Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SUMUR PATI (Part 40 END) - Selamat Jalan Sang Pahlawan


JEJAKMISTERI - "Wedhus!" Ramadhan mendengus kesal sambil berusaha untuk bangkit. Matanya tak lepas menatap ke arah kemana tadi Lintang dan Wulan membawa pergi jasad sang kakak. Ingin rasanya ia menyusul kedua orang itu, agar bisa mengetahui apa sebenarnya yang akan mereka perbuat dengan jasad Bu Ratih. Namun Ramadhan sadar, ia tak akan mungkin mampu mengejar mereka. Kemampuan kedua orang itu jelas jauh berada diatas kemampuan yang ia miliki.

"Lintang! Wulan! Kupasrahkan keselamatan Mbak Ratih kepada kalian! Semoga masih ada sedikit keajaiban," akhirnya Ramadhan hanya bisa mendesah lemah, sambil berjalan tertatih menuju ke arah desa. Semangat pemuda itu telah lenyap kini. Langkahnya terhuyung, sesekali nyaris tersungkur saat menyusuri jalanan menanjak yang menuju ke arah desa. Samar, isaknya kembali terdengar, seiring dengan air matanya yang mengalir membasahi kedua pipinya. Ramadhan menangis. Benar benar menangis seperti anak kecil yang kehilangan mainan kesayangannya. Kehilangan dua orang yang paling ia sayang dalam waktu yang berdekatan dan dengan cara yang sangat mengenaskan, benar benar membuat hatinya hancur berkeping keping.

Bias sinar kemerahan mulai merekah di ufuk timur sana, menerangi langkah Ramadhan yang semakin mendekat ke mulut desa. Pagi hampir menjelang rupanya, menyiratkan harapan bahwa tragedi yang melanda desa ini telah benar benar bisa diakhiri.

Harapan yang juga dirasakan oleh segenap warga desa yang menunggu di rumah Wak Dul Modin. Kedatangan Ramadhan yang mengabarkan bahwa pageblug yang melanda desa mereka telah benar benar bisa diakiri, membuat mereka serempak bersorak bersuka cita. Namun, kegembiraan mereka tak bertahan lama, manakala Ramadhan juga mengabarkan bahwa ada kemungkinan Bu Ratih telah tewas menjadi korban dalam pertempuran di Tegal Salahan.

Sorak sorai wargapun seketika berubah menjadi jerit tangis yang memilukan. Hampir semua menitikkan air mata. Tak hanya warga Kedhung Jati, tapi juga para tetua desa dari desa desa tetangga yang semalam ikut membantu ritual penyelamatan desa ini, ikut tertegun dan merasa tak percaya dengan berita yang dibawa oleh Ramadhan.

Ratri menjerit histeris. Gadis kecil itu, meski sebenarnya belum memahami apa yang sebenarnya terjadi, namun nalurinya sebagai seorang anak seolah merasakan apa yang sebenarnya telah terjadi dengan sang ibu. Wak Karnipun demikian adanya. Meski status Bu Ratih hanyalah keponakan tirinya, namun bagi perempuan setengah baya itu sosok Bu Ratih sudah melebihi anak kandungnya sendiri, karena anak kandungnya yang sebenarnya, karena satu dan lain hal, telah pergi meninggalkan desa semenjak usia belasan tahun.

Pak Slamet jatuh terduduk. Tanpa malu malu lagi laki laki itu menumphkan air matanya. Meski semenjak lama ia sudah sadar bahwa kejadian ini bisa saja terjadi menimpa sang istri, namun saat apa yang ia takutkan itu benar benar terjadi, tak urung rasa sakit yang teramat sangat ia rasakan mengoyak dan mencabik cabik perasannya.

"Dimana jasad kakakmu Rom?" desis Pak Slamet pelan.

"Lintang dan Wulan membawanya pergi Mas," Ramadhan menjawab tak kalah pelan.

"Kemana?"

"Aku juga tak tau Mas."

Tak tau? Bagaimana bisa kau sampai tak tau Rom? Bukankah..."

"Tulalit...tulalit...tulalit...!!!" dering ponsel Mbak Padmi memecah keheningan. Sinyal ponsel sepertinya sudah kembali normal bersama berakhirnya pageblug yang melanda desa itu. Perempuan yang tak lain adalah ibu dari Lintang itu segera menyingkir untuk menerima panggilan.

"Bu Ratih di rumah sakit kabupaten! Lintang dan Wulan membawanya kesana," ujar perempuan itu setelah mngakhiri percakapannya dengan si penelepon.

"Kita ke rumah sakit sekarang!" semangat Pak Slamet kembali bangkit. Kabar yang barusan diterima oleh Mbak Padmi itu memberinya sedikit harapan.

"Biar saya antar pakai mobil dinas," kata Komandan Bambang.

"Kami ikut!" Mas Joko dan Mbak Romlah hampir serempak berseru.

"Saya juga ikut," Mbak Padmi tak mau ketinggalan.

"Aku juga..." ucapan Wak Karni tertahan oleh suara deru sepeda motor yang berbelok memasuki halaman rumah besar itu. Pengendaranya, seorang laki laki muda berwajah tampan, bergegas turun dan masuk,diikuti oleh seorang gadis cantik yang tadi diboncengnya.

Wak Karni sontak berdiri, sambil menatap ke arah sosok tamu tak diundang yang sangat dikenalinya itu. Si pemuda tampan tanpa sungkan langsung bersimpuh dan memeluk kaki Wak Karni sambil terisak pelan.

"Bayu?" desis Wak Karni pelan. "Kau pulang Nak?"

****

Di Rumah Sakit Kabupaten

Suasana di rumah sakit itu nampak begitu sibuk, meski hari masih terlalu pagi. Korban korban dari pageblug yang terjadi di kota kecamatan S terus berdatangan. Dokter, suster, perawat, dan para staf rumah sakit nampak kewalahan menangani pasien yang membludak itu. Semua sibuk. Semua seolah berburu dengan waktu, berebut cepat dengan malaikat maut yang juga sibuk mengemban tugas mereka menjemput jiwa jiwa malang yang menjadi korban keganasan dedhemit Tegal Salahan.

Namun segala kesibukan dan kegaduhan itu seolah tak dirasakan oleh Lintang dan Wulan. Kedua muda mudi itu nampak larut dalam keresahan mereka sendiri. Wulan nampak duduk di bangku ruang tunggu dengan wajah datar tanpa ekspresi. Sementara Lintang, semenjak tadi nampak mondar mandir di depan ruang ICU.

Hampir setengah jam mereka menunggu, namun belum ada seorang dokter atau perawatpun yang keluar dari ruangan tempat Bu Ratih dirawat. Lintang menunggu dengan harap harap cemas. Menunggu datangnya sebuah keajaiban yang bisa menyelamatkan sang guru, meski sebelumnya ia sudah meyakinkan bahwa sudah tak ada lagi detak jantung dan denyut nadi di tubuh sang guru.

Hingga akhirnya, saat yang dinanti nantipun tiba. Pintu ruangan itu terbuka pelan. Seorang dokter keluar, yang segera disambut dengan berondongan pertanyaan oleh Lintang.

"Maaf, kami sudah berusaha semampu kami, tapi sepertinya Tuhan berkehendak lain," singkat jawaban yang diberikan oleh sang dokter, namun sudah cukup untuk membuat Wulan yang ikut mendengarnya menjerit histeris.

"TIDAAAAAAKKKK...!!!"

****

Di Depan Kamar Jenazah

Seorang dokter lain yang sudah berusia lanjut nampak bergegas melintas melewati Lintang yang tengah sibuk menenangkan Wulan yang masih saja terus menangis histeris. Awalnya Lintang tak terlalu memperdulikan kehadiran dokter tua itu, kalau saja ia tidak mendengar dokter itu berbisik saat melintas di belakang punggungnya.

"Dia belum saatnya untuk mati!"

"Apa..." suara Lintang tertahan, karena dokter tua itu sudah keburu masuk ke ruang jenazah. Penasaran, Lintang meninggalkan Wulan yang masih histeris itu dan mencoba mengejar langkah sang dokter. Namun langkah pemuda itu terhenti, manakala pintu ruang jenazah kembali terbuka pelan, dan sesosok perempuan yang sangat ia kenal melangkah keluar.

"Bu Ratih?"

"Wulan! Lintang! Ayo kita pulang! Ibu tak mau sampai melewatkan upacara pemakaman Wak Dul!"

****

Rumah Wak Dul Modin

Pak Bambang baru saja menstarter mobil dinasnya, saat mobil angkot yang disewa Lintang berbelok memasuki halaman rumah itu. Lintang segera turun, diikuti oleh Wulan dan Bu Ratih.

Semua mata tercekat, menatap ke arah ketiga orang yang baru saja datang itu. Mereka seolah tak percaya, Bu Ratih yang dikabarkan telah tewas, kini datang dengan keadaan segar bugar bahkan tanpa ada sedikit lukapun di tubuhnya. Suasana hening sejenak lalu berubah menjadi gaduh. Ucap syukur terdengar saling bersahutan. Kegembiraan jelas terpancar dari wajah wajah yang hadir disitu. Terutama Pak Slamet. laki lak itu sepertinya jarus batal menjadi duda. Hanya satu wajah yang nampak tak gembira. Pemuda yang duduk bersimpuh di hadapan jasad Wak Dul Modin sambil meratap tiada henti, didampingi oleh Wak Karni dan seorang gadis cantik yang terus berusaha menenangkan si pemuda.

"Siapa laki laki itu?" tanya Lintang penasaran.

"Mas Bayu, putra Wak Dul satu satunya," jawab Ramadhan pelan.

"Eh, Wak Dul punya anak?" Wulan yang juga penasaran ikut bertanya.

"Ya. Mas Bayu anak Wak Dul satu satunya. Dia minggat dari rumah saat masih remaja dulu, karena sempat berselisih paham dengan uwak," jelas Ramadhan.

"Ah, tragis sekali," desis Wulan. "Ia kembali justru di saat saat seperti ini."

"Lebih tragis lagi karena ia pulang untuk memperkenalkan calon istrinya dan meminta restu untuk menikah. Tapi yang ia dapati justru ia telah kehilangan sang ayah untuk selama lamanya." ujar Ramadhan.

"Jadi gadis cantik itu calon istrinya?" tanya Lintang.

"Katanya sih begitu. Retno Palupi namanya, orang dari kecamatan B sana. Dekat sebenarnya dari kota ini. Andai dari dulu dulu Mas Bayu pulang, tentu tak akan seperti ini kejadiannya." jelas Ramadhan lagi.

"Yach, mungkin sudah takdirnya harus begini Mas. Kita doakan saja semoga Mas Bayu bisa tabah menerima cobaan ini."

****

Pemakaman Desa Kedhung Jati

Pelan, peti mati itu diturunkan ke liang lahat, diiringi isak tangis para pelayat yang membanjiri area pemakaman itu. Suasana duka begitu sangat terasa, hingga meski area pemakaman itu dipenuhi oleh para pelayat yang datang, namun suasana terasa begitu sunyi dan khidmat. Wak Dul Modin, sesepuh desa Kedhung Jati yang selama ini menjadi panutan seluruh warga desa itu, telah pergi menghadap Illahi.

Lantunan doa berkumandang tiada henti, mengiringi kepergian sang pahlawan desa. Gundukan tanah merah menjadi saksi, bahwa di tempat itu terbaring jasad seorang pahlawan yang telah gugur saat membela dan memperjuangkan keselamatan desa.

Selamat jalan Pak Dul Modin. Meski kini engkau telah tiada, meski jasadmu telah terpendam di dalam tanah, namun semua jasa jasamu akan selalu dikenang oleh semua warga desa Kedhung Jati. Semangat, kebijaksanaan, serta kearifan budimu, akan menjadi warisan yang akan diteruskan oleh generasi penerusmu. Semua jasa, perjuangan, dan pengorbananmu, tak ada yang sia sia. Kedhung Jati, desa kelahiranmu, tanah tumpah darahmu, kini telah kembali menjadi sebuah desa yang aman dan damai. Segala pageblug, dedhemit, jin setan periperayangan, semua telah tertumpas habis. Itu semua tak lepas dari usaha dan perjuanganmu selama ini.

Beristirahatlah dalam damai Wak Dul. Kami semua mendoakanmu, semoga engkau mendapat tempat yang layak disisi-Nya, sesuai dengan amal dan ibadahmu semasa hidup dulu. Kami semua, segenap warga desa Kedhung Jati, akan selalu mengenang dan mengingatmu di hati kami.

SELAMAT JALAN, WAK DUL MODIN! DOA KAMI MENYERTAIMU!

---===TAMAT===---

*****
Sebelumnya
close