia tidak tahu apa-apa. Wa Ujang hampir saja mebeberkan semuanya kepada Siti namun rasa ibanya terhadap Siti menahannya untuk buka suara, alih-alih bicara kepada Siti ia malah menarikku keluar rumah.
“Kamu seharus cepat-cepat mengakhiri semuanya, dia itu sesungguhnya menginginkan nyawa kamu dan istrimu.” Kata Wa Ujang di beranda rumah kami.
Aku tidak sepenuhnya percaya dengan ucapan Wa Ujang, mana mungkin Nyai Diah ingin membunuhku. Ia amat mencintaiku sampai-sampai menginginkan aku untuk bersatu dengannya di alamnya. Wa Ujang pulang dengan kekesalan yang memuncah, tapi aku tidak peduli. Tidak bisa dipungkiri kalau aku mencintai juga Nyai Diah, jadi tidak mungkin aku mengakhiri semuanya. Lalu bagaimana dengan Siti? Aku juga mencintainya, dan kami tidak akan terpisahkan. Malahan rencanaku adalah merayu Nyai Diah untuk tetap membiarkanku bersama Siti sementara hubungan kami tetap berjalan, dan kiranya ia mau memberikanku harta yang dijanjikan agar aku dan Siti dapat hidup bahagia.
Selang beberapa malam, Nyai Diah kembali datang ke rumah. Kami berdua bermesraan di kamar belakang, tidak lama kemudian ia menagih nafkah batin. Aku sempat menolaknya karena terakhir kali kami melakukannya darah masih keluar dari kemaluanku, tapi Nyai Diah tidak mengindahkan penolakanku. Ia membuka baju dan meraba-raba tubuhku hingga akhirnya kami melakukannya juga. Hal itu berlangsung cukup lama, Nyai Diah tidak seperti biasanya. Tubuhku sama sekali tidak ia lepaskan, berkali-kali ia cium bibirku sambil menyedot napasku. Hampir saja aku kehabisan napas.
Pada poin ini aku tidak tahu lagi apakah aku masih hidup atau tidak, aku kehilangan koneksi terhadap ragaku. Seakan-akan jiwaku melayang-layang diudara sementara tubuhku dibuat bulan-bulanan. Aku masih beruntung, jiwaku seperti tertarik lagi ke dalam tubuh ketika aku sampai puncaknya. Aku terkulai lemah, dan Nyai Diah berbaring di sebelahku. Ia tersenyum puas. Sebelum kembali menghilang Nyai Diah sempat bilang kalau ia tahu kalau ada seseorang yang ingin memisahkan aku dengan dia. Saat itu juga aku langsung tahu kalau yang dimaksud adalah Wa Ujang, ia bilang kalau orang itu masih bersikeras maka ia akan berhadapan dengannya langsung. Bola mata Nyai Diah menyala merah ketika mengatakan itu, tidak lama kemudian ia menghilang.
Siti juga sempat menanyakan apa yang terjadi antara aku dan Wa Ujang sampai-sampai Wa Ujang marah-marah, kukatakan kepadanya itu hanya masalah sepele saja. Siti tidak puas dengan jawabanku tapi ia tidak berani protes. “Soalnya Wa Ujang itu jarang marah-marah, kalau sampai marah berarti dia tahu ada sesuatu yang mengancam. Dia kan punya ilmu batin juga.” Kata Siti.
***Sepasang Mata Menyeramkan***
Bagaimana bisa aku tidak menyadari keberadaan lukisan itu ketika pertama kali memasuki rumah ini?
Lukisan itu begerak-gerak lalu berhenti tapi aku masih memerhatikan lukisan itu.
Lukisan itu adalah lukisan tua berisi suasana persawahan di desa, lengkap dengan penduduk yang tengah menanami padi. Ada sekitar enam orang penduduk yang membungkuk di tengah sawah, porsinya tidak terlalu banyak tapi cukup jelas. Beberapa waktu berlalu, suasana kembali senyap. Akupun memutuskan untuk menutup pintu sebelum sesuatu yang buruk kembali terjadi.
Kupeluk erat-erat istriku seraya berdoa semoga kehidupan kami di rumah ini baik-baik saja.
Di dekat rumah tidak ada mushola ataupun masjid, jadi kami melakukan sholat di rumah. Suatu hari seperti biasa aku mengajak istriku untuk sholat Isya, kami segera bergegas ambil wudhu di kamar mandi. Aku buru-buru ambil air dan segera masuk karena udara dingin yang menusuk. Kami sholat di ruang tamu, selama sholat pikiran tidak tenang karena merasa seperti diperhatikan oleh sepasang mata.
Istriku juga merasakan hal yang sama, ia terlihat gusar dan ingin cepat-cepat masuk kamar. Meski ia tidak bilang, tapi aku tahu kalau ia ketakutan. Kuperhatikan baik-baik lukisan itu, walau tidak menyeramkan namun intiusiku mengatakan ada sesuatu yang jahat di balik lukisan ini. Lama kuperhatikan, perlahan-lahan kesadaranku memudar. Aku seperti berada di tempat lain, mirip seperti yang terjadi di dalam mimpi.
Aku bergegas menyudahinya, kususul istriku ke dalam kamar. Ia sudah terlelap rupanya. Kutarik selimut dan ikut tidur. Tak lama berselang pintu kamar kami terbuka, aku terperanjat dan pandanganku tertarik ke sana.
Di ujung kusen, aku melihat sepasang mata sedang melihat balik ke arahku. Tidak jelas wujud pemilik sepasang mata itu, semuanya terlihat buram seperti ada kabut pekat. Entah ada yang salah dengan mataku atau memang situasi rumah ini berubah seratus delapan puluh derajat.
Aku memutus pandanganku, dan menyembunyikan wajah di dalam selimut. Deru napasku membuat udara di dalam selimut jadi panas. Aku berdoa sebisaku memohon perlindungan, tapi ketika aku selesai berdoa sepasang mata itu muncul di dalam selimut tepatnya di sela-sela betisku.
Aku berteriak sangat kencang.
Siti terbangun.
“Kenapa kang?” katanya ketakutan.
Aku tidak bisa menjawab pertanyaannya. Aku sibuk menjinakan jantungku. Aku tak berani bilang yang sesungguhnya, takut Siti jadi takut. Jadi kukatakan aku mengalami mimpi buruk. Aku menyuruh Siti tidur padahal sampai subuh aku terjaga.
Dengan situasi diteror oleh sosok tak kasat mata, aku harus tetap menjalani kehidupanku. Pagi-pagi sekali aku pergi ke pasar untuk bekerja dan pulang malam hari, lelah rasanya harus berjalan kaki setiap hari tapi aku tidak pernah mengeluh kepada istriku.
Seiring berjalannya waktu, sikap istriku mulai berubah. Tebakanku ia mulai kesepian tinggal di rumah itu, perlakuannya terhadapku jadi dingin. Kala aku pulang malam, kutemui dia duduk di ruang tamu menungguku dengan wajah marah. Saat aku hampiri dia langsung masuk ke dalam kamar tanpa mengatakan apapun. Meja makan di dapur pun kosong, terpaksa aku tidur dalam keadaan lapar.
Pagi harinya Siti berlaku seperti biasa. Ia kembali ceria dan menyambutku dengan senyuman dan sarapan. Sangat mesra seakan malam tadi tidak terjadi apa-apa. Aku memakluminya. Wajarlah kalau dia marah kalau aku pulang malam.
Namun kondisi bertambah buruk, Siti kini mulai marah dan melempar barang-barang ke arahku tiap kali aku pulang malam. Keributan tidak bisa dihindari. Aku membela diri lantaran aku pulang malam karena aku bekerja, tapi Siti mulai curiga kalau aku bermain serong dengan wanita lain di pasar.
***Pesta Pernikahan***
Aku tidak terima dituduh seperti itu. Hubungan kami mulai regang, aku tidak lagi menyapa dan makan sarapan yang dibuatkan oleh Siti. Pertengakaran terus terjadi, dan semakin parah. Aku akhirnya pisah ranjang dengan Siti, aku tidak bisa tidur dengannya. Aku putuskan untuk tidur di kamar satu lagi dengan beralaskan tikar.
Melewati tengah malam, aku terkejut oleh sebuah tangan yang mengelus lenganku. Begitu aku berbalik, sosok perempuan cantik berdiri di hadapanku. Tidak sekalipun aku mengenalnya, tapi ia sepertinya mengenalku. Perempuan itu menggodaku, dan minta ditiduri. Aku ingin menolak, tapi tidak bisa. Aku menuruti keinginan perempuan itu.
Keesokan paginya Siti menemukanku tidur telanjang di kamar belakang, ia marah dan memutuskan pergi dari rumah. Aku marah terhadap diriku sendiri, bagaimana bisa aku bisa melakukan itu. Dan yang lebih aneh, siapa perempuan itu? Dan ke mana perginya dia?
Seharian itu aku tidak pergi ke pasar, aku duduk di ruang tamu memikirkan apa yang baru saja terjadi. Tidak bisa dielakan lagi kalau semalam aku bersetubuh dengan sebangsa jin, aku bingung harus minta bantuan ke siapa. Tidak mungkin aku pergi ke orang tuaku, malu rasanya.
Begitu malam tiba, keanehan kembali terjadi. Dari kejauhan aku mendengar suara musik tradisional, makin lama terdengar jelas. Orang-orang asing berpakaian adat berdatangan ke rumahku, wajah mereka hampir sama. Pucat dan bermata besar. Aku berdiri dan berusaha pergi tapi beberapa perempuan paruh baya bertubuh agak gemuk menahanku. Mereka melukis wajahku sehingga ketika selesai seluruh wajahku putih dan aku mengenakan pakaian adat serba emas.
Ruang tamu rumahku mendadak berubah menjadi pelaminan lengkap dengan dekorasi serba emas dan tamu undangan. Sosok perempuan cantik mengenakan kemben serta penutup kepala emas masuk. Perempuan itu adalah perempuan yang semalam tidur denganku. Ia mengajakku duduk di pelaminan dan menyalami tamu yang datang.
Aku seperti orang linglung dan menurut saja.
Para tamu makan sesajian dengan lahapnya, sementara aku tenggelam dalam cengkeraman perempuan misterius ini. Pesta berlangsung cukup lama sampai akhirnya orang-orang membawa obor, ada sekitar enam orang. Mereka semua menghampiri aku dan perempuan itu, dan memanggil-manggil nama Nyai Purnama. Itu sepertinya nama perempuan itu.
Salah satu dari enam orang itu berbicara dengan Nyai Purnama, aku tidak begitu mengerti bahasa mereka namun setelah berbicara Nyai Purnama menoleh dan tersenyum padaku. Ternyata itu adalah pertanda kalau kami akan diarak keliling desa, entah desa yang mana. Aku bagaikan setengah bermimpi. Kebun-kebun kosong dan hamparan sawah yang mengelilingi rumahku berubah jadi sebuah pedesaan lengkap dengan orang-orang desa yang menyambut arak-arakan kami.
Aku dan Nyai Diah ditanduh menggunakan semacam kereta kuda berukir naga, namun alih-alih menggunakan kuda, para orang pembawa obor itu menanduh kami. Tak kusangka dibalik badan kurus dan wajah tirus nan pucat terdapat tenaga besar menyayingi dua ekor kuda.
Perjalanan yang aku alami benar-benar magis, aku bagai seorang pangeran dari kerajaan yang disambut meriah oleh rakyatnya. Satu per satu wajah misterius yang menyoraki kami kuperhatikan baik-baik, ada satu kesamaan pada wajah mereka yaitu mereka tidak beralis. Agak aneh, tapi aku tak berani bertanya kepada Nyai Diah di sebelahku.
Sekitar satu jam kami diarak sampai akhirnya kembali ke rumah, herannya setelah diarak aku merasa sudah sangat mengenal Nyai Diah padahal namanya saja baru aku ketahui tadi. Tidak lama setelah para tamu dan orang-orang pembawa obor itu pergi kami ditanggal sendiri di dalam kamar pengantin yang sudah dihias sangat indah lengkap dengan bunga-bunga di atas kasur.
Nyai Diah melepaskan pakaiannya hingga tak sehelai pun menempel di tubuhnya, aku pun tergoda dan melakukan hal yang sama. Hasrat di antara kami berdua tidak tertahankan lagi hingga akhir kami melakukan hal yang tidak seharusnya kami lakukan. Sepengalamanku bergaul dengan istriku, aku tidak pernah merasakan hubungan yang senikmat dengan Nyai Diah. Kami benar-benar menyatu jadi satu, dan seakan-akan sukmaku disedot olehnya setelah kami melakukan itu sehingga aku terkulai lemas di atas kasur sementara Nyai Diah menghilang menjelang subuh.
Ketika berbaring sendiri di atas kasur aku masih tidak percaya dengan apa yang terjadi, benar-benar serasa mimpi tapi nyata. Tanpa kusadari aku menikahi seorang perempuan bernama Nyai Diah yang entah asalnya dari alam mana, tapi aku perlahan-lahan menikmatinya. Aku terjerat olehnya, terutama setelah kami berhubungan.
Tubuhku sangat lelah, dan aku tidak bisa berpikir lagi. Aku langsung tidak sadarkan diri.
***Pertarungan Nyai Diah***
Kabar duka datang dari Wa Ujang, Putrinya yang sedang mengandung tiga bulan keguguran di dekat sumur. Istri Wa Ujang menemukannya ketika ingin mengambil wudhu untuk salat subuh. Jeritan sang istri langsung membangunkan Wa Ujang, keduanya langsung membawa putri mereka ke klinik menggunakan mobil pikap yang biasa membawa sayuran ke pasar. Setelah beberapa lama ditangani, bidan yang didampingi dokter umum mengabarkan kalau janin di dalam kandungan putri Wa Ujang tidak bisa diselamatkan.
Wa Ujang dan istrinya menangis, sedangkan putrinya terpukul. Begitu matahari meninggi Wa Ujang mengabarkan mantunya yang bekerja di Jakarta, sore harinya sang menantu sudah ada di klinik mendampingi istrinya yang masih harus menjalani proses penyembuhan. Di saat yang sama, Wa Ujang menyambangiku ke pasar. Ia menarikku dari toko ke gang dekat tukang daging, ia menunjuk-nunjuk hidungku sambil menuduh akulah pembawa mala petaka di keluarganya.
“Katakan kepada istri ghaibmu, saya tidak akan tinggal diam.” Ancam Wa Ujang kemudian pergi.
Aku hanya bisa melongo bersama dengan beberapa pedagang pasar yang sama-sama bingung dengan apa yang terjadi. Ketika aku pulang ke rumah semua baru jelas, Siti yang baru pulang dari rumah Wa Ujang menceritakannya kepadaku. Menurut Siti, putri Wa Ujang sebelumnya bilang kalau saat tengah malam ia di teror lelaki misterius yang kadang menyerupai suaminya. Begitu didekati sosok itu berubah jadi sosok makhluk besar, bernapas besar, dan menggeram. Putri Wa Ujang juga mendengar suara bayi menangis, tidak hanya satu tapi puluhan bayi menangis di telinganya.
Puncaknya, Putri Wa Ujang melihat rombongan orang membawa obor di depan rumahnya. Orang-orang itu berwajah gelap dan tidak memiliki bola mata. Putri Wa Ujang mencoba membangunkan istri Wa Ujang namun gagal sehingga ia lari ke belakang dan terpeselet lalu terjatuh di dekat sumur hingga keguguran.
Wa Ujang sedang berada di desa sebelah untuk mengurus jual beli tanah saudaranya, jadi tidak ada orang yang bisa menolong. Itu jadi penyesalan terbesar Wa Ujang, ia telah kehilangan cucunya dan kini siap perang melawan Nyai Diah, hasrat untuk membalas dendam kuat di dalam dirinya.
Di sisi lain Nyai Diah pun tidak kalah, ia menyiapkan para pasukannya untuk melawan Wa Ujang. Pertempuran itu terjadi saat tengah malam di atas bukit dekat rumahku. Malam itu aku mendengar suara-suara aneh dari jauh, aku turun dari tempat tidur dan memeriksa melalui jendela. Di atas bukit sana aku melihat cahaya merah, segera saja aku menyelinap keluar tanpa sepengetahuan Siti. Kudaki bukit itu dan menemukan Wa Ujang berdiri di hadapan Nyai Diah, ia memegang keris siap untuk menyerang Nyai Diah. Sementara Nyai Diah berdiri tegap, sama sekali tidak takut dengan Wa Ujang.
Pertempuran mereka berlangsung cepat, cahaya merah yang menyilaukan meliputi mereka. Begitu juga suara-suara menggelegar mirip suara petir. Wa Ujang sempat melirik kepadaku sebelum akhirnya sebuah cahaya merah datang ke arahku dan melemparku dari tempat persembunyian, aku terpental cukup jauh dan terbangun di tempat tidurku sendiri. Aneh.
Matahari sudah tinggi, Siti menyambutku ketika aku keluar kamar. Ia menyuruhku mandi karena sudah terlambat pergi ke pasar. Bagaimana bisa aku kembali ke kamarku, padahal semalam aku berada di atas bukit sana. Lalu bagaimana nasib Wa Ujang? Semuanya seperti mimpi, tapi aku tidak percaya kalau semua itu adalah mimpi.
Aku tidak berani cerita ke Siti, jadi kusimpan saja sendiri sambil mencari tahu apa yang terjadi dengan Wa Ujang.
***Wa Ujang Akhirnya Mundur***
Pertarungan Wa Ujang dan Nyai Diah ternyata terjadi di alam ghaib, itu terkonfirmasi dari keterangan Siti yang mengatakan bahwa malam ketika itu terjadi aku terlelap di kamar. Namun tetap saja aku ingin mendatangi Wa Ujang untuk menegaskan apa yang terjadi sekaligus mengorek keterangan lebih lengkap.
Aku menemui Wa Ujang di rumahnya, kala itu rumahnya sepi. Anak, istri, dan menantunya menginap di rumah mertuanya. Berbeda dengan ketika terakhir kali bertemu, Wa Ujang terlihat merenung di beranda rumahnya. Aku bisa melihat seberkas kesedihan di matanya yang keriput. Aku memberikan salam dan duduk di sebelahnya. Ia menyambutku dengan baik, dan menawari minuman yang kemudian aku tolak. Langsung saja ke pokok permasalahan, dan Wa Ujang menjawab dengan tegas kalau pertarungan itu benar terjadi.
Ia dirundung rasa dendam malam itu dan dengan sembrono melawan Nyai Diah, pertarungan mereka seri. Tapi akibat pertarungan itu para demit di hutan marah, mereka menganggap Wa Ujang telah berani lancang mengobrak-abrik alam mereka. “Tiap semesta ada kode etik dan batasannya, dan saya telah melewati itu. Saya salah besar,” Kata Wa Ujang.
“Sekarang saya harus menerima akibatnya,” Wa Ujang berkata lagi, entah apa maksudnya. Aku menanyakan lebih lanjut kepadanya, namun ia bilang kalau semuanya diserahkan kepadaku. Wa Ujang tidak akan ikut campur lagi, jadi jika aku memang ingin melanjutkan pernikahan itu atau tidak ia sudah sebodo amat. “Tapi kamu harus ingat, pernikahan itu ada risikonya dan kamu juga harus memperhitungkan sedang berhadapan dengan siapa. Kadang dedemit itu pintar memanipulasi perasaan manusia hingga mereka terjebak dalam lembah ke kenistaan.”
Aku diam saja, tak berani menjawab. Jujur aku merasa ucapan Wa Ujang terlalu berlebihan dan tidak logis. Aku dan Nyai Diah saling mencintai hanya saja alam kami berbeda, dan aku yakin ada jalan tengah untuk semua ini. Sebelum aku memutuskan untuk pamit, Wa Ujang memberitahuku bahwa perlindungan yang ia taruh di rumah dan dalam diri Siti sudah ia cabut. Kini Nyai Diah bisa berbuat apapun sesuai kehendaknya.
Pantas saja Nyai Diah terlihat takut kepada Siti, ternyata pagar dari Wa Ujang lah yang berperan. “Biar bagaimana Siti itu saudara saya, dan saya wajib melindunginya namun sekarang saya tidak bisa lagi melindunginya. Nasib Siti ada di tangan kamu, kalau ada apa-apa terjadi kepadanya maka darahnya ada di tangan kamu.” Kata Wa Ujang kepadaku.
Aku tidak terlalu ambil pusing, dan cepat-cepat meninggalkan rumah Wa Ujang. Begitu sampai di rumah aku disambut Siti, dan kami makan siang bersama. Siti mengatakan bahwa pagi ini ia merasa punggungnya berat dan ada yang aneh dengan organ kewanitaannya. Ketika aku tanya lebih lanjut, ia mengatakan bahwa kemaluannya terasa panas seperti diterkena sambal. Berulang kali ia mencucinya tapi tetap saja tidak hilang, anehnya rasa panas itu hilang tiba-tiba. Aku katakan kepada Siti bahwa bisa saja itu lantaran ia lupa cuci tangan setelah masak, dan biasanya memang panas terkena cabai itu lama hilangnya jadi tidak perlu khawatir. Siti pun paham dan tidak lagi mengeluh padaku.
Pada malam harinya Nyai Diah datang dengan rombongan manusia obor dan beberapa wajah asing. Ia mengatakan bahwa sekarang rumahku adalah rumahnya juga, dan para bawahannya akan menjaga kami berdua agar tidak ada lagi orang yang mengganggu. Aku mengangguk saja, dan malam itu kami berhubungan lagi. Lama sekali, dan setelah selesai giliran hidungku yang mengeluarkan darah segar.
***Mata Batinku Terbuka***
Suasana rumahku berubah total, udara yang tadinya segar dan sejuk lantaran berada di tengah hutan dan persawahan kini jadi panas dan pengap seperti kamar tak berjendela. Aku pun jadi tidak nyaman tinggal di dalamnya, tapi aku tidak bisa meninggalkannya. Tiap kali aku meninggalkan rumah untuk bekerja di pasar.
Tubuhku mendadak lemas, kepala pusing, dan pundak berat. Anehnya semuanya hilang begitu aku sampai di rumah. Lantaran kondisi itu aku kerap izin pulang pada siang hari, dan lama kelamaan bosku di pasar menyuruhku istirahat saja dan tidak perlu masuk.
Wajahnya tak enak begitu mengatakan itu, sepertinya ia kesal karena aku mulai sakit-sakitan dan kerja tak becus. Mau bagaimana lagi, aku pun tak kuat berlama-lama di luar rumah. Sekarang tiap malam aku harus melayani Nyai Diah di atas ranjang, rasa nikmatnya sudah hilang. Kini hanya tinggal siksaannya.
Selain tubuhku yang memburuk kondisinya, Siti pun mendapatkan serangan ghaib. Secara tiba-tiba, tiap malam kemaluannya terasa panas seperti tersiram air cabai.
Dan makin hari makin memburuk, ia sampai menangis saking tidak kuat menahan rasanya. Hatiku remuk melihat Siti menangis, benar-benar tak sampai hati aku melihatnya demikian. Ia adalah perempuan yang sangat aku cintai, dan kini ia menderita. Apa yang telah aku lakukan, iblis apa yang merasukiku sampai aku tega bersekutu dengan Nyai Diah. Ini salahku tapi Siti ikut menanggungnya.
Aku marah ke Nyai Diah, apa yang ia lakukan benar-benar di luar batas. Dengan sengaja ia menyiksa aku dan Siti, padahal selama ini ia mengatakan bahwa ia mencintaiku. Tidak ada rasa menyesal ataupun takut di wajah Nyai Diah melihatku marah, ia malah tertawa cekikian. Ia bilang derajatku dan Siti itu jauh lebih rendah dibanding bangsanya, dan sudah seharusnya kami jadi abdi mereka. melayani setiap kebutuhannya bersama bangsanya.
Aku terlalu lemah untuk mengamuk, dan tubuh Nyai Diah begitu kuat mencengkramku. Jadi aku tidak bisa melakukan apa-apa, dan dalam kondisi ini pula Nyai Diah memaksaku untuk melayaninya di ranjang. Darah segar keluar dari hidung dan kemaluanku setelah semuanya selesai.
Pagi harinya aku bersimpuh dan berdoa meminta pertolongan, dan ternyata Tuhan masih bermurah hati mengulurkan tangannya lewat Wa Ujang. Entah ada angin apa, Wa Ujang menyambangi rumah kami. Siti berbaring di atas kasur, ia tidak bisa berjalan lantaran terlalu lemah. Wa Ujang masuk ke rumah sambil menutup hidung, katanya ada bau bangkai menyeruak dari dalam rumah kami.
“Rumah kalian sudah jadi sarang dedemit,” kata Wa Ujang.
Aku memohon maaf kepada Wa Ujang atas apa yang telah aku lakukan, dan ia pun dengan sangat bijak memaafkannya. “Sekarang yang terpenting adalah menyelamatkan kalian sebelum terlambat,” kata Wa Ujang. Kemudian Wa Ujang membuka mata batinku agar aku tahu apa yang sebenarnya terjadi, begitu mata batinku terbuka semuanya jelas. Rumahku terlihat seperti rumah hantu. Bau, pengap, dan gelap. Wa Ujang menyuruhku berkaca, dan aku terkejut.
Tubuhku begitu kurus, dan seluruh badanku banyak luka hitam. Aku seperti habis dihisap lintah. “Dedemit memang seperti lintah,” kata Wa Ujang seakan membaca pikiranku, “Mereka membuat manusia merasa baik-baik saja, padahal mereka menghisap darah manusia sampai habis.”
Kulihat juga Siti, kondisi tubuhnya terlihat pucat. Darah merembes dari selangkangannya, ada dua makhluk botak bertaring berwajah setengah manusia setengah binatang berdiri di dekat tempat tidur. “Mereka itu yang mengerjai Siti,” kata Wa Ujang.
“Tidak mungkin, Siti itu kan rajin ibadah dan beriman kuat,” kataku.
Wa Ujang menggeleng, “Itu tidak ada pengaruhnya kalau iman kamu lemah. Kepala keluarga itu seperti pondasi rumah, kalau lemah maka angin kecil saja bisa merubuhkan seluruh bangunan rumah.”
Rasa sesalku makin kronis, kuhampiri Siti yang sedang tertidur dan kukecup keningnya seraya mengucap kata maaf.
Wa Ujang akan membantu kami, hanya ia sadar kalau ia seorang diri tidak bisa menghadapi Nyai Diah oleh karena itu ia akan menjemput gurunya yang tinggal di Bogor. Wa Ujang memintaku untuk tidak meninggalkan Siti sampai ia kembali, aku menyanggupinya. Tanpa banyak bicara lagi Wa Ujang berangkat menjemput gurunya sementara aku menunggu dengan hati gusar.
***Melawan Nyai Diah***
Wa Ujang baru kembali selepas magrib, dan Siti masih belum terbangun juga. Aku takut, apalagi suara Nyai Diah terus menerus terdengar dari kamar belakang. Memanggil namaku dan mengajak ke peraduan.
Sebagian diriku ingin menurutinya, namun aku berhasil mengontrolnya dan tetap menjaga Siti, takut terjadi apa-apa kepadanya. Tanpa mengetuk pintu, Wa Ujang masuk ke dalam kamar, ia tidak datang sendiri tapi bersama seseorang yang ia sebut guru. Aku termangu-mangu begitu melihat sosok guru Wa Ujang.
Sosok ini jauh dari perkiraanku sebelumnya, aku kira sosok guru Wa Ujang merupakan sosok sepuh dengan uban di kepala, tapi justru seorang pria berusia sekitar 40 tahunan. Lebih muda dari Wa Ujang.
Ia memperkenalkan diri dengan nama Funta. Tingginya sekitar 2 meter, berbadan kurus, dan rambut lurus bergelombang. Funta berkata kepadaku kalau ia salut kepadaku karena aku berani mengambil keputusan untuk lepas dari Nyai Diah di saat yang tepat, karena kalau terlambat maka nyawaku dan Siti jadi taruhannya.
Funta menyisir seluruh rumah termasuk kamar belakang. Saat ia ada di kamar belakang terdengar suara gaduh yang keras, kadang seperti barang jatuh kadang seperti orang terbanting ke dinding. Aku dan Wa Ujang menunggu di kamar depan sampai Funta kembali. “Anak buahnya sudah kabur tapi pemimpinnya masih ada,” kata Funta kepada kami.
Funta pergi ke dapur dan kembali dengan dua butir telur, ia menyuruhku berbaring di sebelah Siti sementara ia berdoa dan mengusapkan telur ke seluruh tubuhku. Funta meminta Wa Ujang untuk mengambil piring kecil, di depan mataku ia memecahkan telur yang tadi diusapkan ke tubuhku dan di dalam telur tersebut terdapat jarum jait berkarat dan segumpal rambut hitam. Saat itu juga rasa tidak enak yang menjangkiti tubuhku hilang, dan aku merasa lebih segar.
Setelah itu, Funta melakukan hal yang sama, namun telur yang dipakai untuk Siti berisi darah berbau busuk. Kata Funta susuk ghaib di tubuhku dan Siti sudah luntur, dan kini kami sudah tidak lagi berada di bawah kendalinya.
Sekarang tinggal menghadapi langsung Nyai Diah. Untuk itu Funta memintaku untuk bersila di ruang tamu, tepat di sebelahnya. Lalu ia memintaku untuk menutup mata sementara Funta berdoa. Tidak lama dari situ aku seperti terlempar dan mendarat tepat di depan rumah Nyai Diah. Funta mengajakku masuk ke dalam bersamanya.
Ketika kami masuk rumah itu kosong dan terasa kelam. Tapi tak lama kemudian muncul dua sosok makhluk berbulu dan berbadan besar, salah satu dari mereka memanggil namaku.
Aku mengenali suaranya, dia adalah Nyai Diah dan anak ghaib kami. Bulu romaku meremang begitu melihat wujud asli Nyai Diah yang menyerupai babi hutan bermata merah. Aku mengenalinya, mata itu adalah yang mengintip dari pintu kamarku tempo hari.
Nyai Diah membujukku untuk membantunya, dia bilang anak hasil pernikahan kami membutuhkanku. Funta menepis semuanya, dia bilang sosok itu bukanlah anakku melainkan dedemit yang digunakan untuk memancingku.
“Manusia dan dedemit tidak akan pernah bersatu, apalagi memiliki anak. Kalian itu lebih rendah dari manusia,” kata Funta. Mendengar itu Nyai Diah menggeram hendak menyerang kami.
Funta menyuruhku berdiri di belakangnya tepat sebelum Nyai Diah benar-benar menyerang kami. Aku menutup mata. Nyali langsung ciut saat itu juga. Entah apa yang terjadi tapi aku merasa di sekelilingku ada angin beliung. Aku sampai berpegangan ke Funta karena angin kencang itu mulai menyapu tubuhku.
Meskipun begitu Funta tidak berhenti merapalkan doa dengan suara kencang. Suara raungan sahut menyahut dan keadaan semakin kacau. Aku takut membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya.
***Terlepas dari Alam Gaib***
Suasana lepas kendali. Bumi di bawah kakiku berguncang hebat. Suara Nyai Diah berulang-ulang kali terdengar meminta ampun. Teriakannya memekakkan telinga, hingga membuat kepalaku pusing.
Ada perasaan aneh yang menyeruak dari dalam tubuhku. Aku merasa seakan nyawaku sedang berusaha dicabut. Aku jatuh berlutut, tapi tanganku tetap memegang tubuh Funta. Ia berteriak agar aku tidak melepaskan peganganku.
"Kalau kau lepas, kau tidak akan bisa kembali ke ragamu," teriak Funta.
Aku membuka mata sedikit. Ternyata, kami dikelilingi oleh manusia obor. Mereka mencoba meraih tubuh kami, namun gagal. Ada sebuah pelindung tak kasat mata di sekitar kami. Sedangkan Nyai Diah berdiri tepat di depan Funta.
Mata merahnya melotot ke arah Funta. Lidah panjangnya menjuntai. Dan, aku kembali menutup mata, sebab tak kuat melihatnya.
Funta pun berkata kepadaku untuk tidak membuka mata lagi. Kondisi itu terus berlangsung selama beberapa detik. Sampai akhirnya semua mendadak hening.
Tanganku tak lagi memegang tubuh Funta. Saat kubuka mata, ternyata aku sudah ada di ruang tamu. Di sebelahku Funta muntah darah. Aku dan Wa Ujang menolongnya.
“Saya tidak apa-apa. Nanti, juga sembuh sendiri,” kata Funta.
Setelah itu, rumahku kembali lagi seperti semula. Udara dingin masuk dari depan menyapu keningku. Lega rasanya semuanya berakhir. Aku pun bahagia begitu melihat Siti terbangun dengan wajah berseri-seri. Aku memeluknya dan meminta maaf atas apa yang sudah kulakukan. Siti berbesar hati memaafkanku.
Malam itu, Wa Ujang dan Funta bermalam di rumahku. Mereka tidur di kamar belakang.
Esoknya, Funta mengajakku bicara. Ia lalu mengajakku mengunjungi rumah asli dari Nyai Diah. Awalnya aku ragu, tapi akhirnya aku setuju. Kami lalu berjalan menaiki bukit yang tidak terlalu jauh dari rumahku.
Jalannya cukup terjal. Beberapa kali kami harus menerabas ilalang. Begitu sampai di atas bukit aku tercengang. Di hadapanku terhampar ratusan kuburan tua. Sebagian besar sudah tidak memiliki nisan.
Funta mengatakan permakaman ini merupakan makam para sesepuh desa setempat. Ia juga menunjukkan sebuah kuburan tanpa nisan yang berada di pojok. Kuburan itu berada dekat sebuah pohon besar.
Funta bilang itu adalah kuburan Nyai Diah. Konon, semasa hidup Nyai Diah adalah seorang dukun teluh. Jasanya sering dipakai warga desa untuk berbuat jahat atas membalas dendam orang yang mereka tidak sukai. Sampai akhirnya Nyai Diah sendiri dibunuh oleh warga desa yang sakit hati karena orang tuanya dikirimkan teluh sampai mati.
Nyai Diah ditemukan tergeletak di dekat sumur rumahnya. Tidak ada warga desa yang mau menguburkannya. Namun, jasad Nyai Diah akhirnya dikuburkan tanpa nisan dan tanpa selamatan oleh warga karena terpaksa.
Tidak heran jika Nyai Diah merupakan dedemit paling berpengaruh di sana. Dan, semenjak aku pindah ke rumah itu, ia sudah menaruh hati kepadaku. Alasan utamanya adalah, ia ingin menjadikanku abdinya dan menahanku di alamnya.
Nyai Diah juga berencana membunuh Siti secara perlahan. Rasa cinta yang timbul di hatiku juga tidak nyata. Itu hanya sugesti yang diembuskan kepadaku. Perasaan itu membutakan mata hatiku. Sampai akhirnya aku menyerahkan seluruhnya kepada Nyai Diah.
“Sampai kapanpun manusia tidak akan bisa bersatu dengan dedemit. Derajat kita lebih mulia dari pada mereka,” kata Funta padaku ketika kami memperhatikan kuburan Nyai Diah.
Setelah lama di sana, kami berdua pulang ke rumah untuk makan siang. Sebelum Wa Ujang dan Funta meninggalkan rumah kami, aku dan Siti tidak lupa mengucapkan terima kasih atas bantuan mereka. Mungkin kami tidak akan pernah bisa membalasnya.
Dua bulan setelah kepergian Funta, aku dan Siti meninggalkan rumah itu untuk merantau ke Jakarta. Kami tidak membawa banyak uang tapi kami memiliki tekad kuat untuk memulai hidup baru.
TAMAT
(Ending yang membagongkan)