Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

IMAH LEUWEUNG - Asrama Dibawah Pohon Beringin

Seorang anak berlari dengan tergesa-gesa menuju rumah Bu Ranti.

“Bu!! Itu bu!!! Di asrama” teriak anak kecil bernama Gio yang tinggal di rumah Bu Ranti.

“Apa lagi Gio...? Bocah-bocah itu lagi?” Tanya Bu Ranti.

“I iya...” Jawabnya yang terengah-engah.

“Ya udah.. sana masuk beres-beres dulu, terus cerita ke Mas Danan” Ucap Bu Ranti.

“Mas Danan sudah sampe?” Tanya dio yang hanya dijawab dengan anggukan oleh Bu Ranti.


JEJAKMISTERI - Ya... sesuai rencana, hari ini aku kembali ke Desa Sukmaraya sebuah desa di daerah pegunungan dengan sebuah pohon beringin raksasa yang selalu dapat dilihat dari sisi manapun desa ini.

“Mas Danan! Sudah lama?” Ucap Gio yang sepertinya sudah menunggu kedatanganku.

“lumayan.. udah sempet istirahat kok” Jawabku pada seorang bocah yang dulu kukenal sedikit pemalu.

“Mas Cahyo ga ikut?” Tanyanya sekali lagi yang membuatku segikit bingung untuk menjawab.

“Nanti Mas Cahyo nyusul kok” Jawabku seadanya.

“Gio mau cerita, di asrama ada penampakan.. temen-temenku ga ada yang percaya” Ucapnya tergesa-gesa.

“Udah.. ceritanya sambil jalan aja yuk” Aku langsung mengajak dio menuju asrama di belakang sekolahnya sekaligus mendengarkan ceritanya di perjalanan.

Sepanjang perjalanan Gio menceritakan cerita-cerita yang belum kudengar darinya, mulai dari saat ia bertemu hantu mirah, dikejar makhluk bernama lelepah hingga mengembalikan kalung titipan Pak Kuswara kepada hantu Mirah di pohon beringin.

Yang terakhir cukup membuatku cemas. Baru-baru ini ia melihat beberapa anak bermain di sekitar asrama, padahal anak-anak asrama tersebut masih sekolah.

Seorang temanya pernah ikut bermain bersama anak-anak itu dan akhirnya hilang, dan baru ditemukan setelah tiga hari di kolong kasur gudang asrama dengan kondisi lemas.

“Ini Asramanya Mas Danan...” cerita Gio dengan menunjukan sekompleks bangunan tua di belakang sekolahnya.

Ternyata pohon beringin raksasa yang terlihat dari seluruh penjuru desa terletak tepat di sebelah komplek asrama ini.

Aku memperhatikan sekeliling, namun sama sekali tidak ada keanehan. Mungkin karena ini masih siang dan anak-anak asrama sudah kembali menempati kamarnya masing-masing.

“Gio, kamu nanti pulang duluan ya... Mas Danan mau nunggu di sini” Ucapku pada Gio.

“Mas Danan mau nunggu sampai malam ya? Ga papa, aku ikut...” bantah Gio yang terlihat semakin berani dibanding sebelumnya.

“Yakin... tapi kalau ada bahaya kamu nurut sama Mas Danan ya!” Peringatku pada Gio.

“Ok...” Gio segera sepakat tanpa membantah.

Kami menunggu di sebuah bangunan tua, katanya di sini dulu Gio bertemu mirah dan setelahnya sempat melihat roh anak-anak asrama itu.
Ketika hari semakin malam, Lampu-lampu asrama mulai dinyalakan. Namun ternyata tidak seterang yang kubayangkan.

***
“Main yuk… ”

Mendadak terdengar suara anak kecil dari luar bangunan.

“Aku hitung sampe sepuluh ya... kamu ngumpet”

Suara anak lain terdengar lagi.
Aku keluar bangunan dan mencari suara itu, namun sama sekali tidak ditemukan sumber suara itu.

Gio mencoba melihatku dari jendela bangunan tua tempat kami menunggu, namun ia terjatuh ketika melihat sesosok wajah anak kecil pucat yang muncul dari jendela.

“Hihihi... kok kamu ga ngumpet?” 
Suara itu muncul dari kepala yang menakuti Gio.

Gio yang ketakutan segera berlari dan menghampiriku..

“Tenang.. jangan jauh-jauh dari Mas Danan ya” Ucapku.

Aku menajamkan pendengaranku, samar-samar terdengar suara bocah-bocah tanpa wujud yang bermain di seluruh tempat ini.

Aku mengikuti suara itu hingga sampai di gudang tempat anak hilang itu ditemukan.

Belum sempat masuk ke dalam, dari atas pintu sesosok kepala anak kecil menggantung terbalik dengan darah yang mengucur di hidung menuju dahinya.

“Ini persembunyianku... Jangan di sini” Ucap anak itu.

Aku melompat mundur dan menghindarinya, belum sempat membacakan doa ataupun mantra, roh anak kecil itu sudah menghilang dari pandanganku.

Tangan Gio menggengamku gemetar, sepertinya kejadian tadi membuat nyalinya cukup ciut.

“Sabar ya... ternyata susah juga mencari mereka” Ucapku pada Gio.

“I iya... tapi ada satu yang ga pernah pindah-pindah” Balas Gio.

“Maksud kamu..?” Tanyaku yang penasaran dengan ucapnya.

“Itu di belakang sekolah ada anak perempuan rambut panjang yang selalu menunggu di sana” Jawabnya.

Aku segera mengajak Gio ke tempat itu, setidaknya aku bisa mencari petunjuk dari makhluk yang Gio Bilang.

Benar seperti ucapanya, Ada hantu anak perempuan berambut panjang menunggu di belakang sekolah hanya menatap hantu lain yang bermain.

“Gio, kamu bisa liat hantu itu?” Tanyaku.

“Sekarang samar-samar bisa mas... tapi sering ga keliatan juga” Jawab Gio.

Rasanya aku mulai mengerti mengapa Gio sering berurusan dengan makhluk halus, sepertinya ia mempunya kelebihan yang tidak dimiliki anak lain.

“Kamu kenapa di sini? Ga diajak main?” Tanyaku yang mencoba ramah pada hantu anak wanita itu.

Hantu itu hanya menggelengkan kepalanya.

Gio? Gio hanya bersembunyi ketakutan di belakangku. Sungguh berbeda dengan nyalinya tadi. Namun setidaknya ia sudah berani mencoba.

“Terus kenapa kamu di sini terus?” Tanyaku penasaran.

“Kalo aku pergi dari sini, mereka bisa main di tempat lain” Ucap makhluk itu.

Rupanya hantu ini adalah yang tertua diantara mereka, sepertinya memang semasa hidup ia ditugaskan untuk menjaga teman-temanya itu.

“Kenapa kalian main terus? Ga mau selesai aja... nanti mas bantu biar ketemu temen-temen yang lain?” tanyaku yang berusaha menenangkan mereka tanpa menggunakan kekerasan.
Sayangnya makhluk itu hanya menggeleng.

Mungkin di mata manusia biasa, hantu-hantu ini sangat menyeramkan dan mengganggu. Namun saat ini aku melihat mereka sebagai roh anak yang masih polos yang tidak tahu apa yang mereka lakukan.

“Memang kenapa ga mau selesai?” Tanyaku lagi.

Anak wanita itu menengoku dengan wajah pucatnya.

“Ada satu yang belum ketemu...” jawabnya dengan lirih.

Aku mengerti, rupanya hantu anak-anak ini merasa bertanggung jawab atas satu makhluk lain yang tidak ada di antara mereka.

“Si...siapa yang belum ketemu?” Tiba-diba Gio memberanikan diri untuk bertanya.

Hantu itu kembali menoleh ke arah Gio yang membuatnya ketakutan.

“Ibu...” Jawab hantu anak kecil itu.

Sekarang aku mengerti, rupanya mereka tidak bisa tenang karena kehilangan ibu mereka yang menghilang saat mereka bermain di tempat ini.

Aku mencoba menanyai makhluk itu, namun tidak ada jawaban lain yang kutemukan.

“Susah Gio.. tidak ada petunjuk untuk menemukan ibu mereka, mungkin Mas Danan harus memakai cara yang lebih keras untuk menenangkan mereka” Ucapku pada Gio.

Gio menggeleng seolah tidak setuju.

“Jangan Mas Danan... kasihan mereka” balas anak itu.

“Lah.. tapi katanya kamu takut?”

Aku heran sama anak ini, ia terlihat ketakutan.. namun ia tidak tega apabila hantu ini kutenangkan dengan ilmu tenaga dalamku.

“Dulu hantu di pohon beringin ini pernah cerita kalau pak kuswara dan dia pernah ditolong sesosok hantu perempuan di rumah kebun karet... apa mungkin hantu itu ibu mereka?” Tanya Gio padaku.

Sebuah cerita yang tidak kusangka terdengar dari seorang anak kecil yang berurusan dengan hantu.

“Kebun karet? Maksudnya di Imah leuweung?” tanyaku pada Gio.

Ia mengangguk.

Aku berfikir sejenak sebelum memutuskan untuk pergi ke tempat itu lagi. Sebenarnya aku berniat mengantarkan Gio kembali sebelum memeriksa Imah Leuweung namun ia tetap ngotot untuk ikut.

“Mas Danan.. Pokoknya aku ikut sampai selesai, saat besar nanti saya mau menjadi seperti Mas Danan dan Mas Cahyo yang bisa membantu orang lain” Sekali lagi ucapan anak ini membuatku kagum.

Masa lalu yang kelam yang dialami olehku dan Cahyo lah yang membuat kami membulatkan tekad untuk memperdalam ilmu batin untuk menolong orang lain. Tapi tidak dengan anak ini, ia memiliki motivasinya sendiri.

Sebuah rumah tua yang terlihat semakin lapuk terlihat di tengah hutan karet. Warga menyebut tempat ini dengan nama Imah Leuweung atau yang berarti Rumah Hutan.

Terlihat beberapa perkakas sederhana ada di sekitar sini, sepertinya ini sisa-sisa peninggalan mbah wira.

“Kalau memang masih ada hantu di sini, dia pasti sudah diurusin sama mbah wira” ucapku pada Gio.

“Tapi cerita dari mirah begitu mas” Bantah Gio.

Aku mencoba mengingat-ngingat selama dulu memasuki bangunan ini, aku tidak menemukan hantu lain selain anak buah Brakaraswana.

Namun ucapan Gio juga patut dibuktikan.

Kami melangkah masuk ke sebuah rumah tua yang gelap dengan bantuan senter yang kubawa.

Selangkah demi selangkah kami memperhatikan ruangan-ruangan yang sudah banyak dirusak oleh rayap.

Tidak ada hal mencurigakan di tempat ini, namun Gio terlihat merinding saat menatap kearahku.

“Gio... kamu kenapa?” Tanyaku yang ke heranan.

Kali ini tubuhnya benar-benar terlihat ketakutan, ia menunjuk ke arahku seolah melihat sesuatu.

Aku menoleh ke belakang ke arah tangan Gio menunjuk.

Dan ternyata di belakangku sudah terdapat Sesosok makhluk dengan rambut panjang menutupi seluruh tubuh, darah yang hampir tak berhenti mengalir dari matanya...

Gio yang ketakutan berlari sekuat tenaga ke sebuat ruangan yang pernah kumasuki, ruang penumbalan.

Aku mengejarnya, khawatir dengan apa yang masih tersisa di sana. Namun hantu itu lebih cepat memasuki ruangan itu.

“Pergi...”

Suara makhluk itu terdengar mengarah ke Gio yang meringkuk di pojok ruangan.

Melihat hal itu aku membacakan doa-doa penenang dan ayat suci untuk hantu yang mengejar Gio itu. Perlahan darah dari matanya menghilang dan wujudnya berubah menjadi seorang wanita tua.

Sebuah penglihatan muncul di kepalaku mengenai seorang ibu yang menemani anak-anaknya bermain petak umpet di sore hari.

Keluarga ini merupakan pemilik tanah sebenarnya yang digunakan untuk kebun karet.

Sebelum sempat menyelesaikan permainanya orang suruhan juragan kebun karet membakar rumah dan halaman keluarga itu dan menculik ibu dari anak-anak itu.

Sama seperti mirah, ibu ini ditumbalkan dan di kuburkan tepat dibawah tempat ini.

Ternyata rumah yang disebut imah leuweung ini memang dibangun untuk menyembunyikan kuburan sang ibu.

“Jadi benar.. hantu ibu itu Cuma muncul kalau ada anak kecil yang main ke sini” Ucap Gio.

Aku menoleh pada Gio.

“Jadi kamu sudah tau soal ini?” Tanyaku.

“Semua anak kecil juga tau Mas Danan... orang tua sering nakutin anak-anak supaya ga kesini, katanya kalo anak kecil main malem-malem ke Imah leuweung bisa diculik sama hantu nenek-nenek” Jawab Gio yang menjadi sok tau.

Aku menggelengkan kepala melihat tingkahnya.

“Ibu.. ikut kami ya, anak-anak ibu udah nungguin” Ucapku pada roh wanita itu.

Roh ibu itu hanya mengangguk dengan wajah yang tidak lagi menyeramkan.

“Berati ibu ini dan hantu anak-anak di asrama sudah bisa tenang ya Mas Danan” Tanya Gio yang terlihat cukup senang.

Aku hanya mengangguk.
Kami bersiap meninggalkan ruangan itu, namun tiba-tiba langkahku terhenti dengan suara benda yang terjatuh dari atas ruangan itu.

Senter kuarahkan ke tengah-tengah ruangan yang masih terdapat bekas coretan lingkaran ritual, di sana terlihat sebuah benda yang baru saja terjatuh.

Sebuah patahan kayu bertuliskan aksara jawa yang pecah menjadi dua. Aku mengenali dengan jelas benda ini dan mencari ke seluruh sudut ruangan.

Ruangan demi ruangan kuperiksa bahkan hingga keluar Imah leuweung namun yang kuharapkan tidak ada di tempat ini.

Di satu sisi aku teringat bagaimana cara kami meninggalkan alam ghaib saat melawan brakaraswana.

Pohon beringin..! Saat itu kami berlari ke arah pohon beringin tempat candramukti dimakamkan.

“Mas Danan kenapa?” Tanya Gio yang semakin bingung dengan tingkahku.

“Gapapa Gio, ayo kita selesaikan misi kita” jawabku yang segera bergegas kembali ke asrama, atau lebih tepatnya ke pohon beringin di sana.

“Mas Danan jangan cepet-cepet, tungguin” Keluh Gio yang melihatku terburu-buru.

“Gapapa, cepetan... kalau kemaleman bisa dimarahin Bu Ranti” Aku mencoba memberi alasan kepada Gio dan ternyata cukup manjur. Ia berjalan semakin cepat mengikutiku.

Tak butuh waktu lama, kami sudah sampai ke komplek sekolah yang jadi satu dengan asrama itu.

Aku mencari keberadaan hantu anak wanita berambut panjang tadi, namun tidak kutemukan sama sekali. Begitu juga dengan hantu anak-anak yang bermain petak umpet.

Aku mulai kebingungan, namun roh ibu tadi terlihat melayang ke arah pohon beringin.


“Hompimpa alaium gambreng...”

Sayup-sayup terdengar suara anak-anak bermain di tempat ini.

Jelas itu bukan suara dari anak manusia.

Aku segera berlari menyusul hantu ibu itu dan melihat hantu-hantu anak kecil tadi sedang bermain bersama di bawah pohon beringin bersama satu orang dewasa..

“Mas Danan, itu Mas Cahyo kan?”

Tanya Gio sambil menunjuk seorang pria yang identik dengan sarung kebanggaanya yang terlilit di bahu.

Menyadari kehadiran kami makhluk bernama Cahyo alias Panjul dengan julukan ‘Bocah ketek’ itu segera berdiri dan berlari ke arah kami.

Aku tak mampu menahan air mata haru ketika melihat sahabat terbaiku telah kembali, namun ia pasti sudah menyiapkan ledekanya bila melihat wajahku penuh air mata.

“Iya Gio... Itu Mas Cahyo.. kan Mas Danan udah bilang dia bakal nyusul...”

SEKIAN
close