JARAN GOYANG
**Pertemuan**
JEJAKMISTERI - Ahmad mematut diri di depan cermin. Merapikan kemeja putihnya. Rambutnya disisir klimis. Ia semprotkan minyak wangi ke seluruh badannya. Senyumnya mengembang. Ia jilat jari telunjuknya lalu dioleskan pada kedua alis yang tebal. Malam ini adalah malam yang sangat istimewa bagi Ahmad karena ia akan menyatakan cinta pada Mila. Tiga tahun sudah ia memendam rasa pada Mila. Tiga tahun sudah ia membayangkan bisa hidup bahagia bersama Mila. Dan, tiga tahun sudah Mila selalu menolak kalau diajak jalan berdua. Tapi, entah setan apa yang merasuki Mila, malam ini wanita itu mau diajak makan malam bersama Ahmad.
Kantor kurir adalah awal pertemuan Ahmad dengan Mila. Saat itu Ahmad bekerja sebagai staff counter, sedangkan Mila jauh lebih tinggi jabatannya dari Ahmad. Mila bekerja sebagai operation manager yang kebetulan menjadi atasan Ahmad. Sikap Mila yang selalu baik pada siapa pun membuat Ahmad jatuh cinta setengah mati padanya. Awal pertama Ahmad berhasil mendekati Mila sangat konyol, ia sengaja mengempeskan ban mobil Mila agar Ahmad bisa memberikan tumpangan padanya. Padahal ya, Si Ahmad ini sebagai staff biasa hanya membawa motor bebek yang kalau digas suara mesinnya seperti kakek yang batuk-batuk. Maklumlah, motor tua.
Siasat Ahmad tidak berhasil begitu saja. Saat pertama ban mobil Mila ia kempeskan, Mila menolak tumpangan dari Ahmad. Ia lebih memilih naik ojek online. Tapi perjuangan tidak berakhir di situ, besoknya, dan besoknya lagi, sampai seminggu berturut-turut, Ahmad rajin kempeskan ban mobil Mila. Sampai akhirnya Mila mau naik tumpangan Ahmad.
"Mbak Mila," Ahmad membuka obrolan sambil fokus mengendarai motornya.
"Iya, Mad," Mila sibuk dengan smartphone-nya.
"Boleh nggak aku panggil Mila saja."
Mila mengerutkan keningnya lalu kembali ke layar smartphone.
"Boleh-boleh," jawab Mila singkat.
"Boleh juga nggak, aku follow sosial media kamu?"
Mila mematikan layar smartphone dan memandangi Ahmad dari belakang, keningnya berkerut. Dalam hatinya ia bergumam 'ini orang kenapa sih'
"Boleh, tapi fokus aja dulu bawa motornya. Nanti kalau nabrak, kita nggak bisa saling follow di sosial media loh."
Semakin berbunga-bunga saja hati Ahmad.
"Siap Mila."
Tapi tiba-tiba, ia malah memberhentikan lajut motor tuanya. Mengeluarkan smartphone yang layarnya sudah retak seperti habis dibawa perang dunia dua. Mila heran kenapa Ahmad berhenti, ia mulai curiga kalau Ahmad akan merampoknya. Wah, atau jangan-jangan dia akan jadi korban pelecehan seksual.
"Kenapa berhenti?"
"Sebenter, Mil," Ahmad membuka sosial media miliknya.
"Sudah aku follow, ya."
"Ya ampun Mad-Mad. Kan bisa nanti kali," sergah Mila kesal.
"Untuk urusan rasa nggak bisa dinanti-nanti, Mil."
Mila semakin heran dengan kelakuan Si Ahmad. Kini ia bergumam lagi dalam hatinya 'Kampret benget nih orang, hadeuh kalau tahu begini mendingan gua jalan kaki'
"Iya-iya udah aku follow ya," Mila menyodorkan smartphone-nya. Jelas smartphone mewah yang harganya di atas sepuluh juta.
Dari situlah, awal kedekatan Ahmad dan Mila. Sebenarnya Mila tidak mendekat, tapi Ahmad yang ngotot mengejar-ngejar Mila. Sekali dua kali, Mila balas chat dari Ahmad, tapi semakin lama chat Ahmad hanya centang biru. Bahkan, pernah hanya centang satu, tahunya dia diblokir Mila. Ya wajar saja dia diblokir, pendekatan Ahmad benar-benar seperti serangan Nazi kepada tentara Prancis tanpa ampun. Jam dua pagi, di mana orang-orang sedang enak tidur, Si Ahmad malah video call Mila.
**Pengakuan Mila**
Soal bunga, Ahmad nomor satu. Meja kerja Mila sudah macam toko bunga saja. Setiap hari Ahmad membeli bunga untuk Mila. Tindakan Ahmad tidak dapat dilarang oleh siapa pun termasuk yang punya mejanya. Mila sudah berkali-kali melarang lelaki itu agar berhenti membelikannya bunga, tapi Si Ahmad ini memang bebal. Cinta sudah membutakannya, ia ingin menjadi lelaki yang romantis. Namun, yang ada malah Mila tambah jijik padanya.
Bukan hanya di kantor saja, Mila juga diteror di rumahnya. Sudah tidak terhitung berapa jumlah boneka dan bunga yang ia buang setiap harinya. Bahkan, kalau malam minggu Si Ahmad ini sengaja apel ke rumah Mila. Tidak tahu malu, tapi memang jatuh cinta bisa memusnahkan rasa malu. Setiap hari, Ahmad mengajak Mila jalan bareng dan selalu ditolak.
Makanya, malam ini adalah malam yang paling bahagia buat Ahmad karena akhirnya Mila mau diajak jalan bareng. Selesai mematut diri, ia mengunci pintu kamar kosnya. Kemudian menyalakan mesin motor butut miliknya, seketika asap kental keluar dari knalpot motornya. Seperti seorang kakek yang terbatuk-batuk, motor itu berjalan perlahan meninggalkan asap yang memenuhi jalanan.
Di restoran, Mila sudah lebih dulu datang. Ia duduk sambil memainkan smartphone ditemani segelas jus mangga. Mila memang sosok wanita yang cantik dan sedap dipandang. Tubuhnya langsing, rambutnya tergerai indah sebahu, wajahnya oval, matanya sipit, ada lesung pipi di sebelah kanan, kulitnya putih, dan tubuhnya selalu harum parfum mahal. Selang beberapa saat, Ahmad datang sambil melambaikan tangan.
"Mila," dari pintu masuk restoran, ia memanggil nama Mila dengan sangat keras sehingga membuat para pengunjung melirik kepadanya.
Mila menggelengkan kepala, semakin kesal saja dia.
"Maap aku telat. Kamu udah nunggu lama?"
"Lumayan," jawab Mila singkat dan ketus.
Seorang pelayan mendekati mereka sambil membawa buku menu.
"Ada yang dapat saya bantu, Pak," tanya pelayan itu.
Ahmad meraih buku Menu dan langsung memesan sebuah steak dan jus lemon.
"Kamu mau pesan apa, Mil?"
"Enggak, kamu aja Mad, aku udah."
Setelah pelayan itu pergi, Mila mulai membuka obrolan.
"Jadi gini Mad, aku mau nikah jadi please jangan gangguin aku lagi, ya."
Ibarat kota Berlin yang dibom habis-habisan oleh tentara Uni Soviet, hati Ahmad hancur berantakan. Ahmad terdiam, tidak bisa menjawab apa-apa. Kedua matanya terbuka tapi tatapannya mati. Dadanya sesak seperti baru saja ada duri yang ditelannya.
"Please banget ya, Mad. Aku hargai perjuangan kamu selama ini. Tapi, kali ini aku minta kamu berhenti. Masih banyak wanita yang lebih baik dari aku. Dan, aku yakin kamu orang baik akan mendapatkan wanita baik juga."
"Aku cinta kamu, Mil."
"Aku tahu. Tapi, aku nggak bisa. Jadi, mulai detik ini jangan pernah ganggu aku lagi!"
Mila pamit begitu saja dari hadapan Ahmad yang tertunduk lesu. Sebuah steak dihidangkan di atas meja. Ahmad tidak memakannya, selang beberapa menit setelah Mila pergi. Ahmad bangun dan berjalan ke kasir. Makanannya masih utuh.
"Berapa, Mbak."
"Semuanya jadi tujuh ratus ribu rupiah."
Ahmad tertunduk lagi. Uangnya tidak cukup.
"Aku ada uang tiga ratus ribu. Boleh nggak aku ninggalin KTP dulu nanti besok aku bayar."
Kasir itu memanggil atasannya dan menjelaskan permasalahan Ahmad.
"Iya, Pak. Tinggalin aja KTP-nya," kata seorang lelaki sambil tersenyum ramah.
Di jalan pulang, Ahmad melamun. Ia masih tidak menyangka kalau Mila akan secepat itu menikah. Ia bahkan tidak pernah tahu kalau Mila punya pacar. Motor bututnya melaju dengan kecepatan normal, tapi tiba-tiba saja seekor kucing hitam melintas di hadapannya. Sontak saja, Ahmad terkejut dan membanting motornya ke arah kanan lalu tercebur ke dalam sungai yang hitam, bau, dan kotor. Dengan panik, Ahmad berenang ke tepian. Kemudian duduk di pinggir sungai yang bau itu, ia mendongak ke langit sambil menangis. Nasibnya, sudah jatuh ketimpa tangga.
**Patah Hati**
Ahmad kehilangan pekerjaannya. Ia dipecat lantaran tidak masuk kerja selama seminggu berturut-turut tanpa kabar. Ia mengurung diri di dalam kamar kosnya. Badannya semakin kurus, garis tulang rusuknya terlihat jelas. Setiap malam, ia begadang dan menangis sendiri di kamar mandi. Kamarnya berantakan, foto-foto Mila masih menempel pada dinding kamarnya. Seprai kasur bergambarkan wajah Mila sudah tidak ia cuci selama seminggu sehingga menimbulkan bau apek yang menjijikan. Sarung bantal yang juga bergambar wajah Mila sudah penuh dengan garis-garis bekas ilernya. Kamarnya pengap, bau, dan remang.
Bukan satu atau dua kali, Ahmad mencoba untuk bunuh diri, tapi nyalinya belum sanggup melakukan itu. Selalu gagal dan selalu takut. Ia teringat hal-hal indah selama berjuang mendekati Mila. Ia juga teringat wajah cantiknya Mila. Kemudian, ia menangis lagi. Ahmad duduk di tepi tempat tidurnya, ia hanya mengenakan celana kolor. Badannya tidak terurus, kukunya hitam, rambutnya acak-acakan, bau keringat, entah sudah berapa hari dia tidak mandi.
Tiba-tiba handphone-nya berbunyi, sebuah telepon dari Tatang, sahabatnya.
"Boi! Masih galau, lu?"
"Iya, Tang."
"Yaelah, udah sih cari yang lain masih banyak, Mad."
"Nggak tahu nih. Perasaan gua ke dia dalem banget."
"Lu mendingan pulang dulu. Kita cari solusinya," saran Tatang.
"Gua mau mati aja, Tang."
"Kalau lu mati. Terus elu gentayangan di rumah si Mila. Tiap hari lu bakal liat kemesraan Mila sama suaminya. Terus galau lagi, lu mau jadi setan galau? Udah jadi setan mana bisa bunuh diri lagi coba. Pasti lu bakal kesiksa, Bro."
"Iya juga sih," timpal Ahmad dengan lesu.
"Mendingan lu balik dulu aja. Udah lama juga lu nggak pulang kampung."
"Iya deh, besok gua balik. Lagian, gua udah nggak punya kerjaan lagi di Jakarta."
"Lu resign?"
"Dipecat, Tang."
"Kenapa?"
"Gua bolos seminggu."
"Yaelah bego banget sih lu. Pasti gara-gara galau lu ini nih."
"Iya."
***
Besoknya, Ahmad berkemas. Mungkin saja ia tidak akan pernah datang lagi ke Jakarta. Ahmad harus menempuh perjalanan lima jam menuju kampung halamannya. Secara tidak sengaja di dalam bus, ia bersebelahan dengan seorang lelaki paruh baya yang mengenakan jaket hitam. Ia berdeham lalu berbasa-basi kepada Ahmad.
"Kamu kelihatannya sedang sedih sekali, Nak."
Tiba-tiba lelaki itu membuka obrolan.
Ahmad menoleh sesaat. Ia tidak menjawab, hanya tersenyum tipis.
"Biasanya kalau anak muda sepertimu sedih kayak gini. Ya, pasti urusan cinta."
Ahmad tetap terdiam.
"Memang Mila itu wanita yang cantik," lanjut lelaki paruh baya di sampingnya.
Ahmad seketika terkejut bukan kepalang. Dari mana lelaki itu tahu tentang Mila?
"Bapak tahu Mila dari mana?"
Bus yang mereka tumpangi melintasi jalan rusak, sehingga bergoyang-goyang. Ahmad berpegangan ke kursi di depannya sambil terus menatap lelaki misterius di sampingnya.
"Begini, Abah punya pelet jitu dan kalau kamu mau silakan datang saja ke kampung Situ Gede. Abah tinggal di sana."
Ahmad mengerutkan keningnya.
"Panggil saja aku Abah Quir."
Abah Quir memberhentikan laju bus. Ia sudah tiba di tujuannya.
"Aku turun di sini."
"Abah belum jawab. Dari mana Abah tahu tentang Mila?"
"Bukan hanya sekadar tahu, tapi aku bisa membuatnya jatuh cinta kepadamu, Ahmad."
Belum terjawab satu pertanyaan. Kini Ahmad semakin dibuat kebingungan. Dari mana Abah Quir tahu kalau namanya adalah Ahmad?
**Abah Quir**
"Jadi gitu, Tang."
Ahmad menceritakan pertemuannya dengan Abah Quir.
"Sakti sekali Abah Quir itu," Tatang berdecak kagum.
"Apa gua datangin dia saja, ya?"
"Coba saja, siapa tahu ada solusinya," Tatang mencomot pisang goreng dan memakannya.
Pagi ini, Ahmad berkunjung ke rumah Tatang. Mereka duduk di atas bangku rotan di beranda rumah Tatang.
"Anter gua, ya."
"Kapan?"
"Besok."
"Kalau Abah Quir ngasih lu ilmu pelet, emang lu mau?" Tanya Tatang.
Ahmad bergeming, "Apa boleh buat. Gua masih cinta sama Mila."
Ahmad meraih segelas air dan meminumnya, "Pokoknya Mila harus jadi milik gua."
***
Keesokan harinya, berangkatlah mereka berdua ke kampung Situ Gede menggunakan mobil milik Tatang. Di perjalanan mereka sempat nyasar, lantaran sulit menemukan lokasi kampung Situ Gede. Beberapa kali mereka menanyakan keberadaan kampung itu kepada orang-orang di pinggir jalan. Setiap orang yang ditanyai, mereka hanya dikasih tahu agar tetap jalan lurus saja ke arah barat.
Tidak terasa, malam pun jatuh. Mereka berdua akhirnya tiba di kampung Situ Gede. Kampungnya sepi, tidak ada lalu lalang orang di jalan. Lampu-lampu rumah warga menyala, tapi tidak satu orang pun yang bisa Ahmad temui di beranda rumah mereka. Mobil yang mereka kendarai melintasi jalan berlubang, cahaya lampu mobilnya berayun-ayun. Senyum Ahmad mengembang saat melihat seorang lelaki melintas di hadapan mobil. Segera Tatang menginjak rem.
"Pak, maap mau tanya. Rumahnya Abah Quir di mana, ya?"
"Oh, Abah Quir. Itu di sana," kata lelaki kurus itu. Ia mengenakan kaos putih dengan sarung yang diselempangkan.
"Oke, terima kasih banyak, Pak," kata Ahmad.
Mereka melihat sebuah rumah panggung yang disinari lampu lima watt. Seekor anjing yang sedang tertidur pulas di kolong rumah terbengun mendengar kedatangan mereka. Seketika anjing itu menggong-gong lantaran bertemu dengan orang asing. Ahmad dan Tatang ke luar dari mobil mereka kemudian berjalan kaki menuju rumah Abah Quir.
"Permisi, Bah," Ahmad mengetuk pintu.
Tanpa diduga-duga yang membukakan pintu adalah seorang wanita muda yang mengenakan baju kebaya, rambutnya dikonde, tubuhnya gemulai. Wajahnya cantik oriental seperti wajah wanita Korea.
"Mohon maaf, malam-malam mengganggu. Kami mau tanya, apakah ini rumahnya Abah ...," Tatang berpikir, mengingat-ingat nama orang sakti itu.
"Quir, Mbak. Abah Quir,"potong Ahmad.
"Oh, Abah. Sebentar, ya," kata wanita cantik itu.
Ia kemudian masuk ke dalam sebuah kamar. Kamar itu tidak ada daun pintunya hanya ditutupi sebuah kain putih. Sesaat kemudian, Abah Quir muncul dari dalam kamar. Ia melayangkan senyum pada Ahmad dan Tatang.
"Oalah, kamu yang di bus, ya?" Abah Quir menyuruh mereka untuk masuk.
Penampilan Abah Quir sangat sederhana. Ia mengenakan kaos partai yang sudah lusuh dan kain sarung yang ujungnya melinting saking usangnya. Ruang tamu Abah Quir kosong melompong, tidak ada perabotan apa pun, Ahmad hanya melihat sebuah golok yang berukuran sekitar satu meter dibungkus dengan kain putih terpajang pada dinding bilik. Abah Quir menggelar tikar pandan. Kemudian, menyuguhkan seteko air putih.
"Jadi, maksud kedatangan saya ke sini...," Ahmad langsung ke topik pembicaraan.
"Abah tahu," lagi-lagi Abah Quir memotongnya.
Ahmad kembali terkejut.
"Teman kamu bisa tunggu di luar dulu saja," pinta Abah Quir.
Tatang kemudian bangkit dan berjalan ke luar. Sebelum beranjak, ia sempat berbisik kepada Ahmad.
"Semangat bro," bisiknya.
Abah Quir lalu membuka tirai pintunya, Ahmad melihat isi kamar Abah Quir, hanya ada sebuah meja kecil dengan tumpukan kembang tujuh warna di atasnya. Abah Quir duduk sila, ia bergumam membaca mantra-mantra pemanggil jin. Sesaat kemudian, ia ke luar dari kamarnya, menyerahkan secarik kertas dan sebotol kecil air putih.
"Ini ajian Jaran Goyang. Kau harus bertapa di air terjun Panggelangan selama empat hari tanpa makan dan minum. Selama bertapa, akan banyak jin yang mengganggumu kalau kau berhasil maka Mila akan jatuh cinta padamu, tapi kalau kau gagal, kau akan jadi orang gila selamanya."
Ahmad tertunduk. Antara mau dan tidak mau. Namun, cinta sudah membutakannya.
"Nanti kalau bertapamu berhasil, akan ada jin yang memberi tahu harus diapakan sebotol air ini."
"Baik Bah, saya terima ajian ini."
"Selama bertapa, bacalah mantra Jaran Goyang ini," Abah Quir menunjuk secari kertas. Terbata-bata Ahmad membacanya.
Akhirnya, Ahmad menerima ajian Jaran Goyang itu. Setelah ia setuju, Ahmad langsung pamit.
"Gua dikasih pelet Jaran Goyang," kata Ahmad di dalam mobil.
"Wih, mantap!" Timpal Tatang.
"Oya lu liat nggak sih cewek cantik di rumah Abah Quir yang ngebukain kita pintu?"
Ahmad mengerutkan dahinya.
"Iya, anjir. Ke mana cewek itu ya. Tadi pas tirai pintunya dibuka, gua nggak liat siapa-siapa di kamar Abah Quir padahal jelas-jelas kita lihat cewek itu masuk ke dalam kamar."
"Serius lu, Mad."
"Iya."
"Anjir merinding gua," Tatang mengusap pundaknya.
**Bertapa**
Air terjun Panggelangan adalah sebuah tempat yang dianjurkan Abah Quir untuk Ahmad bertapa ilmu Jaran Goyang. Lokasi air terjuan Panggelangan sangat jauh terisolasi dari jangkauan manusia. Sebenarnya dari segi wilayah, air terjun Panggelangan masih bagian dari kampung Situ Gede, namun karena jaraknya yang jauh membuat warga kampung tidak mau mengunjungi air terjun itu. Terlebih, banyak mitos yang beredar kalau air terjun Panggelangan sangat angker. Di sana ada kerajaan jin, buaya putih, harimau besar, dan ular berkepala manusia.
Setelah mendapat informasi dari warga kampung Situ Gede, Ahmad minta diantar Tatang menuju air terjun Panggelangan. Tapi, Tatang hanya sanggup mengantarnya sampai sungai Ciliman saja karena jaraknya yang sangat jauh. Sudah beberapa kali Tatang membujuk temannya agar membatalkan niatnya untuk bertapa di air terjun karena hal itu sangat berbahaya. Namun, Ahmad tetap bersikeras untuk bertapa demi Mila.
"Gua cuma bisa nganterin elu sampai sini, Mad," Tatang menyentuh pundak Ahmad.
"Nggak apa-apa Tang, thanks banget udah mau nemenin gua."
"Lu udah bawa sepuluh power bank, kan?" Tanya Tatang.
"Udah, Tang."
"Ingat ya, kalau ada apa-apa lu langsung telepon gua. Nanti gua bawa orang buat bantu lu."
"Sip, Tang."
Mereka berpisah. Ahmad menggendong tas ransel yang berisi jas hujan, pisau, power bank, beberapa pasang pakaian, dan senter. Ahmad menyusuri sungai Ciliman yang airnya jernih. Sejauh mata memandang di sekelilingnya hanya ada hamparan sawah dan saung-saung milik petani. Sepatu yang ia gunakan penuh oleh bercak lumpur karena medan yang ia tempuh becek. Kata warga, Ahmad harus menyusuri sungai Ciliman sampai ke hulu. Dan satu lagi, kata warga kampung, kalau di perjalanan ada yang manggil atau ngikutin dari belakang jangan pernah nengok. Kalau Ahmad nengok, dia bisa mati. Sudah banyak cerita yang beredar kalau sungai Ciliman itu banyak setannya.
Hari semakin sore, kabut yang berasal dari perbukitan mulai menyelimuti jalan setapak yang Ahmad lintasi. Aliran sungai terlihat membentang sangat panjang di hadapan Ahmad. Ia berhenti, merogoh senter dari tas hitamnya. Beberapa kali, Ahmad membenturkan senter itu ke telapak tangannya karena tidak mau menyala. Setelah dibenturkan beberapa kali, akhirnya senter itu menyala. Ahmad kembali melanjutkan perjalan, langit semakin menguning, kabut semakin tebal, angin berembus tipis tapi dingin sekali.
"Ahmad!" tiba-tiba dari belakangnya, ia mendengar suara Mila memanggil namanya.
Ahmad berhenti. Ia ingat kata warga kampung Situ Gede, jangan pernah menoleh ke belakang kalau ada yang manggil. Sebab itu pasti setan.
"Ahmad mau ke mana," jelas itu suara Mila.
Ia kembali melanjutkan langkahnya. Ia berusaha sekuat hati agar tidak menoleh ke belakang. Kemudian, ia mendengar suara langkah kaki mengikutinya dari belakang, tapi Ahmad tetap berjalan tanpa menoleh dari belakang. Parfum Mila menguar tiba-tiba, Ahmad sangat kenal aroma parfum mahal itu. Namun, ia yakin yang mengikutinya di belakang bukanlah Mila.
"Ahmad main, yuk," ajak suara yang menyerupai Mila sambil terus mengikuti dari belakang.
Namun ia tetap tidak menoleh dan malah mempercepat langkahnya. Perjalanan masih jauh. Sangat jauh. Ahmad terus diikuti sosok yang menyerupai Mila. Dan tepat di atas kepala Ahmad, melayang sesosok kuntilanak mengikutinya. Ahmad tahu itu, tapi pandangannya tetap lurus ke depan. Ia tidak mau mati di sini!
Godaan setan tidak sampai di situ, ada hal yang lebih aneh lagi di hadapan Ahmad. Ia melihat sosok yang menyerupai dirinya sedang berdiri menghadap sungai. Sosok itu mengenakan baju yang sama persis dengan yang digunakan Ahmad. Seketika Ahmad tertunduk saat melewati sosok itu.
**Ilmuku Si Jaran Goyang**
Suara jangkrik bersahutan dengan suara katak. Ahmad mempercepat langkahnya, ia melirik jam tangan; sudah jam sebelas malam. Langkahnya tidak boleh berhenti karena sosok wanita yang menyerupai Mila terus mengikutinya dari belakang. Ia bahkan dapat mendengar dengan jelas gemercik langkah kaki menginjak tanah becek. Tidak sekali pun Ahmad menoleh ke belakang, pandangannya tetap lurus ke depan. Sudah tidak ada persawahan, sejauh mata memandang hanya hamparan rumput ilalang yang rimbun dan lebat. Tidak ada lagi jalan setapak, kedua kakinya menerjang-nerjang rumput liar. Ia terus mengikuti sungai agar sampai ke hulu.
Dari kejauhan, ia mendengar suara gemuruh air terjun. Segera Ahmad berlari kecil menghampiri air terjun itu. Ia mendongak, memperhatikan air terjun yang menjulang tinggi. Cahaya senter disorotkan pada air terjun itu. Gemuruh airnya terdengar sangat deras, baju Ahmad basah kuyup terkena cipratan air terjun. Di atas sebuah batu, Ahmad duduk sila. Mantra Jaran Goyang yang diberikan Abah Quir sudah ia hafal di luar kepala. Kedua tangannya bersedekap di perut. Kepalanya mendongak ke atas air terjun. Bibirnya melapalkan mantra Jaran Goyang sambil membayangkan wajah Mila.
Sepanjang hari, sepanjang malam, Ahmad bertapa tanpa minum dan makan di bawah air terjun itu. Ia digoda oleh setan penghuni air terjun, terkadang selama bertapa ada yang meniup kupingnya. Ada yang memanggil namanya, suara itu mirip Tatang dan terkadang ada juga yang mirip dengan Mila. Tapi, Ahmad tahan dari godaan itu, ia tetap fokus merapalkan mantra Jaran Goyang sambil membayangkan wajah pujaannya.
Hingga tepat di hari terakhir Ahmad bertapa, ia membuka matanya. Seorang wanita berparas amat cantik mengenakan pakaian adat Bali muncul dari balik air terjun.
"Pulanglah, tapamu kuterima," kata wanita itu sambil tersenyum.
"Apa yang harus aku lakukan, Nyai?"
Tubuh Ahmad semakin kurus setelah bertapa selama empat hari tanpa makan dan minum. Badannya lemas, kedua matanya sayu, suaranya serak.
"Taburkan air yang diberikan Abah Quir di belakang rumah Mila. Lalu baca mantara Jaran Goyang, tiupkan ke rumanya."
Ahmad tertunduk, ia memperlihatkan rasa hormat yang amat tinggi pada sosok gaib di hadapannya.
"Baik, terima kasih Nyai."
Kemudian, wanita itu menghilang kembali.
Pertapanya sudah selesai. Sekarang Ahmad sangat lapar dan haus. Bergegas, ia lompat dari atas batu, menceburkan diri ke dalam air. Ia minum air itu sepuasnya. Saat menyelam, ia melihat sekelompok ikan mas yang sedang berenang santai di dekat bebatuan. Dengan mudah saja Ahmad dapat menangkap ikan itu lalu memakannya mentah-mentah.
***
Malam itu, Mila duduk di tepi tempat tidurnya. Ia sedang memilih-milih gaun untuk pernikahannya yang akan digelar sebentar lagi. Buku katalog gaun pernikahan ia amati lembar demi lembar. Sesekali bibirnya yang tipis tersenyum, kagum melihat gaun yang mewah dan indah. Beberapa saat kemudian, smartphone-nya berbunyi. Ternyata dari Agus, calon suaminya.
"Iya sayang," sapa Mila.
"Gimana udah ketemu gaun yang kamu suka?"
"Belum. Aku bingung milihnya. Semuanya bagus banget."
"Kamu emang sukanya warna apa?" Tanya Agus.
Mila kembali membuka lembaran katalog gaun, "Biru sih," jawab Mila.
"Itu bagus juga, cocok sama kamu."
Saat Mila sedang membuka lembaran katalog, sontak saja punggungnya seperti ada yang menendang dari belakang. Tubuhnya terpental ke lantai, ia tidak bisa berteriak saking sesaknya. Hantaman dari punggungnya sangat terasa sampai ke dada. Ia tidak tahu apa yang terjadi kepadanya. Ingin ia berteriak meminta tolong, tapi lidahnya kelu. Tidak sepatah katamu dapat ia ucapkan.
Sementara itu, di belakang rumah Mila, Ahmad sudah menaburkan air pemberian Abag Quir. Bibirnya bergetar melafalkan mantra Jaran Goyang.
'Turu ing meneng. Ayo turu lan aja siyaga nganti sampeyan tresna karo aku. Iblis nderek sampeyan lan njaga atimu kanggo aku. Iki ilmuku si Jaran Goyang'
Ahmad meniupkannya ke arah rumah Mila. Seketika Mila berteriak kesakitan, matanya melotot ke atas, kedua tangannya memegangi leher seolah sedang tercekik sesuatu. Kakinya bergerak-gerak tidak karuan. Suara Agus di handphone terdengar panik memanggil-manggil Mila. Saat kedua orang tuanya menghampiri Mila dengan panik, wanita cantik itu sudah pingsan. Tubuhnya lunglai seperti habis disiksa.
**Pernikahan Mila**
Semenjak kejadian aneh beberapa hari lalu, sikap Mila berubah. Ia menjadi sangat pendiam, sering melamun sendiri, dan jarang mau makan. Kedua orang tuanya sudah membawa Mila ke dokter, tapi setelah diperiksa, Mila dalam keadaan baik-baik saja. Dokter hanya memberinya vitamin penambah nafsu makan. Kepada ibunya, Mila bercerita kalau ia pernah bermimpi didatangi perempuan cantik berpakaian adat Bali. Mila dibawa oleh perempuan itu ke sebuah air terjun yang sangat tinggi. Kamudian, disuguhkan berbagai macam makanan enak. Wanita itu sangat ramah dan murah senyum.
Bukan hanya sekali mimpi itu datang dalam tidur Mila, sudah tiga kali Mila bermimpi hal yang sama. Setiap menjelang Magrib, tubuh Mila mendadak panas dingin. Wajahnya pucat, keringat bercucuran dari tubuhnya. Setiap tidur, ia juga sering mengigau. Pernah suatu ketika ibunya mendengar Mila mengigau dengan memanggil-manggil nama Ahmad. Bila sudah seperti itu, Satirah, ibunya Mila, pasti membangunkan anaknya.
Sekitar jam dua pagi, Satirah terbangun karena mendengar suara Mila sedang bernyanyi. Ia membangunkan suaminya, sayangnya lelaki itu susah sekali dibangunkan. Beranjaklah Satirah dari tempat tidurnya dan berjalan menuju kamar Mila. Pintu kamar Mila tidak dikunci bahkan terbuka sedikit sehingga Satirah bisa mengintip dari celah pintu. Satirah melihat Mila sedang duduk menghadap ke jendela, juga ada seorang wanita berpakaian adat Bali sedang menyisiri rambut Mila.
Satirah terkejut melihatnya. Ia menutup mulut dengan telapak tangan. Kemudian berlari kembali ke kamarnya untuk membangunkan suami.
"Pah. Pah bangun, Pah," ia mengguncangkan tubuh suaminya.
Masih dalam keadaan mengantuk Parman, suami Satirah, bangun sambil memincingkan mata, "Ada apa sih, Mah."
"Ada orang asing di kamar Mila."
"Hah, jangan-jangan maling?" Parman terkejut mendengar perkataan istrinya.
"Nggak tahu, Pah. Tapi ini perempuan pake kebaya gitu lagi nyisirin rambut anak kita."
Perlahan mereka berdua menuju kamar Mila. Tapi, saat mereka cek pintu kamar Mila terkunci. Tidak ada lagi suara Mila bernyanyi. Karena penasaran, Parman mengetuk pintu kamar anaknya.
"Mila, Nak?" Panggil Parman.
"Iya, Pah," jawabnya dari dalam kamar. Suaranya parau terdengar seperti masih mengantuk.
Pintu kamar dibuka perlahan. Muncullah Mila dengan wajah kantuk dan rambut acak-acakan seperti baru bangun tidur. Parman dan Satirah masuk ke dalam kamar, memeriksa seluruh ruangan termasuk kolong ranjang dan lemari pakaian. Tapi, tidak ada siapa-siapa di dalam kamar Mila.
"Tadi mamahmu ngelihat ada perempuan asing di kamarmu," jelas Parman.
"Iya, Nak. Tadi ada perempuan lagi nyisirin rambut kamu."
"Nggak ada kok, Mah. Mila dari tadi tidur."
"Kamu salah lihat kali, Mah. Ya sudah, tidur lagi aja, Nak," kata Parman.
Satirah bingung padahal ia melihat sendiri dengan jelas kalau ada perempuan di dalam kamar Mila.
***
Beberapa hari kemudian, pernikahan Mila digelar. Sebuah hotel mewah di kawasan Jakarta Selatan menjadi tempat resepsi pernikahan Mila. Dekorasi ballroom sangat indah dan megah bernuansa adat jawa. Tamu berpakaian batik memadati ruangan, tidak sabar ingin menyaksikan ijab kabul dari mempelai pria. Wedding Orchestra sudah siap menyanyikan lagu-lagu romantis pernikahan. Cahaya lampu gemerlap menghiasi ruangan, juga bunga warna-warni ditata rapi menghiasi panggung pengantin. Pernikahan yang sangat mewah dan megah itu menghabiskan biaya ratusan juta. Maklum, Agus adalah seorang pengusaha sukses, jadi dia ingin pesta pernikahannya dihelat semegah mungkin.
Musik orchestra dimainkan, suara seksofon melengking-lengking terdengar syahdu. Seorang vokalis wanita menyanyikan lagu Celine Dion, Because You Loved Me.
Datanglah Mila mengenakan gaun pengantin berwarna putih berjalan anggun sambil tersenyum. Didampingi ayah dan ibunya. Sedangkan di belakangnya, para wanita cantik berpakaian putih mengawal sambil membawa bunga, juga ada tiga anak kecil yang imut-imut ikut mengawal Mila dari belakang. Gaun pengantin Mila tergerai ke lantai, memanjang hingga dua meter.
Agus sudah menunggunya di meja ijab kabul. Ia terkesima melihat kecantikan Mila. Alunan musik berhenti saat Mila duduk di sebelah Agus. Seorang penghulu tersenyum ramah kepada kedua mempelai. Penghulu bertanya pada bapaknya Mila, apakah bersedia kalau ia diwakilkan untuk menikahkan Mila. Parman mengangguk.
"Sudah siap Nak Agus?"
"Iya, Pak."
Sebuah microphone didekatkan ke penghulu. Tangan agus dijabat erat, "Wahai Agus bin Darmain, aku nikahkan dan kawinkan engkau kepada Mila binti Parman dengan emas kawin tiga puluh gram emas dan seperangkat alat solat dibayar tunai."
"Saya terima nikah dan kawinnya Mila binti Parman dengan mas kawin...."
"AAAAAAAA...!!!" Tiba-tiba Mila berteriak kencang. Suasana berubah mencekam.
Kedua tangannya memegangi kepala, bola matanya putih semua. Semua orang dalam ruangan panik melihat Mila mengamuk. Gaun pengantinnya acak-acakan, make up-nya pudar. Dua orang memegangi lengan Mila tapi semuanya terpental. Entah apa yang terjadi, tiba-tiba saja tubuh Mila sangat kuat dan tidak bisa ditahan oleh siapa pun. Ia bahkan menyerang penghulu hingga pipi penghulu berdarah karena dicakar kuku Mila.
"Batalkan pernikahan ini!" Teriak Mila sambil terus mencakar wajah penghulu.
Ia meraih sebuah vas bunga dan membenturkannya tepat di kepala penghulu. Darah segar seketika mengucur dari kepalanya. Semua orang berteriak panik lalu berhambur ke luar ruangan. Bapak penghulu terkapar pingsan akibat benturan itu.
Mila mendongak lalu menunjuk ke atas. Tepat di ujung ruangan, terlihat sesosok wanita melayang di atas sambil tersenyum ke arah Mila. Wanita itu mengenakan pakaian adat Bali, semua orang ketakutan melihat penampakan sosok makhluk itu di siang bolong. Pernikahan yang tadinya khidmat kini berubah mencekam. Semua tamu kabur ketakutan, sementara penghulu terkapar berlumur darah.
**Jatuh Sakit**
Setelah mengamuk, Mila dibawa ke rumah sakit, selama tiga hari ia tidak sadarkan diri. Ketika sadar, ia bersikeras ingin pernikahannya dibatalkan. Alasannya sederhana; ia tidak lagi mencintai Agus. Walau pihak keluarga sudah membujuk Mila habis-habisan, tapi keputusan Mila sudah bulat kalau ia tidak mau pernikahannya dilanjutkan.
Semenjak kejadian mencekam di acara pernikahannya, Mila jatuh sakit. Sudah dua minggu ia dirawat. Badannya semakin kurus, ia bahkan tidak bisa bangun dari tempat tidurnya. Di minggu ketiga Mila sakit, ia mengigau dengan memanggil-manggil nama Ahmad. Saat bangun, Mila menangis ingin dijenguk oleh lelaki bernama Ahmad. Kedua orang tuanya bingung lantaran tidak tahu siapa lelaki itu. Mila minta diambilkan smartphone-nya, kemudian dia mengirim direct message pada Ahmad, mengabarkan kalau dia sedang sakit.
***
Di kampung, Ahmad sedang bersantai sambil memakan pisang goreng hangat di beranda rumahnya. Seekor burung kacer yang dipajang di depan rumahnya berkicau merdu. Sesekali Ahmad bersiul menimpali kicauan burungnya. Asiah, ibunya Ahmad, muncul dari dalam rumah sambil membawa sebotol air dingin dan menyuguhkannya pada Ahmad.
"Kalau kamu di rumah terus ibu nyaman, nak. Jadi ada yang nemenin setiap hari. Bapak kan udah nggak ada dan kamu anak ibu satu-satunya. Saran ibu sih cari kerjaan di kampung saja," Asiah duduk di samping Ahmad.
"Aku kerja apa ya Bu?"
"Bertani saja, nak. Sawah dan ladang warisan mendiang bapakmu kan banyak. Selama ini yang urus orang lain saja, barangkali kalau kamu yang urus, hasilnya akan lebih bagus," Asiah tersenyum pada anaknya.
Ahmad mengangguk. Ia meraih smartphone-nya. Iseng saja membuka sosial media, sontak kedua matanya membelalak. Hatinya sangat bahagia karena mendapat pesan dari Mila.
"Aku nggak jadi bertani, Bu."
"Kenapa."
"Aku mau kawin saja," Ahmad memeluk ibunya sambil bersorak bahagia.
"Besok aku ke Jakarta."
"Ngapain?"
"Jenguk calon istriku."
"Oalah, kamu nggak pernah cerita ke ibu kalau punya pacar."
"Doakan ya, Bu," wajah Ahmad berbinar sambil memegangi kedua tangan ibunya.
Besoknya, pagi sekali Ahmad berangkat dari rumahnya. Ia tidak sabar ingin bertemu dengan Mila. Ilmu Jaran Goyang memang sangat ampuh. Ahmad tidak menyangka kalau Mila mengirim pesan padanya. Seperti biasa, Ahmad membawa bunga yang ia petik sendiri dari kebunnya, berharap kali ini Mila mau menerima bunga itu dengan senang hati.
Sesampainya di rumah sakit, Mila sangat bahagia melihat kedatangan Ahmad. Seperti anak kecil yang baru dibelikan mainan kesayangan, bunga yang dibawa Ahmad diterima dengan baik oleh Mila. Bahkan, bunga itu tidak lepas dari pelukannya. Tatapan Mila pada Ahmad sekarang berubah menjadi tatapan kasmaran. Ahmad gugup dibuatnya. Mila tidak mau ditinggal, ia meminta Ahmad menemaninya sampai sembuh. Lebih gila lagi, tiba-tiba Mila melontarkan perkataan yang mengejutkan.
"Kalau aku udah sembuh, nikahin aku, ya."
Bapak dan ibu Mila terkejut. Parman curiga kalau anaknya kena pelet. Maka, ia meminta Ahmad untuk bicara empat mata di luar.
"Bajingan, kau apakan anakku, hah?!"
Parman menggenggam kerah baju Ahmad.
"Tidak aku apa-apakan, Pak."
"Halah mustahil! Pasti kau pelet! Kau tahu, pernikahannya batal dan tiba-tiba dia ngajak kamu nikah. Ini pasti kamu pelet!"
"Sumpah aku bahkan nggak tahu apa itu pelet, Pak. Aku hanya teman kerjanya Mila."
"Pah." Tiba-tiba istrinya memanggil.
Semua orang di ruangan itu terheran-heran melihat tingkah Mila. Ia memeluk bunga pemberian Ahmad sambil bernyanyi tidak karuan. Sesekali tertawa seperti orang gila.
**Kucing Hitam**
Mila akhirnya sembuh. Tekadnya sudah bulat, ia ingin menikah dengan Ahmad. Tidak masalah walau tidak dibuatkan pesta yang megah. Yang penting sesegera mungkin ia harus menikah dengan lelaki yang ia cintai itu. Kedua orang tuanya sudah membujuk Mila agar memikirkan matang-matang keputusannya itu lantaran Ahmad adalah seorang pengangguran, bagaimana lelaki itu menafkahi Mila.
"Biar aku yang kerja, Pah," kata Mila.
"Mana ada kayak gitu. Perempuan kerja terus suami di rumah."
"Iya Nak, mamah nggak mau di kemudian hari kamu menyesal."
"Mila nggak akan pernah menyesal nikah sama Ahmad. Mila sayang sama dia!" Nada bicara Mila meninggi.
Kemudian dengan perasaan kesal, ia ke luar dari kamarnya sambil membanting daun pintu. Air mata ibunya menetes, sedih melihat perubahan sikap anaknya yang kasar.
Seminggu kemudian, Ahmad diundang ke rumah Mila. Ia membawa serta ibunya dari kampung. Uang cash tiga puluh juta hasil menjual tanah disiapkan Ahmad untuk modal menikah. Ahmad dan ibunya terkesima melihat kemegahan rumah Mila. Lantainya terbuat dari marmer, cat tembok putih, lampu hias besar, patung-patung ala romawi terpajang di setiap sudut ruangan, anak tangga menjulur indah, menjadi tanda kalau rumah Mila itu bertingkat. Mereka kemudian duduk di atas sofa mewah.
Ibu dan bapaknya Mila memasang wajah kesal, "Anak saya ingin sekali menikah dengan anak ibu," Parman, bapaknya Mila, membuka obrolan.
"Sama Pak. Anak saya pun seperti itu."
Mila dari atas tangga tersenyum memandang ke arah Ahmad. Lelaki itu menyadarinya, ia membalas senyuman Mila. Namun, seketika Ahmad terkejut saat melihat sesosok wanita dengan wajah pucat berdiri di belakang Mila. Wanita itu adalah Nyai yang ia temui di air terjun Panggelangan saat bertapa. Ahmad seketika tertunduk.
"Kami hanya punya tiga puluh juta untuk modal menikah."
Parman menahan kekesalannya, dalam hatinya bergumam, 'uang tiga puluh juta laku sama apa. Dasar miskin.' Namun, Parman tidak tega kalau sampai mengucapkan caciannya.
"Sebenarnya uang tiga puluh juta tidak cukup, Bu kalau untuk menikah di kota," sergah ibunya Mila.
"Cukup kok," tiba-tiba Mila yang berdiri di atas tangga, memotong obrolan.
"Kita nikah di rumah aku saja. Nggak usah mengundang orang lain juga nggak jadi masalah. Asal sah saja. Asal kita bersama."
"Kau pasti pelet anakku!" Parman menunjuk Ahmad.
"Heh, Pak. Jangan sembarangan ya kalau ngomong." Asiah tidak terima anaknya dituduh macam-macam.
"Sudah Bu," Ahmad menahan ibunya yang naik pitam.
"Pokoknya aku mau menikah dengan Ahmad, titik!" sergah Mila.
Saat mereka sedang berdebat, tiba-tiba saja seekor kucing hitam muncul dari atas anak tangga. Kedua orang tua Mila heran sebab di rumah itu mereka tidak pernah memelihara kucing.
"Eh, kucingku Bleki. Sini Bleki ke ibu," Mila menggendong kucing hitam itu sambil mengelus-elus bulunya.
"Sejak kapan kamu bawa kucing ke rumah ini Mila?" Tanya Parman.
Mila tidak menjawab, ia malah menimang-nimang kucing dalam pelukkannya dengan penuh kasih sayang.
"Bleki lapar? Lapar sayang? Yuk, makan yuk," Mila beranjak ke dapur sambil menggendong kucingnya.
Kedua orang tuanya menggelengkan kepala. Mereka lelah dengan sikap Mila yang semakin hari semakin aneh.
**Gangguan Jin**
Tidak ada pesta meriah. Pernikahan Mila di gelar di dalam rumah secara tertutup. Hanya ada penghulu, kedua mempelai, orang tua mempelai, dan beberapa orang saksi. Setelah ijab kabul selesai, Mila minta pisah rumah dengan orang tuanya, ia minta kunci vila yang ada di bogor. Awalnya kedua orang tua Mila tidak setuju, tapi Mila tetap keras kepala ingin pisah rumah. Ia ingin hidup bebas bersama suaminya. Setelah memohon berkali-kali, akhirnya Parman memberikan kunci vila itu.
Tiga hari kemudian, Mila mengemas barang-barangnya, ia juga membawa serta kucing hitam kesayangannya. Sungguh aneh, tidak ada raut kesedihan di wajah Mila saat hendak berpisah dengan kedua orang tuanya yang selama ini membesarkannya. Berbeda dengan ibunya yang sedari tadi sudah menangis tersedu-sedu sebab akan melepas anak satu-satunya.
"Setiap bulan, kami pasti pulang, Mah," kata Ahmad.
Satirah mengangguk. Besar harapannya, semoga pernikahan anaknya itu bahagia. Untuk jaga-jaga, Satirah memberikan sebuah kartu ATM yang berisi dua puluh juta rupiah supaya anaknya tidak sengsara dibawa Ahmad. Mengingat Ahmad masih menganggur.
Mereka berdua diantar sopir pribadi keluarga Mila ke Bogor. Mobil yang ditumpangi Ahmad dan Mila menempuh dua jam perjalanan dari Jakarta. Di sepanjang jalan, Mila sibuk memberi makan kucing kesayangannya. Dulu sebelum terkena pelet Jaran Goyang, Mila bukan pencinta kucing, ia bahkan jijik kalau melihat kucing. Dan sekarang entah dari mana kucing hitam didapatkannya, Mila malah menjadi penggemar kucing.
Tepat samping Mila, Ahmad memandangi istrinya itu. Ia tidak mengira kalau Jaran Goyang sangat ampuh membuat Mila jatuh cinta setengah mati padanya. Dulu, ia hanya bisa berandai-andai menjadi suami Mila. Namun, sekarang mimpinya menjadi nyata. Perempuan yang sangat ia cintai sudah menjadi istri sahnya, ibarat bidadari yang diberikan Tuhan untuknya, Mila adalah segalanya bagi Ahmad.
Mereka akhirnya tiba di sebuah vila. Tampak dari depan, vila itu sangat terurus sebab Parman membayar orang untuk merawat vila tersebut. Banyak pohon pinus mengelilingi di sekitarnya, menjadikannya sejuk dan sedap dipandang. Ada dua tiang penyangga utama di bagian depan vila. Dindingnya di cat warna cream berpadu dengan warna putih yang terlihat elegan. Di depan halaman tumbuh rumput hias yang membentuk taman kecil, juga ada sebuah patung anak kecil berpakaian romawi terpajang di tengah halaman.
Ahmad membuka pintu. Seketika ia terkesima dengan apa yang dilihatnya. Perabotannya lengkap, ada sofa, lemari, televisi, tempat tidur mewah, pokoknya sangat lengkap. Ahmad merasa beruntung mengamalkan ilmu Jaran Goyang. Yang semula nasibnya buruk, sekarang ia merasa menjadi lelaki paling beruntung di dunia.
Kejadian janggal mulai muncul saat malam tiba. Sebagai pengantin baru, malam pertama adalah malam yang paling berkesan bagi Ahmad. Sebelum melangsungkan malam pertama, ia mandi terlebih dahulu agar wangi. Sedangkan Mila masih sibuk bermain dengan kucing hitamnya di dapur. Sesekali, Mila menciumi mulut kucing itu.
Selesai mandi, Ahmad beranjak ke kamar. Di sana sudah ada Mila duduk di tepi tempat tidur. Ahmad tersenyum, mengelus rambut Mila lalu mencium pipinya. Malam pertama berlangsung dengan baik. Ia tidak kecewa dengan keperkasaannya. Sekitar satu jam kemudian, Ahmad ke luar dari kamarnya untuk mandi besar, sementara Mila masih terkapar di atas tempat tidur. Saat hendak masuk ke dalam kamar mandi, ia mendengar suara Mila sedang bermain dengan seekor kucing di dapur. Segera Ahmad menghampirinya.
"Hai sayang. Kucing kita lucu, ya," kata Mila sambil tersenyum pada Ahmad.
Ahmad menjatuhkan handuknya. Kalau Mila ada di dapur lalu siapa yang bersetubuh dengannya barusan?
**Ada yang Menemani Mila**
Ahmad tidak mau memperpanjang keanehan yang ia alami kemarin sebab tidak mau membuat istrinya takut. Jadi, dia merahasiakan kejadian semalam. Kali ini, dia mencoba untuk lebih hati-hati. Selalu memastikan kalau yang sedang bersamanya adalah benar-benar Mila bukan setan.
Dari pagi, Mila sibuk memasak sayur, goreng tempe, dan semur daging sapi. Ahmad mendekati Mila lalu memeluknya dari belakang sambil mengecup pipi kanannya. Sesaat kemudian, terdengar seseorang mengetuk pintu.
"Tuh ada tamu," ujar Mila.
Bergegas Ahmad membukakan pintu. Terlihat seorang lelaki paruh baya mengenakan kaos cokelat dan celana panjang hitam berdiri di hadapannya.
"Maap, Mas. Nama saya Pak Budi. Saya yang suka jagain vila ini. Mau kasih tahu aja kalau ada kerusakan atau atap bocor. Mas bisa hubungin saya, ya," ujarnya.
"Oh, iya. Mari masuk dulu. Kebetulan istri saya sedang masak banyak. Nanti kita makan bareng."
Pak Budi dengan senang hati menerima tawaran Ahmad. Ia dipersilakan duduk di atas sofa. Segelas air putih disuguhkan.
"Nama saya Ahmad, Pak. Saya tinggal sama istri di sini. Kami baru satu malam di vila ini."
"Saya senang vila ini ada yang isi jadinya saya ada teman ngobrol nantinya."
Ahmad tertawa sambil mengangguk.
"Oya, Pak Budi tinggal di mana?"
"Pak Parman kebetulan membuatkan saya sebuah pos kecil yang bisa saya tempati. Nggak jauh dari sini sekiar dua kilo meter."
"Sayang, makanannya udah siap, nih," panggil Mila dari dapur.
"Mari Pak makan sama-sama," ajak Ahmad.
"Oh, iya."
"Kenalin, ini istri saya namanya Mila."
Saat Pak Budi melihat Mila, ia terkejut lantaran ada sosok gaib yang berdiri di belakang Mila. Sebisa mungkin Pak Budi berusaha untuk tenang. Memang Pak Budi adalah seorang yang punya kelebihan bisa melihat hal-hal gaib, dan sekarang ia melihatnya di belakang Mila. Sosok perempuan mengenakan kebaya dan berwajah pucat.
Sosok gaib yang mengikuti Mila tidak lain adalah nyai penghuni Air Terjun Panggelangan. Pak Budi tertunduk ketakutan, keringat mengalir di dahinya. Ia duduk di kursi makan dengan wajah tegang. Bagaimana tidak, sosok gaib itu malah terus memperhatikan Pak Budi.
"Ayo Pak, silakan," setelah semuanya dihidangkan, Ahmad mempersilakan Pak Budi untuk makan.
Secentong nasi dan sedikit sayur diambil Pak Budi kemudian makan dengan terburu-buru.
"Pelan-pelan saja, Pak," canda Ahmad sambil tertawa.
Pak Budi tidak sanggup berlama-lama di sana. Tidak sampai dua puluh menit, Pak Budi menyelesaikan makannya.
"Saya pamit saja, Mas."
"Loh kok buru-buru?" Tanya Mila.
"Mohon maap, saya ada urusan lagi."
"Iya, tambah lagi saja nasinya, Pak," ujar Ahmad.
"Saya sudah kenyang, Mas."
Tanpa basa-basi lagi, Pak Budi bangkit dari duduknya untuk pamit. Ahmad mengantarnya sampai pintu.
"Mas, ada hal yang mau aku omongin tentang istrimu," kata Pak Budi sesaat sebelum pergi.
"Kenapa ya Pak?"
Belum rampung Pak Budi menjelaskan apa yang ia lihat, Mila muncul dari dapur beserta sosok gaib di belakangnya yang tersenyum mengerikan.
"Nanti saja, Mas," terbirit-birit Pak Budi pergi dari hadapan Ahmad.
**Kematian Pak Budi**
"Halo, Nak! Suamimu itu loh udah dapat kerjaan belum?" Suara dari seberang telepon terdengar bernada tinggi.
"Belum, Mah. Tenang aja, uang dari Mamah masih cukup, kok. Kami nggak boros," Mila duduk santai di atas sofa sambil mengelus-elus kucing hitamnya.
"Ya nggak bisa gitu lah. Suamimu harus kerja nyari nafkah. Jangan malas-malasan gitu."
"Iya, Mah. Suamiku juga lagi berusaha kok. Tahu sendiri kerjaan di sini susah. Nggak kayak di Jakarta."
"Oya, gimana si Ahmad itu, nggak kasar kan sama kamu?"
"Nggak, Mah. Dia baik kok."
"Kalau mau cerai bilang mamah aja. Nanti mamah urus ke pengadilan."
Mila menampakkan wajah kesal, "Nggak lah, Mah. Orang aku cinta sama dia."
"Sekarang di mana suamimu itu?"
"Em... di... dia lagi cari kerjaan, Mah," Mila berbohong. Padahal Ahmad sedang berkunjung ke tempat Pak Budi.
"Ya sudah. Kalau ada apa-apa telepon mamah ya."
"Iya, Mah. Siap," telepon ditutup. Mila kembali menimang-nimangkucing hitam kesayangannya.
***
Sengaja Pak Budi meminta Ahmad untuk berkunjung ke posnya. Ukuran pos Pak Budi tidak terlalu besar, seperti kontrakan petakan. Di dalamnya ada tempat tidur, kursi, dispenser, rice cooker, dan sebuah televisi. Ahmad duduk di kursi, sedangkan Pak Budi duduk di tepi tempat tidurnya.
"Ada sosok gaib yang mengikuti istrimu, Mas."
"Saya juga ngerasanya begitu, Pak."
"Saya punya cara agar sosok gaib itu pergi dari istrimu."
"Bagaimana, Pak?"
Pak Budi mengeluarkan sebuah keris dari kolong tempat tidurnya.
"Ini keris sakti, Mas. Di dalamnya ada jin baik yang bisa ngusir jin-jin jahat."
"Cara kerjanya bagaimana, Pak?"
"Kalau Mas keluarkan keris ini dari sarungnya lalu Mas tancapkan di belakang vila, maka jin baik dalam keris ini akan menjaga keluarga Mas dari jin jahat."
Ahmad mengangguk. Dalam hatinya bergumam, Bisa jadi keris ini akan mencabut ajian Jaran Goyang dari tubuh Mila. Wah, bahaya juga. Bagi Ahmad, keris Pak Budi adalah ancaman. Jadi, dia enggan menerima keris itu.
"Saya pikir-pikir dulu ya, Pak. Soalnya saya tidak pernah mainin barang sakti jadinya takut."
Pak Budi heran dengan sikap Ahmad. Dikasih solusi malah menolak. Semenjak saat itu, Ahmad berpikir kalau Pak Budi ini adalah ancaman besar bagi kelangsungan rumah tangganya. Dia bukan orang sembarangan. Bisa dikatakan kalau Pak Budi ini adalah orang sakti. Bisa jadi saat Ahmad lengah, Pak Budi diam-diam menancapkan keris saktinya di belakang vila.
Maka pada suatu malam, Ahmad gelap hati. Dibawanya sebuah linggis untuk membunuh Pak Budi. Langkahnya tergesa karena takut ada orang melihat aksinya. Sesampainya di pos Pak Budi, ia mengetuk pintu.
"Wah, Mas. Tumben malam-malam begini datang ke pos saya. Ada yang bisa saya bantu, Mas?"
Tanpa basa-basi lagi. Dihantamkan linggis ke batang leher Pak Budi. Seketika Pak Budi terkapar, pingsan. Agar pembunuhannya bersih, ia tidak melukai permukaan kulit Pak Budi melainkan membekap wajahnya dengan sebuah bantal. Ditekan bantalnya pada permukaan wajah Pak Budi hingga membuat lelaki itu kejang-kejang dan tewas seketika.
Dengan tergesa, Ahmad mencari keris sakti di bawah tempat tidur Pak Budi. Setelah berhasil menemukannya, Ahmad selipkan ke kantong celananya.
Yang dilakukan Ahmad berikutnya adalah melenyapkan jasadnya agar tidak ada seorang pun yang tahu kalau Pak Budi dibunuh. Sebuah lubang sudah disiapkan Ahmad untuk mengubur jasad. Lubang yang ia gali tidak jauh dari vilanya. Setelah selesai mengubur jasad, Ahmad berusaha meratakan permukaan tanahnya kemudian melapisinya dengan rerumputan.
Lokasi lubang yang Ahmad gali juga jarang sekali dikunjungi orang. Dalam sebulan, Ahmad yakin rumput-rumput itu akan tumbuh subur menimbun jasad Pak Budi.
Setelah semuanya dikerjakan dengan apik, Ahmad merasa lega. Sekarang tidak ada lagi ancaman bagi keberlangsungan rumah tangganya bersama Mila. Perihal keris sakti, Ahmad akan menjaganya agar tidak ada seorang pun yang bisa menggunakan keris itu.
**Mencabut Jaran Goyang**
Sepulangnya dari mengubur jasad Pak Budi, dari luar rumah tepatnya dari pantulan tirai jendela. Ahmad melihat Mila sedang bercumbu dengan seorang lelaki yang tak dikenalnya. Mereka berdua terlihat sangat mesra.
Dengan amarah yang berapi-api, Ahmad menendang pintu yang kebetulan tidak dikunci. Namun, tidak ada siapa-siapa di ruang tamu. Mila juga sedang tidur dengan pulas di atas tempat tidur. Semenjak saat itu, kejadian demi kejadian aneh mulai menghantui Ahmad. Seperti ada yang mengikuti Mila dan Ahmad yakin makhluk gaib itu lebih dari satu.
Mila juga semakin hari tingkahnya semakin aneh. Seperti ada yang mengendalikannya. Akhir-akhir ini, Mila selalu sibuk dengan kucing hitamnya. Bahkan, perlakuan Mila kepada kucingnya bukan lagi seperti majikan dan hewan peliharaan, sekarang terlihat seperti sepasang kekasih. Selalu dicumbu berlebihan, digendong ke mana-mana. Sekali pun ke kamar mandi, Mila pasti membawa serta kucingnya.
"Kamu kenapa sih ngurusin kucing melulu?" Ahmad tiba-tiba naik pitam.
Ia marah karena tidak ada makanan di dapur. Mila tidak masak, seharian hanya main dengan kucing hitamnya.
"Sayang! Sayang! Sayang! Emmuaah," Mila tidak memedulikan kemarahan Ahmad. Masih selonjoran santai di atas sofa sambil memeluk kucing hitamnya.
"Mila! Kamu dengar nggak!"
Tetap tidak ada respons. Jengkel, Ahmad menarik paksa kucing hitam dari pelukan Mila lalu membantingnya ke dinding. Panik kucing hitam berlari ke dapur.
"Heh, kamu kenapa sih nggak bisa banget lihat orang bahagia!" Mila melawan, ia berdiri di hadapan Ahmad.
"Aku suami kamu ya, Mila. Dari kemarin akun perhatiin kamu main kucing terus. Kamu sampe lupa masak. Mana kucingnya, aku bunuh sekalian!"
"Jangan, Sayang! Kumohon jangan. Aku sayang banget sama kucing itu," Mila menangis sambil memegangi lengan kanan Ahmad.
Baru pertama kali, Ahmad melihat istrinya menangis. Luluh juga hatinya, ia tidak tega. Segera Ahmad meminta maaf sambil mengecup kening istrinya yang masih menangis tersedu-sedu. Yang terjadi di hari selanjutnya sangat di luar nalar Ahmad, tengah malam ia terbangun karena mendengar suara erangan dari dapur seperti sedang bersetubuh.
Pelan-pelan Ahmad mengintipnya, sesosok makhluk gaib berbulu hitam dengan ekor panjang menjulur ke lantai sedang menyetubuhi istrinya. Ternyata, kucing hitam yang selama ini menemani Mila adalah jelmaan jin jahat, yang tidak lain adalah anak buahnya Nyai penghuni air terjun Panggelangan.
Dengan amarah yang meletup-letup, Ahmad mengambil keris sakti yang ia sembunyikan di lemari. Kemudian, menghantamkannya ke tubuh makhluk gaib tersebut. Seketika makhluk gaib tersebut menghilang, Mila terkapar tidak berdaya di atas lantai.
Hari demi hari berlalu. Mila semakin aneh. Apalagi semenjak kucing hitam kesayangannya hilang, dia seperti orang gila. Sudah tidak mau urus suami, tak pernah masak lagi. Jangankan masak, rumah saja kalau bukan Ahmad yang bersih-bersih maka sudah terbengkalai.
Makin hari Ahmad makin khawatir melihat keadaan Mila. Ia tidak bisa lagi diajak bicara. Menjadi pendiam dan terkadang marah-marah sendiri. Kadang tertawa sendiri. Ia sering memanggil-manggil kucing hitamnya yang hilang entah ke mana.
Ahmad pernah bermimpi didatangi sesosok jin penghuni keris. Jin itu mengatakan kalau nyawa Mila dalam bahaya. Ilmu Jaran Goyang harus segera dicabut dari dalam tubuh Mila. Setelah memantapkan niat, Ahmad akhirnya menancapkan keris di belakang vila. Seketika saja, jerit terdengar dari kamar. Mila terlihat kesakitan sebab ilmu Jaran Goyang akan ke luar dari dalam tubuhnya.
Ahmad berdiri di mulut pintu kamar. Memperhatikan Mila yang sedang menjerit-jerit kesakitan. Andai setelah Jaran Goyang dicabut kemudian Mila tidak lagi mencintainya, ia sudah siap. Sudah tidak tahan Ahmad melihat penderitaan Mila selama ini. Ada rasa sesal dalam hatinya. Tapi, semua sudah terlanjur terjadi.
**Dia Bukan Mila**
Yang harus diketahui dari ilmu pelet adalah soal tumbal. Bila seseorang menggunakan ilmu pelet, itu artinya dia melakukan perjanjian dengan setan. Jaran Goyang tidak cukup ditukar dengan hanya bertapa. Ilmu Jaran Goyang adalah milik setan dan pasti meminta imbalan nyawa. Sialnya, hal itulah yang tidak disampaikan Abah Quir pada Ahmad. Ada yang ditutup-tutupi oleh Abah Quir. Seharusnya, tidak sepantasnya Ahmad percaya pada orang yang baru dikenalnya di bus. Apalagi menawarkan ajaran setan yang bisa berujung tragis.
Tanpa Ahmad ketahui, senarnya Abah Quir sedang dalam proses menyempurnakan ilmu hitamnya. Guru besarnya adalah setan yang tinggal di gunung Kawi, sebuah gunung tempat pesugihan dan ilmu kebatinan. Syarat terakhir yang harus Abah Quir lakukan adalah mencari murid yang ingin mempelajari ilmu Jaran Goyang karena ilmu Jaran Goyang ini nantinya akan memakan tumbal untuk persembahan gurunya Abah Quir. Untung saja ia bertemu Ahmad, orang yang tidak tahu apa-apa tentang Jaran Goyang, sehingga Abah Quir bisa memanfaatkannya.
Dari dalam kamarnya yang gelap, Abah Quir sedang berdiri dengan satu kaki. Kaki kanannya diangkat dan telapak kakinya ditempelkan ke paha kiri. Kedua tangannya bersedekap di perut, matanya terpejam, badannya telanjang hanya mengenakan celana pendek hitam. Bibirnya bergetar hebat, ia tengah merasakan kalau ilmu hitam miliknya sudah sempurna. Abah Quir senang saat mendengar bisikan jin memberi tahunya kalau ruh Mila sudah dibawa ke gunung Kawi.
***
Tiba-tiba saja lampu vila mati. Kebetulan malam itu, Ahmad sedang mandi. Segera ia membersihkan busa dari badannya, meraih anduk, dan menyalakan senter smartphone. Sudah hampir satu bulan Ahmad tinggal di vila milik keluarga Mila, baru kali ini kejadian mati lampu.
"Sayang?" Berjalan Ahmad dengan perlahan menuju kamar.
"Mila?" Pintu kamar tidak dikunci sehingga Ahmad dapat dengan mudah membukanya.
Engsel pintu mengelurkan suara ngilu. Ahmad sempat menutup telinga kirinya. Ia selalu lupa untuk meminyaki engsel pintu. Tepat di depan lemari pakaian, Mila sedang berdiri membelakangi Ahmad. Ia tertunduk, cahaya senter smartphone menyinari punggung Mila.
"Sayang?" Ahmad tegang.
Mila sama sekali tidak menjawab, masih mematung membelakangi Ahmad. Saat Ahmad sentuh pundaknya, tiba-tiba saja pakaian Mila berjatuhan, badanya hilang seketika entah ke mana. Rupanya kekuatan keris sakti tidak bisa mengalahkan kesaktian Jaran Goyang. Ilmu hitam itu tetap meminta tumbal. Memang sudah semestinya, barang siapa yang meminta bantuan setan maka akan terjerumus pada kesesatan dan penyesalan.
Dan sekarang, jasad wanita pujaan Ahmad hilang seketika. Ia kebingungan, dicabut saja keris di belakang vilanya. Lalu, memukul-mukulkan keris sakti ke dinding kamar, berharap Mila bisa kembali lagi. Tapi semua nihil, Mila hilang digondol makhluk gaib. Sekarang tinggal Ahmad yang menangis di atas tempat tidur. Ia tidak menyangka ternyata mencintai seseorang dengan amat kuat dapat membunuh akal sehat. Menyesal sekali Ahmad menggunakan Jaran Goyang.
Ya, Abah Quir. Ahmad harus menemui lelaki tua yang mengajari Jaran Goyang. Pikir Ahmad, dialah satu-satunya lelaki yang bisa memberikannya petunjuk. Ahmad berani melakukan apa pun demi menyelamatkan Mila.
Smartphone Mila berdering, "Iya Mah," Ahmad mencoba untuk tenang.
"Mila mana?"
"Oh, dia udah tidur, Mah."
"Coba bangunkan. Mamah mau ngomong."
"Duh, kasian Mah. Saya nggak tega kalau ngebanguninnya kayaknya dia kelelahan."
"Oh, ya sudah. Besok pagi, mamah akan telepon lagi. Mamah kangen sama Mila."
"Iya, Mah. Nanti Ahmad sampaikan ke Mila."
Jantung Ahmad berdebar hebat. Tidak terbayang kalau sampai ibunya Mila tahu bahwa Mila hilang, Ahmad pasti dituntut. Malam itu juga Ahmad harus mendatangi Abah Quir untuk minta petunjuk tentang keberadaan Mila.
**Mila Ada di Gunung Kawi**
Setibanya di rumah Abah Quir, Ahmad tidak menjumpai siapa pun di dalam rumah panggung itu. Kata penduduk kampung, sudah satu minggu Abah Quir pergi entah ke mana. Hal seperti itu sudah biasa, Abah Quir sebagai dukun sakti suka berpergian selama berhari-hari tanpa seorang pun yang tahu ia pergi ke mana. Dengan perasaan kesal, Ahmad mendobrak pintu rumah Abah Quir, ia menggeledah seluruh ruangan rumah. Ditemukan kertas mencurigakan berserak di atas lantai bambu. Di atas kertas ada sebuah nama yang ditulis menggunakan darah, entah darah apa, nama itu tidak lain adalah Mila. Ahmad meraih lembaran kertas lain, di sana tertulis tumbal gunung Kawi. Ia tidak mengerti, apa sebenarnya yang sedang terjadi. Apa hubungannya Mila dengan tumbal gunung Kawi?
Nasib nahas menimpa Ahmad, kasus pembunuhan Pak Budi terbongkar, ia menjadi tersangka dan terbukti bersalah. Selain itu, Kedua orang tua Mila menuntut atas hilangnya Mila. Mereka menuduh kalau Mila juga dibunuh oleh Ahmad. Atas tuduhan itu, ia diseret ke meja hijau. Sebenarnya belum ada bukti kalau Ahmad bersalah atas hilangnya Mila. Berkali-kali Ahmad mengikuti sidang kasus Mila. Selama menjalani persidangan, Ahmad ditahan dalam penjara yang penghuninya sangat padat.
Selama di penjara itulah, ia bermimpi bertemu dengan Mila yang meminta tolong padanya. Dalam mimpinya, Ahmad melihat Mila menjadi budak setan di gunung Kawi. Hal itu sudah disampaikannya saat persidangan, tapi mereka menganggap kalau Ahmad sedang mengada-ngada.
Di sebuah siang, Ahmad dijenguk oleh bapaknya Mila, "Kali ini aku akan bicara baik-baik sama kamu, Mad. Tolong jujur, apakah kau benar-benar membunuh Mila?"
"Saya sayang sama Mila, Pak. Mana mungkin saya membunuhnya," air mata Ahmad menetes.
"Terus di mana anakku sekarang?"
"Aku tidak tahu, Pak. Malam itu pas mati lampu tiba-tiba saja Mila hilang."
Sebuah tamparan melayang ke pipi Ahmad, polisi yang sedang berjaga menghampiri dan meminta Parman agar tenang.
"Ampun, Pak," lirih Ahmad.
"Katakan di mana anakku?"
"Saya yakin Mila ada di gunung Kawi. Saya ngaku sajalah Pak. Dulu saya menggunakan pelet Jaran Goyang agar Mila mau sama saya."
"Bajingan!" Tidak tahan lagi Parman mendengar pengakuan Ahmad.
Sebuah tinju mendarat di pipi kanan Ahmad. Ia terjungkal dari kursinya. Tiga polisi yang sedang bertugas di ruang jenguk panik melihat kejadian barusan. Mereka langsung mengamankan Ahmad ke dalam selnya.
Beberapa bulan kemudian, kasus Mila ditutup. Tidak ada bukti yang kuat kalau Ahmad melakukan pembunuhan terhadap Mila, tapi ia tetap dijatuhi hukuman penjara untuk kasus pembunuhan Pak Budi. Mila dinyatakan sebagai orang hilang dan pihak kepolisian terus berusaha melakukan pencarian. Sementara Ahmad hampir setiap malam didatangi Mila dalam mimpinya. Istrinya itu terus-terusan meminta tolong agar dibebaskan dari perbudakan setan gunung Kawi.
*****
**Bebas dari Penjara**
Ahmad berjalan sempoyongan di dalam pasar tradisional yang sepi, melintasi pertokoan yang sudah tutup. Suasana pasar itu remang, hanya ada beberapa lampu lima watt yang menyinari. Kawanan kucing kampung berlarian kabur karena terusik oleh langkah Ahmad yang tidak teratur. Lengan kanannya menggenggam sebotol bir, wajahnya kumal, rambunya gondrong berantakan. Kaus hijau polos yang ia pakai mengeluarkan bau apek yang pastinya membuat siapa pun akan mual kalau menciumnya.
Celana yang Ahmad pakai juga tidak kalah baunya. Itu celana kolor berlambang Juventus yang sudah satu minggu tidak dicuci. Tidak ada yang baru dari pakaiannya kecuali sendal jepit yang tadi siang baru ia curi dari masjid. Ahmad baru selesai main judi, ia kalah telak bahkan berhutang satu juta pada rekannya. Uang hasil mencopet tadi siang ludes digunakan untuk berjudi dan beli bir. Pada awal permainan, Ahmad selalu menang, namun semakin lama dia malah semakin kalah.
Ahmad muntah, terlalu banyak bir yang ia minum. Dari kejauhan terdengar sayup langkah gerombolan orang tergesa mendekat ke arah Ahmad. Ia menoleh ke belakang, kemudian menggelengkan kepala. Sialan! Gumamnya dalam hati. Sebelum beranjak dari karpet judi, Ahmad sempat-sempatnya mencuri uang milik bandar.
“Itu dia!” teriak salah seorang dari mereka.
Mereka berlari menghampiri Ahmad. Ada lima orang, masing-masing membawa senjata untuk menghajar si Ahmad. Mereka membawa kayu dan botol bir. Ahmad berusaha lari, tapi langkahnya sempoyongan lantas ambruk begitu saja. Lelaki yang kepalanya botak plontos dan berjaket hitam menjadi orang pertama yang memukul Ahmad dengan botol hingga pecah. Kepala Ahmad berdarah, ia terkapar tidak berdaya.
Melihat Ahmad masih sadar, mereka langsung memukulinya dengan kayu hingga berdebam-debam. Ahmad berteriak kesakitan, meminta tolong tapi tidak ada yang mendengarnya kecuali kawanan kucing yang sama sekali tidak peduli. Wajahnya bonyok, kaki dan tangannya memar, ia memuntahkan darah kental.
“Mampus kau bajingan!” kata salah seorang dari mereka.
Setelah dirasa puas, mereka meninggalkan Ahmad yang tergolek tidak berdaya di depan emper toko kelontong. Napasnya terengah-engah, wajahnya tak berupa penuh benjolan dan luka memar, bibirnya berdarah. Ahmad yang malang, setelah dua tahun bebas dari penjara, ia tidak punya siapa-siapa lagi. Ibunya sudah meninggal, rumah di kampung ia jual untuk biaya hidupnya di kota. Niatnya ingin memulai hidup baru, tapi ia tak kunjung dapat pekerjaan hingga menjadi gelandangan seperti itu.
***
Keesokan paginya, seseorang mengguyur wajah Ahmad. Seorang emak-emak penjual ikan marah-marah karena banyak darah tercecer di lapaknya.
“Woi! Bangun nggak, lu?!”
"Woi!"
Ahmad membuka kelopak matanya yang terasa berat. Kepalanya sangat sakit, sekujur tubuhnya tidak dapat digerakkan. Dua orang lelaki yang juga pedagang di pasar itu menggotong paksa tubuh Ahmad, bukan untuk dibawa ke rumah sakit atau dilaporkan ke polisi.
Mereka seperti membuang sampah saja, tubuh Ahmad di letakkan di halaman belakang pasar yang biasa menjadi tempat pembuangan sampah. Hal itu sudah biasa dilakukan, banyak orang yang mabuk lalu berkelahi di pasar itu saat malam, paginya para penjual di pasar itu akan membuangnya di tempat sampah. Ahmad tidak sanggup bangun, ia malah tidur pulas.
Sorenya, Ahmad kembali tersadar. Tubuhnya mulai bisa dipaksakan berdiri, tangannya perlahan meraba-raba kantong celana seakan sedang memeriksa sesuatu yang sangat berharga. Sebuah foto dikeluarkan dari kantong, itu foto Mila. Ahmad tersenyum, untungnya foto Mila masih ada. Lelaki malang itu sangat rindu pada Mila, setelah ia keluar dari penjara, hal pertama yang ia lakukan saat itu adalah pergi ke Gunung Kawi untuk mencari istrinya. Namun, Mila tidak ada di sana. Dan, Ahmad baru menyadari, kenapa ia terlalu bodoh sampai-sampai bisa percaya pada sebuah mimpi.
Ahmad menarik napas, ia membersihkan serpihan sampah yang menempel di bajunya. Entah hari ini dia mau ke mana. Langkahnya masih tertatih-tatih, baru lima kali melangkah tubuhnya ambruk lagi. Tidak ada satu orang pun yang peduli pada gelandangan sepertinya, Ahmad coba bangkit lagi. Dan... saat itu juga matanya yang masih bonyok melihat sesosok wanita yang mirip dengan Mila. Wanita itu sedang membeli sayuran di pedagang kaki lima. Ahmad terkejut, dari pandangan Ahmad, jelas sekali wanita itu adalah Mila.
"Istriku...," desis Ahmad.
**Kematian Ahmad**
Kaki yang terasa sakit ia paksakan untuk melangkah menghampiri perempuan yang mirip dengan istrinya. Sambil tertatih, Ahmad mendekati perempuan itu. Dan benar saja itu memang Mila, istrinya yang selama ini ia cari-cari.
Ahmad tidak langsung menyapanya, sedangkan Mila yang terlihat sudah semakin tua, masih sibuk memilih sayuran yang akan ia beli. Air mata Ahmad menetes, ia terharu bisa menemukan istrinya lagi.
"Mila?"
Perempuan itu menoleh pada Ahmad.
"Iya, siapa, ya?" anehnya Mila tidak lagi mengenali Ahmad.
"Aku Ahmad. Suamimu."
Mila mengerutkan kening, ia menganggap kalau lelaki di hadapannya adalah orang gila.
"Em... saya nggak kenal sama kamu," buru-buru Mila mengambil belanjaannya dan beranjak pergi. Ia ketakutan.
"Mila, tunggu, Mil. Ini aku Ahmad, suami kamu!"
Mila tidak menoleh dia tetep berjalan dengan tergesa-gesa. Punggungnya hilang di antara lalu-lalang orang. Ahmad mencoba untuk mengejarnya, namu tidak berhasil. Tubuhnya malah ambruk, orang pasar kembali menggotongnya keluar.
Sementara Mila terus berjalan tanpa menoleh, ia berbelok ke kanan tempat para penjual daging ayam. Di sana ia melihat Daru, suaminya. Buru-buru Mila menghampiri Daru, wajah Mila ketakutan.
"Kamu kenapa?" lelaki yang rambutnya mulai beruban itu menyentuh kedua pundak Mila.
"Ada orang gila ngejar aku tadi," napas Mila ngos-ngosan.
"Mana?" Daru melongok ke kerumunan orang. Tidak ada orang gila di sana.
"Tadi dia ngaku-ngaku kalau dia itu suami aku."
Mendengar pernyataan Mila, seketika saja dada Daru seolah ditendang. Ia teringat perkataan Pak Parman, mertuanya. Pak Parman mengingatkan Daru tentang Ahmad yang pernah menjadi suami Mila. Dan Daru yakin itu orang gila yang Mila maksud adalah si Ahmad.
"Dia di mana?"
Mila menunjuk ke arah kiri, "Tadi aku lihat di dekat tukang sayur."
"Ya sudah, ayo kita pulang saja."
Mereka meninggalkan pasar itu. Sesekali Daru menoleh ke belakang untuk memastikan keberadaan Ahmad.
***
Daru takut kalau Ahmad mengganggu rumah tangganya. Ia sudah memprediksi itu, suatu saat si Ahmad pasti datang kembali untuk menemui Mila. Ia tidak akan membiarkan lelaki itu mengusik rumah tangganya. Maka malam itu juga Daru memburu dan menghabisi Ahmad.
Ahmad malam itu tengah tebaring di kolong jembatan yang tidak jauh dari pasar tradisional. Perutnya lapar dari pagi dia belum makan. Tiba-tiba meloncat tiga orang lelaki berbadan besar membuat Ahmad kaget dan terbangun. Matanya masih terasa sakit, seorang lelaki berambut gondrong mengangkat tubuh kurus Ahmad.
"Ada apa ini?" tanya Ahmad ketakutan.
Tanpa basa-basi lagi Ahmad dipukuli, wajahnya ditonjok dengan kepalan tangan bercincin batu akik membuat Ahmad muntah darah. Perutnya ditendang, satu orang lainnya mematahkan kaki Ahmad. Ia berteriak minta ampun, tapi tidak ada ampun baginya. Daru mengawasinya dari atas, ia menyorot wajah Ahmad yang sudah babak belur dengan sebuah senter.
"Apa salahku, bangsat? Siapa kau?" Ahmad berteriak sambil mendongak ke arah Daru.
Suara lalu lalang mobil membuat Daru harus mengeraskan suaranya.
"Ahmad. Aku kira kau sudah mati membusuk di penjara."
Kedua tangan Ahmad dicengkram kuat oleh dua orang lelaki, sengaja mereka berhenti memukulinya agar bisa berbicara dengan Daru.
"Siapa kau?! Salahku apa, bangsat?!"
"Kau pelet Mila. Itu salahmu. Sekarang dia sudah menjadi istriku dan tidak akan kubiarkan kau menghancurkan keluargaku."
Ahmad terdiam, napasnya terengah-engah. Daru menjentikkan jarinya, memberi isyarat agar Ahmad dibunuh. Tiga lelaki itu menarik paksa Ahmad untuk masuk ke sungai yang kotor dan bau. Wajahnya disungkurkan ke dalam air. Tubuhnya ngamuk tapi ketiga orang itu terlalu kuat, Ahmad kehabisan napas dan mati begitu saja.
"Hanyutkan," kata Daru singkat. Setelah beres mereka pergi dari sana.
Mayat Ahmad mengapung perlahan ke hilir seperti mayat seekor kucing yang tidak berguna. Orang-orang di pinggiran sungai yang sedang berpacaran tidak menyadari kalau ada mayat yang mengapung melintasi mereka. Jauh dari tempat pembunuhannya, mayat Ahmad tersangkut sebuah dahan pohon tua, mayat itu tertahan di sana.
**Pencarian Mila**
Seorang gelandangan membuka resleting celananya. Ia hendak kencing di atas pondasi sungai. Tubuhnya bergidik setelah selesai mengeluarkan air kencingnya. Sebelum ia beranjak pergi, matanya sempat menangkap sesuatu yang aneh di permukaan sungai. Ia memicingkan mata, memastikan benda apa yang sedang mengapung di sana.
Merasa penasaran, lelaki kurus kering itu turun dari atas pondasi. Kakinya sempat tersandung batu, ia meringis kesakitan. Pelan-pelan, lelaki itu mendekat ke tepi sungai dan terkejut. Itu ternyata mayat, dan tidak lain adalah mayat Ahmad. Lelaki itu menelan ludahnya sendiri kemudian lari terbiri-birit untuk mencari bantuan.
Anehnya, saat ia berhasil membawa gerombolan orang untuk mengangkat jenazah, tiba-tiba mayat Ahmad menghilang entah ke mana. Mereka memarahi gelandangan itu, menganggap kalau ia sudah gila. Tapi jelas-jelas barusan ada mayat di sana. Gelandangan itu bingung, ke mana mayat tersebut? Apa sudah hanyut?
***
“Kamu dari mana, sayang?” Mila berdiri di depan pintu menyambut kedatanan Daru.
“Aku ada urusan tadi di luar.”
“Urusan apa?”
“Biasa teman lamaku ngajakin nongkrong,”
Mila mengangguk.
“Farhan udah tidur?” tanya Daru.
“Udah, tadi habis minum obat langsung tidur,” Mila beranjak ke dapur.
“Mau kubuatkan teh?” tanya Mila.
“Boleh,” Daru duduk di atas sofa sambil menghela napas. Ia merasa lega sudah membunuh Ahmad.
Suara sendok beradu dengan gelas terdengar dari dapur. Di sana terlihat Mila yang sedang sibuk menyeduh teh. Seketika saja, Daru teringat perjuangannya untuk mendapatkan Mila, sungguh tidak mudah. Segelas teh disuguhkan, mereka mengobrol di atas sofa hingga larut malam. Keduanya lalu tertidur di sana.
Tengah malam, hujan mengguyur sangat deras. Petir berkelebatan, Mila terbangun karena mendengar suara seseorang mengetuk-ngetukpintu kamar mandi. Ia coba membangunkan Daru, namun tidak bisa. Suaminya itu tidur sangat nyenyak, terpaksa Mila pergi sendiri untuk memeriksanya.
Pintu kamar mandi terbuka sedikit, perlahan Mila mendorong pintu tersebut, di sana ia melihat Farhan, anak lelakinya yang berumur sepuluh tahun sedang berdiri membelakangi Mila.
"Nak? Kamu bangun?" tanya Mila.
Farhan tidak menjawab, Mila mengembuskan napas berat. Ini sudah biasa terjadi pada anaknya. Farhan punya penyakit tidur berjalan. Mila lalu membopong anaknya kembali ke dalam kamar. Kilat berkelebat memancarkan cahaya dari balik jendela kamar. Tubuh Farhan diselimuti, Mila mengelus lalu mengecup kening Farhan. Saat hendak keluar dari kamar anaknya, terdengar suara sayup.
"Mila...."
Itu suara parau seorang lekaki memanggilnya dari luar. Segera Mila menghampiri sumber suara tersebut. Ia mengintip dari tirai jendela, terlihat seorang lelaki sedang berdiri di bawah derasnya hujan, wajahnya samar tidak terlihat.
"Mila...."
Dan saat Mila membuka pintu, dengan mengejutkan Ahmad sudah berdiri di hadapannya, wajahnya tersenyum mengerikan. Mila menjerit ketakutan.
**Beberapa Tahun Sebelumnya**
Seperti biasa setiap bulan Parman menjenguk Ahmad di penjara. Ia tidak membawa makanan apa pun, melainkan hanya ingin mencari tahu keberadaan Mila. Parman yakin kalau Ahmad membunuh Mila dan mayatnya di sembunyikan di suatu tempat.
Mereka berdua duduk di ruang jenguk. Siang itu penjara sedang ramai pengunjung. Para penjaga berdiri di setiap sudut, ada juga yang berkeliling memastikan tidak ada hal yang mencurigakan.
Parman menatap tajam wajah Ahmad, "Di mana kau sembunyikan Mila?"
"Sudah berkali-kali saya bilang ke Bapak kalau saya tidak menyembunyikan Mila, Pak. Tapi saya yakin dia ada di gunung Kawi."
Jawaban yang sama seperti bulan-bulan sebelumnya. Kali ini Parman coba untuk bersabar, ia menahan emosinya.
"Baiklah. Gunung Kawi, apakah ada ritual lain yang harus aku lakukan," tanya Parman.
"Ada Pak," jawab Ahmad.
"Apa?"
"Cari bantuan orang pintar," Ahmad menunduk ketakutan, ia biasa dihajar oleh Parman.
Tanpa pamit Parman beranjak dari ruang jenguk, ia akan mencari orang pintar untuk menemukan Mila.
**Perjalanan ke Alam Gaib**
Parman berangkat ke Jawa Timur menggunakan mobil MPV pribadi miliknya. Ia tidak seorang diri, ada dua orang temannya yang ikut membantu Parman. Mereka adalah Mufti dan Wildan, merekalah yang memberi tahu kalau di gunung Kawi ada seorang dukun sakti yang bisa membantu Parman.
Itu perjalanan yang sangat jauh, Parman benar-benar ingin membuktikan omongan Ahmad. Sayangnya sebelum tiba di Jawa Timur, mereka kemalaman di jalan. Sepanjang perjalanan, mereka bergantian mengemudikan mobil. Langit sudah gelap ketika mereka keluar dari jalan tol.
Kebetulan bagian Mufti yang mengemudikan mobil sementara Parman sudah mendengkur di kursi belakang. Beberapa saat kemudian, mobil mereka memasuki perkebunan pinus. Jalanan lengang, jarang sekali ada mobil yang berpapasan dengan mereka. Mufti melirik GPS, lalu mengangguk jalan yang ambil sudah benar. Gunung Kawi hanya tinggal satu jam lagi dari sana.
Parman tergeragap bangun, ia mengusap wajahnya. Perutnya keroncongan dari siang belum makan. Dilihatnya dari balik kaca mobil, pohon-pohon pinus berjejer rapi. Ia berdecak kesal, seharusnya ia berangkat lebih pagi agar tidak kemalaman seperti ini.
“Gua lapar,” ujar Parman.
“Sama, Mas. Mana enggak ada pedagang,” timpal Mufti.
“Pelan-pelan aja, Muf siapa tahu kita nemu angkringan di depan,” kata Wildan.
Secara mengejutkan Mufti melihat sebuah warung angkringan di pinggir jalan. Tampaknya seperti warung kopi yang menyediakan mie rebus. Ada tiga orang laki-laki yang sedang mengunjungi angkringan itu. Mereka bertiga berbadan kurus, mengenakan kaus warna cokelat yang lusuh dan celana panjang hitam.
Sedangkan pemilik angkringan itu adalah seorang wanita muda yang umurnya kisaran dua puluh tahun. Tidak ada lampu listrik di sana, hanya ada lilin yang menyinari angkringan.
Mobil berhenti. Mereka turun lalu menyerbu warung angkringan. Perut mereka sudah sangat lapar, tak sabar rasanya ingin cepat makan. Tapi ada yang aneh di sana, tiga orang lelaki yang sedang duduk di kursi panjang terlihat tidak sedang memakan apa pun. Mereka hanya duduk terdiam dengan wajah pucat. Begitu pun dengan perempuan pemilik angkringan, ia berdiri memandangi Parman dan teman-temannya dengan tatapan datar.
“Mbak ada Mie Rebus?” tanya Parman yang kemudian duduk di kursi panjang.
Perempuan itu tidak menjawab.
“Mas, kayaknya ada yang nggak beres,” Mufti mulai curiga.
“Iya Mas, mendingan kita lanjut jalan aja,” ajak Wildan.
Tanpa menimpali perkataan teman-temannya, Parman beranjak pergi dari angkringan itu. Sesekali ia menoleh ke belakang dan perempuan tadi masih menatapnya dengan datar.
"Angkringan setan kali tuh," decak Mufti.
"Hus, jangan ngomong sembarangan," timpal Parman.
Ada yang aneh saat mereka kembali ke mobil, jok mobilnya di penuhi kembang melati. Entah siapa yang menaburkan kembang tersebut. Parman dan kedua temannya mulai panik, mereka lantas membuang melati tersebut dan langsung tancap gas.
"Mas, lu pernah denger nggak? Kalau kita nyari orang hilang karena hal gaib, kita harus masuk ke alam gaib juga," tiba-tiba Wildan membuka obrolan.
"Masa sih Wil?"
"Iya, Mas."
"Iya Mas, saya denger cerita dari orang-orang."
"Mas! Mas! Lihat apa itu!" Mufti yang mengemudikan mobil berteriak panik sambil menunjuk-nunjuk sesuatu di depan.
**Mila Masih Hidup**
Di depan mobil ada tiga bola api yang tiba-tiba menyambar ke arah kaca mereka. Mereka berteriak, Mufti langsung tancap gas. Ia semakin mempercepat laju mobilnya.
Selang beberapa menit, akhirnya mereka tiba di gunung Kawi. Mufti dan Wildan langsung membawa Parman ke Mbah Karyo, seorang dukun sakti.
Mereka disambut dengan ramah oleh Mbah Karyo. Rumahnya sangat sederhana. Dindingnya terbuat dari kayu dan lantainya disemen. Tidak ada sofa di rumah itu. Mbah Karyo menggelar tikar dan mempersilakan mereka duduk di atasnya.
Dari pintu dapur, Muncul Mbok Ibah, istri Mbah Karyo yang sudah bungkuk. Langkahnya pelan dan patah-patah. Ia membawa teko kecil berisi air putih dan beberapa gelas bermotif bunga di atas nampan.
“Mari diminum dulu airnya,” kata Mbok Ibah degan logat Jawa yang kental. Ketiga lelaki itu mengangguk ramah.
“Jadi maksud kedatangan kami kemari untuk meminta bantuan Mbah Karyo. Ini teman saya namanya Mas Parman, Mbah. Anaknya korban ilmu pelet. Dan, sekarang menghilang,” jelas Mufti.
Mbah Karyo menghisap rokok kreteknya. Asap mengepul memenuhi wajahnya yang sudah keriput.
“Hmm... anakmu masih hidup,” kata Mbah Karyo, singkat.
“Iya, Mbah. Kata orang yang pelet anak saya, sekarang anak saya ada di gunung Kawi.”
“Sebentar!” Mbah Karyo memejamkan mata. Telunjuknya ditempelkan di kening.
“Dia ada di alam gaib. Ada dukun yang menumbalkannya.”
“Lalu saya harus bagaimana, Mbah?”
“Kau harus menjemputnya ke alam gaib."
***
Tepat jam 02.00 dini hari, Parman melakukan ritual mandi kembang untuk masuk ke alam gaib. Ia bertelanjang badan dan hanya mengenakan celana panjang berwarna hitam saja. Kedua temannya menyaksikan ritual itu. Mbah Karyo membaca tembang berbahasa Jawa yang tidak mereka pahami.
Sesekali ia mengambil rokoknya, lalu menghisapnya. Asap rokok ditiupkan ke kepala Parman.
“Ingat Parman. Saat kau masuk ke alam gaib dan melihat anakmu di sana. Lekas tarik lengannya dan jangan menoleh ke belakang.”
“Baik, Mbah.”
Dalam sekejap mata, Parman menghilang. Kedua temannya terkejut melihat kejadian itu.
“Apa Mas Parman akan baik-baik saja, Mbah?”
“Tenang saja! Dia pasti kembali. Aku akan bantu dari sini."
Di alam gaib, Parman mendapati dirinya sedang berdiri di sebuah pasar. Pasar tersebut dijejali orang-orang yang berpakaian seperti pada zaman kerajaan. Perempuannya mengenakan kain batik yang dijadikan tapeh (semacam rok). Mereka juga mengenakan baju kebaya jadul.
Sementara itu, para lelaki menggunakan blangkon dan celana cingkrang warna hitam. Sebagian dari mereka mengenakan baju. Tapi, ada juga yang bertelanjang badan dan hanya mengenakan celana saja. Mereka semua nyeker alias tanpa alas kaki.
Parman celingukan. Apakah ini alam gaib? Kenapa ramai sekali? Hatinya bertanya-tanya. Parman melangkah menuju kerumunan orang. Di sekelilingnya, orang-orang sibuk bertransaksi. Ada yang membeli buah-buahan juga sayuran. Tapi Parman tidak melihat ada anak-anak di sana.
Tak lama kemudian, terdengar suara gamelan ditabuh. Ada iring-iringan manusia muncul di tengah keramaian pasar. Mereka menggotong sebuah saung kecil. Di saung itu ada seorang gadis cantik sedang duduk dengan tenang menyaksikan suasana pasar.
Parman terkejut. Sebab, apa yang dia lihat tidak lain adalah Mila, anaknya sendiri. Mila didandani seperti pengantin Jawa. Tapi, tatapannya kosong dengan senyum tipis di bibir. Sesekali ia mengangguk saat orang melemparinya dengan bunga.
“Mila...!” Parman berlari mendekati iring-iringan itu.
**Sakit Jiwa**
Parman menghampiri arak-arakan itu. Pakaian Mila seperti pengantin yang hendak melangsungkan pernikahan. Orang-orang pasar terlihat bahagia menyambut kedatangannya. Mereka sesekali melemparkan bunga melati ke arah saung kecil yang ditumpangi Mila.
Parman terus merangsek. Ia memaksa tubuhnya untuk menerobos pagar para lelaki yang mengawal arak-arakan.
"Mila, ini Papa!" teriak Parman dari bawah saung. Tubuhnya dihadang tiga lelaki berkulit hitam.
"Mila!" Parman terus berusaha memanggil putrinya. Tapi, tetap saja Mila tidak memedulikan ayahnya.
Arak-arakan itu berhenti. Mila turun dari saung lalu melangkah dengan anggun. Ia menghampiri seorang lelaki yang akan menjadi suaminya. Lalu, digenggamnya tangan Mila oleh lelaki itu sembari tersenyum. Ia lalu membawa Mila melangkah ke pelaminan.
Parman dengan sisa tenaganya berlari menerobos kerumunan orang-orang di sana. Ia berhasil meraih anaknya. Ia lalu membopong dan membawanya pergi menjauh dari acara pernikahan gaib tersebut.
Seperti apa yang dikatakan oleh Mbah Karyo, jangan pernah menoleh ke belakang dan teruslah lari menjauh. Mila yang ada dalam bopongannya tidak berontak. Wajahnya datar memandangi Parman.
Parman tidak mendengar suara orang-orang tadi. Sepertinya mereka tidak mengejar Parman. Tidak lama kemudian, Parman melihat ada sebuah lubang hitam yang berpusar. Tanpa pikir panjang, ia melompat ke dalam lubang tersebut.
Angin berembus kencang menerpa tubuhnya. Ia merangkul Mila dengan erat. Hingga akhirnya, Parman tidak sadarkan diri.
***
Di dalam kamarnya, Mbah Karyo bertapa. Ia sedang melakukan negosiasi dengan jin penjaga Gunung Kawi. Jin itu mau membebaskan Mila, tapi dengan sebuah syarat. Kalau kelak Mila punya anak, maka anak pertamanya harus diserahkan kepada kerajaan jin Gunung Kawi. Mbah Karyo mengiyakan syarat tersebut. Ia akan menyampaikannya pada Parman.
Mbah Karyo kemudian bangkit dari duduk bersila. Di hadapannya, terbaring tubuh Mila dan Parman yang sama-sama tidak sadarkan diri. Bibir Mbah Karyo bergetar merapalkan mantra. Ia kemudian meraih bunga melati dari dalam lemari kayu, lalu menaburkannya di atas tubuh mereka berdua.
***
Keesokan harinya, Parman dan Mila bangun. Lelaki itu langsung memeluk anaknya sambil menangis.
“Papa senang kamu selamat, Nak,” Mila yang dipeluk diam saja. Tatapannya kosong.
"Papa janji tidak akan membiarkan siapa pun menyakiti kamu lagi."
Atas saran Mbah Karyo, Parman memandikan Mila dengan kembang melati sebelum pulang. Tujuannya, agar demit yang masih menempel dalam tubuh Mila bisa pergi. Setelah selesai, Parman mohon pamit. Ia juga menyerahkan amplop berisi uang sebagai imbalan untuk Mbah Karyo. Tapi Mbah Karyo menolaknya.
“Kau simpan saja uangnya,” kata Mbah Karyo.
“Aku ikhlas, Mbah. Tolong terima sebagai ucapan terima kasihku.”
“Tak usah. Ada satu hal yang harus kau tahu.”
“Apa itu, Mbah?”
“Mila tidak kembali dengan cuma-cuma. Ada imbalan gaib yang mereka minta.”
Mendengar itu, Parman terkejut.
“Hm.... imbalan apa, Mbah?”
“Kelak kalau Mila menikah, maka anak pertamanya akan dijemput oleh jin gunung Kawi.”
Parman terdiam. Sementara Wildan dan Mufti terkejut mendengar imbalan itu.
“Baik, Mbah.”
Parman tidak ada pilihan selain mengiyakannya.
“Aku minta satu hal, Mbah. Kalau nanti ada seseorang yang mencari Mila di gunung ini, jangan katakan kalau Mila sudah ditemukan, Mbah. Orang yang akan mencari Mila itu adalah pelaku pelet. Dia yang menghancurkan hidup anak saya, Mbah.”
Mbah Karyo mengiyakan. Mereka kemudian pamit. Berkali-kali Parman mengucapkan terima kasih.
***
Satu bulan setelah Mila ditemukan, tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Mila. Ia tidak mau bicara. Seperti orang yang baru mengalami kejadian menakutkan dalam hidupnya. Setiap ia hari hanya melamun saja di dalam kamar. Bahkan, untuk ganti pakaian pun harus dibantu oleh ibunya.
Kedua orang tua Mila pun khawatir dengan keadaan putrinya. Mereka lantas membawa Mila untuk cek ke dokter kejiwaan. Betapa terkejutnya mereka setelah mendengar penjelasan dokter kalau Mila mengalami sakit jiwa.
"Sebaiknya, titipkan Mila ke rumah sakit jiwa, Pak. Di sana dia akan mendapatkan terapi yang kemungkinan bisa menyembuhkan Mila," kata dokter dengan wajah prihatin.
**Pernikahan Mila**
Mila duduk memeluk dengkul di sebuah kamar. Tatapannya kosong, wajahnya datar, ia mengenakan baju tidur warna merah jambu bermotif Hello Kitty. Kamar Mila dipasangi teralis besi, seperti penjara. Orang gila berlalu-lalang di depan kamar Mila, ada yang tertawa tanpa sebab, ada yang menangis terus-terusan, ada yang hanya melamun saja tanpa sebab. Begitulah pemandangan yang dapat dilihat dari dalam teralis besi kamar Mila.
Sudah satu minggu Mila dirawat. Belum ada tanda-tanda yang menunjukkan kalau ia akan sembuh.
Mbak Parti, seorang perawat membuka teralis. Ia membawa semangkuk bubur ayam. Seperti biasa, setiap pagi Mbak Parti menyuapi Mila. Ia duduk di samping Mila, lalu tersenyum.
“Pagi, Mila. Lihat Mbak bawa apa? Kita sarapan dulu yuk,” kata Mbak Parti.
Mila tidak menjawab, tapi ia membuka mulutnya saat Mbak Parti menyuapi bubur. Sesaat kemudian terlihat Parman datang bersama istrinya dan seorang lelaki yang tidak lain adalah Daru. Parman sudah berkonsultasi kembali pada Mbah Karyo tentang keadaan Mila. Dukun sakti itu mengatakan kalau Mila ingin sembuh, ia harus dinikahkan.
“Mbak, kami akan membawa Mila pulang saja,” kata Parman, ia duduk di sebelah kanan Mila.
“Kami tidak tega Mila jauh dari kami, Mbak,” kata Ibunya Mila.
Mereka sudah mengurus administrasi kepulangan Mila. Kedua orangtua Mila sudah bulat akan menikahkan anaknya dengan seorang lelaki bernama Daru.
Daru ini adalah lelaki bayaran Parman. Ia dibayar agar mau menikah dengan Mila. Parman yakin kalau arahan Mbah Karyo tidak akan pernah salah. Kakek itu sekarang sudah menjadi guru spiritual Parman, ia akan manut apa pun yang dikatakan Mbah Karyo agar Mila kembali sembuh.
***
Pernikahan digelar secara tertutup di rumah Parman. Mila tidak didandani layaknya pengantin. Ia masih menggunakan baju tidur, tatap wajahnya tetap kosong dan datar. Setelah Mila sembuh rencananya Daru akan menceraikan Mila.
Selama pernikahan itu, tidak sekali pun Daru menyetubuhi Mila. Tidak ada niatan sedikit pun dalam dirinya untuk melakukan itu, dia hanya ingin melakukan tugasnya dengan baik, setelah itu pergi dari rumah Parman.
Apa yang dikatakan Mbah Karyo benar-benar terbukti. Seminggu setelah pernikahan itu, Mila mulai berbicara. Orang pertama yang mendengarnya adalah Daru, suaminya sendiri. Setiap hari Daru merawat Mila dengan baik, dia yang menyuapi makanan, memandikan dan bahkan mendandani Mila.
“Terima kasih,” ucap Mila saat Daru selesai menyuapinya bubur.
Tatapan Mila kini tidak kosong lagi, ia menatap Daru dengan mata sayunya. Sontak saja Daru senang karena Mila sudah mulai bisa berbicara.
Semakin hari keadaan Mila semakin membaik. Perempuan itu sudah tidak ingat lagi pada Ahmad, ia sekarang malah jatuh cinta pada Daru, lelaki bayaran ayahnya. Begitu pun Daru, mungkin karena setiap hari merawat Mila, cinta mulai tumbuh di hatinya. Ia meminta pada Parman agar pernikahan ini dilanjutkan, ia berjanji akan merawat dan menjaga Mila dengan sepenuh hati. Awalnya Parman ragu, tapi ia khawatir kalau Mila dibiarkan sendiri, dia akan kena sakit jiwa lagi.
**Ahmad Belum Selesai**
Mila jatuh pingsan saat mendapati seorang lelaki berdiri di hadapannya dengan wajah mengerikan. Lelaki itu tidak lain adalah roh Ahmad yang gentayangan.
Ia belum selesai. Telah banyak penderitaan yang ia alami selama ini. Dan, ia sekarang akan menuntut balas dan merebut istrinya kembali.
Daru bangun. Ia panik saat melihat Mila tergolek tak sadarkan diri di lantai. Hujan masih sangat deras, percikan airnya menerpa wajah Daru.
Pintu rumahnya terbuka. Tidak ada siapa-siapa di sana. Ia kemudian membopong istrinya masuk ke dalam kamar. Setelah itu ia keluar kamar dan menutup pintu rumah. Ia menengok sekeliling halaman sebelum menutup pintu. Tetap tidak ada siapa-siapa di sana.
Daru tidak melihat kalau roh Ahmad sudah ada di dalam rumahnya. Padahal Ahmad berdiri di pojokan memandangi Daru dengan penuh amarah. Tujuan Ahmad hanya satu, membunuh Mila. Istrinya itu harus ikut ke alam gaib bersamanya. Maka malam itu juga, ia masuk ke dalam tubuh Mila yang sedang tidak sadarkan diri di atas tempat tidurnya.
“Sayang, kamu udah sadar?” tanya Daru.
Terlihat Mila duduk di atas tempat tidurnya. Ia tertunduk.
“Sayang!”
Mila tidak menjawab. Ia turun dari tempat tidur, lalu melangkah ke dinding kamarnya. Bertubi-tubi, Mila membenturkan kepalanya ke dinding dengan sangat keras. Kepalanya terluka dan mengeluarkan darah. Darah itu juga sebagian menempel di dinding.
“Mila, apa-apaan kamu?”
Daru mencoba menahan tubuh istrinya. Tapi, Mila malah mengamuk. Kedua bola matanya merah. Daru membanting tubuh istrinya ke atas tempat tidur. Ia lalu menahannya sekuat tenaga. Perlahan Mila lemas, matanya sayup kemudian terkatup.
“Kita sudah kehilangan anak pertama kita. Aku tidak mau kehilangan kamu, Sayang,” kata Daru.
“Ada apa, Pah?” Farhan muncul di mulut pintu sambil mengucek matanya yang masih menahan kantuk. Farhan terkejut melihat darah di dinding.
***
Parman duduk di ruang tamu. Sementara Daru, ia menjelaskan apa yang terjadi dengan Mila semalam. Ia yakin kalau roh Ahmad datang lagi untuk balas dendam.
“Aku membunuh Ahmad, Pak.”
“Sudah gila kau, Daru. Kau kemanakan mayatnya?” tanya Parman. Ia terkejut mendengar penjelasan Daru.
“Aku hanyutkan ke sungai.”
Parman bergeming. Ia terlihat sedang berpikir.
“Roh Ahmad pasti akan mengejar-ngejar Mila,” ujar Parman.
“Mbah Karyo. Dia pasti bisa mengatasi roh Ahmad.”
“Mbah Karyo sudah lama meninggal,” jawab Parman singkat. Lanjutnya, “Mau tidak mau kita harus cari dukun lagi.”
Saat mereka sedang mengobrol, tiba-tiba terdengar suara kursi kayu yang bergesekan dengan lantai dari dalam kamar Mila. Buru-buru Daru menengoknya. Di sana terlihat Mila sedang membuat simpul dari sebuah syal untuk gantung diri.
Parman langsung loncat menerjang tubuh Mila. Ia segera menahan tubuh Mila agar tidak melakukan perbuatan nekat.
“Bangsat kau, Ahmad. Keluar dari tubuh anakku!”
Mila mengamuk. Ia bahkan menggigit lengannya sendiri hingga berdarah. Ia juga mencakar wajahnya sendiri. Gurat-gurat merah bekas cakaran muncul dan mengeluarkan sedikit darah.
“Daru ambilkan tali!” pinta Parman.
Bergegas Daru mengambil tali dari dapur. Kedua kaki dan tangan Mila diikat. Sementara itu, Mila tidak henti berteriak dan mengamuk.
“Keluar kau, Ahmad bangsat! Hadapi aku!” Daru naik pitam.
Tak lama kemudian, Parman dan Daru terpental seperti ada angin kencang menerjang tubuh mereka. Tali yang mengikat Mila pun putus. Mila perlahan bangkit lalu melangkah mendekati mereka berdua.
**Mila Kau Milikku**
Daru dan Parman mulai ketakutan. Mila yang sedang dirasuki Ahmad semakin mendekat ke arah mereka berdua. Sebuah pisau dari dapur tiba-tiba melayang. Pisau tersebut meluncur ke wajah Daru dan menusuk tepat di bagian mata kanannya.
Darah mulai keluar dan sekejap mengalir deras ke lantai. Parman berteriak. Ia merasa ngeri melihat kejadian itu.
Pisau yang menancap di wajah Daru perlahan bergerak. Pisau itu tercabut dengan sendirinya lalu melayang seperti hendak menghantam Parman. Namun, sesaat sebelum pisau itu melesat, Mbok Kartikah muncul. Ia adalah pembantu rumah Parman yang baru saja kembali dari kampung.
Mbok Kartikah terkejut dengan apa yang dilihatnya. Bibirnya kemudian bergetar merapalkan mantra. Pisau yang hampir saja membunuh Parman seketika jatuh.
Mila menoleh ke perempuan tua itu. Ia kemudian berlari menghampirinya. Leher Mbok Kartikah dicekik sekuat tenaga, namun Mbok Kartikah tetap tenang. Matanya mulai terpejam, bibirnya tak henti membaca mantra dalam bahasa Jawa.
“Iki panelukan ing braja. Hi kekilat kirta kama dewa kamanusan, kang mungguh ing bongkot ilat kita, kanyatahan andikaning Nabi rukun putih kang mungguh ing engah ilat kita, sang kintel putih kang mungguh ing puncak ilat kita, kanyatahan kamaciyaning Allah, iya iku kang wisesa ing braja kabeh."
Seketika Mila merasa tubuhnya panas seperti dibakar. Ia jatuh ke lantai seperti cacing kepanasan sambil berteriak minta ampun. Suara yang keluar bukanlah suara Mila, melainkan suara Ahmad.
Parman tidak menyangka kalau asisten rumah tangga Daru itu sakti juga. Mbok Kartikah mendekati Mila yang masih kesakitan. Telapak tangannya diletakkan di atas kening Mila.
“Keluar sampeyan dari tubuh ini!” bentaknya.
“Ampun! Panas! Ampun!”
Dengan sekali hentakan tangan, Ahmad keluar dari tubuh Mila. Tubuh Mila lunglai dan ambruk ke lantai. Ia kemudian dibopong oleh Parman ke tempat tidur, sementara Daru tewas dengan mengenaskan.
***
Dua hari semenjak kejadian mengerikan itu, Mila dirawat di rumah sakit. Ia terbaring tidak sadarkan diri. Selang infus dipasang di lengan kanannya. Satirah, ibunya Mila, setiap hari menangisi anaknya di tepi tempat tidur. Ia tidak menyangka begitu banyak cobaan yang dialami anaknya.
“Kita harus mengadakan ritual,” kata Mbok Kartikah yang beberapa hari ini ikut mengurus Mila.
“Lakukan, Mbok, asal anak saya selamat,” pinta Parman.
“Saya bisa merasakan kalau roh Ahmad masih ada di sini.”
“Jangan biarkan dia mengganggu anak saya lagi, Mbok,” tambah Satirah.
“Jangan khawatir, Pak. Dengan ritual ini, Roh Ahmad tidak akan pernah lagi mengganggu anak Bapak. Tapi, sebelum melakukannya, saya harus mempersiapkan sesajenan terlebih dahulu.”
“Mbok butuh apa? Nanti saya akan carikan,” kata Parman.
“Harus saya yang menyiapkan. Ada mantra yang harus dirapalkan saat membeli sajenan itu.”
Parman merogoh kantong celananya. Ia mengeluarkan lembaran uang berwarna merah sejumlah satu juta rupiah. Ia lalu menyerahkannya kepada Mbok Kartikah.
“Ini Mbok. Silakan cari sajenan itu. Segera lakukan ritualnya.”
Mbok Kartikah hanya mengambil tiga ratus ribu, “Segini sudah cukup, Pak.”
Sebuah jimat yang dibungkus dengan kain berwarna hitam diserahkan pada Parman, “Selipkan jimat ini di bawah bantal Mila agar ia terlindung dari roh Ahmad selama saya pergi.” Parman mengangguk.
“Mbok, terima kasih sudah berbaik hati pada keluarga kami,” Satirah menyentuh lengan Mbok.
“Tolong menolong memang sudah jadi kewajiban kita sebagai manusia,” Mbok Kartikah membalasnya dengan senyum.
Kemudian ia bergegas pergi dari ruangan itu. Jimat pemberian Mbok Kartikah diselipkan di bawah bantal Mila. Parman kemudian mengelus kening anaknya yang sedang tergolek tak berdaya itu.
***
Tengah malam, Mbok Karikah belum juga datang. Parman dan Satirah tertidur di tepi ranjang Mila. Dari kolong ranjang Mila, ada darah mengalir hingga menyentuh kaki Parman.
Parman terbangun karena merasa ada sesuatu yang membasahi kakinya. Dan, saat ia tengok ke kolong, kedua mata Parman terbelalak. Ia terkejut dengan apa yang dilihatnya. Itu sangat mengerikan sekaligus menjijikkan.
**Ritual**
Di kolong ranjang Mila ada kepala Ahmad, matanya melotot, mulutnya menganga lebar sambil mengeluarkan darah. Parman lalu mengguncangkan tubuh istrinya. Satirah bangun dengan mata yang masih terlihat mengantuk.
“Ada apa, Pah?”
“Ahmad Mah. Ahmad ada di kolong ranjang Mila.”
“Hah?!”
Satirah menengok ke kolong ranjang, tapi tidak ada siapa-siapa di sana.
“Mana Pah. Nggak ada kok.”
Napas Parman turun naik. Ia coba tengok kembali ke kolong ranjang dan benar saja, tidak ada siapa-siapa di sana.
“Tadi ada kepala Ahmad dan darah di sini, Mah.”
“Ah, papah mimpi kali. Selama ada jimat dari Mbok, Ahmad tidak akan berani gangggu Mila, Pah.”
Selang beberapa saat, Mbok Kartikah datang. Ia membawa satu sisir pisang mentah, kembang tujuh rupa, kemenyan, telur ayam kampung, dan segulung rambut wanita entah dari mana dia mendapatkan semua itu.
“Sukurlah Mbok datang,” kata Parman.
“Silakan Mbok,” Satirah beranjak dari tempat duduknya, maksudnya ingin memberikan tempat duduk itu pada si Mbok.
“Maap harus menunggu lama, tadi saya ngurus Farhan dulu sampai dia tidur. Saya duduk di lantai saja,” Mbok Kartikah meletakkan semua alat ritualnya di lantai.
“Oh, iya tidak apa-apa. Farhan baik-baik aja, kan?” tanya Parman.
“Iya, tadinya dia mau ikut ke sini, tapi saya larang karena besok Farhan harus sekolah. Dia masih kelihatan sedih kehilangan ayahnya.”
"Kami akan urus Farhan Mbok. Lambat laun dia pasti mengikhlaskan kepergian ayahnya," timpal Satirah.
Si Mbok tersenyum, ia kemudian memulai ritual. Satirah dan Parman menjauh darinya, mereka berdiri di pojok sambil memperhatikan ritual yang dilakukan si Mbok.
Ia membakar kemenyan, asap mengepul, aromanya menusuk hidung. Mata si Mbok terpejam, bibirnya komat-kamit. Ranjang Mila bergetar, seperti ada sesuatu yang mengguncangkannya. Satirah, ibunya Mila, sempat panik dan hendak menghampiri anaknya, tapi Parman menahan.
“Biarkan Mbok Kartikah menyelesaikan ritualnya,” bisik Parman.
Walau Satirah menampakkan wajah khawatir, ia manut pada suaminya.
Dari kolong ranjang Mila tiba-tiba muncul tubuh Ahmad seperti sulur-sulur mie, tubuhnya panjang terjulur hingga dua meter. Parman menutup mata istrinya, ia tidak mau Satirah melihat kejadian mengerikan itu. Tidak lama, tubuh Ahmad seperti mencair lalu hilang begitu saja.
Si Mbok membuka matanya. Ia menadahkan kedua telapak tangan ke langit. Mulutnya dibuka lebar, tangan kanannya dimasukkan ke dalam mulut, seperti sedang mencomot sesuatu. Lalu ditariknya seutas benang warna hitam dari dalam tenggorokannya. Parman terkejut melihat benang yang keluar dari mulut Mbok Kartikah, benang itu terus terjulur dan putus. Panjangnya mungkin saja satu meter, si Mbok mengelap benang itu dengan ujung bajunya karena penuh dengan lendir.
Ia kemudian bangkit dari duduknya lalu memakaikan benang itu di pinggang Mila.
“Roh Ahmad tidak akan berani mengganggu Mila selama benang ini masih melingkar di pinggangnya,” ucap Mbok Kartikah sambil tersenyum.
“Terima kasih banyak, Mbok. Saya akan pastikan benang itu tidak akan lepas dari pinggang Mila.”
Selang beberapa saat, tangan Mila bergerak. Matanya perlahan terbuka. Ia memaksakan tubuhnya untuk bangun.
“Daru?” panggil Mila.
Kedua orangtuanya menangis lalu memeluk Mila. Mereka belum siap menceritakan
apa yang terjadi pada suaminya itu.
**Dua Bulan Kemudian**
Semua berubah, Mila sudah ikhlas dengan kepergian Daru. Roh Ahmad juga tidak pernah mendatangi Mila lagi. Tidak terpikir oleh Mila untuk menikah lagi, ia ingin fokus mengurus anaknya. Atau bahkan Mila tidak akan pernah menikah lagi dengan siapa pun. Kehidupannya saat ini sudah cukup bahagia.
Seperti sore itu, ia mengajak anaknya untuk piknik ke kolam renang. Kebetulan kolam renang itu sedang ramai pengunjung. Mereka datang bersama sanak keluarga, pasangan, atau bersama teman-teman. Mila hanya datang berdua dengan anaknya, mereka asyik bermain air di kolam yang dalamnya sedada Mila. Farhan berenang menggunakan balon karet. Sesekali menjauh lalu mendekat lagi ke ibunya.
“Ibu itu apa?”
Farhan menunjuk ke arah belakang Mila.
Mila menoleh, sebuah benang warna hitam mengambang di permukaan air. Ia terkejut dan panik. Dengan terburu-buru, ia berenang hendak meraih benang tersebut. Namun, dari dalam air wajah Ahmad yang pucat muncul. Ia tersenyum mengerikan. Ditariknya kaki Mila ke dalam air, Mila meronta-ronta, Farhan berteriak minta tolong. Sayangnya terlambat, Mila kehabisan napas, ia tewas mengambang di permukaan kolam renang.
SELESAI