Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SUSUK MAYAT


***Sarminah***
JEJAKMISTERI - Mungkin kalau ada orang yang kebetulan melintas di jalan Tanjung Sari, mereka tidak akan memperhatikan sebuah rumah yang terletak di pinggir jalan tersebut, karena memang tidak ada yang menarik dari rumah itu.

Cat rumahnya sudah memudar, ada dua tiang sebagai penyangga di bagian depan, juga dua jendela kayu yang dibiarkan terbuka walau hari sudah semakin gelap. Di halamannya, berdiri dengan subur dan rindang sebuah pohon rambutan yang buahnya tidak pernah dipetik. Dibiarkan matang dan busuk begitu saja sepanjang tahun.

Di teras rumah ada dua kursi kayu dan sebuah meja yang jarang sekali diduduki. Rumah itu terletak di pinggir jalan sehingga setiap orang yang melintas akan berpikir kalau rumah itu terkesan selalu sepi walau sebenarnya ada dua orang penghuni di dalam. Penghuni rumah itu adalah Sarminah, wanita tua yang terbaring sakit selama bertahun-tahun, dan Atiah si pembantu yang setia merawatnya.

Tapi hari ini tidak seperti hari-hari biasanya, ada sebuah mobil sedan mewah yang terparkir di halaman rumah itu. Tidak biasanya Farah berkunjung secepat ini, rutinnya ia datang sebulan sekali untuk menengok buyutnya dan juga untuk menggaji Atiah. Farah adalah satu-satunya keluarga Sarminah yang masih peduli padanya.

Setelah anak Sarminah meninggal tidak ada lagi yang mau mengurusnya selain Farah. Mereka sudah bosan mengurus Sarminah yang terbaring sekarat selama bertahun-tahun. Sarminah memang sudah sangat tua, tapi entah kenapa ajal tak kunjung menjemputnya.

Sehari-hari, ia hanya terbaring di atas tempat tidur. Soal makan, minum, bahkan buang air ia lakukan di atas tempat tidurnya. Pembantu yang merawat Sarminah pun sudah berganti-ganti orang dan hanya Atiah lah yang paling betah merawat nenek tua itu.

Ia bekerja sendirian merawat Sarminah di rumah itu selama lima tahun. Namun, hari ini dia mau mengundurkan diri. Itulah yang membuat Farah bingung lantaran jarang sekali ada orang seperti Atiah yang mau bekerja seperti ini.

Di kamar Sarminah, Farah mencoba untuk membujuknya agar tidak mengundurkan diri. Ia bahkan menawarkan kenaikan gaji dua kali lipat, tapi keputusan Atiah sudah bulat. Ia tetap mau berhenti kerja. Berkali-kali Atiah meminta maap karena tidak bisa menerima tawaran gaji dari Farah. Sementara Farah sendiri tidak mungkin bisa mengurus buyutnya itu karena ia sangat sibuk dengan pekerjaanya. Setelah menawarkan kenaikan gaji sampai tiga kali lipat, ia akhirnya menyerah.

Anehnya, saat Farah menanyakan alasan kenapa Atiah mau berhenti kerja, wanita itu tidak mau menjelaskannya. Wajahnya terlihat cemas dan ingin segera pergi dari rumah itu. Farah mengeluarkan amplop yang berisi uang gaji Atiah selama sebulan dan pesangonnya. Tanpa banyak basa-basi lagi, setelah menerima uang itu, Atiah langsung pamit. Farah mengantarnya sampai beranda rumah. Setelah Atiah pergi, Farah menutup pintu lalu mengembuskan napas berat. Ia bingung ke mana harus mencari pengganti Atiah.

Farah melangkah ke kamar buyutnya. Di atas tempat tidur, Sarminah terbaring dengan tenang. Matanya terpejam, dadanya turun naik menandakan kalau dia masih hidup. Farah memperhatikan rambut buyutnya, rambut itu sempurna berwarna putih dan terlihat lebih panjang dari semenjak terakhir kali Farah menengoknya. Wajah Sarminah sangat keriput, kedua bibirnya tenggelam ke dalam mulut, kulit lehernya melambai, dan kedua kakinya kurus kering.

Biasanya kalau Sarminah merasa lapar, ingin buang air atau haus, matanya pasti terbuka kemudian melenguh macam suara kerbau yang sedang disembelih, memberi pertanda kalau Sarminah ingin dilayani. Untuk urusan makan, selama bertahun-tahun Sarminah hanya makan gerusan biskuit yang dicambur air kemudian pembantu yang merawatnya akan menuangkan makanan itu ke mulut Sarminah. Itu pun si pembantu harus membukakan mulut Sarminah terlebih dahulu.

Saat Farah sedang memandangi kondisi Sarminah, tiba-tiba nenek itu melenguh, matanya terbuka. Farah paham itu, segera dia memeriksa bokong buyutnya, tapi masih kering. Pampersnya belum bocor karena tadi pagi Atiah memakaikannya sebanyak tiga lapis. 
“Mbok mau apa?” Tanya Farah sambil senyum ke wajah Sarminah.

“Haus, ya?” Farah meraih segelas air dari atas meja kecil di samping tempat tidur Sarminah. Ia sendok air tersebut.

Namun, Saat Farah menuangkannya ke mulut Sarminah, air itu malah dimuntahkan.
“Mbok lapar?” Tetap saja ketika Farah menuangkan makanan ke mulut Sarminah, nenek itu perlahan memuntahkannya lagi.

Farah menyeka rambutnya yang panjang, ia bingung sebenarnya apa yang diinginkan buyutnya itu. Ia terus melenguh tidak karuan. Suaranya bahkan terpantul ke dinding kamarnya. Dalam kebingungan, ia merogoh telepon genggam, bermaksud untuk menghubungi kerabat yang lain. Tapi, semua kerabatnya itu tidak ada yang peduli, mereka malah menyuruh Farah untuk menyuntik mati Sarminah lantaran sudah bosan mengurusnya lagi.

Sudah beberapa kali Sarminah dibawa ke rumah sakit, tapi penyakitnya tidak kunjung sembuh sedangkan biaya rumah sakit semakin membengkak. Akhirnya mereka membawa pulang Sarminah dan menyuruh orang lain merawatnya.

Saat Sarminah masih melenguh, tiba-tiba terdengar suara gong ditabuh. Suara itu terdengar hanya sekali pukulan saja. Memang di samping kamar Sarminah ada sebuah ruangan khusus untuk menyimpan barang-barang lama milik Sarminah. Farah bergegas mengecek ada apa di kamar sebelah, ia heran siapa tadi yang menabuh gong padahal di kamar itu sepi. Seketika Farah teringat tentang alasan Atiah berhenti, ada apa sebenarnya? Kenapa Atiah terlihat sangat ketakutan?

***Panggung Ronggeng***
Satu hari sebelumnya, seperti biasa setiap malam Atiah menggerus biskuit untuk Sarminah. Malam itu hujan sedang deras, kilat berkelebatan, semburat cahayanya mematul pada dinding tua. Sebuah radio dibiarkan menyala, menyiarkan lagu dangdut jadul kesukaan Atiah.

Kepala Atiah mengangguk-angguk sambil ikut bernyanyi dengan suara pelan. Ia menuangkan air sedikit demi sedikit pada mangkuk kecil berisi gerusan biskuit lalu diaduk hingga halus. Setelah dirasa selesai, ia kemudian beranjak ke kamar Sarmninah. Dan... betapa terkejutnya saat ia melihat Sarminah tiba-tiba berdiri menghadap jendela. 
“Mbok udah sembuh?”

Sarminah tidak menjawab. Atiah tersenyum ragu-ragu, hatinya campur aduk, ada senang, heran, dan sekaligus takut. Sudah lama sekali Sarminah terbaring, dan baru sekarang Atiah melihatnya bisa berdiri. Rambut Sarminah tergerai panjang sepinggang. Rambut itu putih semua, kebetulan Sarminah sedang mengenakan daster yang juga berwarna putih. Bayangan Sarminah hilang timbul tersorot cahaya kilat.

“Susuk mayat,” lirih Sarminah. Baru kali itu juga Atiah mendengar suara Sarminah. 
Ia bingung apa maksud Sarminah berkata seperti itu.
“Susuk mayat? Maksud Mbok apa, ya?” Atiah mendekat perlahan. Kilat terus berkelebatan.

“Bunuh aku...,” Sarminah kembali berucap aneh. Malah minta dibunuh.
“Mbok?” Atiah tersenyum, perlahan ia angkat lengannya untuk menyentuh pundak Sarminah.

Tangannya berhasil menyentuh pundak itu, terasa sekali lengkungan tulangnya. Maklum saja, tubuh Sarminah hanya tinggal tulang dan kulit. Sangat kurus dan sangat kering. Walau pundaknya sudah disentuh, Sarminah tidak memalingkan badan. Ia tetap berdiri menghadap jendela yang tirainya terbuka. 
“Mbok, makan dulu yuk. Aku udah siapin makanan buat Mbok.”
“Mbok?” lanjut Atiah.

Tubuhnya seperti patung, tidak dapat digerakkan. Saat Atiah sedang berusaha untuk berkomunikasi dengan Sarminah, terdengar suara gamelan di kamar sebelah. Suaranya berbaur dengan iringan angklung, gambang, dan gong.

Semua alat tersebut adalah milik Sarminah, sudah lama sekali terbengkalai di kamar sebelah. Atiah tidak pernah membersihkannya, banyak sarang laba-laba yang membungkus peralatan tersebut.

Bayangkan saja, siapa malam-malam begini yang memainkan alat-alat tua itu? Atiah semakin ketakutan. Selama dia bekerja, belum pernah sekali pun mengalami hal-hal aneh seperti ini. Ragu-ragu Atiah keluar dari kamar, menuju sumber suara tersebut. 
Pintu kamar didorong perlahan, dada Atiah turun naik, dahinya sudah berkeringat. Derit engsel pintu yang sudah lama tak diminyaki terdengar nyaring. Betapa terkejutnya Atiah ketika melihat banyak lelaki yang sedang asik memainkan gamelan di kamar tersebut.

Semua lelaki terlihat asing. Dari mana datangnya mereka? Kenapa mereka bisa ada di kamar ini? Atiah mengerutkan dahinya, dan saat hendak balik badan, berdirilah seorang lelaki muda berparas rupawan mendekati Atiah. Ia mengenakan blangkon bercorak batik warna kuning, celana panjang hitamnya cingkrang semata kaki. Ada sebuah selendang warna ungu yang melingkar di leher lelaki tersebut.

Ia tersenyum mendekati Atiah. Kemudian selendang itu dikalungkan pada lehernya, perlahan Atiah digiring masuk ke dalam kamar. Suara gamelan semakin bertalu-talu, Atiah terperdaya. Ia tidak sadarkan diri, tatap matanya kosong dan tubuhnya menari-nari bersama lelaki tampan itu.

Atiah seperti masuk ke dalam kumparan cahaya, seketika ia terkejut saat melihat dirinya berada di sebuah panggung pertunjukkan ronggeng. Orang-orang ramai menontonnya dari bawah sambil bersorak-sorak memanggil nama Atiah.

Ia meraba pakaiannya sambil terheran-heran, Atiah mendapati dirinya sudah berpakaian seperti seorang ronggeng, kebaya, sarung batik, rambutnya dikonde, ada bunga melati di rambut belakangnya. Selendang terselempang di lehernya. Di mana ini? Atiah kebingungan.

***Kesaksian Atiah***
Atiah juga meraba wajahnya. Pipinya tebal sekali oleh bedak. Sementara di depan panggung berjejer beberapa obor yang menyala. Apinya berayun-ayun tertiup angin. Puluhan orang berkerumun di depan panggung. Mereka menari mengikuti alunan musik.

Di atas panggung tersebut bukan hanya Atiah saja yang menjadi ronggeng. Ada tiga orang lainnya yang sedang menari dengan sangat anggun.

Di hadapan mereka ada beberapa lelaki yang ngibing, menari sambil nyawer. Perhatian Atiah tiba-tiba tertuju ke sebuah keributan di tengah penonton. Di sana terlihat seorang wanita buruk rupa diseret paksa oleh tiga orang wanita cantik.

Mereka semua berpakaian ronggeng. Hanya saja pakaian si wanita buruk rupa sudah acak-acakan seperti habis dianiaya.

Dua orang memegangi tangannya, sedangkan satu orangnya lagi menjambak rambutnya. Saat itu juga alunan musik berhenti. Semua orang tertuju kepada wanita buruk rupa yang sedang menangis meminta ampun. 
“Si Sarminah maling pakaian ronggengku. Dasar wanita buruk rupa! Terkutuk!” salah satu dari wanita itu memaki-maki Sarminah. 
“Kau yakin dia malingnya?” tanya salah seorang penonton. 
“Kau lihat saja, baju siapa yang ia pakai ini? Ini pakaianku!”
“Aku tidak maling. Aku memungutnya. Baju ini mereka buang di belakang panggung.”
“Heh... sudah maling, berbohong lagi!” Sekar membentak.
“Kita telanjangi saja dia!” salah seorang dari wanita itu memberi usulan sadis sambil menunjuk wajah Sarminah yang sedang menangis. 
“Jangan! Kumohon jangan!” Sarminah merapatkan telapak tangannya, memohon agar tidak ditelanjangi.

Sayangnya, tidak ada yang mendamaikan perseteruan itu. Baju Sarminah dilucuti satu persatu dengan cara yang sangat kasar. Ia sempat mengamuk, tapi tiga wanita itu cukup kuat untuk menahannya.

Para lelaki yang menonton kejadian tersebut seperti membiarkan saja. Mereka malah merasa diuntungkan karena ada tontonan tubuh wanita gratis di hadapan mereka.

Tiga perempuan tertawa puas setelah berhasil mempermalukan Sarminah. Buru-buru Sarminah pergi dari kerumunan lelaki sambil membawa serta beberapa helai pakaian untuk menutupi tubuhnya. Ia berlari sambil menangis kencang dan berteriak.
"Terkutuklah kalian!" semakin jauh tubuhnya, semakin tidak terlihat. Barangkali ia masuk ke dalam hutan.

Entahlah. Yang jelas kejadian tersebut membuat Atiah yang sedang berdiri di panggung tercengang. Ia menutup mulutnya dengan telapak tangan. Kakinya melangkah mundur.

Tiga orang yang baru saja mempermalukan Sarminah kini malah menatap Atiah dengan tajam. Mereka melangkah mendekati Atiah. Bukan hanya tiga wanita itu saja, tapi semua orang yang ada di sana secara tiba-tiba menatap Atiah dengan tatapan dingin. 
“Kenapa? Aku salah apa?” Atiah ketakutan.

Dada Atiah seperti ditendang dengan sangat keras. Dalam satu hentakan saja ia tersadar. Ia mendapati dirinya sedang ada di dalam kamar. Napasnya terengah-engah. Ia menoleh sekeliling. Tidak ada seorang pun yang memainkan alat musik di kamar itu.

Dengan tergesa ia menutup pintu kamar. Atiah lalu melangkah menuju kamar Sarminah. 
Setibanya di dalam kamar, dilihatnya tubuh Sarminah menjulang tinggi hingga menyentuh langit-langit kamar. Ia menatap Atiah sambil tersenyum mengerikan. Kedua kakinya tidak menyentuh lantai. Dengan gontai, Sarminah mendekati pembantunya. 
“Mayatku....”
“Kau mayatku....”
Atiah menjerit ketakutan. Ia lari terbirit-birit hendak keluar rumah. Tapi, pintunya terkunci rapat dan tak dapat dibuka. Sarminah semakin mendekat. Tubuh Atiah sekarang berada di antara selangkangan Sarminah. 
“Mayatku....” desis Sarminah.
Atiah pingsan seketika.

***Kita Bunuh Dia***
Suara gong terdengar hanya sekali, perlahan Farah membuka pintu kamar tempat penyimpanan alat-alat musik ronggeng milik Sarminah. Tidak ada siapa-siapa di dalam, hanya ada alat-alat musik ronggeng yang terbungkus sarang laba-laba. Ia kembali ke kamar Sarminah, sontak saja Farah berteriak saking kagetnya lantaran melihat Sarminah duduk di atas kasurnya dengan keadaan mata melotot dan mulut terbuka lebar. Setelah sekian lama sakit, baru kali ini Farah mendapati buyutnya duduk seperti itu. 
“Bunuh aku. Susuk mayat....” 
Suara yang keluar dari tenggorokan Sarminah terdengar sangat kering dan ringkih. Farah tidak mengerti apa yang sedang diucapkan buyutnya itu.

“Mbok? Udah bisa duduk?” tanya Farah sambil menampakkan wajah ketakutan. 
Tidak lama kemudian, terdengar seseorang mengetuk pintu. Farah bergegas membukanya, mereka sudah datang. Itu ternyata kerabat Farah yang juga masih keturunan Sarminah, sebenarnya Farah meminta semuanya hadir, tapi yang datang hanya tiga orang saja. Mereka adalah Ningsih, Gion, dan Rizal semuanya adalah cicit Sarminah. 
“Kalian lihat ini,” Farah dengan panik menunjukkan keadaan buyutnya. 
“Mbok udah bisa duduk?” tanya Gion.
“Kalian dengar.”
“Bunuh aku. Susuk mayat....”
Sarminah terus-terusan mengucapkan kalimat tersebut. Gion mendekat dan menyentuh kening Sarminah.

“Mbok?” tanya Gion.
"Dia tidak sadar. Ini aneh, baru kali ini aku melihat Mbok duduk dan bisa bicara seperti itu," kata Farah.
“Apakah kalian sadar kalau Mbok kita ini sudah sekarat bertahun-tahun, tapi tak kunjung meninggal,” 
“Iya betul ini tidak wajar,” timpal Ningsih. 
“Benar sekali Ningsih. Kejadian ini memang tidak wajar,” tambah Rizal.
“Bunuh aku. Susuk Mayat....”
Lirih dan kering suara itu keluar lagi dari tenggorokan Sarminah. 
“Apakah kalian sayang sama Mbok kita?” tanya Ningsih. 
Mereka semua mengangguk.
“Kalau begitu kita harus mengakhiri penderitaannya,” tambah Ningsih.
“Maksud kamu kita harus bunuh dia?" 
Farah menatap kerabatnya, mereka mengangguk.
"Nggak! Itu namanya pembunuhan,” Farah membentak. 
“Dengarkan Farah, mau sampai kapan kau ngurusin Mbok, hah? Mau kau warisi ke anak cucumu! Mbok kita pasti punya ilmu hitam dan susah meninggal,” Ningsih pun naik pitam.

“Tapi membunuh Mbok itu bukan solusi!” Farah membentak.
“Lalu apa solusimu?” tanya Rizal yang terkesan membela pendapat Ningsih. 
“Bunuh aku..., susuk mayat....”
Kembali Sarminah berucap lirih. 
“Kau dengar itu Farah. Mbok kita minta dibunuh,” Ningsih mendesak. 
Farah menggelengkan kepala.
“Kalian sudah gila! Aku nyuruh kalian ke sini untuk mencarikan solusi, cari orang yang mau rawat Mbok kita.”
“You are wasting your money, Farah,” timpal Gion. 
“Ya sudah, begini,” setelah dari tadi terlihat berpikir, Rizal akhirnya buka suara. 
“Em.... Farah, kita semua sayang sama Mbok. Tapi keadaan Mbok kita sekarang sudah tidak wajar. Kau paham, kan? Kadang hal menyakitkan itu baik untuk seseorang. Kita akhiri saja penderitaan Mbok, ya.”
“Aku tidak bisa Mas,” mata Farah mulai berkaca-kaca.
“Aku yakin Mbok pasti senang dengan keputusan kita ini.” 
Farah tertunduk lesu. Tidak ada jawaban yang keluar dari mulutnya lalu ia menangis pilu. Rizal mengembuskan napas berat, ia kemudian berdiri. 
“Bagaimana cara terbaik untuk mati?” tanya Rizal.
“Cekik?” usul Ningsih. 
“Tidak!” Farah membentak. 
Ningsih menampakkan wajah kesal sambil menggelengkan kepala. 
“Bekap saja napasnya?” usul Gion. 
“Itu terlalu sadis!” kembali Farah menolak usulan kerabatnya.
“Sianida! Kita kasih obat tidur dulu lalu kita cekoki sianida.” 
Semua mengangguk kecuali Farah, ia masih menangis. Ia tidak tega, tapi di sisi lain pendapat Rizal ada benarnya, kadang hal menyakitkan itu baik untuk seseorang.

***Kematian Sarminah***
Mereka setuju. Sarminah akan diracun menggunakan sianida. Rizal segera pergi untuk mencari obat tidur dan sianida. Setelah hampir satu jam, akhirnya ia kembali. Obat tidur bubuk dicampurkan ke dalam sesendok air kemudian diminumkan kepada Sarminah yang masih dalam posisi duduk.

Anehnya, ia masih tetap melotot sambil berkali-kali minta dibunuh. Mereka bingung kenapa obat tidur tidak mempan terhadap tubuh Sarminah. Rizal pun kembali meminumkan sianida. Setelah beberapa menit, tetap saja Sarminah tidak tewas. Dia masih tegak dalam posisi duduk.

“Kau lihat Farah!” Gion menunjuk mboknya, “Mbok, kita udah nggak wajar. Sianida aja nggak mempan.” 
“Lalu bagaimana ini?” tanya Ningsih. 
“Tidak ada cara lain, kita cekik saja,” jawab Rizal.
“Tidak!” Farah menolak.
Tapi sekarang tidak ada yang peduli dengan penolakan Farah. Mereka tetap akan membunuh Sarminah demi menghentikan penderitaannya.
“Siapa yang berani melakukannya?” tanya Rizal. 
Semua terdiam. 
“Ya sudah, kita gantung saja,” Rizal memutuskan.
“Kalian sudah gila!” teriak Farah, hal itu terlalu sadis baginya. 
“Kau tunggu saja di luar, Farah,” suruh Rizal.

Gion hendak memaksa Farah keluar dari kamar. Tapi, Farah menepis lengannya lalu keluar kamar. Mereka tidak memedulikan kerabatnya itu. Terpenting, sekarang bagaimana caranya mengakhiri penderitaan Sarminah.

Rizal mengikatkan sebuah tali tampar pada plafon kamar. Ia membuat simpul melingkar. Gion menyiapkan tiga buah kursi untuk menaikkan tubuh Sarminah. Setelah semua siap, Rizal dan Gion menggotong tubuh Mbok mereka. Sementara itu, Ningsih menahan kursinya.
“Sialan!” delik Rizal.
“Kenapa?” Gion mengerutkan dahi.
“Pampersnya bocor.”

Perlahan tubuh Sarminah dinaikkan ke atas kursi. Sebuah tali dikalungkan di lehernya. Rizal masih menahan tubuh Sarminah dari bawah. Setelah semua sempurna, ia melepas pegangannya. Sarminah digantung, tangannya tidak meronta, kakinya tenang melayang di atas lantai, dan kedua matanya melotot.

Ia tidak lagi berucap apa-apa. Setelah satu jam digantung, Rizal dan Gion menurunkan tubuh Sarminah. Mereka memeriksa detak jantung dan denyut nadi, sudah tidak ada. Sarminah mati, itu membuat mereka tersenyum bahagia. Akhirnya upaya mereka untuk mengakhiri penderitaan Sarminah berhasil. 
“Sekarang bagaimana?” tanya Gion.
“Kita makamkan lah.”
“Aku ingin ada pengajian dulu,” sergah Farah. Walau bagaimana pun, ia tetap sayang sama Mboknya. 
“Ya sudah terserah mau kau.”

Farah beranjak ke kediaman Pak Sudarjo, ketua RT untuk mengumumkan kepada warga kalau Mbok Sarminah sudah meninggal. Pak Sudarjo sempat kaget mendengar berita tersebut. Sudah sekian lama Sarminah sekarat. Ia bergegas ke musala untuk mengumumkan kematian Sarminah.

Malam itu juga warga berkumpul di rumah Sarminah. Surat Yasin dibaca bersama-sama dilanjut tahlil. Pak Sudarjo kemudian membacakan doa untuk Sarminah.
Namun, ketika sedang dibacakan doa, lengan Sarminah yang sudah ditata untuk sedekaptiba-tiba jatuh ke lantai. Semua terkejut dan mengucap istighfar. Farah lalu membetulkan kembali.

“Tenang, Bapak-bapak. Ini hal biasa. Mungkin urat syarafnya masih bereaksi,” ujar Farah. 
Pak Sudarjo kembali melanjutkan lantunan doa. Lagi-lagi lengan Sarminah jatuh. Farah membetulkannya lagi. Warga mulai ketakutan. Mereka tidak berani menatap jenazah Sarminah.

Tak lama berselang, terdengar suara gong dipukul dari kamar. Itu membuat semua orang yang hadir di sana berteriak kaget. Dan... saat itu juga, jenazah Sarminah melesat, terbang begitu saja sambil tertawa terbahak-bahak. Kain yang menutupi tubuhnya berhambur ke mana-mana.

Tubuhnya seperti menguap menembus langit-langit rumah. Ia menghilang. Itu membuat semua orang lari terbirit-birit ketakutan. Mereka pasti akan mengingat suara tawa Sarminah yang terbahak dan besar itu.

Jenazahnya tidak pernah ditemukan lagi. Rumah itu menjadi sangat angker. Setiap malam suara tawa Sarminah selalu terdengar di langit-langit rumah itu dan membuat warga ketakutan. Farah sudah memasang plang kalau rumah itu dijual. Namun sampai sekarang belum juga laku.

***Hikayat Sarminah***
Siapa sebenarnya Sarminah? Dulu sekali, di sebuah kampung bernama Ci Ijau, Sukanti seorang perempuan cantik yang merupakan penari ronggeng tersohor melahirkan bayi perempuan berwajah buruk. Ia tidak menyangka kalau bayinya akan lahir dalam keadaan jelek seperti itu, tidak punya batang hidung, bibirnya sungging, matanya rapat sebelah, pipinya seperti habis terkena luka bakar.

Dijamin semua orang yang melihat bayi Sukanti akan bergidik ngeri atau bisa jadi ngilu. Orang-orang kampung itu berkata, pasti bayi Sukanti kena kutukan karena bayi itu adalah hasil hubungan gelapnya dengan Burhan.

Tapi, anak tetaplah anak. Sukanti tidak mau menyesali kelahiran putrinya itu. Juga tidak pernah menangisi kepergian Burhan, lelaki bajingan yang menghamilinya. Dari penghasilan menari ronggeng itulah ia menghidupi putrinya.

Sarminah begitu nama yang diberikan pada gadis buruk rupa itu. Tidak ada yang mau berteman dengan Sarminah. Ia sering terlihat bermain sendirian di bawah pohon bambu hanya sebuah boneka yang terbuat dari batang kayu yang menjadi temannya sehari-hari.

Nasib malang belum sampai di situ, saat usianya menginjak lima belas tahu, ibunya meninggal karena sakit, ia tidak pernah tahu penyakit apa yang diderita ibunya. Semenjak saat itu kehidupannya semakin sulit, untung saja ada Mbok Ibah, dukun paraji yang pernah membantu ibunya saat melahirkan, dia bersedia memungut Sarminah sebagai anaknya.

Mbok Ibah ini sudah sangat tua, ia lahir saat Indonesia masih dijajah Belanda. Bahkan di zaman Jepang, ia sempat menjadi jagun ianfu, budak pemuas nafsu tentara Jepang. Dia adalah wanita yang beruntung karena masih bisa selamat dari cengkraman tentara Jepang. Teman-temannya banyak yang mati di tempat lokalisasi. Ada yang bunuh diri atau tewas diperkosa ramai-ramai oleh tentara Jepang.

Sekarang nenek tua itu harus mengurus Sarminah si gadis buruk rupa. Mbok Ibah yang sudah bungkuk membawa Sarminah ke rumahnya, selama bertahun-tahun ia menghidupi Sarminah dari hasil memijat warga kampung hingga Sarminah tumbuh dewasa.

Satu hal yang tidak bisa dihilangkan dalam dirinya, ia ingin seperti ibunya, menjadi penari ronggeng yang tersohor di Ci Ijau. Tapi, dengan keadaan wajahnya yang buruk rupa tersebut, bagaimana mungkin ia mengikuti jejak ibunya. Seorang penari ronggang harus punya paras yang cantik dan tubuh indah.

Kalau macam Sarminah rasanya sangat mustahil bisa seperti ibunya. Setiap malam, di kamarnya yang sempit berdinding bilik, ia sering latihan menjadi ronggeng. Memperagakan gerakan-gerakan ronggeng yang sering ia tonton saat ada pertunjukan di kampung. 
“Belum tidur, Cu?” Ucu adalah panggilan sayang Mbok Ibah pada Sarminah. Ia membuka pintu kamar dan tersenyum pada Sarminah. 
“Belum, Mbok.” 
“Mau jadi penari ronggeng, tah Cu?” tanya Mbok Ibah dengan logat sunda yang kental. 
“Seperti ibuku, aku mau jadi penari tersohor di Ci Ijau,” Sarminah berujar sambil terus memperagakan tarian walau terpatah-patah. 
Mbok Ibah masuk ke kamar Sarminah dengan gontai, ia duduk di tepi tempat tidur yang hanya beralaskan tikar daun pandan. 
“Tarianmu bagus, Cu. Jadi ingat ibumu.”
“Terima kasih Mbok. Lihat ini,” Sarminah semakin lincah saja menari di depan Mbok Ibah sampai-sampai membuat nenek tua itu terkagum.
“Hati-hati Cu,” Mbok Ibah terkekeh, ia takut anak angkatnya tergelincir.

***Aku Bukan Pencuri***
Di suatu pagi sepulang dari hutan, Sarminah mendapati Mbok Ibah terkapar di halaman rumah. Ia meninggal. Malangnya nasib Sarminah, ia harus hidup sebatang kara di gubuk reot. Bayang Mbok Ibah selalu ada dalam benaknya. Apalagi kalau melihat barang-barang peninggalannya, sudah pasti Sarminah menangis tersedu-sedu.

Ia mewarisi profesi Mbok Ibah, jadi tukang pijat. Demi mencukupi kebutuhan hidup, ia harus rela memijat bapak-bapak yang kulitnya keras. Tak jarang, mereka juga bau ketiak. Terkadang Sarminah muntah-muntah setelah memijat mereka.

Sarminah tidak mau nasibnya berakhir jadi tukang pijat selamanya. Sampai pada akhirnya ia ingin menjadi penari ronggeng saja. Namun, orang-orang selalu meledeknya. Bahkan, orang-orang itu bersumpah demi semua dedemit di muka bumi ini. Bagi mereka, Sarminah mustahil bisa menjadi penari ronggeng. 
“Mana ada penari ronggeng wajahnya jelek sepertimu, Sarminah?" 
"Jangan mimpi!"
"Sangat mustahil. Mau sampai kiamat pun kau tidak akan pernah bisa jadi penari ronggeng."
"Kau pantasnya jadi demit, Sarminah. Kan keturunan demit, ya. Wajah kok jelek banget.”

Begitu cacian yang sudah biasa didengar Sarminah. Ada kalanya ia putus asa dan mengubur impiannya itu. Tapi, Sarminah selalu kembali pada tekadnya. Ia yakin pasti bisa mengikuti jejak ibunya. Hingga pada suatu malam, sepulang memijat pelangganya, ia mampir ke sebuah pertunjukan ronggeng.

Pertunjukan itu dipadati penonton. Sarminah sampai harus naik ke pohon duku agar bisa melihat para penari ronggeng. Setelah beberapa menit di atas pohon, ia merasa pegal kemudian turun.

Tiba-tiba terpikir di benaknya, ingin sekali Sarminah melihat ruang dandan para penari ronggeng. Selama ini, ia memang penasaran bagaimana cara mereka mematut diri hingga jadi sangat menawan di atas panggung.

Di tengah-tengah keramaian, Sarminah mengendap-endap ke belakang panggung. Di sana ada sebuah tenda yang ditutup seadanya dengan bilik bambu. Dari lubang bilik itu Sarminah mengintip pelan-pelan. Dilihatnya para penari ronggeng sedang berdandan. Ada tiga orang penari di dalam sana.

Mereka semua cantik. Tubuhnya juga indah dan berpakaian bagus. Sarminah menguping percakapan mereka bertiga yang sedang membahas lelaki tampan di kampung Ci Ijau. Sesekali para ronggeng itu tertawa sambil terus memupuk wajahnya dengan bedak.

“Tampaknya baju ini sudah tidak layak pakai,” Jumaira menunjukkan sebuah pakaian ronggeng kepada Sekar.
Sekar berhenti membedaki wajah. Ia menoleh ke arah Jumaira.
“Iya, buang saja.”
Dilemparlah pakaian tersebut ke belakang tenda. Sarminah melihat pakaian ronggeng yang dibuang. Segera ia memungutnya, kemudian mengenakan pakaian tersebut. Hatinya sangat senang. Tidak disangka-sangka pakaian itu pas di badannya.

Dengan perasaan gembira, ia menari-nari di belakang tenda layaknya penari ronggeng. Tak terasa kakinya tersandung akar pohon duku. Tubuhnya terjerembap ke semak-semak. Para sinden di dalam tenda mendengar suara tersebut. Mereka berhambur keluar untuk melihat siapa yang ada di belakang tenda.

Ternyata si wanita buruk rupa. Mereka kenal Sarminah. Dan, tentunya mereka membenci perempuan itu karena wajah Sarminah buruk rupa. Mereka yakin kalau Sarminah bisa membawa sial. 
“Oh, rupanya kau, Sarminah,” ucap Jumaira.
“Maling kau, ya!” Sekar membentak.
“Kita habisi saja dia,” Komariah mengusulkan ide kejam.

Dengan sadis mereka menyeret Sarminah ke tengah-tengah penonton. Di sana, mereka menelanjanginya. Sarminah kemudian lari sambil menangis. Ia sangat terluka diperlakukan tidak manusiawi seperti itu.

Sarminah tidak pulang ke rumah, melainkan pergi ke makam ibunya. Malam-malam seperti itu, ia menangis tersedu-sedu di pinggir pusara ibunya. Ia tumpahkan semua kesedihan. Saat itu pula, dari kegelapan di antara batang-batang pohon, muncul sesosok kakek berpakaian hitam. Kakek itu mendekati Sarminah.

***Grup Ronggeng***
“Kau rindu ibumu, hah?” Tanya kakek tersebut sambil melangkah mendekati Sarminah.

Sarminah waspada, walau pun ia sudah berpakaian rapi, tetap saja kejahatan bisa terjadi. Buru-buru menyeka air mata yang menjuntai di pipinya lalu mundur beberapa langkah ke belakang. Bulan sedang terang benderang menyinari malam, semakin dekat wajah kakek itu semakin jelas terlihat. Rambutnya gondrong warna hitam berselang putih karena ada ubannya. Ia punya brewok yang sudah berwarna putih, ada tahi lalat yang cukup besar di bagian pipi kanannya. 
“Jangan takut. Aku Sadiman,” kakek itu menyunggingkan senyum. 
Tetap saja Sarminah waspada, ia menatap kakek di hadapannya dengan tatapan penuh kecurigaan. 
“Aku baru selesai ziarah dari makam istriku, kau Sarminah, kan?” 
Sarminah mengangguk tampaknya hampir semua orang mengenal Sarminah. Pasti karena wajahnya buruk dan mengerikan. Manusia memang gampang dikenali kalau wujudnya tidak lazim dan berbeda dengan manusia lainnya.

“Aku dengar kau ingin menjadi penari ronggeng?”
Tanpa menjawab Sadiman, Sarminah lari terbirit-birit menjauh dari kakek tersebut. Ia takut diperkosa oleh kakek itu. Walau Sarminah jelek, tetap saja ada kemungkinan ia diperkosa. Sesampainya di rumah, Sarminah mengunci rapat-rapat pintunya. Kemudian menangis kembali.

Tidak pernah terpikir dalam hidupnya akan ditelanjangi seperti itu di depan umum. Malam itu juga, dendam tumbuh dengan subur dalam dadanya, ia ingin menghabisi tiga ronggeng tersebut. Kalau tidak bisa membunuh nyawa mereka, dia harus membunuh karier mereka. Bagaimanapun caranya, dia harus menjadi penari ronggeng tersohor di Ci Ijau.

***

Sore itu, Sarminah sedang menjemur pakaian di halaman rumah. Tiba-tiba terdengar suara tabuhan gamelan dari arah Timur. Sarminah mengerutkan dahi, sisa pakaian di ember yang belum dijemur ditinggalkan begitu saja. Ia melangkah mengikuti sumber suara gamelan tersebut. Ada jalan setapak dekat rumahnya, suara gamelan terdengar semakin jelas.

Dan di bawah pohon durian, ia melihat Sadiman beserta tiga orang kawannya sedang menabuh gamelan. Di hadapan mereka, ada seorang gadis perempuan yang masih kecil, mungkin umurnya baru delapan tahun. Ia menari dengan lincah layaknya ronggeng kawakan. Sarminah mengintip dari balik pohon durian. Benaknya mulai bertanya-tanya, siapa sebenarnya kakek tersebut? Kenapa dia punya grup ronggeng. 
Sadiman menyadari ada yang mengintip di balik pepohonan. Ia memberhentikan alunan musik. Semua anggota menoleh pada Sadiman dengan tatapan heran kenapa permainan dihentikan. Sambil tersenyum, Sadiman melangkah mendekati Sarminah yang masih berdiri di balik pohon. Menyadari hal itu, Sarminah beranjak pergi. 
“Sarminah tunggu,” pinta Sadiman sambil berlari kecil menghampirinya. 
Kali ini Sarminah mau berhenti.

“Kau suka menari, kan? Bagaimana kalau kau ikut grup ronggengku?” 
“Iya benar, kami setuju Bah. Kita butuh penari,” timpal tukang gendang, ia ikut menghampiri Sarminah. 
“Apa kalian mau menerimaku yang buruk rupa ini?” tanya Sarminah sambil tertunduk.
“Ah, tidak masalah yang penting kau bisa menari,” jawab Sadiman.
“Kenalkan ini Icung, Kurawa, dan Sarkam mereka semua pemain musik. Sedangkan ini yang cantik dan lucu namanya Melati cucuku. Dia senang sekali menari,” Sadiman menyentuh pundak cucunya.
“Aku Sarminah.”
“Kami semua sudah kenal kamu Sarminah,” ujar Icung sambil tersenyum ramah. 
“Selamat bergabung Sarminah,” Melati tersenyum.

Malu-malu Sarminah menerima tawaran tersebut. Dan semenjak saat itu, Sarminah bergabung dengan grup ronggeng Sadiman. Mereka tidak manggung seperti grup ronggeng besar pada umumnya. Yang mereka lakukan adalah menjadi grup ronggeng keliling kampung yang ditonton anak-anak kecil lalu dilempari uang koin. 

***Potong Saja Kakiku***
Grup ronggeng Sadiman semakin lama semakin terkenal. Mereka bukan saja berkeliling di kampung Ci Ijau, tapi juga ke kampung-kampung lain seperti Parakan Beusi, Cirinten, dan kampung Babakan Haur. Wajah Sarminah yang buruk rupa malah menjadi daya tarik sendiri di kampung-kampung tetangga, mereka juga terkagum-kagum dengan tarian Sarminah yang indah gerakannya. Bukan hanya anak-anak kecil saja yang menonton, orang-orang dewasa pun ikut berkrumun dan sesekali menyawer Sarminah.

Namun, tidak semua orang senang pada grup ronggeng Sadiman. Salah satunya, Acih seorang penari ronggeng yang sangat benci grup mereka. Apalagi pada Sarminah, menurutnya dia tidak pantas menjadi seorang penari ronggeng. 
Maka malam itu sepulang menari, Sarminah didatangi Acih dan dua orang lelaki berbadan kurus yang tak lain adalah pesuruh Acih. Mereka menyeret Sarminah lalu memukuli wanita malang tersebut. Berkali-kali Acih melontarkan sumpah serapah. Sarminah berteriak minta tolong, tapi tidak ada yang bisa mendengarnya karena rumah peninggalan Mbok Ibah itu terpisah dari pemukiman warga.

Acih tahu kalau Sarminah yang menjadi daya tarik grup ronggeng Sadiman. Maka dari itu dialah yang harus diberi pelajaran. Acih mengancam akan membunuhnya kalau dia berani menari lagi. Sarminah ditinggalkan sendiri di bawah pohon bambu, mukanya bonyok, lengannya berdarah, pergelangan kaki kirinya patah.

Acih sengaja mencederakannya agar dia tidak bisa menari lagi. Di tengah kegelapan, Sarminah berteriak kesakitan sambil menangis meminta tolong. Tubuhnya mulai melemah, matanya perlahan terkatup. Ia tidak sadarkan diri.

Keesokan paginya, saat Sarminah tersadar, ia sudah ada di atas tempat tidur di rumahnya. Melati mengambilkannya minum, sementara Sadiman duduk di samping Sarminah. Wajahnya terlihat khawatir, ia membasuhkan kain basah pada luka di lengannya Sarminah. Sesekali wanita itu meringis kesakitan saat kain menyentuh lukanya. 
“Siapa yang berbuat ini padamu, Sarminah?”
“Acih, Bah. Dia membawa dua orang lelaki untuk memukuliku,” seketika Sarminah ber-aduh kesakitan saat hendak menggerakkan kaki kirinya. 
“Kurang ajar! Biar kuberi pelajaran dia!” delik Sadiman.
“Jangan Bah. Dia banyak pesuruhnya. Sangat berbahaya, Bah.”

Sadiman tertunduk. Ada benarnya juga perkataan Sarminah. Acih itu orang kaya, dia bisa membayar orang untuk melakukan apa pun yang dia mau. Dan sekarang terbukti, kemauan Acih terkabul. Sarminah tidak akan bisa menari lagi, kakinya cedera. Lagi pula Acih juga mengancam akan membunuh Sarminah jadi walau pun sembuh ia tidak berani menari lagi. 
“Aku tidak bisa menari lagi, Bah.”
“Aku akan menyembuhkanmu,” kata abah Sadiman. 
“Kakiku patah, Bah.”
Sadiman terdiam. Ia melihat tulang kaki Sarminah yang menonjol ke luar, sangat parah dan sulit disembuhkan. 
“Kakiku mungkin harus dipotong,” air mata keluar membasahi pipi Sarminah. 
“Sarminah kalau kau mau abah bisa bantu kamu untuk menanamkan susuk mayat dalam tubuhmu.”
“Susuk mayat?” dahi Sarminah mengkerut, ia tidak pernah mendengar susuk itu sebelumnya. 
“Iya, kau akan sembuh kembali. Bukan hanya itu Sarminah, tapi wajahmu juga akan berubah jadi cantik.”
“Syaratnya apa, Bah?”
“Makan daging mayat orang yang baru meninggal.”
“Tidak Bah, aku tidak sanggup,” Sarminah menolak.
Sadiman mengembuskan napas berat. 
“Kakimu akan membusuk Sarminah,” Sadiman melirik kaki Sarminah yang tulangnya menonjol.
“Potong saja Bah. Lagi pula aku sudah terbiasa cacat. Sangat pantas bagi wanita berwajah buruk sepertiku punya kaki buntung.”

Melati mendekati kakeknya, ia memandangi Sarminah dengan penuh iba. 
Sadiman tidak mau memaksanya untuk menggunakan susuk mayat, ia akhirnya hanya mengobati Sarminah dengan rempah-rempah alakadarnya. Semakin lama luka Sarminah semakin parah, kakinya membusuk dan mengeluarkan bau tidak sedap. Hingga pada suatu sore, ia meminta Sadiman memotong kakinya.
Wanita itu menjerit kesakitan sambil menggigit kain saat sebuah golok yang sudah diasah tajam menebas kakinya. Seketika, kakinya yang busuk tersebut putus. Ia mengerang-erang sambil menangis, suaranya membuat sekawanan burung pipit di dahan pohon kecapi terbang berhamburan.

***Nini Bogem***
Sadiman merawat wanita malang itu setiap hari. Kaki kiri yang sudah buntung dilumuri rempah-rempah agar lukanya cepat pulih. Setiap hari ia mengganti kain pembungkus kaki Sarminah. Anehnya, luka itu tidak kunjung sembuh, malah semakin parah. Kakinya bernanah, mengeluarkan bau busuk, memar menjalar ke betis Sarminah. Setiap malam ia tidak bisa tidur karena menahan rasa sakit yang seperti membakar kakinya.

“Abah,” tengah malam Sarminah membangunkan Sadiman. Ia tidak kuat menahan sakit. 
“Iya Sarminah?” masih dalam keadaan kantuk, Sadiman menghampiri wanita yang sedang kesakitan itu.
“Susuk mayat itu. Apa aku masih boleh memakainya?”
“Tentu Sarminah. Kau akan sembuh dan berwajah cantik.”
“Berikan aku susuk itu, Bah. Aku sudah tidak kuat lagi menahan sakit.”
“Baik, nanti abah carikan daging mayat manusia," Sadiman menyeringai senang. 
“Seberapa banyak aku harus memakannya?”
“Semua Sarminah. Semua bagian tubuhnya kecuali tulang.”
“Aku tak akan mampu, Bah.”
“Tidak perlu sekali habis, kau bisa menghabiskannya berhari-hari.”
“Tapi setelah aku melakukannya, apa aku benar-benar akan sembuh, Bah?”
“Setelah kau selesai memakan mayat itu. Abah akan tanamkan susuk mayat di tubuhmu.”

“Kalau begitu, lekas carikan mayat untukku, Bah.”

***

Satu bulan berlalu, tapi belum juga ada orang kampung yang meninggal. Sementara itu, kaki Sarminah semakin parah, membusuk hingga menjalar ke paha mengundang lalat-lalat hijau yang selalu hinggap di kakinya. Sadiman kebingungan, kalau tetap dibiarkan seperti itu, Sarminah bisa meninggal.

“Melati, abah titip Sarminah, ya. Tolong kau jaga dia, abah ada urusan di kampung seberang.”
Anak itu megangguk. 
Sadiman pergi ke kampung tetangga untuk memata-matai kuburan, mencari mayat yang baru saja meninggal. Sayangnya, tidak ada warga yang meninggal, Sadiman kesulitan mendapatkan mayat segar. Hingga akhirnya, ia menyerah dan pulang dengan tangan hampa.

Di perjalanan pulang, tepatnya di kampung Balangandang, ia melihat iring-iringan orang yang sedang memikul keranda. Wajah Sadiman seketika cerah, ia membuntuti proses pemakaman tersebut. Dan ternyata yang meninggal adalah seorang lelaki. 
Malamnya saat semua warga sedang terlelap tidur, Sadiman mengendap-endap ke pemukiman warga. Ia mencuri cangkul dan sebuah karung besar. Setelah itu, ia segera ke pemakaman untuk menggali kuburan orang yang baru meninggal tadi siang. Dengan tergesa-gesa, ia mulai membongkar kuburan.

Keringat membasahi seluruh badan, sesekali ia menoleh ke sekeliling, memastikan kalau tidak ada orang yang melihatnya. Selang beberapa saat, ia berhasil mengangkat mayat itu kemudian dimasukkan ke dalam sebuah karung, tapi sialnya tidak muat.

Sadiman mengeluarkan sebuah golok. Ia memotong bagian perut mayat itu hingga terburai semua isi perutnya. Akhirnya mayat tersebut bisa dimasukkan ke dalam karung. Ia mengikat karung itu dengan sebuah tali yang terbuat dari sobekan bajunya sendiri.

Dengan susah payah, Sadiman berhasil membawa mayat itu. Ia keluarkan isi karung di hadapan Sarminah. Seketika wanita itu mual melihatnya. Untung saja Melati sudah tidur dan tidak melihat apa yang dibawa kakeknya.

Selama berhar-hari Sarminah dikurung di dalam kamarnya, Melati tidak diperbolehkan masuk karena Sarminah sedang berusaha untuk menghabiskan seonggok mayat. Di dalam kamar itu, ia memakannya sedikit demi sedikit. Tidak jarang Sarminah muntah-muntah.Sadiman sudah mencincang mayat itu agar mudah disantap Sarminah.

Setelah satu minggu, akhirnya ia berhasil memakan semua organ tubuh dari mayat lelaki itu. Yang tersisa hanya tulang belulang saja. Setelah tahu kalau Sarminah telah menghabiskannya, Sadiman membawa dua buah jarum sepanjang telunjuk orang dewasa. Lalu jarum tersebut ditusukkan ke kening Sarminah dan perutnya. Sarminah menjerit kesakitan, Sadiman membacakan mantra-mantra, bibirnya bergetar, dan matanya terpejam.

Asap seketika muncul dari sela-sela tanah, memenuhi kamar Sarminah. Ia meniup pelan-pelan asap putih yang menghalangi pandangannya, tampaklah Sarminah yang sudah berubah menjadi wanita yang sangat cantik.

Bibirnya tipis imut, wajahnya putih dengan tahi lalat kecil di pipi sebagai pemanis, matanya sipit, rambutnya tergerai indah sepinggang, ia telanjang bulat di atas tempat tidurnya. Entah apa yang terjadi, pakaiannya yang lusuh dan bau seketika hilang begitu saja.

Sadiman menutupi tubuh Sarminah dengan kain. Semenjak saat itu Sarminah berganti nama menjadi Nini Bogem. Wajahnya sudah benar-benar berbeda dari sebelumnya, ia kembali menari dengan grup ronggeng Sadiman.

Nama Nini Bogem semakin terkenal, grup ronggeng Sadiman semakin besar dan tidak bisa ditandingi. Bukan sekali dua kali Acih mendatangi Nini Bogem untuk menghabisinya, tapi semenjak punya susuk mayat, wanita itu makin sakti. Semua pesuruh Acih kalang kabut, tidak bisa menghabisi Nini Bogem.

***

Bertahun-tahun Sarminah menggunakan nama panggung Nini Bogem. Tidak ada yang mengenalinya, mereka menganggap Sarminah si tukang pijat itu sudah mati. Sadiman dan Melati juga merahasiakan identitas asli Nini Bogem. Sarminah hidup panjang umur sampai ronggeng tidak lagi laku.

Hingga pada suatu hari ia jatuh sakit dan mengalami sekarat yang berkepanjangan. Susuk itu, ya susuk mayat yang membuatnya susah untuk mati. Tidak ada yang tahu dan tidak ada yang bisa mengeluarkan susuk itu kecuali Sadiman.

SELESAI

close