Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LARANTUKA PENDEKAR CACAT PEMBASMI IBLIS (Part 17) - Kuku Perogoh Sukmo


Suasana begitu mencekam di padang rumput Segoro Mayit yang membentang luas. Beberapa titik sudah habis dilalap lidah api yang berkobar-kobar. Asap hitam membumbung jauh tinggi, bau sangit menusuk hidung bersamaan dengan percik pijar api terasa pedih dimata. Beberapa warga desa yang tersisa serta prajurit yang tinggal puluhan saling bahu-membahu membuang tulang berserakan ke dalam jilatan api. Dengan begitu tubuh iblis Jerangkong tidak akan menyatu lagi.

Api sebagai perlambang kemurnian dari jaman dahulu, digunakan oleh para pandita dalam berbagai upacara dan ritual adat, terbukti bisa membersihkan jiwa-jiwa yang tersesat, menyucikannya menjadi segenggam abu kering yang mudah tertiup angin.

Tiba-tiba terdengar tawa wanita yang panjang mengerikan. Suaranya menggema ke delapan penjuru. 

Semua mata tertuju pada sosok yang berdiri di depan Jagadnata. Tangan kanan menggembol  sosok anak perempuan usia belasan tahun. Sedangkan tangan kiri menjepit bilah pedang Sinar Matahari.

"Kang Darkun lihatlah siapa sosok wanita ditengah pertarungan itu?" tanya Darso dengan suara terbatuk-batuk. Mukanya sudah coreng-moreng terkena jelaga.

Wajah Darkun menegang, "Aku tidak tahu Darso, sepertinya musuh baru yang teramat sakti baru muncul, atau jangan-jangan..."

"Jangan-jangan apa Kang? Sampean membuatku takut!" tukas Darso sambil membelalak.

"Dia adalah Nyi.. nyi Ratu Gondo Mayit penguasa Hutan Tumpasan..." tebak Darkun dengan suara bergetar ngeri. Pengalamannya mengatakan wanita cantik itu bukanlah makhluk sembarangan. Dan walaupun ia belum pernah melihat langsung, sang Ratu menurut kabar tersiar berwujud wanita cantik berkulit putih dan bermata merah darah. 

"Ayo kita menjauh" ujar Darso dengan suara serak, tenggorokannya terasa panas terbakar karena menghisap asap tebal.

Karena ngeri Mereka berdua menyingkir dan mengamati pertarungan dari kejauhan. Keduanya masih belum mengetahui sosok dibawa wanita itu adalah Murni, warga desa Bakor yang sedang pingsan. 

"Hiaatttt!!" seru Jagadnata berusaha membenamkan mata pedang ke arah bahu kiri wanita berambut panjang itu. Namun kedua jari tengah dan telunjuk sang wanita bagaikan capit besi yang mengunci erat bilah pedang pusaka Sinar Matahari. 

Keringat sebesar bulir beras mulai menetes dari dahi lelaki berkumis tebal itu.

Tidak berhasil merangsek lebih jauh, Jagadnata menyorongkan telapak kirinya mengirimkan tenaga pukulan tombak Angin dan Hujan yang menderu kencang ke arah dada kanan. Angin pukulan itu sangat tajam membuat wanita cantik itu menyentil pedang dengan jempol dan jari manis kirinya. Begitu pedang terpental, lima jemari itu segera membentuk tapak disorongkan ke depan, beradu dengan telapak kiri Jagadnata. Kedua kekuatan itu bertemu menimbulkan ledakan luar biasa dahsyat.

Dhuarr...

Wanita itu bergeming, sementara Jagadnata terdorong mundur dengan terhuyung-huyung, sirkulasi nadi terasa kacau, darah berbalik arah menyerang jantung. 

Dengan mengatupkan tangan di depan dada, lelaki itu menarik napas dalam untuk menormalkan keadaan. Bukan main, walaupun sambil membopong orang, siluman wanita itu sama sekali tidak terpengaruh serangan Jagadnata.

Sebagai pendekar linuwih dan berpengalaman Jagadnata tidak gentar sedikitpun dengan kehebatan yang dipamerkan lawan. Dalam sebuah pertarungan, kemenangan tidak melulu ditentukan oleh tingkat kesaktian. Ada unsur kegigihan, kecerdikan serta nasib baik yang juga turut menentukan hasil akhir. 

Sedetik kemudian, Jagadnata tidak menyia-nyiakan kesempatan, ia meloncat sembari menikamkan pedang ke arah ubun-ubun. Jagadnata mengirimkan dua belas kali tebasan dengan kemahiran tingkat tinggi menyasar titik vital. Segera saja pedang raksasa itu berputar kesana kemari layaknya kitiran, menimbulkan angin mahakencang yang sanggup menerbangkan apapun.

Walau tubuhnya gempal besar tidak mengurangi kelincahan pendekar itu berloncatan kesana-kemari membuat bingung indera penglihatan musuh yang menyaksikan, sembari mengirimkan bacokan mematikan. 

Tapi pertahanan musuh bagaikan tembok tebal yang susah ditembus. 

Wanita berambut merah itu enteng saja menghindari sabetan pedang Sinar Matahari yang kejam, dengan hanya sedikit memiringkan tubuh maupun menundukkan kepala, tebasan senjata mustika itu berkali-kali menyasar udara kosong di sekitarnya.

Panglima itu menjadi kesal, ia segera menyabet secepat kilat ke arah tulang iga lawan dengan jurus Angin Sewu Tombak. 

Wanita itu melotot, tangannya yang kecil ramping secepat kilat menepuk bilah pedang itu ke kiri membelokkan arah serangan, lalu bersalto secepat kilat ke samping lengan Jagadnata, tahu-tahu jari kiri menyentil punggung tangan lelaki itu hingga genggamannya terbuka, tidak disangka dalam sekejap mata pedang pusaka kini berpindah tangan. Lelaki itu terkejut dan meloncat dua langkah ke samping sambil menyiapkan kuda-kuda.

Bangsat, ilmu siluman iblis ini begitu tinggi, dengan enam puluh persen tenagaku dia mampu melawan dengan kedua jari, mungkinkah dia setanding dengan Eyang Guru? Bagaimana mungkin ada siluman wanita sesakti ini diam-diam bersemayam dekat dengan kerajaan Kalingga? pikir Jagadnata keheranan dalam hati. Mukanya mulai memerah menahan malu.

Hutan Tumpasan terletak tiga hari perjalanan dengan kaki dari kerajaan Kalingga. Tersembunyi dibalik Gunung Lawu yang selalu berkabut tebal. Jarang mendapat perhatian oleh pasukan negara Kalingga yang melintas ke daerah seberang. Oleh karena itu begitu mendapat laporan adanya siluman yang mengacau dari Sasrobahu, Raja Kalingga telah mengirimkan dua batalion musuh dengan dua Jenderal pasukan. Namun Jagadnata bersikeras berangkat seorang diri, ia telah menyatakan sanggup untuk mengatasi ancaman para siluman hingga akhirnya hanya dia yang pergi berperang. 

Ternyata lelaki itu telah salah perhitungan, musuh sangat kuat hingga Menggala, adik kandung sekaligus adik seperguruannya harus gugur dalam medan pertempuran. Diam-diam ia menyesali kecerobohannya yang tidak mempercayai laporan telik sandi yang dikirim tempo hari. Candika dan Candini yang melapor adanya iblis Buto Ijo turut menjaga kawasan hutan angker ini. Ah jika saja ia memperhitungkan kekuatan lawan yang mampu memperbudak raksasa itu, tentu dia akan mengesampingkan egonya dan meminta tambahan pasukan dari Kalingga. 

Berkali-kali Jagadnata merutuki kesalahan yang ia perbuat dalam hati.

Kini satu-satunya cara agar menang ia harus mengulur waktu untuk memulihkan seluruh kekuatannya, setelah pulih maka ia akan langsung bergebrak dengan musuh. Pantang ia mundur sebelum dendam kematian adiknya terbalaskan. Bahkan jika harus mati bersama ia rela.

"Iblis, sebutkan siapa namamu! Beraninya mengambil pedang pusaka kerajaan Kalingga!" gertak lelaki itu marah. 

Wanita beriris merah itu acuh tak acuh, dia memandangi bilah pedang mustika Sinar Matahari yang berselaput cahaya keperakan. Pedang itu berdesing, bergetar keras di genggaman seakan ingin menebas siluman di depannya jadi dua.

"Hmmm pusaka dari Kalingga? kulihat pedang ini sudah memiliki roh, keinginan, untuk membunuh iblis dan siluman. Kekuatan orang yang memegangnya bisa naik dua kali lipat. Pantas dijadikan pedang pusaka" sahut wanita itu berdecak seakan kagum.
"Tapi sayang aku tidak tertarik pada pedang raksasa ini, kukembalikan padamu!" 

Wanita itu melempar pedang ratusan kati itu ke Jagadnata seperti melempar kerikil saja, tangan panglima sigap menangkap gagang pedang. Namun ternyata pedang itu dikirim menggunakan tenaga dalam yang besar membuatnya kembali terhuyung mundur tiga langkah.

"Iblis!" umpat Jagadnata, dadanya sedikit sesak.  Ksatria tidak boleh dipermalukan, lebih baik mati  berputih tulang daripada berputih mata.

Tawa wanita lain terdengar, sosok siluman ular yang bertapa ratusan tahun melenggok maju ke samping gadis berbibir merah itu. Rambut, baju dan riasannya bercahaya kehijauan. Nagindi segera memakaikan kebaya hijau miliknya untuk menutupi tubuh polos Nyi Ratu.

"Dasar manusia buta, di hadapanmu telah berdiri Ratu Demit Penguasa tanah puluhan ribu tombak mulai dari desa Bakor sampai hutan Tumpasan. Kali ini beliau seudah menggenapi ilmu pamungkas kerajaan Hutan Tumpasan. Nah sebaiknya kau takluk dan berlutut sekarang juga, siapa tahu Kanjeng Ratu Nyi Gondo Mayit berkenan mengangkatmu sebagai budak!" seru Nagindi. 

Semilir angin disertai aura mistis berhembus dari badan Nyi Ratu menekan berat sekujur tubuh Jagadnata. Nyata ucapan Nagindi bukan isapan jempol.

Panglima itu diam-diam terkejut karena buruan yang paling dicari tiba-tiba berdiri dihadapan. Sang penguasa Hutan Tumpasan ternyata tidak berwujud makhluk mistis mengerikan melainkan wanita cantik dengan kecantikan yang tidak lumrah. Yang lebih membuatnya mengangkat alis makhluk ini memiliki kesaktian jauh diatas para anak buahnya. Namun setelah melihat kelihaian sang Ratu ia menjadi yakin sosok itu adalah penguasa hutan Tumpasan.

Gigi jagadnata bergemeretak, "Menjadi budak dari musuh Kalingga? Bajingan cuihh!" bentak lelaki itu sambil berkali meludah ke samping. Seakan tawaran tadi seperti najis yang memuakkan.

Penghinaan itu membuat Nagindi mendesis marah. Ia berlutut ke Nyi Gondo Mayit.

"Kanjeng Ratu ijinkan hamba maju kembali" pinta Nagindi. "Biar hamba saja yang menaklukkan panglima tak tahu adat ini, Kanjeng Ratu tak perlu mengeluarkan keringat setetespun." 

Nyi Gondo Mayit tak mengiyakan malah menatap langit yang hitam tanpa bintang, mulutnya malah lirih mendendangkan syair Jawa Kuno dari penggalan kitab Sangang Urip. Menggidikkan orang-orang yang ada di sekitar. Matanya yang lebar bening kemerahan berkejap-kejap.

Nagindi sedikit melongo melihat sang Ratu seperti orang linglung.

"Nyi Ratu silahkan Panjenegan menepi, karena hanya hamba yang tersisa di padang rumput ini, sedangkan siluman Gagak Rimang yang tidak becus itu telah dikalahkan dengan mudah, dan Siluman Iblis Rai Loro pun tidak menunjukkan batang hidungnya. Mungkin sudah kabur dengan Patih Garangan." jengek Nagindi dengan nada sinis.

Nyi Gondo Mayit memainkan rambut dan  menggelengkan kepalanya, "Tidak-tidak... aku bisa merasakan ketiganya sudah musnah dari muka bumi ini, roh mereka tidak terhubung lagi dengan tanah hutan Tumpasan. Kamu lebih baik mundur agar aku tidak kehilangan anak buah lagi "

Mata Nagindi membulat, sampai sejauh mana kesaktian Nyi Gondo Mayit. Apakah dia sudah sampai pada tingkatan menyatu dengan alam hutan Tumpasan, menguasai setiap jengkal tanahnya?

Nyi ratu seperti tahu pikiran siluman itu.

"Setelah aku melalui proses kembali muda dan nitis sungsang di kolam darah, membalik roda takdir dan putaran waktu kembali jadi bayi, ilmuku akhirnya sempurna ke tahap tujuh Nagindi. Aku merasa terlahir kembali menjadi manusia separuh dewa. Kini cahaya mentari tidak akan mengusikku Nagindi, aku berlepas dari kutukan semesta dari sang Pencipta bahwa iblis tidak dapat berjalan bersandingan dengan Matahari" sahut Nyi Gondo Mayit sambil menyisir rambutnya yang merah lengket oleh darah.
"Kelak jika aku mampu menggenapi dua sisa rapalan kitab Sangang Urip maka aku akan menjadi dewi penguasa di muka bumi ini seutuhnya"

Nagindi meleletkan lidah, ilmu 'Ular Iblis nya juga sudah di tahap ke tujuh. Tapi tingkat kesaktian mereka berbeda jauh bak bumi dan langit. Diam-diam Ia bertekad harus mendapatkan juga rapalan ilmu sakti itu. 

"Baiknya kita kembali ke Istana Jalmo Mati Nagindi, sebentar lagi fajar akan menyingsing dan tubuhmu masih belum terbiasa dengan sinar matahari"

Siluman ular itu membelalak, "Betul kanjeng ratu, di siang hari aku harus berubah menjadi hewan ular biasa agar tidak terbakar matahari, lalu bagaimana dengan mereka Gusti? Mereka telah menghabisi pilar penyangga Istana Jalmo Mati, dendam ini harus dibalaskan, mau ditaruh dimana muka kita?" 

Nyi Gondo Mayit tertawa cekikikan membuat Nagindi heran.

"Itu salah mereka karena tidak berlatih ilmu sungguh sungguh, kaupun juga jika terlalu lemah akan mudah mampus hihihi." Mata merah Nyi Gondo Mayit  lalu melirik menatap Murni yang pingsan.
"Nantinya aku akan membangkitkan lagi panglima pasukan yang lebih hebat! Lebih mematikan! Dan anak ini yang terpilih menjadi wakilku, penerusku dalam menyebarkan petaka di tanah Jawi Kuno."

Jantung Nagindi serasa copot, apa dia tidak salah dengar? kenapa bukan dia yang menjadi penerus Nyi Gondo Mayit? Kenapa malah makhluk dari kasta manusia lemah yang akan menjadi murid kesayangan Nyi Gondo Mayit. Timbul rasa luar biasa iri dalam dada siluman Ular itu. Diam-diam dia menatap Murni dengan tatapan penuh kebencian. YA dia akan mencabut nyawa anak itu bilamana ada kesempatan.

"Lalu pasukan Kalingga itu?"

"Mereka bukan ancaman Nagindi, seperti kumpulan semut diatas singa, aku bisa mencabut nyawa mereka kapunpun aku mau." ujar Nyi Ratu santai. 

Jagadnata geram bukan kepalang karena disepelekan.

"Ngomong sembarangan kau Iblis!"

Nyi Ratu kembali tertawa, "Bukankah kau telah menjajal kelihaianku? gerakanmu seperti siput, tak akan mampu menyentuh sehelai ujung rambutku hahaha"

Jagadnata terdiam, dalam hati ia mengakui sesakti apapun orang memakai pedang Sinar Matahari, senjata itu memiliki berat lebih dari seratus kati. Bila musuh tidak balik melawan secara frontal-hanya menghindar maka kecil kemungkinan untuk menebas perut musuh jadi dua apalagi membuatnya terluka dalam. Nyi Gondo Mayit memanfaatkan kelincahan dan kecepatan gerak yang sukar ditandingi. Sehingga semua serangan Jendral perang itu meleset total, tenaga Jagadnata terbuang percuma. 

Lelaki itu memikirkan melancarkan strategi lain, ia menancapkan pedang di tanah, dan mencoba menyerang dengan Tombak Angin dan Hujan secara beruntun. Kali ini serangannya lebih cepat dan cepat.

"Tombak sewu Angin menembus hujan!" teriak Jagadnata.

Angin dingin berhembus menggigit, telapak Jagadnata membayang menjadi ribuan, datang bagai ombak gelombang demi gelombang tanpa putus mengelilingi sosok Nyi Ratu Gondo Mayit. 

Tidak ada tempat untuk kabur lagi! 

Nagindi terbelalak menahan napas dari tempatnya berdiri, melihat kemampuan musuh, ternyata diam-diam Jagadnata masih menyimpan ilmu simpanan yang menggetarkan nyali. Jika mengeluarkan ilmu menghindar belum tentu ia bisa menghindari tapak yang datang bagai hujan itu.

Kilatan merah tiba-tiba muncul dari tengah pusaran telapak Jagadnata. Terdengar ledakan beruntun, Nyi Gondo Mayit bergerak berputar  melingkar memecah kepungan ombak itu. 

Tangannya terpentang lebar menolak setiap telapak Jagadnata yang menyerang. 

Setelah dentuman beruntun disusul dua ledakan keras Jagadnata kembali dipaksa mundur dengan raut muka pucat pasi. Tangannya terlihat kemerahan setelah beradu dengan telapak Nyi Ratu.

Kedua wanita siluman itu tertawa hampir berbarengan. 

"Ternyata ilmu Angin dan Hujan cuma ampas Kanjeng Ratu" ejek Nagindi sambil memamerkan gigi taring.

Mendengar tawa itu amarah Jagadnata menjadi memuncak. Namun alih-alih mengumpat ia berusaha menyalurkan emosi ke dalam serangan selanjutnya, ia merendahkan kuda-kuda. Tangan dikatupkan keatas untuk bermunajat kepada yang Kuasa agar sudi memberi kekuatan untuk menghancurkan kuasa jahat. Hanya ini kesempatan yang ia miliki sebelum siluman itu kembali ke sarangnya.

Angin sekali lagi bertiup kencang bersamaan dengan telapak Jagadnata yang menyilang di depan dada. Keadaan Jagadnata menjadi lebih tenang dan khusyuk.

Tiba-tiba petir menyambar memekakkan telinga, awan diatas kepala Jagadnata sedikit tampak bergelung diatas padang Segoro Mayit yang luas.

Nagindi mendongak ke atas "Aneh, Ada apa ini? kenapa cuaca disini berubah?"

Bibir merah Nyi Gondo Mayit melengkung sambil mengangguk paham, "Apabila ilmu tingkat atas dari lima kitab utama dikerahkan maka akan merubah cuaca sekitar saking hebatnya. Baiklah, manusia ini mau menjemput ajalnya sendiri, biarlah kutemani main-main dulu" terang Nyi Gondo Mayit. Ia mengangsurkan tubuh Murni ke tangan Nagindi.
"Bawa anak ini, ingat jika kau menyentuh seujung rambutnya maka akan kulebur badanmu sampai ke tulang!"

Muka Nagindi memucat.

"D-daulat Nyi Ratu" ujar Nagindi berkeringat dingin. Ia lalu beringsut mundur mengambil jarak aman dengan menggendong tubuh Murni.

Kini hanya nampak dua sosok berdiri saling berhadapan di padang Segoro Mayit, seorang wanita cantik berambut merah yang tergerai tertiup angin dan sosok manusia berbadan tegap besar dengan pelindung badan dari emas nampak berkilauan.

"Yang aku tahu kitab 'salaksa' atau angin dan hujan akan mengundang hujan badai, tapi mana? aku tidak melihatnya" tanya Nyi Gondo Mayit seraya  memicingkan mata. Tangannya bersedekap di dada.

"Kau akan melihatnya di akhirat nanti!" jengek lelaki itu seraya memperkuat kuda-kudanya. Kedua tangan di dada bergetar semakin cepat.

"Hmmm Bocah, ilmu mu belum sempurna, jika kau memaksakan mengeluarkan jurus andalanmu tanpa kekuatan yang mencukupi maka hanya akan menghancurkan badanmu!" seru Nyi Gondo Mayit.

Dalam hati lelaki itu terkejut akan keluasan wawasan ilmu Sang Ratu. 

"Heh, jangan banyak alasan rupanya kau takut akan seranganku? Rupanya ilmu kegelapan yang kau miliki cuma isapan jempol belaka" pancing Jagadnata. Kedua telapak ia taruh berhadapan atas dan bawah di depan dada, bola sinar kebiruan muncul dari tengah keduanya. Pertanda ini bukanlah ilmu sembarangan.

Petir semakin terdengar menyambar. Angin menderu mengibaskan rambut Nyi Gondo Mayit yang berwarna merah. 

Pikiran Jagadnata semakin terfokus, ilmu pernapasan Angin dan Hujan tahap delapan Panca Indera menentang Topan ia kerahkan dalam dada sampai ke puncak, seharusnya ilmu pernapasan ini hanya bisa digunakan untuk mengerahkan jurus ke tujuh yaitu Dewa Topan seribu Badai namun kali ini Jagadnata ingin memaksakan diri menyerang musuh menggunakan ilmu Samudera Musnah Tak Bersisa yang satu tingkat diatasnya. Ia sudah menghapal gerak pukulan ke delapan yang luar biasa rumit beberapa bulan yang lalu.

Terngiang percakapan dengan gurunya berjuluk Kakek Malaikat Hitam. 

"Ilmu Kitab Angin dan Hujan memiliki falsafah setiap satu nafas untuk setiap pukulan. Nafas ini harus setingkat kebih tinggi dari ilmu pukulannya. Apabila kau sudah memecahkan kerumitan sebuah jurus pukulan dalam kitab ini, kau tidak akan bisa mengendalikan daya hancurnya sepenuhnya apabila belum menguasai jurus pernafasan. Khusus untuk ilmu puncak Pedang Air Surgawi wajib menguasai ilmu pernapasan tahap sembilan dan tahap kesepuluh. Di dunia ini ajian pamungkas itu hanya bisa digunakan olehku dan kakak seperguruanku Malaikat Putih." terang kakek beralis hitam panjang itu.

"Bagaimana bila aku paksakan menyerang dengan ilmu pernapasan setingkat dibawahnya guru?" tanya Jagadnata.

"Maka daya hancurnya akan tidak terkendali anakku, daya rusaknya akan menghantam jantung dan kau bisa mati muntah darah atau jika tubuhmu cukup kuat maka kau bisa cacat permanen akibat nadimu pecah" sahutnya seraya membelai janggut panjang hitam legam.

Ingatan akan ucapan gurunya membaur jadi satu dengan rasa dendam dan benci terhadap bangsa siluman yang telah merenggut semua hal berharga dalam hidup lelaki itu. Dengan hati berkecamuk akhirnya keinginan untuk balas dendam memenangkan atas nalarnya, ia akan tetap menghantam batok kepala siluman itu dengan jurus tertinggi yang ia kuasai.


"Guru tunggu!"

Terdengar suara wanita muda, adalah Candini dengan tergesa mendarat di samping gurunya. Napasnya terengah dengan darah segar nampak masih menetes disudut bibirnya. Mukanya diliputi rasa khawatir.

"Guru!" teriak Candini lagi.

"Darimana saja kamu?"

"Maaf Guru, Murid telah berusaha mencegah kebangkitan iblis perempuan itu bersama Kakang Sasrobahu, tapi gagal. Kami terkena ledakan dan sempat pingsan" terang Candini dengan suara parau. 

"Untung iblis itu tak tertarik mencabut nyawamu, sekarang mundurlah, Guru akan mengeluarkan ajian pamungkas ke delapan!" perintah Jagadnata sambil terus berkonsentrasi. 

Mata gadis berbaju kuning itu terbelalak lebar, "Ta-tapi guru bukankah jurus itu belum sem..."

"Heaahhhh!" 

Jagadnata berteriak sambil membentangkan kedua tangannya, angin bergulung  berhembus keluar dari badan gempal itu, mendorong Candini lima langkah mundur. Napasnya terasa sesak.

Kerikil yang berterbangan membentur tubuh Candini terasa seperti peluru. 

"Candini cepat mundur! atau kau akan kena imbas" teriak Sasrobahu dengan tangan memegang dada. Noda merah terlihat disana. Suara angin menderu hampir membuat teriakan itu tak terdengar.

Petir menyambar sekali. Angin seperti menggila, berputar-putar di sekitar Jagadnata seperti bernyawa. Urat biru menjalar di kedua lengan yang membesar dua kali lipat tidak wajar.

Titik puncak kekuatan Jagadnata sudah sempurna, ia segera menyorongkan kedua tapak depan dada dibalut seratus persen tenaga dalam yang tersisa.

"Samudera... Musnah... Tanpo Siso"

Terdengar dentuman keras memekakkan telinga, angin seperti air bah menghantam apapun yang ada didepan menimbulkan ledakan yang memporak-porandakan tanah.

Sosok merah yang ada di tengah angin ribut itu, adalah Nyi Ratu mengerahkan tenaga dalam untuk membentengi tubuh dari serangan Jagadnata.

Awalnya ia mampu menahan gempuran angin tersebut, namun lama-lama terlihat angin itu teramat kuat hingga mengikis tubuhnya membentuk sayatan merah. Darah keluar dari luka sayatan itu hingga begitu deras seperti anak sungai. Dalam sekejap wujud Nyi Ratu seperti ratu iblis jerangkong hanya tulang berbalut kulit.

Kekuatan sejati dari jurus ini adalah membuat tubuh musuh hancur berkeping karena terpaan angin, apabila musuh memiliki ilmu pelindung maka cairan tubuh musuh akan mengering terbawa angin yang berhembus kencang. Itulah yang terjadi pada Nyi Ratu.

Tak disangka kekuatan kitab Angin dan Hujan begitu dahsyat sampai Nagindi berteriak panik.

Tapi kemudian terdengar jerit tawa kencang dari jerangkong wanita itu, rumput getah getih tiba-tiba tumbuh memanjang membelit kaki Nyi Ratu Gondo Mayit sampai pinggang, rupanya tanaman iblis itu menyalurkan kembali darah yang tercecer oleh angin kembali ke empunya.

Diantara hembusan angin yang melemah tubuh Ratu Iblis itu kembali utuh dan sintal seperti sedia kala! 

Ratu Iblis itu kemudian meloncat ke arah Jagadnata, inilah pertama kali ia menyerang prajurit Kalingga itu. Lima jari  terpentang lebar, kuku yang merah kehitaman itu memanjang runcing mengincar leher Jagadnata.

"Kuku Perogoh Sukma!"

Jagadnata tak bisa mengantisipasi serangan, dada seperti digodam martil raksasa, ia muntah darah akibat tenaga Angin dan Hujan yang berbalik arah menyerang badan. Kuku itu tinggal satu dim lagi memotong urat napas dan tenggorokan yang terasa dingin. Kematian benar-benar dekat. Ia perlahan memejam mata dengan pasrah.

Kilasan masa lalu berputar di pikiran panglima Kalingga itu.

Tiba-tiba punggungnya seperti menimpa sesuatu yang kuat tapi juga lembut menopang tubuh, terdengar dentingan logam beradu kencang. Jagadnata membuka mata kembali.

Sesosok Pria jangkung, berambut hitam panjang memeluknya, matanya nampak berkilat hijau kebiruan dibawah sinar purnama.

Kulitnya begitu putih seperti tak memiliki darah. Ditangannya memegang pedang warna merah menahan laju kelima kuku hitam Nyi Ratu Gondo Mayit. 

Jagadnata membelalak.

"Kau...?"

BERSAMBUNG
close