Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

DENDAM PATUNG ARWAH (Part 6) - Triwikrama


(Sudut pandang Cahyo)
JEJAKMISTERI - Aku merasa aneh. Pusaka pisau batu ini benar-benar merepotkanku. Beberapa kali ia mengambil alih tubuhku untuk berkomunikasi.
“Mbah Pusaka, bisa ga kalo komunikasinya pake telepati atau apa gitu biar aku nggak kelihatan aneh” ucapku pada pisau batu yang masih kugenggam.

“Aneh piye Jul, lha biasane yo luwih aneh” (Aneh gimana Jul? biasanya juga lebih aneh) Ledek Danan.
“Aseem kowe nan!” (Sialan kamu Nan) Balasku.

Aku memang sedikit mengingat tentang ikatan pusaka pisau batu ini dengan Wanasura. Ia adalah pusaka Mas Linus teman dari Mas Linggar yang sempat menutup alas wetan dari amukan Jogorawu.
Saat itu Wanasura dan Kliwon terpisah.

Wanasura harus bertahan sendirian di Alas Wetan melawan Jogorawu hingga tubuh fisiknya mati dan meninggalkan rohnya. Semetara Kliwon yang tubuh fisiknya sekarat, terbawa arus sungai dan bertemu aku dan Paklek.

Itulah pertama kalinya aku bertemu Wanasura yang tengah kehilangan kewarasanya, kami terbawa ke alam lain, meloloskan diri dan akhirnya bersama sampai sekarang.
“Triwikrama? Apa itu?” Tanyaku pada sosok pusaka itu.

Mendengar ucapanku itu, Danan seolah menoleh kearahku dengan wajah kaget.
“Triwikrama? Itu ilmu yang nggak main-main Jul.. di kisah pewayangan hanya yang punya hubungan dengan kedewaan atau mendapat berkat khusus yang bisa..” Jelas Danan.

“Haha.. itu bukan hal yang mustahil dilakukan oleh Panglima kera alas wanamarta” ucapku seketika dengan kesadaran yang diambil alih oleh pusaka itu.
“Akan kutunjukkan syarat dan resiko yang harus kalian persiapkan”

Saat itu juga seketika aku diperlihatkan hal yang mengerikan yang terjadi di sebuah kerajaan. Ada sesosok kera putih yang tengah memandang sebuah kerajaan dari balik awan, namun dari jauh juga terlihat sesosok raksasa yang mengincarnya dan menelan seluruh awan di sana.

Alhasil sang kerapun tertelan.
Ada sebuah ilmu yang digunakan oleh sang kera putih, sebuah ilmu yang sangat mengerikan dimana sosok kera itu membesar dan menjadi raksasa melebihi raksasa yang menelanya. Alhasil, raksasa yang menelannyapun mati dengan tubuh yang tercerai berai.

Pemandangan berganti dengan suatu kerajaan yang terbakar oleh ulah kera itu. Hal itu membuka sebuah pertarungan antara bangsa kesatria dan raksasa. Saat itu sang kera putih dengan gagah berani menggunakan ilmu serupa untuk menghadapi para raksasa itu.

Meningkatkan kekuatan, memanggil kekuatan kedewaan hingga berwujud melebihi raksasa.
Itulah ajian Triwikrama...
Ada satu syarat agar ilmu ini bisa digunakan. Sang pengguna harus dalam emosi yang memuncak.

Hal itu mengakibatkan beberapa pelaku Triwikrama kadang akan kehilangan kesadaranya dan mengamuk tanpa arah.
Setelahnya, pengguna ajian ini akan melemah hingga kehilangan hampir seluruh kekuatanya.

Penjelasan itu membuatku berpikir keras. Apakah aku harus mempertaruhkan hal itu untuk melawan Ki Luwang? Apakah memang tidak cukup dengan kekuatan kami semua yang ada di sini?
“Keberadaanmu mungkin bisa mempertahankan kewarasan Wanasura, dan keberadaan Wanasudra saudara kembarnya, bisa menjaga sukma Wanasura agar tidak menghilang. Tapi kau yang menentukan” ucap pusaka itu lagi.
Aku kembali pada kesadaranku dan mendapati Ki Luwang tengah berwujud sosok yang tidak pernah kuduga.

Sejak awal dia memang bukan lagi manusia. Ia sama seperti Brakaraswana yang membawa niat jahat mencari kekuatan dari tumbal, seperti Andaka yang menjadi budak akan nafsunya, dan saat ini di hadapan kami ada Ki Luwang yang membawa dendam beratus-ratus tahun.

Rohnya tidak lagi berwujud manusia. Seluruh kekuatan dari patung yang selama ini ia manfaatkan membentuk tulang belulang seperti apa yang ia masukkan kedalam patung itu.

Tumbal yang ia kumpulkan menyatu dengan Ki Luwang mengutuknya menjadi setan raksasa yang hanya berwujud tengkorak.
“Dirga, abah tidak salah lihat? Ki Luwang benar-benar berubah menjadi sosok mayat tengkorang raksasa” tanya abah sembari mengusap matanya.

“I..iya Bah, Dirga nggak nyangka Ki Luwang semengerikan ini” balas Dirga.

“Sebentar lagi, dia akan selesai dengan ritualnya.. kita harus putuskan apa yang harus kita lakukan” ucap Danan yang sudah khawatir akan kekuatan Ki Luwang.

Kami pernah melawan Batara Naga walaupun besarnya tidak sebesar makhluk ini, tapi saat itu kami dibantu oleh Buto Lireng yang sangat tangguh. Saat ini jelas kami bingung harus berbuat apa?

“Wanasura!”
Aku memanggil Wanasura meninggalkan tubuhku. Kini sosok kera raksasa tengah ada di hadapan kami. Di alam roh, Wanasura bisa leluasa menggunakan wujud ini, namun sosok kera raksasa Wanasurapun tidak lebih dari seperempat besar Ki Luwang.

“Aku tidak percaya kalau kekuatan Paklek, Abah, Dirga, dan kamu Mas Jagad tidak cukup untuk mengalahkan Ki Luwang... soal Ajian Triwikrama, akan kuputuskan di pertarungan ini” balasku.
Paklek dan Danan mengangguk mengerti pertimbanganku.

Sebenarnya dengan keberadaan Paklek dan Dananpun aku sudah merasa tidak akan terkalahkan, apalagi dengan adanya Dirga, abah dan Jagad. Aku yakin Ki Luwang bisa kami tumbangkan.

Danan dalam wujud sukmanya melesat ke atas Ki Luwang mencari sesuatu yang mungkin adalah titik lemahnya. Aku Menaiki Wanasura dan mencoba menghantamkan sebuah pukulan pada tubuh tulang belulang Ki Luwang..
Praaakk!!!

Terdengar suara retakan tulang yang hancur. Tapi dalam waktu singkat retakan itu kembali pulih dan membalas serangan Wanasura dengan sebuah libasan yang membuat kami berdua terpental.
Sulit untuk menghindarinya, tangan Ki Luwang benar-benar sangat panjang dan besar.

Dari belakang lehernya, Danan melesat menusukkan Keris Ragasukmanya pada sendi di lehernya. Namun sekali lagi serangan itu gagal.
“Tidak bisa, kita tidak bisa mengalahkanya hanya dengan menghancurkan tubuhnya..” ucap Paklek yang masih menganalisa tentang Ki Luwang.

“Simpanan kutukanya terlalu banyak, ia sudah mengumpulkanya bertahun-tahun bahkan dengan berbagai tumbal” tambah Abah.
Saat itu Ki Luwang masih menderu menahan amarahnya. Namun sesaat iapun tersadar, amarahnya kembali terbakar.

Ia mengangkat tanganya dan melibaskannya ke segala arah meluapkan emosinya.
“Matii!!! Mati!! Kalian semua harus merasakan sakitku!!”
“Awaassss!!” Mas Jagad berteriak mendekat ke arah Paklek dan Abah.

Danan melayang menjauh, Aku melompat bersama Wanasura, dan Abah, Dirga, Raden Topo seketika berpindah menjauh bersama Jagad.
Wajah Jagad terlihat pucat...
Ia melihat tempat dimana Ki Luwang mengamuk. Hutan itu sudah menjadi rata dan hancur tak berbentuk.

“Terlambat sedikit saja kita bisa rata dengan tanah” ucap Dirga.
Raden Topopun menelan ludah. Ia tidak pernah menyangka akan menghadapi situasi ini.
“Bagaimana? Bagaimana mungkin kita melawan makhluk seperti itu” Raden Topo gemetar melihat kejadian tadi.

Paklek menatap Raden Topo sebentar dan melangkah mendahului mereka.
“Danan, Panjul.. !” Paklek memberi kami isyarat sembari mengeluarkan Keris Sukmageni dari sarungnya.
Benar, tak ada waktu lagi. Kami harus melumpuhkan makhluk itu. Akupun menjemput Paklek menaiki Wanasura.

Dengan secepat mungkin Wanasura berlari mendekat kepada Ki Luwang. Ajian Geni Baraloka membakar kami bertiga. Dengan ini kami tidak takut dengan kutukan yang mengitari Ki Luwang.
Danan membacakan ajian pada kerisnya..

Paklek juga membalik bilah Keris Sukmageni ke sisi hitamnya.
Danan mendarat di lengan kiri Wanasura, Paklek mendarat di lengan kanan Wanasura. Akupun membacakan ajian penguat raga untuk memperkuat tenaga Wanasura.

“Apa yang akan mereka lakukan abah?” Tanya Raden Topo khawatir.
Abah menggeleng menebak rencana kami.
“Aku pernah!! Aku pernah melihat serangan ini saat melawan Songgokolo!!” Teriak Dirga semangat.
Memang itu tujuan kami...

Setidaknya serangan beresiko itu bisa menyadarkan bahwa tidak mustahil mengalahkan Ki Luwang.
Dengan sekuat tenaga Wanasura melemparkan Danan dan Paklek kearah kedua mata Ki Luwang yang sangat besar.

Kilatan cahaya putih Keris Sukmageni menyelimuti tubuh Danan dan melesat dengan cepat. Di sisi Lainya Paklek melesat berselimutkan api hitam Keris Sukmageni berdampingan dengan Danan.
Blarrr!!!

Dengan mudah Danan menembus mata dan tengkorak Ki Luwang dan api hitam Paklek membelah kepalanya. Paklek mendapat tebing untuk mendarat. Iapun membacakan sebuah mantra yang membuat api hitam itu tak henti-hentinya membakar wajah Ki Luwang.

“Brengsek!!! Kalian serangga busuk!!” Ki Luwang mengamuk dan menghantamkan tanganya ke tanah hingga bergetar.
Dengan cepat aku menjemput Paklek dan melompat setinggi-tingginya bersama Wanasura.
Sebelum sempat memulihkan diri Danan bersiap menyerang Ki Luwang Kembali.

Namun Ki Luwang menyadari keberadaan Danan dan bersiap menyapunya dengan tanganya.
“Wanasura! Tahan!” Perintahku meminta Wanasura menghempaskan lengan Ki Luwang.
Walaupun tak mampu mementalkanya, setidaknya aku menahan seranganya mencapai Danan.

Tak menyiakan kesempatan Danan kembali meluncurkan seranganya dengan keris yang menyala dengan kilatan putih tepat di ubun-ubun Ki Luwang.
Kerisnya menancap di tengkorak kepala Ki Luwang yang mungkin sebesar rumah. Ki Luwang kesakitan, namun itu saja tidak cukup.

Aku segera membaca kembali ajian penguat raga pada Wanasura dan memintanya melompat setinggi-tingginya.
Dengan sekuat tenaga, Wanasurapun mendarat di kepala Ki Luwang yang tengah kesakitan dan membuatnya tersungkur di tanah.

Dananpun meninggalkan Ki Luwang dan bergabung dengan kami di tubuh Wanasura.
Paklek tidak mau ketinggalan, ia sekali lagi membacakan mantra yang membuat api hitam di mata Ki Luwang kian membara.
Kini sosok raksasa besar itupun tersungkur kesakitan di hadapan kami.

“Abah! Sebenarnya mereka itu siapa? Belum pernah aku lihat yang seperti itu...” ucap Raden Topo takjub.
Dirga dan Jagad tersenyum melihat ketakjuban Raden Topo.

“Mereka sahabat kami Raden, Tapi orang-orang dan makhluk jahat pasti takut mendengar julukan mereka... Tiga pendekar Jagad Segoro demit” ucap Dirga.
Jagad menggaruk-garuk kepalanya ia merasa panas dengan apa yang kami lakukan. Iapun segera berlari menyusul Dirga.

“Dirga! Kita Jangan mau kalah!” Ajak Jagad.
Kali ini Jagad dan Dirga yang merasa panas melihat aksi kamipun ikut berlari ke arah Ki Luwang.
“Kalian!! Jangan Nekad!” Teriak Abah.
Sayangnya Dirga dan Jagad sudah terlalu jauh di depan.

Abah hanya bersiap menggeleng melihat kelakuan anaknya itu.
“Hancurkan tiap bagian tubuhnya yang terbuat dari patung! Jangan sampai ia bisa bangkit lagi!” Teriak Jagad yang mendahului posisi kami.
Ada beberapa pusaka kuningan tergenggam di tanganya.

Ia membacakan Ajian Watu Geni pada pusaka itu hingga menyala merah padam.
Di saat yang bersamaan aku menyaksikan Dirga berdiri di salah satu Batu besar mengendalikan keempat kerisnya yang melayang menyerang Ki Luwang.
“Sekarang Mas Jagad!” Teriak Dirga.

Keris Dirga mengalihkan perhatian Ki Luwang dan menyerang bagian Vital yang mampu dijangkau olehnya. Sementara itu sebuah benda menyala merah melayang ke arah sendi-sendi Ki Luwang yang terbuat dari batu patung-patung keramatnya.
Blarrrr!!!

Ledakan besar terjadi menimbulkan kobaran api besar yang menghancurkan lengan Ki Luwang hingga berkeping-keping. Tak berhenti sampai di situ, Mas Jagad juga sudah bersiap dengan pusaka lain di genggaman tanganya.

Sementara itu, Ki Luwang berhasil menemukan asal arah serangan itu dan mendapati Mas Jagad. Tapi sekali lagi serangan bertubi-tubi dari keris dasasukma Dirga menusuk berkali-kali dahi Ki Luwang hingga Mas Jagad kembali mendapatkan kesempatan melancarkan seranganya.

Suara ledakkan kembali terdengar dengan hancurnya lengan Ki Luwang.
“Cukup! Mundur!!” Perintahku memperingatkan Dirga dan Mas Jagad.
Kita tidak bisa berbuat lebih jauh dari ini, kami harus bersiap akan apa yang terjadi setelahnya.

***

“Anakmu menjadi pendekar yang hebat” ucap Raden Topo pada Abah.
“Kelebihanya adalah tidak mau menyerah, semua masalah yang dia temukan membimbingnya hingga seperti sekarang ini..” Jelas Abah.

Raden Topo memainkan janggutnya sembari memandang bangga salah seorang anak dari Trahnya yang tengah bertarung di sana.
“Kita tidak boleh diam saja, firasatku mengatakan Ki Luwang masih belum menggunakan kekuatanya yang sebenarnya...” ucap Raden Topo.

Benar saja.. Ki Luwang kembali berdiri dengan serangan sekuat tenaga yang kami lakukan.
Tak hanya bangkit...
Suara tembang yang menyayat terlinga terdengar dari arahnya dengan suara menggema yang mengerikan.

Aku tahu ini adalah kekuatan dari salah satu patungnya, Dewi Lawung mayit.
Kami segera menjauh, namun suara itu tetap menjangkau kami hingga membuat kepala kami serasa ingin pecah.
Wanasura meraung-raung berusaha mengalahkan suara itu, namun suaranya tenggelam seketika.

Di saat yang sama, lengan besar Ki Luwang yang mulai pulih menyapu bersih pohon pohon di sekitarnya mencari keberadaan kami.
Itu kekuatan mengerikan yang dimiliki Patung Raden Rogo. Bila ia memiliki kekuatan itu, aku mulai takut bila dia juga memiliki kekuatan patung lainya.

Benar saja... Asap hitam mulai perlahan keluar dari tubuhnya. Sebuah kekuatan yang merubah tubuh Danan menjadi sosok patung.
Tak hanya itu..
Aku sudah melihat Mas Jagad menggunakan gelang pusaka dari peninggalan pusaka Darmawijaya tadi.

Ia segera mendekat dan meletakkan tanganya ke tanah.
“Sial! Ki Luwang mau keluar dari alam ini!!” teriak Mas Jagad.
Perlahan kami melihat kepala Ki Luwang tertutup kabut hitam dan menghilang.

Namun belum sempat menelan tubuhnya, kabut putih milik Mas Jagad menahan portal itu agar ia tidak keluar.
“Tidak sudi! Aku tidak sudi membiarkan ada seorangpun hidup di depan mataku!!” Teriak Ki Luwang yang tengah berusaha untuk pergi.

Mas Jagad berhasil menahanya keluar, Kepalanya kembali ke alam ini. Tapi... mulutnya sudah dipenuhi tubuh manusia yang meronta-ronta mencoba menyelamatkan diri darinya.
“Itu para pengikut-pengikut Ndoro kasmolo.. ia memakan pengikutnya sendiri” ucap Danan.

“Aku hanya bisa menahanya sebentar, sedikit lagi gelang pusaka dua alam ini akan hancur!” Teriak Mas Jagad.
Di saat yang bersamaan, Asap hitam yang berasal dari tubuh Ki Luwang kini menebal dan bersiap menyerang kami.

Paklek membesarkan Geni Baralokanya, namun ia sendiri seperti tidak yakin apa ilmunya bisa mempertahankan kami agar tidak berubah menjadi batu?
Di posisi seperti ini, aku benar-benar merasa bingung.

Abah dan Raden Topo sedang bermeditasi, aku menduga mereka mencoba melindungi kami dari serangan kutukan itu.
Di keadaan seperti ini, biasanya Dananlah yang memiliki rencana untuk melepaskan kami dari situasi sulit ini.

Dan benar... ia menapakkan kakinya di tanah dan menggenggam Keris Ragasukma tepat di hadapan dadanya.

Jagad lelembut boten nduwe wujud
Kulo nimbali
Surga loka surga khayangan
Ketuh mulih sampun nampani
Tekan Asa Tekan Sedanten...

Ia membacakan mantra itu, mantra yang hanya dibacakan saat posisi kami diantara hidup dan mati.
Mendadak langit semakin gelap bersama hujan yang turun begitu deras. Bersama dengan itu muncul sesosok makhluk dari tetesan hujan.

Seorang wanita dengan kebaya indah mendekat ke arah kami.
Air dari hujan mulai mengikis asap hitam itu dan menghambatnya hingga mendekat ke arah kami. Keputusan Danan tepat, ia memanggil Nyi Sendang Rangu.
“Maaf Nyi, saya harus merepotkanmu lagi” ucap Danan.

Nyi Sendang Rangu datang dengan menggendong tubuh manusia di tanganya.
Itu adalah tubuh Danan! tubuh Danan sudah tidak menjadi patung lagi?!
“Nyi! Nyi bisa mengembalikan tubuh Danan seperti semula?” Tanyaku.

Nyi Sendang Rangu menggeleng, “Saat aku menyadari Danan dalam bahaya, aku segera mendatangi tempat itu. Tapi saat sampai, tubuh Danan sudah pulih dan ada seorang pria tua bergamis putih di dekatnya.”

Danan terlihat berpikir saat mendengar cerita itu.

“Apa ada seekor kucing bersamanya Nyi?” tanya Danan dan Nyi Sendang Rangu mengangguk membenarkan.

Abah tiba-tiba berdiri mendengar pertanyaan Danan.

“Kucing?” tanya abah.

“Kamu kenal dia Danan?” tanya Nyi Sendang Rangu.

Danan hanya menggeleng, namun ia seolah mengingat sesuatu.

“Saya hanya sempat melihatnya sesaat saat beristirahat di pinggir sebuah hutan dekat bukit” balas Danan.

Cring!!! Cringg!!

Tiba-tiba terdengar suara bunyi kerincing yang mendekat seolah berasal dari sebuah gelang kecil.

Suara gelang itu seolah menghapus semua kutukan dari suara tembang yang digaungkan oleh Ki Luwang.

“Be...benar! Ternyata sosok itu benar ada..” Ucap Abah.

Aku mencari asal suara itu, namun suara itu hanya mengelilingi hutan ini seolah memang tidak berniat menunjukkan wujudnya pada kami.

Abah menangkupkan tanganya di depan dahinya seolah berterima kasih pada sosok itu.

“Memangnya dia siapa Bah?” tanya Dirga.

Abah menghela nafas dan merangkul pundak Dirga.
“Tanah Pasundan dipenuhi oleh leluhur dan pertapa yang sudah mencapai tingkat kesaktian yang tidak masuk akal. Salah satunya adalah beliau.. Ki Langsamana” cerita abah.

Akhir cerita abah merupakan akhir dari suara gemerincing yang mengitari kami. Sepertinya sosok itu hanya hadir sebentar menumpang keberadaan Nyi Sendang Rangu dan kembali pergi.

***

“Ya sudah, sekarang tembang setan dan asap hitam itu sudah teratasi. Apa lagi yang harus kita lakukan, aku tidak bisa menahan makhluk itu tetap di alam ini lebih lama” ucap Jagad dengan wajah kewalahan.

Mendengar ucapan Jagad, Paklek segera pergi menerjang Ki Luwang dan Danan yang sudah kembali ke tubuhnyapun bersama Nyi Sendang Rangu menyusulnya.

Tapi tidak dengan Dirga..

Raden Topo memanggilnya dan memintanya melakukan sesuatu.

Aku ingin mencari tahu, tapi saat ini keadaan semakin Genting.

Serangan bertubi-tubi mengenai tubuh Ki Luwang, namun serangan itu terlalu sulit untuk menjatuhkan tubuh besarnya lagi.

Geni Baraloka Paklek juga membakar tubuh Ki Luwang, namun apinya tidak cukup besar untuk membersihkan dendamnya.

Sebaliknya, sekali serangan Ki Luwang sudah mampu membuat mereka terpental.

“Aku harus menghabisi kalian terlebih dahulu!” ucap Ki Luwang.

Seketika Ki Luwang membatalkan niatnya untuk meninggalkan alam ini dan menyerang Danan dan Paklek bertubi-tubi.

Aku bersama Wanasura menyusul dan menahan serangan mereka, namun hanya sebatas menahan. Serangan balik dari kami tidak cukup kuat untuk mementalkanya lagi.

“Kalau dia terus pulih bagaimana cara kita mengalahkanya??!” tanyaku.

“Selama ia masih punya penyembah di alam manusia, ia akan terus mendapatkan kekuatan untuk memulihkan diri, nyawa penyembah berhala itulah yang akan menjadi tumbalnya” jawab Nyi Sendang Rangu.

“Dasar manusia-manusia goblok!” umpatku kesal.
Kami mulai tidak bisa bertahan, gelang Mas Jagad sudah hampir terbelah. Serangan bertubi-tubi Ki Luwang sudah beberapa kali membuat kami terkapar dengan darah yang bermuncratan dari mulut kami.

Api Geni baraloka dan ilmu Nyi Sendang Rangu sudah beberapa kali memulihkan kami, tapi aku yakin dalam beberapa serangan berikutnya kami akan mati terlebih dulu sebelum bisa kembali pulih.

Mati... aku tidak siap melihat Danan dan yang lain kehilangan nyawanya di tempat ini.

Aku berpindah ke kepala Wanasura dan menyentuh dahinya.

“Wanasura, sepertinya kita harus mencoba itu...”
Aku menjauh dari Paklek, Danan dan lainya. Ada sebuah tempat lapang yang hancur akibat serangan Ki Luwang.

Sekali lagi aku mengeluarkan pusaka pisau itu dan memanggil kesadaranya.

“Kau sudah yakin?” Tanya sosok pusaka itu.
Aku mengangguk..

“Saat ini semua orang tengah mengerahkan kekuatanya sekuat tenaga bahkan mempertaruhkan nyawanya.. bukan waktunya bagiku untuk ketakutan” balasku.
“Ingat.. ini adalah kekuatan yang bahkan mampu menghancurkan kerajaan” peringatnya lagi.
“Ya... sekali ini saja” ucapku.

Pusaka pisau batu itupun melayang, ia menembus tubuh Wanasura dan berhenti entah di mana. Seperti melengkapi kepingan puzzle di sukmanya, sosok Wanasura seolah berubah menjadi lebih perkasa. Bulunya berubah seperti emas.

“Aku sudah menghubungkan sukmanya dengan Wanasudra, ia tidak akan mati. Tapi jangan pernah tinggalkan Wanasura, hatinya terhubung denganmu.. kalau tidak teman-temanmu akan dalam bahaya” kali ini suara itu tidak berasal dari tubuh itu lagi.

Suara itu berasal dari kesadaran Wanasura yang diambil alih oleh pusaka itu.

***

Asap hitam semakin mengepul dari tubuh Ki Luwang seolah beradu dengan hujan Nyi Sendang Rangu. Danan sama sekali tidak menyerah, ia mendekat dan semakin mendekat menyibakkan asap itu dengan ajian Gambuh Rumekso dan terus mengincar titik Vital dari Ki Luwang.
Nyi Sendang Rangu juga tidak tinggal diam, ia mendekat dan menatap kedalam hati Ki Luwang.

Bagaikan cermin yang memantulkan dosa Ki Luwang, Nyi Sendang Rangu berubah menjadi sosok hitam besar dengan wajah yang mengerikan.
Sosok hitam Nyi Sendang Rangu berusaha menggenggam kepala Ki Luwang dan membawa mimpi buruk yang menyiksa ingatanya.

Sayangnya, amukan Ki Luwang yang tidak beraturan kembali mementalkan Danan. Paklek menangkap tubuhnya dan kembali memulihkanya, tapi sepertinya sebentar lagi tubuh Danan sudah mencapai batasnya.

Mengetahui, keberadaan Paklek dan Danan yang belum pulih saat itu Ki Luwang mengincar mereka dan membantingkan tubuhnya ke arah hutan tempat mereka bersembunyi.

Tidak... mereka tidak mungkin bisa lari!!

“Mingggirr!!!” “Grrraaarrrr!!!”

Suaraku berpadu dengan Wanasura menggema ke seluruh alam ini.
Ini pertama kalinya Ki Luwang terpental. Tubuhnya jatuh tak jauh dari Paklek dan Danan berada.
Saat ini aku berdiri di bahu sesosok kera raksasa.

Tidak... tidak hanya raksasa, ukuranya hampir lima kali lipat wujud Wanasura.
“Panjul!!! I...itu? Itu Wanasura?” Tanya Danan.
“Edan kowe Jul! Mbok kapakke Wanasura?” (Gila kamu Jul? Kamu apain Wanasura) Paklek kaget.

Aku mengelus bulu emas Wanasura yang berubah bersama dengan penggunaan ajian ini.
“Maaf Paklek, kalau ini berlanjut lebih lama. Keselamatan alam kita akan dipertaruhkan, Kita harus tuntaskan semua di alam ini” balasku.

Nyi Sendang Rangu mendekat ke arah Wanasura dan menyentuh dahinya.
“Triwikrama?” Wajah Nyi Sendang Rangu terlihat pucat, tapi setelahnya ia segera melayang dan berpindah ke sisi bahu Wanasura yang lain.

“Waktu kita tidak banyak, atau ajian ini akan menjadi ancaman yang lebih mengerikan” ucap Nyi Sendang Rangu.
Kali ini aku benar-benar harus berhati-hati. Bahkan sosok roh sekuat Nyi Sendang Rangupun sampai ketakutan dengan ajian ini.

Tepat saat Ki Luwang mencoba berdiri, Wanasura mengamuk menghantam setiap tulang-belulang Ki Luwang hingga patah.
Ki Luwang melibas Wanasura dengan tanganya yang sangat panjang, namun Wanasura menangkapnya dan mematahkanya begitu saja.

Wanasura yang mengamuk melemparkan tangan Ki Luwang yang patah itu kembali kepadanya dan menerjangnya lagi.
Seperti hewan buas, Wanasura menerkam tubuh Ki Luwang dan menggigit setiap organ yang terbentuk di balik tulang rusuknya dan memakanya dengan tanpa belas kasihan.

Akupun panik! Aku tidak pernah melihat Wanasura segila ini sebelumnya.
“Jul...Panjul ! Apa benar ini tidak apa-apa?” Tanya Danan yang terlihat khawatir.
“Cukup, kita mundur!” Ucapku mencoba menahan nafsu Wanasura untuk menghabisi Ki Luwang.

Wanasura menahan tubuh Ki Luwang dan menarik satu lenganya lagi hingga patah, setelahnya iapun mundur mengikuti ucapnku.
Aku menelan ludah. setidaknya Wanasura masih mengikuti ucapanku.
Sayangnya walau sudah dihancurkan sedemikian rupa, Ki Luwang masih terus berusaha bangkit.

“Panjul sekali lagi!” Teriak Paklek.
Aku mengikuti arahan Paklek dan kembali meminta Wanasura menyerang Ki Luwang. Tubuh raksasa Wanasura kembali memuaskan emosinya dengan meremukkan tulang belulang Ki Luwang hingga tak berbentuk.

Paklek mendekat dan membacakan amalan api untuk membakar seluruh tulang belulang yang telah hancur dan tak lagi bersatu dengan sukma Ki Luwang. Mungkin dengan cara itu, bisa mencegahnya untuk bangkit lagi.

Sialnya, aku lengah dengan kemunculan sosok batu yang kembali membentuk seorang pria berpakaian kerajaan dengan tangan yang memanjang hingga ke tanah. Raden Rogo...
Ki Luwang yang mengetahui keberadaankupun memerintahkanya untuk menyelinap dan menyarangku.

Sebuah pukulan dari tangan batu yang begitu panjang menghantamku hingga terjatuh dari tubuh Wanasura. Tak hanya sekali, pukulan itu berusaha menghantamku berkali-kali. Aku menangkisnya, namun tanpa kekuatan Wanasura aku hanya menjadi samsak empuk dari pukulanya.

Aku terjatuh dengan darah yang bermuncratan dari mulutku. Danan yang menyadari itupun segera melemparkan Keris Ragasukmanya yang menyala dengan kilatan putih hingga menusuk Raden Rogo..
Tapi terlambat...

Luka yang kuterima cukup dalam. Aku mencoba mempertahankan kesadaranku, namun penglihatanku mulai kabur. Aku mendengar suara teriakan Paklek, tapi sebelum ia mendekat semua sudah menjadi gelap

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close