Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SUMUR PATI (Part 32) - Sendang Kembar


JEJAKMISTERI - "Lan! Tunggu!" setengah berlari Lintang berusaha menyusul Wulan yang melangkah bergegas menuruni lereng yang curam itu. "Kau harus menjelaskan ini semua Lan! Tujuan kita kesini, mengemban misi yang sangat berat, menyangkut keselamatan orang banyak! Jangan seenaknya kamu mengambil keputusan seperti ini! Kita...." ucapan Lintang tertahan, saat pemuda itu telah berhasil menyusul dan menghadang langkah Wulan, ia mendapati ada yang berbeda dengan gadis itu. "Hey?! Kamu menangis?"

"Konyol!" Wulan menepis tangan Lintang yang berusaha menyentuh bahunya. Gadis itu menunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya dari pandangan Lintang. Tapi sepertinya usaha gadis itu sia sia, karena Lintang sudah terlanjur melihat titik titik embun yang menggantung di sudut kelopak mata gadis itu. "Siapa juga yang menangis?!"

"Jangan bohong Lan! Aku tau..."

"Apa yang dikatakan oleh kakek itu?" tanpa meperdulikan ucapan Lintang, Wulan justru balik bertanya sambil kembali berjalan dengan wajah menunduk.

"Jelaskan dulu kepadaku Lan!" Lintang kembali menjajari langkah Wulan. "Seumur umur aku baru kali ini melihat kamu menangis! Ada apa sebenarnya? Apa karena...."

"Breettt...!" Wulan tiba tiba berbalik dengan cepat dan menyambar kerah baju Lintang, membuat pemuda itu terkesiap seketika. Mata Wulan yang masih basah memerah menatapnya dengan sangat tajam! "Sekali lagi kau bilang aku menangis Mbul, aku tak akan segan segan untuk menghajar mulut lancangmu itu!"

"Eh, emmmm..., anu..., maaf Lan. Aku tak bermaksud..."

"Lupakan!" dengan sentakan kasar Wulan melepaskan kedua tangannya dari kerah baju Lintang. "Dan sekarang, katakan saja apa yang dikatakan kakek tua itu kepadamu!"

"Dia..., kakek itu bilang...." Lintang mau tak mau kembali mengimbangi langkah Wulan yang sangat cepat menuruni lereng itu, sambil menjelaskan apa yang telah si kakek tadi katakan kepadanya.

"Jadi begitu ya," Wulan mendesis, sambil terus berjalan dengan wajah menunduk. Lintang sadar, ada sesuatu yang disembunyikan oleh gadis itu. Sikapnya yang tiba tiba berubah, lalu memutuskan untuk pergi begitu saja meninggalkan si kakek misterius yang telah mengambil semua kemampuan mereka, serta air mata yang mati matian berusaha disembunyikan oleh gadis itu, menimbulkan tanda tanya besar di hati Lintang. Namun untuk menanyakan soal itu, Lintang juga tak berani. Ia tau apa akibatnya jika berani mengusik sahabatnya itu dikala hatinya sedang dilanda perasaan yang tak menentu.

"Begitu apanya?" akhirnya Lintang hanya mengulang ucapan Wulan barusan dengan nada tanya.

"Kakek itu menyuruh kita untuk berendam di sendang kembar?"

"Iya, begitu yang tadi dikatakan oleh kakek. Itu juga kalau dalam perjalanan nanti kita menemukan sendang itu."

"Kalau begitu, tunggu apa lagi. Ayo kita cari sendang itu!"

"Tapi..."

"Jangan cerewet! Turuti saja kata kataku!"

"Bukan begitu Lan! Kita..."

"Berisiiikkk...!!!" Wulan mendengus kasar sambil mempercepat langkahnya. Mau tak mau Lintangpun mengikutinya. Keduanya terus berjalan dalam diam, hingga akhirnya mereka sampai di sebuah tempat yang tak begitu asing di mata Lintang. Pemuda itu sudah beberapa kali muncak di gunung ini bersama dengan anggota Mapala dari kampusnya. Jadi sedikit banyak ia paham dengan medan yang sekarang mereka lalui.

"Sebentar Lan," Lintang memperlambat langkahnya, sambil memperhatikan sekeliling. Suasana sudah sedikit berubah. Tak terasa jnggal lagi seperti suasana saat mereka pertamakali datang tadi. Ada semburat warna jingga di ufuk langit sebelah kanannya. Lintang yakin itu adalah semburat senja, yang berarti arah kanannya adalah arah barat. Jauh dihadapannya, yang Lintang yakin adalah arah selatan, nampak titik titik kecil diantara hamparan yang menghijau, yang sepertinya adalah rumah rumah penduduk desa di kaki gunung. Hmmm, sepertinya mereka sudah tak jauh lagi dari kaki gunung.

"Ada apa?" Wulan ikut berhenti.

"Sepertinya aku mengenali daerah ini. Dan kalau yang dimaksud sendang kembar yang dikatakan kakek tadi sama dengan apa yang aku pikirkan, maka letak sendang itu....., di arah sana!" Lintang menunjuk ke satu arah, yang Wulan sendiri tak tau itu arah mana. Suasana di lereng gunung itu benar benar telah membutakannya dari arah mata angin.

"Kamu yakin?" tanya Wulan.

"Ya. Setahuku hanya ada satu sendang kembar di gunung ini. Dan aku yakin tempatnya disana!" jawab Lintang.

"Kalau begitu, ayo kita kesana! Kamu didepan, sebagai penunjuk jalan!" ujar Wulan antusias. Dan Lintangpun lagi lagi hanya bisa mengikuti kemauan gadis itu. Entah kenapa, meski hatinya kini dipenuhi oleh berjuta pertanyaan atas sikap Wulan yang tiba tiba sangat antusias mengikuti perintah si kakek misterius, namun ia tak kuasa membantah semua kata kata gadis itu. Akhirnya keduanyapun kembali berjalan menyusuri jalan setapak yang sedikit menanjak ke arah kiri. Sampai akhirnya, sampailah keduanya di sebuah mata air yang mengalir deras dan menggenang di dua buah cekungan besar. Ada bilik sederhana yang sepertinya sengaja dibuat untuk memisahkan kedua ceruk itu, dengan tulisan ala kadarnya. 'Sendhang lanang' dan 'sendhang wadon.'

"Jadi ini sendangnya Mbul?" tanya Wulan sambil mengamati kedua ceruk yang berair sangat jernih itu.

"Ya. Setahuku hanya ini sendang kembar yang ada di gunung ini," sahut Lintang.

"Baguslah, dan kebetulan kita datang tepat waktu." ujar Wulan lagi.

"Tepat waktu?" Lintang menatap lekat ke arah Wulan. Masih ada sisa sisa mendung yang menggelayut di kelopak mata gadis itu.

"Bukankah kakek itu menyuruh kita berendam semalaman? Dan sekarang sepertinya sudah senja. Waktu yang tepat untuk memulainya."

"Kamu tau apa maksud kakek itu menyuruh kita untuk berendam disini?"

"Entahlah!" Wulan berjongkok disisi salah satu ceruk itu. Meraup air yang menggenang disana dengan kedua telapak tangannya, lalu pelan pelan menenggaknya. Segar rasanya. "Aku juga tak tau."

"Lalu kenapa kamu sangat antusias untuk mengikuti perintah kakek itu?" Lintang mengikuti tindakan Wulan, meraup air itu dengan kedua telapak tangan dan meminumnya.

"Firasat!" Wulan kembali berdiri. "Firasatku mengatakan kalau aku harus mengikuti kata kata kakek itu."

"Firasat?" Lintang kembali menatap Wulan lekat lekat.

"Ya. Firasat yang sangat kuat, hingga hati kecilkupun tak mampu menolaknya."

"Aneh." gumam Lintang.

"Apanya yang aneh?"

"Sikapmu itu Lan! Tak biasanya kamu menyerah begitu saja saat bertarung menghadapi lawan. Dan kata kata terakhir yang kau ucapkan kepada kakek itu tadi, aku berpikir kalau kau sebenarnya mengenal kakek itu."

"Ngawur kamu!" Wulan memukul pelan bahu Lintang. "Sejak kapan aku punya kenalan manusia gunung seperti kakek itu. Naik gunung saja aku nggak pernah."

"Ayolah Lan! Matamu itu, tak bisa membohongiku. Apalagi tadi kamu sempat...."

"Apa?! Mau bilang aku nangis lagi?" Wulan mendelik.

"Iya iya! Eh, enggak ding maksudku," melihat Wulan mendelik, Lintang segera meralat ucapannya. "Siapa kakek itu, dan apa hubungannya denganmu, memang tak begitu penting buatku. Tapi, sepertinya aku juga punya firasat yang sama denganmu Lan. Mudah mudahan, dengan mengikuti semua petunjuk dari kakek itu, kita bisa menemukan jalan untuk mengatasi pageblug di desa kita."

"Ya, semoga saja Mbul," Wulan menghela nafas panjang. "Kalau begitu, tunggu apa lagi, ayo kita mulai ritual berendam ini."

"Sebentar Lan," Lintang menahan Wulan yang sudah bersiap untuk menyeburkan diri kedalam salah satu sendang itu.

"Apalagi?" kembali Wulan mendelik ke arah Lintang.

"Kau tau apa tujuan dari lelaku atau ritual begini?" tanya Lintang.

"Enggak," Wulan menggeleng.

"Setahuku, lelaku atau ritual berendam di sumber air itu, tujuannya untuk mensucikan diri, membuang segala macam kotoran dan hal hal yang tak baik yang menempel didalam jiwa maupun raga kita."

"Hal hal yang tak baik seperti apa maksudmu?"

"Ya semacam sifat buruk gitu, iri hati, dengki, sombong, tamak, dan lain sebagainya. Jadi, sebelum memulai ritual, niatkan dengan sungguh sungguh, bahwa ritual yang kita lakukan ini adalah murni untuk membersihkan dan mensucikan jiwa dan raga kita. Jangan sampai ada niat yang lain."

"Hmmm, seperti itu ya?" Wulan menangguk anggukkan kepalanya. "Lalu bagaimana dengan tujuan utama kita datang kemari? Maksudku, yang terjadi di desa itu. Lalu kemampuan kita yang sepertinya juga telah hilang..."

"Entahlah," Lintang menghela nafas, panjang. "Mungkin, setelah melakukan ritual ini, kita akan mendapatkan petunjuk soal itu."

"Begitu ya," Wulan nampak kurang puas dengan jawaban yang diberikan oleh Lintang.

"Ya. Mudah mudahan. Dan satu lagi Lan. Karena tujuan ritual ini adalah untuk membersihkan dan mensucikan jiwa dan raga kita, maka jangan sampai ada apapun yang menjadi penghalang antara tubuh kita dengan air sendang ini."

"Penghalang yang seperti apa maksudmu?"

"Kita harus berendam dengan tubuh telanjang."

"HAH?!" sontak Wulan melotot ke arah Lintang, membuat pemuda itu surut kebelakang dua tindak. "Jangan ngawur kamu Mbul! Ini...."

"Dengar dulu Lan!" Lintang buru buru menjelaskan. "Jangan berpikir yang macam macam! Aku sama sekali tak ada niat untuk kurang ajar. Tapi, memang seperti itu yang pernah diajarkan oleh Pak Dul Modin dulu."

"Kamu nggak lagi mau nipu aku kan Mbul?! Atau jangan jangan..."

"Sumpah Lan! Mana berani aku berbuat kurang ajar kepadamu! Lagian kedua sendang ini kan ada pembatasnya. Nggak mungkin aku..."

"Hmmm, iyalah! Aku percaya sama kamu Mbul! Tapi awas saja kalau kamu sampai berani macam macam!"

"Iya iya. Kau boleh potong kupingku kalau nanti aku berani macam macam!"

"Bukan kupingmu yang aku potong kalau kau macam macam! Tapi ....., batang lehermu!"

"Iya. Ya sudah. Ayo kita mulai. Jangan lupa niatnya yang sungguh sungguh!"

"Kamu duluan Mbul! Aku nggak mau kalau kamu nanti...."

"Iya iya. Takut amat sih! Ya sudah, aku duluan! Jangan ngintip!"

"Cih! Sudi amat aku ngintipin pantat gosongmu!"

Lintang tertawa sumbang, lalu segera masuk kedalam bilik 'sendang lanang', membuka semua pakaian yang dikenakannya, lalu sambil komat kamit mengucap niat, ia segera duduk bersila didalam ceruk itu, hingga yang kelihatan kini hanyalah kepalanya yang berada di atas permukaan air.

Wulan, setelah menunggu sejenak, lalu melakukan hal yang sama. Di 'sendang wadon' tentunya. Suasana menjadi sunyi. Kedua anak manusia itu mulai tenggelam dalam keheningan. Hanya gemericik aliran air yang terdengar, diselingi oleh suara suara binatang malam yang mulai keluar dari sarangnya, serta hembusan angin sepoi sepoi yang menerpa dedaunan.

Semakin malam, keheningan semakin terasa. Kedua anak manusia itu sudah tak merasakan lagi suasana di sekeliling mereka. Benar benar tenggelam dalam hening yang mereka ciptakan, sampai tak menyadari bahwa sepasang mata diam diam mengawasi mereka dari balik kegelapan. Sepsang mata yang menyala merah berkilat, memancarkan aura kemarahan dan kebencian.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close