Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

MAYAT HIDUP PENELAN MINYAK BINTANG


JEJAKMISTERI - Ini hari ke-40 Undan terbaring lunglai bak mayat di atas pembaringan. Tak satupun terlihat ada tanda-tanda kehidupan pada dirinya, selain tatapan matanya yang merah melotot tajam tanpa pernah berkedip, serta rambut dan kukunya yang tetap bertambah panjang. Tubuhnya terlihat kisut, dan kulitnya seolah menempel dengan tulang layaknya sebuah mummi.

Pemandangan itu membuat masyarakat sekitarnya menjadi takut untuk mengunjungi dan melihatnya. Hanya ada beberapa anggota keluarganya yang kadang secara bergiliran menunggunya, untuk memantau kondisinya, apakah ia masih bernyawa atau sudah tiada.

Dari bisik-bisik tetangga, Undan diyakini mempunyai untalan, yakni menelan benda mistis yaitu Minyak Bintang, yang belum sempat dikeluarkan atau diwariskan sewaktu dia belum sekarat seperti sekarang.

Dulu sewaktu sehat, keluarga Undan sudah sering menasehati agar dia segera membuang ajian hitam tersebut. Caranya bisa dengan memakan pisang emas, labu putih, atau daun kelor, disertai dengan ritual tertentu. Namun Undan tak pernah menghiraukannya, dengan alasan ia masih perlu ilmu itu untuk menguasai areal pertambangan yang umumnya menerapkan hukum rimba. “Siapa yang kuat, dia yang berkuasa.”

Dengan ilmu itu, Undan menjadi kebal terhadap semua jenis senjata tajam dan tumpul, sehingga ia bisa menguasai beberapa areal tambang emas ilegal. Jangankan masyarakat awam, aparat bersenjata pun tak ada yang berani mengganggunya. Selain itu, secara fisik, Undan yang masih berusia 45 tahun itu punya tubuh yang tinggi besar dan kekar, serta mempunyai keterampilan bela diri tradisional Banjar, Kuntau.

***

Suatu sore menjelang senja. Sinar mentari berwarna merah menyala. Dengan kecepatan tinggi Undan melaju menuju rumahnya. Tepat saat menikung, terdengar bunyi tabrakan keras. Undan dan motornya terlempar puluhan meter, sedangkan mobil yang menabraknya kabur dan tak diketahui identitasnya.

Meski tak ada luka atau lecet sedikit pun di tubuhnya, namun mulai saat itu Undan tak pernah sadarkan diri, seperti halnya orang yang koma atau mati suri. Keluarga Undan menyadari bahwa seharusnya Undan sudah mati. Namun karena ilmu hitam yang belum sempat dikeluarkan itu, maka rohnya seolah sangat berat untuk berpisah dengan raga.

Kalau sudah dalam kondisi sekarat begitu, dia takkan bisa mati kecuali jari telunjuk kaki kirinya ditusuk dengan jarum emas, hingga keluar darah hitam yang harus ditelan oleh seseorang sebagai penerus ilmu hitam yang dimilikinya. Namun tak seorang pun dari anak-anak atau keluarganya yang mau mewarisinya.

Mereka meyakini, setelah 41 hari yang bersangkutan akan mati dengan sendirinya. Tapi risikonya, mayat bisa bangun ketika dimandikan, atau bangkit setelah dikuburkan, lalu gentayangan menghantui keluarga dan warga sekitarnya.

Karena itu, menjelang malam ke-41 itu keluarga Undan mulai panik dan dilanda ketakutan yang luar biasa. Maka mereka segera mencari orang-orang yang jago dan pemberani untuk menjaganya.

Dengan bayaran yang mahal, maka Sulah, Madin dan Amat akhirnya menyanggupinya. Amat ini sebenarnya orang biasa, namun karena tergiur imbalannya, sehingga ia menyatakan ikut untuk menunggunya.

Malam itu terasa sangat sunyi mencekam. Langit terlihat begitu gelap. Bahkan suara belalang dan jangkrik yang biasanya ramai pun tak terdengar. Semua makhluk seolah ikut merasakan ketakutan yang sama.

Sulah dan kedua temannya duduk si beranda saling berdekatan. Ditemani rokok dan kopi, mereka begadang tanpa banyak bicara, dan sesekali melengok ke dalam untuk melihat kondisi Undan yang dibaringkan di ruang depan yang diterangi cahaya sebuah lampu Petromax.

Malam kian larut, namun tak ada kejadian apapun hingga menjelang pukul 3 pagi, saat sebuah suara keras tiba-tiba mendebarkan jantung mereka. Terdengar seperti ada benda yang jatuh di ruang tengah, bersamaan dengan meredupnya cahaya lampu.

Wajah Amat seketika memutih pucat. Tubuhnya bergidik takut. Ia pun segera mengikuti kedua temannya masuk ke dalam rumah untuk melihat apa yang terjadi. Madin memompa lampu Strongking karena menduga tekanan udaranya hampir habis. Sedangkan Sulah dan Amat memperhatikan tubuh Undan yang mulai bergerak-gerak, seperti orang yang sedang menggigil kedinginan. Mereka menduga Undan sedang menghadapi Sakaratul Maut.

“Sepertinya minyak lampu mau habis,” ucap Madin karena cahaya tak juga bertambah terang meski sudah dipompa beberapa kali. Lalu ia berniat menurunkan lampu yang tergantung di langit-langit rumah itu.

Tiba-tiba “braaak!” Entah bagaimana lampu itu bisa terlepas dan jatuh ke lantai. Madin segera merogoh sakunya untuk mengambil pemantik api. Belum sempat korek itu menyala, tiba-tiba sesosok bayangan berwarna merah terlihat seolah bangkit dan keluar dari tubuh Undan, lalu lenyap begitu saja.

Sulah segera menyalakan lampu minyak dan meletakkannya di dekat kepala Undan. Tubuh Undan tak lagi bergerak, dan badannya sudah terasa dingin. Matanya tak lagi melotot tajam meski masih terbuka. Sulah memastikan bahwa Undan sudah meninggal dunia, sehingga mereka bergegas untuk memberitahukan hal itu kepada keluarganya.

***

Sejak pagi hingga sore hujan begitu deras mengguyur desa itu. Pemakaman janazah Undan yang direncanakan sesudah shalat Zuhur terpaksa ditunda keesokan harinya. Sebab selain faktor cuaca, tukang pemandian janazah yang dikenal alim dan sakti kebetulan juga berhalangan. Jika dimandikan oleh sembarangan orang, mayatnya dikhawatirkan bisa bangkit saat dimandikan.

Maka di hari itu, keluarga dan para tetangga hanya mempersiapkan bahan makanan untuk kenduri dan selamatan turun tanah janazah Undan.

Bumbu-bumbu telah diracik, dan daging ayam telah dipotong-potong. Semuanya telah siap untuk dimasak esok pagi, dan disimpan di rumah Undan. Semua tetangga dan pelayat pun sudah pulang dengan perasaan was-was dan takut, sehingga sebagian warga memilih tinggal berkelompok pada sebuah rumah.

Sulah, Madin dan Amat kembali ditugaskan menjaga rumah itu. Malam yang begitu dingin, membuat mereka memilih berjaga di dalam rumah, tidak jauh dari janazah Undan dibaringkan yang ditutup dengan kain panjang berwarna hijau.

Mungkin karena cuaca dingin dan kelelahan setelah bedagang pada malam sebelumnya, sehingga tak berapa lama kemudian ketiganya terlelap.

Sekitar pukul 2 dini hari, Amat terbangun karena mendengar suara. Bunyi itu semakin lama semakin keras, seperti kucing yang sedang memakan tulang. Namun Amat tak berani membuka matanya. Dengan berpikiran positif bahwa itu memang suara kucing yang sedang melahap tulang-tulang ayam yang belum sempat dibuang sore kemarin, Amat menenangkan hatinya.

Namun ketika terdengar suara langkah kaki yang berat menghentak lantai, perlahan Amat membuka sedikit matanya, dan melirik ke arah suara itu tanpa berani menggerakkan badannya. Seketika tubuh Amat menjadi gemetar dan lemas, setelah dilihatnya ternyata mayat Undan sedang melahap dengan rakusnya daging-daging ayam mentah yang ada di dalam panci itu.

Ketakutan telah melemahkan seluruh persendiannya. Jangankan untuk lari, untuk memberitahukan Sulah dan Madin yang tidur di sampingnya pun Amat tak berani. Apalagi ketika dilihatnya, mayat Undan kembali berbaring ke tempat semula dan menutupi tubuhnya seperti sedia kala.

Pemandangan itu membuat Amat tak berani lagi membuka mata. Hati dan pikirannya dilanda ketakutan yang luar biasa. Setelah itu, entah tertidur atau pingsan, ia baru terbangun setelah terdengar kegaduhan warga.

“Kenapa daging ayam tinggal segini? Apa ada disimpan di panci yang lain? Sambal serta bumbu-bumbu juga seperti ada yang mengaduk-aduk?” seorang keluarga Undan bertanya kepada seseorang.

“Ngga ada, semuanya ditaruh di panci itu,” jawab yang ditanya.

“Apa mungkin dimakan kucing atau binatang lainnya? Tapi kok tak ada tanda-tanda atau bekasnya?”

Raibnya daging itu akhirnya menuai keributan. Pihak keluarga Undan menuduh seseorang telah mengambilnya. Mendengar tuduhan tersebut, seketika Amat bangun dan bersuara.

“Tuh yang memakannya!” tunjuk Amat ke arah janazah Undan.

Seketika janazah itu bangun. Dengan mata melotot merah, ia berdiri dan langsung mengejar Amat. Amat pun secara spontan berlari ke luar rumah. Hampir saja tangan mayat itu berhasil menangkap pundak Amat, ketika mayat itu lunglai dan terjatuh saat kakinya akan menyentuh tanah di ujung pelataran rumah.

Janazah Undan kembali diangkat dan dibaringkan di tempat semula. Tak lama kemudian tukang pemandian janazah datang. Dengan membaca berbagai doa agar tak bangkit lagi, mayat Undan segera dimandikan. Selanjutnya dikafani, di shalatkan dan dimakamkan pada hari itu juga.

Syukurlah sampai hari ketiga tidak terjadi apa-apa pada kuburan Undan seperti yang dikhawatirkan keluarga dan warga selama ini.

Pihak keluarga merasa plong karena merasa sudah tak punya beban moral dengan almarhum Undan. Ilmu hitamnya sudah pupus tanpa harus diwarisi lagi secara turun temurun.

Hanya saja mereka harus menanggung biaya kesehatan dan kehidupan Amat dan keluarganya. Sebab sampai hari ketiga itu, Amat masih tak bisa berbicara, dan terlihat seperti orang linglung. (*)
close