Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SUMUR PATI (Part 31) - Bekal Terselubung


JEJAKMISTERI - "Bagus! Sepertinya sudah saatnya," si kakek misterius duduk bersila diatas tanah, dengan kedua tangan tertangkup didepan dada dan mulut komat kamit seolah sedang membaca mantera. Lalu, begitu serangan badai topan milik Lintang dan kobaran cambuk api milik Wulan semakin mendekat ke arahnya, kakek tua itu mengulurkan kedua tangannya kedepan dengan telapak tangan tegak terbuka lebar.

"Asal bayu bali marang bayu, asal agni bali marang agni! Nyawiji ing raganingsun!"

"Whuuusss...!!!"

"Syuuuuutttt...!!!"

Entah mantra atau kekuatan apa yang sedang diterapkan oleh si kakek. Yang jelas, badai topan ciptaan Lintang dan kobaran api milik Wulan yang menarah tepat ke arah si kakek itu tiba tiba tersedot masuk kedalam kedua telapak tangan si kakek.

"Sial! Ini..., Wulaann...!!! Awaaasss...!!!" Lintang yang terlebih dahulu menyadari bahwa serangan maha dahsyat mereka justru disedot oleh si kakek mencoba menarik kembali serangannya. Namun terlambat! Kini, tidak hanya serangan mereka yang tersedot, namun tubuh keduanya juga meluncur deras ke arah si kakek, seiring dengan meredanya badai topan dan kobaran api ciptaan mereka.

"Gawat!"

"Sial!"

Percuma Wulan dan Lintang berusaha untuk menahan tubuh mereka agar tak ikut tersedot ke arah telapak tangan si kakek itu. Semakin kuat mereka berusaha untuk melawan, maka tarikan dari energi yang keluar dari telapak tangan si kakek juga semakin kuat. Hingga akhirnya, tubuh keduanya jatuh tepat dihadapan si kakek dengan posisi dahi yang menempel di kedua telapak tangan keriput itu.

"Arrggghhh...!!!" Lintang dan Wulan mengerang lirih, saat merasakan semua kekuatan yang berada di dalam tubuh mereka kini juga tersedot kedalam telapak tangan si kakek, tanpa punya kesempatan untuk menahannya. Hingga akhirnya, saat si kakek melepaskan telapak tangannya dari dahi keduanya, merrkapun ambruk terkapar tanpa daya sama sekali.

Si kakek pelan pelan berdiri, lalu melangkah meninggalkan Lintang dan Wulan yang bahkan untuk sekedar bergerakpun sudah tak sanggup lagi. Seluruh tenaga mereka telah benar benar terkuras habis disedot oleh si kakek.

"Tu..nggu...!!!" dengan sisa sisa tenaga yang dimilikinya, Lintang berseru lemah. "A...pa yang sebenarnya..., te...lah kakek lakukan ter...hadap ka...mi?"

"Cih!" si kakek mendecih tajam. "Anak anak dungu! Masih juga belum mengerti ya? Seluruh tenaga dan kemampuan kalian, telah kuambil! Kini kalian berdua tak lebih dari seonggok sampah yang tak berguna!"

"Pengecut!" Wulan meradang.

"Jaga mulutmu Lan!" Lintang mendelik ke arah Wulan yang terkapar disebelahnya. Ada yang aneh dengan gadis itu. Guratan guratan aneh di lehernya telah lenyap kini, pertanda bahwa kekuatannya juga sudah benar benar lenyap tak tersisa.

"Aku..., kau kakek tua....," Wulan memaksakan diri untuk bangkit. "Siapa kau sebenarnya?!"

"Wulan!!!" kembali Lintang menghardik gadis yang sepertinya belum mau mengakui kekalahannya itu. Pelan pelan ia juga berusaha bangkit berdiri.

"Siapa aku?!" si kakek terkekeh. "Untuk apa kau tau siapa diriku?"

"Agar aku bisa mengingatmu saat aku sampai di neraka nanti!" desis Wulan tajam.

"Neraka?!" si kakek menelengkan kepalanya.

"Ya!" sahut Wulan tegas. "Jangan merasa menang meski kau telah mengambil semua kekuatanku Kek! Karena untuk benar benar mengalahkanku, kau harus membunuhku!"

"Wulan! Apa yang kau..."

"Diam Mbul!" bentak Wulan. "Bagaimana kek? Kau punya nyali untuk menghabisiku? Atau kau hanya seorang pengecut yang takut untuk menumpahkan darah dari..."

"Aku bukan seorang pembunuh!" sungut si kakek.

"Sudah kuduga!" Wulan semakin mendekat ke arah si kakek. Bahkan gadis itu kini mendekatkan wajahnya ke wajah si kakek, hingga jarak kedua wajah mereka hanya tinggal sejengkal lagi. Mata berkilat gadis itu menatap tajam ke arah si kakek yang kini sedikit menunduk, tak seolah enggan untuk membalas tatapan Wulan. "Sudah kuduga! Kau hanyalah kakek tua pengecut yang jangankan membunuhku, untuk menatap mataku saja kau tak berani Kek! Coba lihat baik baik, tatap mataku kek! Tatap wajahku! Jangan hanya menunduk seperi..."

"Wulan!!!" Lintang menarik lengan Wulan hingga gadis itu terjajar mundur beberapa langkah. "Apa yang kamu lakukan hah?! Jangan...."

"Kita pulang Mbul!" ujar Wulan tegas, lalu berbalik dan meninggalkan si kakek yang masih berdiri diam. "Tak ada gunanya kita berlama lama disini! Apa yang kita cari selama ini, ternyata tak lebih dari seorang pengecut yang bersembunyi dibalik kekuatan besarnya."

"Tapi Lan..."

"Kau mau terus terusan disini Mbul? Menunggu kakek tua pikun itu kembali mempermainkanmu? Sementara di desa sana, warga yang menggantungkan harapannya kepada kita satu persatu mati di tangan iblis iblis terkutuk itu?"

Lintang terdiam. Bergantian ia menatap si kakek yang masih berdiri diam dan Wulan yang semakin jauh melangkah meninggalkannya. Pemuda itu benar benar tak tau apa yang harus ia lakukan sekarang.

"Ratih Wulansari!" tiba tiba si kakek berseru, membuat langkah Wulan terhenti tiba tiba. Bukan karena si kakek yang bisa dengan jelas menyebutkan nama lengkapnya. Tapi nada suara si kakek yang sedikit melunak itu yang membuatnya berhenti. "Kau benar Cah Ayu! Tak ada lagi yang bisa kau cari di tempat ini. Karena apa yang sebenarnya kalian cari itu, sesungguhnya ada didalam hati kalian. Pulanglah! Takdir yang akan menuntun kalian untuk menuntaskan masalah yang sedang kalian hadapi ini. Dan kau cah bagus..." kakek itu menoleh ke arah Lintang.

"Kupercayakan gadis itu padamu. Bimbing dan arahkan dia, karena hanya kamu yang bisa memahami perasaannya. Sekarang pulanglah! Warga desa kalian sudah menunggu! Pesanku, jika dalam perjalanan pulang nanti kalian menemukan sendang kembar, maka berendamlah kalian disana barang semalam. Mudah mudahan Gusti Yang Maha Agung memberikan petunjuknya kepada kalian!"

"Bagaimana denga kendi itu kek?" Lintang melirik kendi aneh milik si kakek yang masih tergeletak disamping keranjang tempat rumputnya.

"Apalah arti sebuah kendi yang hanya benda mati, karena sesungguhnya yang kalian cari ada di dalam hati! Sekarang pergilan, susul gadismu itu, jangan sampai ia tersesat nanti."

"Ah, baiklah kalau begitu kek, dan terimakasih banyak atas segala wejangan kakek," Lintang menyalami dan mencium tangan si kakek, sebelum akhirnya dengan setengah berlari mengejar Wulan yang telah kembali melangkah menjauh

Si kakek hanya memandingi kepergian kedua anak itu sambil tersenyum samar, hingga tak menyadari kedatangan seorang perempuan tua yang tiba tiba muncul dibelakangnya.

"Tak disangka, kau mempunyai penerus yang sangat luar biasa Ki!" gumam si nenek pelan, sambil ikut memandang Wulan dan Lintang yang semakin menjauh.

"Aku masih belum yakin Nyi," si kakek mendesah pelan. "Mereka masih terlalu muda, dan..., ah, andai saja aku masih bisa kembali kesana sekali saja, mungkin..."

"Untuk apa?" si nenek menoleh ke arah si kakek. "Dimata mereka, kita ini sudah mati Ki! Kehadiran kita di tengah tengah mereka justru akan menimbulkan masalah baru! Lagipula, sedikit bekal yang kauberikan kepada kedua anak itu tadi, aku rasa sudah lebih dari cukup! Tanpa mereka sadari kau telah membangkitkan kekuatan tertinggi mereka. Itu sudah lebih dari cukup Ki!"

"Ya. Kau benar Nyai! Dimata mereka kita sudah mati! Ya. Sudah mati! Kini aku sadar! Ternyata menjadi manusia abadi itu sangatlah menyebalkan ya!"

Si nenek hanya tersenyum. Si kakek juga ikut tersenyum. Kabut tipis mulai turun, menyelimuti tubuh keduanya, hingga akhirnya bayangan mereka lenyap dari pandangan.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close