KISAH PENGUBUR RIBUAN MAYAT TSUNAMI ACEH
JEJAKMISTERI - Minggu pagi, 26 Desember 2004 atau 15 tahun silam, bencana dahsyat gempa dan tsunami menghantam Aceh. Sebanyak 200 ribu lebih warga menjadi korban, setengah juta lainnya kehilangan tempat tinggal. Peristiwa itu diperingati setiap tahun di Aceh.
Muhammad Kasim hanya seorang warga biasa ketika bencana gempa dan tsunami melanda Aceh pada Minggu, 26 Desember 2004. Ketika hembalang gelombang menewaskan lebih dari 200 ribu jiwa, pria 68 tahun itu berada di rumahnya di Desa Gani, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar, Aceh.
Rumah Kasim berada jauh dari garis pantai. Kala itu, dia hanya merasakan guncangan gempa yang sangat kuat, namun terhindar dari air laut yang mengamuk setelahnya.
Setelah gempa, Kasim bingung tidak karuan ketika melihat banyak orang terluka dengan bermacam rupa diboyong ke Kantor Palang Merah Indonesia (PMI) Lambaro, Aceh Besar.
Kantor itu tak begitu jauh dari rumahnya. Bagi Kasim, kawasan Lambaro merupakan tempat ia berlalu lalang untuk bertemu sejawatnya di warung kopi. Tapi pagi itu, ia dikejutkan dengan kedatangan ratusan orang yang terluka parah dari Kota Banda Aceh dievakuasi ke PMI Lambaro.
Belakangan, bukan hanya orang terluka, melainkan turut disusul jenazah orang-orang yang menjadi korban tsunami. Hari itu, Kasim menunda rencana ngopi bersama temannya.
Meski hari libur, sebagian temannya yang bekerja di Kantor Kecamatan dan PMI, saat itu disibukkan dengan keadaan genting yang tak pernah terbayang sebelumnya. Melihat temannya menolong korban tsunami di PMI Lambaro, Kasim turut membantu.
Dua hari setelah tsunami, pada Selasa, 28 Desember 2004, korban yang meninggal akibat gempa dan tsunami semakin bertambah. Jenazah mulai menumpuk di Kantor PMI Lambaro.
Ditambah banyaknya korban luka yang meninggal. Kondisi saat itu serba darurat. Petugas sempat kebingungan untuk menguburkan ribuan jenazah korban tsunami.
Sekitar seratus meter dari Kantor PMI, di Desa Siron, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar, ketika itu terdapat lahan kosong milik negara di bawah Pemerintah Aceh Besar. Tanah itu kemudian disepakati menjadi lokasi pemakaman ribuan korban tsunami.
Ketika lokasi sudah tersedia, ada satu kendala dalam proses penguburan, yaitu petugas yang mengubur. Saat itu, Camat Ingin Jaya dan pekerja di Kantor PMI Lambaro, meminta tolong kepada Muhammad Kasim yang juga teman ngopi. Kasim tak menolak. Ia menerima tawaran itu. Penggalian kubur dimulai Selasa itu juga dengan menggunakan dua alat berat jenis backhoe.
"Ketika itu saya bukan relawan, tapi tersentuh hati untuk membantu," Kasim mengisahkan kepada JejakMisteri, saat ditemui di Kuburan Massal Korban Tsunami Aceh di Desa Siron, Kabupaten Aceh Besar, Rabu (4/12).
Penggalian liang pertama, dilakukan pada sebuah titik yang jika dilihat sekarang berada persis di bagian tengah areal makam seluas dua hektare itu. Lubang digali sedalam tujuh meter dengan lebar yang sama. Kedalaman liang kubur saat itu bukan diukur dengan meteran, melainkan warna tanah yang agak kehitaman berlumpur menjadi batas.
Menurut Kasim, jika ujung pengeruk backhoe sudah bertemu tanah agak kehitaman, maka setelahnya pasti bertemu dengan mata air. Demi menghindari semburan mata air di dalam liang, maka Kasim memerintahkan operator alat berat untuk menyetop pengerukan lebih dalam.
Setelah satu liang itu telah digali, yang pertama dikubur adalah sekitar seribu mayat yang telah menumpuk selama dua hari di Kantor PMI Lambaro. Mayat-mayat itu dibalut plastik kantong jenazah, lalu diangkut menggunakan sejumlah mobil dam truk.
Setiba di samping liang lahat, mobil dam truk mengangkat tinggi-tinggi bagian belakangnya. Jenazah-jenazah itu lalu ditumpahkan ke kuburan. Jangan bayangkan penguburan itu dilakukan seperti pemakaman mayat pada umumnya. Penguburan dalam suasana darurat itu dilakukan tanpa prosesi doa-doa, dan yang lain semacamnya.
Lubang itu terus ditimbun dengan mayat hingga tersisa kedalaman sekitar satu meter. Lalu, alat berat kembali bekerja menimbun sisanya dengan tanah. Satu lubang itu terisi ribuan mayat. Paling sedikit seribu orang. Setelah satu lubang berhasil ditimbun, baru giliran alat berat menggali lubang yang lain di sampingnya.
"Lubang digali tidak berbarengan. Melainkan ketika satu lubang sudah penuh, baru digali yang lain," kata Kasim.
Tugas Kasim saat itu persis mengurus semua penguburan di makam itu. Ia yang menentukan di titik mana lubang penggalian selanjutnya. Menurut dia, kala itu tidak ada orang lain yang mau bertugas seperti itu. "Bukan tidak mau, tapi saat itu tidak ada orang yang tega melihat manusia dikuburkan seperti itu," ujar Kasim.
Lantas, mengapa Kasim berani saat itu? "Saya bukan berani, tapi ketika itu hati nurani saya seperti sudah ditutup sama Allah, jadi ketika mengubur ribuan jenazah, saya merasa biasa saja. Rasa sayang itu tidak ada lagi," tuturnya.
Dalam sehari, Kasim mengubur sekitar 1000 hingga 3000 mayat korban tsunami. Ia bertugas dari pagi hingga malam hari. Proses itu dilakoninya selama tiga bulan. Hingga kuburan massal korban tsunami Aceh di Siron, itu menjadi tempat peristirahatan terakhir bagi sedikitnya 46.718 korban yang tercatat.
Kini, setelah 15 tahun tsunami, Kasim menjadi pengelola pemakaman massal itu. Lantas, bagaimana kisah selama tiga bulan mengubur jenazah korban tsunami? Adakah Kasim mengalami kejadian mistis selama proses penguburan?
***
Kisah Kasim, Lebaran Idul Adha Bersama Mayat Korban Tsunami Aceh
Setelah bencana gempa dan tsunami melanda Aceh, hari-hari Muhammad Kasim hingga tiga bulan kedepan sepenuhnya dihabiskan di antara ribuan mayat. Pria 68 tahun itu berangkat sejak pagi, lalu pulang pada tengah malam ke rumah. Sekitar seratus hari sejak peristiwa tsunami, Kasim menjadi penghantar korban tsunami ke tempat peristirahatan terakhir: liang kubur.
Kasim menetap di Desa Gani, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar, Aceh. Rumahnya tak begitu jauh dengan lokasi pemakaman massal korban tsunami Aceh di Desa Siron, Ingin Jaya. Kelak, di pemakaman massal itu dikuburkan sedikitnya 46.718 korban yang tercatat.
Proses penguburan korban gempa dan tsunami mulai dilakukan sejak dua hari setelah peristiwa tsunami. Kasim persisnya bertugas menjadi pengurus semua hal di lokasi penguburan di Siron. Ia dibantu dua orang operator alat berat jenis backhoe, pengeruk liang kubur.
Selama tiga bulan itu, Kasim menguburkan sekitar 1000 hingga 3000 mayat korban tsunami per hari. Ia bertugas dari pagi hingga malam hari. Prosesi penguburan dilakukan secara darurat. Tidak ada perlakuan sakral di sana.
Mayat-mayat diangkut dengan mobil dam truk, lalu ditumpahkan ke liang kubur dengan kedalaman tujuh meter dan lebar yang sama. Satu liang bisa berisi ratusan kantong mayat. Mayat ditimbun hingga kedalaman liang tersisa satu meter. Di atasnya lalu baru ditimbun dengan tanah.
Namun, proses itu tak mudah seperti terdengar. Menurut penuturan Kasim, hujan deras yang mengguyur pada penghujung Desember 2004 hingga awal 2005 kala itu sempat menghambat proses penguburan. Mayat yang telah ditimbun ke liang malah bercampur dengan air hujan yang menggenang.
"Saat kami timbun liang dengan tanah, mayat yang mengambang di genangan air di liang kubur malah turut keluar mengikuti air yang mengalir ke luar, seperti air tumpah dari gelas," kisah Kasim kepada JejakMisteri, ditemui di Kuburan Massal Siron, Rabu (4/12).
Dengan kejadian itu, Kasim sempat dibuat bingung. Ketika itu sama sekali tak memungkinkan untuk menunggu hujan reda atau air genangan mengering, sementara mayat lain terus berdatangan untuk dikuburkan. Kasim memutar otak mengatasi hal itu.
Di tengah situasi darurat dan kalang kabut itu, Kasim punya ide untuk melapisi mayat dengan beragam macam dedaunan sebelum ditimbun dengan tanah. Sehingga, meski di dalam genangan air, mayat tak mengapung karena tertahan dedaunan.
"Mayat sempat keluar karena kuburan ada air. Lalu ada ide untuk melapisi mayat dengan dedaunan, agar tidak keluar dari lubang," tutur Kasim.
Selama bertugas menguburkan korban tsunami, Kasim tak punya jadwal tetap pulang ke rumah. Paling cepat ia kembali sekitar pukul 21.00 malam.
Tetapi, tentunya Kasim juga pernah kembali pukul 03.00 dini hari. Kepulangan Kasim ditentukan kedatangan mobil dam truk pembawa mayat yang terakhir setiap harinya.
Misalnya saat dam truk yang membawa mayat mengalami bocor ban, maka Kasim terpaksa harus menunggu sampai mobil itu tiba di kuburan.
"Enggak mungkin ditunda sampai besok penguburan mayat di mobil itu, karena akan menumpuk mayat. Jadi saat kami pulang, mayat yang dibawa kesini sudah dikuburkan semua," ujarnya.
Soal tidak boleh menunda penguburan mayat yang telah diangkut dengan dam truk, memang tetap harus dipatuhi oleh Kasim meski pada momen hari besar. Dalam bulan pertama penguburan, misalnya, lebaran haji Idul Adha dirayakan pada Jumat, 21 Januari 2005. Saat momen hari besar umat Islam itu, tragedi tsunami baru saja berlalu dalam angka empat pekan.
Sementara mayat masih di mana-mana. Di tempat pemakaman, Kasim dan dua operator alat berat tak berhenti bekerja. Jumat pagi itu, ketika takbir hari raya berkumandang dari masjid di seberang jalan lokasi pemakaman massal, Kasim masih sibuk menghantarkan korban tsunami menuju tempat peristirahatan terakhir.
Lebaran yang seharusnya bersuka cita, ketika itu malah menjadi hari berkabung. "Orang lain tengah sholat Hari Raya Idul Adha, kami disini terus menimbun mayat. Pekerjaan ini tak bisa berhenti, karena mayat terus berdatangan," kata Kasim.
Hari-hari selama proses penguburan mayat dilalui Kasim dengan suasana getir. Rasa itu berlangsung selama tiga bulan. Sekitar bulan Maret 2005, penguburan di Kuburan Massal Siron disetop karena areal dua hektare lahan di sana telah digali seluruhnya.
Penyetopan penguburan itu bukan berarti mayat korban tsunami telah semuanya dimakamkan. Menurut Kasim, mayat yang masih terus diangkut relawan dibawa ke pemakaman massal lainnya, seperti di Lampeuneuruet dan Ulee Lheue.
Setelah selesai penguburan di pemakaman massal Siron, Kasim beberapa bulan tak mengunjungi lokasi makam itu hingga kemudian tanah lapang disana ditumbuhi semak belukar. Tetapi, ada satu kejadian yang membuat ia kembali kesana untuk membersihkan semak belukar dan bertahan menjadi pengelola makam itu hingga saat ini.
Lantas, apa yang membuat Kasim kembali lagi setelah berselang bulan tak kesana? Kejadian apa yang membuatnya merasa terpanggil merawat "rumah" korban tsunami itu?
***
Cerita Kasim Dipanggil Mayat Tsunami Aceh Melalui Mimpi
Bulan Maret 2005, penguburan korban gempa dan tsunami Aceh disetop di Kuburan Massal Siron, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar. Lahan pemakaman seluas dua hektare itu telah digali di semua titik. Jumlah mayat yang telah dimakamkan di sana tercatat sedikitnya 46.718 orang.
Penguburan di liang bersama itu dilakukan sejak dua hari setelah tsunami melanda Tanah Seulanga, pada Minggu pagi, 26 Desember 2004. Selama tiga bulan lamanya, puluhan ribu mayat diangkut ke sana dengan mobil dam truk.
Meskipun areal pemakaman massal Siron telah penuh, namun memasuki bulan keempat tsunami, mayat korban ada yang baru ditemukan dan diangkut relawan. Sebagiannya dimakamkan di pemakaman massal lainnya di Lampeuneuruet, Aceh Besar dan Ulee Lheue, Banda Aceh.
Setelah pemakaman di Siron disetop, Muhammad Kasim (68 tahun) yang menjadi pengubur disana sudah jarang mengunjungi lokasi itu. Pria yang menetap di Desa Gani, Ingin Jaya, ini mulai beraktivitas normal seperti biasanya.
Sebelumnya dua hari setelah tsunami hingga tiga bulan, ia menghabiskan hari-harinya menjadi penghantar mayat tsunami menuju tempat peristirahatan terakhir di makam Siron. Ia pergi pagi dan pulang terkadang sampai dinihari. Dalam sehari, ia menguburkan 1000 hingga 3000 mayat.
Setelah selesai penguburan di pemakaman massal Siron, Kasim beberapa bulan tak mengunjungi lokasi makam itu hingga kemudian tanah lapang kuburan di sana ditumbuhi semak belukar.
Tetapi, ada satu kejadian yang membuat ia kembali ke sana untuk membersihkan semak belukar dan bertahan menjadi pengelola makam itu hingga saat ini.
Kejadian itu bermula dari mimpi yang dialami Kasim pada sebuah malam di penghujung 2005. Dalam bunga tidur itu, sosok Kasim keluar dari rumahnya di Desa Gani menuju ke arah Lambaro. Perjalanan itu menjadi berbeda ketika di tengah perlintasan yang dilalui, Kasim melihat ribuan orang berbaris menyerupai sedang apel.
Semua orang yang berada dalam barisan itu mengangkat tangan tinggi-tinggi. Kasim melihat mereka sama sekali tak bergerak.
Kondisi fisik mereka sangat memprihatinkan, karena banyak luka-luka di sekujur tubuh. Hal ini hampir menyerupai mayat-mayat tsunami yang belakangan hari dikebumikan Kasim.
"Setelah sadar dari mimpi, saya pun berpikir, di mana lokasi orang-orang tersebut berdiri. Ketika teringat lokasi di tepi jalan dari rumah ke Lambaro, saya langsung teringat pemakaman massal," kisah Kasim, ketika ditemui JejakMisteri di Pemakaman Massal Siron, Rabu (4/12).
Setelah mimpi malam itu, paginya Kasim langsung mengunjungi lokasi pemakaman massal. Melalui mimpi, dia merasa dipanggil kembali oleh korban tsunami yang dihantarkannya ke tempat peristirahatan terakhir. "Menurut saya, mimpi tersebut menandakan orang-orang itu masih menghargai saya," tuturnya.
Setiba di lokasi makam, Kasim melihat tanah kuburan yang lapang itu telah ditumbuhi semak belukar. Menurut Kasim, setelah proses penguburan tiga bulan, pemakaman massal Siron memang tanpa pengurus. Kemudian hari itu juga Kasim meletakkan sebuah celengan di pinggir jalan Blang Bintang ke Lambaro.
Uang terkumpul di celengan digunakan Kasim membiayai sejumlah pekerja untuk membersihkan makam. Cara demikian dilakukan Kasim hingga berbulan-bulan untuk biaya perawatan pemakaman massal Siron. Nasib baik kemudian datang ketika masa rehabilitasi dan rekonstruksi dampak tsunami Aceh.
Menurut Kasim, sekitar tahun 2007, lokasi pemakaman massal Siron mulai ditangani Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia. Lahan dua hektare itu mulai dipagar, termasuk pembebasan lahan warga yang turut termasuk dalam kompleks pemakaman.
Kementerian yang bergerak di bidang energi, dan sumber daya mineral itu bukan hanya menangani lokasi makam, melainkan juga pengelola makam yaitu sosok Kasim. Ia secara resmi diangkat pengurus makam dan mendapat honor setiap bulannya. "Sehingga saya bertahan sampai saat ini," ujarnya.
Sekarang Kasim menjadi juru kunci makam tersebut. Ketika ada tamu yang berkunjung kesana, orang pertama yang dicari adalah sosok Kasim. Apalagi menyangkut penjelasan cerita di balik keberadaan pemakaman massal. Dengan demikian, Kasim sering bertemu dengan tokoh-tokoh besar yang berkunjung kesana.
Selain mengurus makam, Kasim juga menernakkan sejumlah lembu yang dipeliharanya di bagian belakang kompleks makam. Soal rumput, di atas tanah lapang kuburan tersedia banyak.
"Kalau misalnya dulu orang tahu bakal begini saat ini, mungkin saat itu banyak orang yang mau menjadi pengubur korban tsunami. Sekarang saya seperti tinggal di kebun orang kaya," ujarnya sembari tersenyum.
Saat ini, pemakaman massal Siron saban hari diziarahi keluarga korban tsunami dan menjadi salah satu objek wisata tsunami Aceh. Menurut Kasim, dulunya tanah kuburan itu merupakan aliran sebuah sungai. Lantas, bagaimana riwayatnya sebuah sungai hingga menjadi pemakaman massal tsunami?
***
Bekas Krueng Aceh yang Menjadi Kuburan Korban Tsunami
Tanah lapang itu tampak hijau dengan rerumputan. Berbentuk persegi panjang, areal seluas dua hektare tersebut sekilas menyerupai lapangan sepakbola.
Pohon-pohon yang rindang tumbuh menjulang di sekelilingnya. Beton setinggi sekitar 30 sentimeter membatasi tanah datar hijau itu dengan jalan kecil berlapis paving block.
Di bawah tanah datar hijau itu dimakamkan secara massal sedikitnya tercatat 46.718 korban tsunami Aceh. Proses penguburan berlangsung selama tiga bulan setelah bencana raya itu melanda Aceh pada Minggu pagi, 26 Desember 2004.
Lantas, bagaimana riwayat tanah tersebut hingga menjadi kuburan massal? Pengubur di makam itu, Muhammad Kasim (68 tahun), mengisahkan kembali jejak sungai Krueng Aceh disana hingga menjadi pemakaman korban tsunami, kepada JejakMisteri, pada Rabu (4/12).
Kasim menetap di Desa Gani, Ingin Jaya, Aceh Besar. Rumahnya tak begitu jauh dari pemakaman massal yang berada di Desa Siron, Ingin Jaya. Menurut Kasim, di bawah tahun 1980-an, sebagian kawasan Banda Aceh dan Aceh Besar sering dilanda banjir setiap musim penghujan.
Banjir terjadi akibat luapan sungai Krueng Aceh yang berhulu di Pegunungan Ulu Masen, perbatasan Kabupaten Aceh Besar, Pidie, dan Aceh Jaya. Krueng Aceh meliuk-liuk sepanjang 145 kilometer hingga berakhir di laut Kota Banda Aceh.
"Dulu setiap turun hujan dan debit air sungai meningkat, rumah-rumah di pesisir Krueng Aceh selalu banjir," kata Kasim.
Seingat Kasim, banjir sering terjadi terutama di titik sungai yang sekarang menjadi pemakaman massal. Hal itu diperparah karena sungai di titik itu terdapat kelokan dari kawasan Lubok. Erosi tebing sungai pun kerap terjadi.
Mengatasi hal tersebut, penghujung tahun 1970-an hingga awal 1980-an, pemerintah menata ulang Krueng Aceh, termasuk menambah kanal banjir. Dampaknya, sejumlah kelokan dari kawasan Lubok diluruskan hingga ke muara Alue Naga, Aceh Besar.
Akibat proyek penataan itu, sungai yang berkelok di kawasan Siron kemudian ditimbun dengan tanah yang dikeruk dari sungai baru. "Sungai ini ditutup karena sering banjir, dengan dibuat sungai baru yang lebih lurus. Sungai yang ditimbun ini kemudian menjadi tanah milik negara," kata Kasim.
Dua hari setelah tsunami menerjang Aceh, ribuan mayat yang menumpuk di Kantor Palang Merah Indonesia (PMI) Lambaro, dimakamkan di tanah tersebut. Jaraknya sekitar seratus meter. Sekarang bekas Krueng Aceh tersebut menjadi tempat peristirahatan terakhir korban tsunami.
Sekarang pengelolaan Pemakaman Massal Siron berada di bawah Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM). Dan Kasim menjadi pengurus sekaligus saksi kunci keberadaan makam itu. Ia mempekerjakan sejumlah orang untuk menjaga kebersihan areal makam.
Di kompleks itu terdapat sebuah kantor sekretariat dan sebuah musholah. Sejumlah rangkang diletakkan di bagian tengah kompleks, sebagai tempat istirahat peziarah. Disana juga disediakan kitab Yasin. Sejumlah celengan diletakkan di sejumlah sudut kompleks.
Setiap hari, kompleks tersebut tidak pernah sepi. Berada persis di pinggir jalan perlintasan dari Bandar Udara Sultan Iskandar Muda menuju Kota Banda Aceh, makam itu sering disinggahi wisatawan yang berkunjung ke Aceh. Terutama turis dari Malaysia.
Menjelang peringatan tsunami, keluarga korban tsunami pun satu persatu mengunjungi makam. Puncaknya, peziarah paling ramai pada 26 Desember setiap tahunnya. Doa-doa dan tangis pecah disana.
Misalnya, Wijasmin Wiseno. Pria 64 tahun itu datang dari Deli Serdang, Provinsi Sumatra Utara. Setiap tahun dia menziarahi pemakaman massal Siron karena meyakini adiknya yang menjadi korban tsunami dimakamkan disana.
"Adik saya Kliwon Niarto hilang bersama istrinya, anak, dan keponakan satu orang. Saya selalu kesini, karena yakin mereka disini," kata Wiseno, kepada JejakMisteri, Jumat (29/11).
SEKIAN