Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

DENDAM PATUNG ARWAH (Part 5) - Perang Terjanji

(Sudut pandang Cahyo)
JEJAKMISTERI - Malam semakin menunjukkan pesonanya dengan sinar rembulan yang menyinari sesosok patung sinden yang menghadang jalan kami.
Mas Jagad yang sedari tadi sudah waspada dengan apa yang akan menghadang kami, kini malah terkesima dengan sosok patung yang pakaianya tersibak menunjukkan keindahan tubuhnya.


“Mas Jagad! Jangan terpengaruh!”
Aku berusaha memperingatkan Mas Jagad agar tidak termakan oleh pengaruh mengerikan dari patung Sinden itu.

“Mas ngganteng, nyedhak mrene...” (Mas ganterng, mendekat ke sini)
Terdengar suara perempuan yang menggema dari patung itu. Saat itu aku memastikan Mas Jagad benar sedang dalam pengaruh sihir patung sinden itu.

“Dirga, susul Jagad.. biar Abah sama mas Cahyo yang menahan roh sinden ini” perintah Abah.
Dirga mengerti dan kamipun segera turun dari mobil dan mengambil posisi.
“Mas Jagad! Sadar mas!!” Teriak Dirga sembari berlari dan mengeluarkan kerisnya, namun Mas Jagad tetap saja masih dalam pengaruh patung itu.
Dirga sadar akan sumber masalahnya, iapun berusaha menggunakan kekuatan keris dasasukma untuk melayangkanya ke patung itu.
Tapi... Keris itu malah terjatuh.

Ia mencoba menyatukan keris itu dengan sukmanya dan mencoba menggandakanya. Tapi gagal.
“Keris Dasasukma?” Dirga Bingung, sementara itu Mas Jagad masih terus melangkah mendekat ke patung itu.

“Kata Danan, kekuatan pusaka Darmawijaya tidak bisa digunakan dihadapan patung-patung itu Dirga!” Ucapku mengingat cerita dari Danan.
“Te...terus? Ini gimana?” Dirga Bingung.
Di tengah kebingungan Dirga, suara tembang kembali muncul mendekat bersama dua roh sinden yang mendekat kearah kami.
“Abah bisa menahan kutukan tembang itu, apa Mas Cahyo bisa menghadapi mereka” tanya Abah?
“Selama tidak ada yang mengganggu, seharusnya bukan perkara sulit. Tapi kuncinya tetap di patung itu” balasku sembari menoleh ke arah Dirga.
Abah kembali mengeluarkan pusaka berwujud Kujang miliknya. Ia mengangkatnya di dahi dan membentuk sebuah gerakan tangan.

Ia mencoba mengikuti alur kekuatan kujang itu sebelum akhirnya menyatu dengan ajian yang ia bacakan.
Setelah gerakan itu Kutukan tembang itu masih terdengar, namun suaranya tidak lagi menyakitkan dan mengaburkan pikiranku.
“Sekarang Mas Cahyo..” ucap Abah.

Aku menurut, dengan kekuatan Wanasura aku bisa melompat lebih tinggi dan berusaha menarik selendang sinden itu dan menjatuhkanya ke tanah. Sekarang aku bisa menjangkaunya dan mendaratkan pukulanku, sayangnya mereka lincah dan membuatku beberapa kali memukul angin.

Aku tidak menyerah, sembari mendaratkan pukulan aku membacakan ayat-ayat suci yang sekiranya mampu mengikat sosok itu agar semakin melemah.
Di satu sisi, Dirga masih kesulitan menahan Mas Jagad. Beberapa kali Dirga berteriak, memukulnya hingga menyeretnya namun Mas Jagad tidak berhenti.
“Patungnya Dirga! Patungnya!” Teriakku.
“Tapi kerisku... kekuatan kerisku tidak bisa digunakan” keluh Dirga.
“Sejak kapan kamu bergantung pada pusaka?” Teriak Abah.

Sontak Dirga tercekat, ucapan Abah seolah mengingatkanya sesuatu.
“Danan pernah bilang, kalau ia tidak berdaya tanpa keris ragasukmanya, maka berarti ia memang belum pantas menggunakan keris itu” ucapku.

Dirga yang tersadar akan kesalahanya segera berpaling dari Jagad dan berlari ke arah patung yang berdiri di tengah jalan itu.
“Kamu tidak harus menghancurkan patung itu, yang penting Mas Jagad bisa tersadar” tambah Abah.

“Iya mas, Dirga sudah ngerti..” balasnya dengan raut wajah yang sudah berubah.
Iapun mendekat ke sosok patung yang memang terlihat cantik itu. Bukan karena ukiranya, namun karena sesuatu yang ditanam di tubuh patung itu.

“Tunggu sebentar Abah..” ucap Dirga yang melewati patung itu dan mengambil posisi di belakangnya.
Dirga mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Bukan keris, tapi sebuah tasbih yang dengan segera ia bacakan doa sambil meletakkan tanganya di kepala patung itu.

Abah terlihat tersenyum, terlebih ada sebuah emas kecil yang terjatuh dari bagian tubuh patung itu.
“Susuk?” Tanyaku.
Abah mengangguk, rupanya ada ratusan susuk yang tertanam di tubuh patung itu yang bisa memikat manusia untuk berbuat tidak wajar.

Melihat apa yang dilakukan oleh Dirga, akupun memutuskan untuk berkonsentrasi menghadapi kedua roh sinden itu.
“Jangan kau sentuh tubuhku!” Teriak roh sinden itu yang menyadari perbuatan Dirga.

Ia bersiap melayang ke arah Dirga, namun sekali lagi aku melompat meraihnya dan membantingnya kembali ke tanah.
“Urusan kita di sini!” balasku.
“Serangan kalian tidak akan bisa melukai kami” gertak sinden itu.
“Aku hanya perlu menahan kalian” balasku.

Bersamaan dengan itu sudah beberapa butir benda seperti butiran emas, berlian terjatuh dari tubuh patung itu. perlahan aku melihat Mas Jagad mulai terhenti sejenak, ia seperti mulai mendapati kesadaranya.
“Jagad... Sadar Jagaddd...” Teriak emak dari dalam mobil.

Saat itu jagad benar-benar terhenti dan terduduk. Ia menoleh ke arah emak yang berada di dalam mobil dan membaca situasinya.
“Sialaan...” Teriak Jagad kesal.
Ia melihat Dirga sedang merukiyah patung itu dan kami yang sedang melawan roh sinden itu.

“Dirga, lanjutkan sampai susuk patung itu habis..” perintah Mas Jagad sementara ia berlari ke arah kami.
“Mas mending bantu Dirga” ucapku.
“Aku punya rencana” balasnya.
Aku masih belum mengerti, tapi Mas Jagad ikut bertarung denganku seolah menanti sesuatu.

Sama sepertiku, serangan-serangan Mas Jagad sulit untuk mengenai roh sinden itu.
“Bawa mereka mendekat mas...” pinta Mas Jagad.
Aku belum mengerti, tapi sesuai permintaanya aku menarik salah satu arwah sinden itu dan kembali mencoba menyerangnya.

Namun seperti sebelumnya, seranganku sulit untuk mendarat.
Tapi tidak dengan Mas Jagad, saat makhluk itu menghindar dari seranganku. Ia sudah menunggu di belakang dan menarik sosok makhluk itu ke dalam sebuah kabut yang sepertinya merupakan ilmunya.

Mereka berduapun menghilang ke dalam kabut, namun dari belakangku tiba-tiba Mas Jagad muncul dari kabut lain.
“Satu lagi..” ucapnya.
Kini aku mulai mengerti, bila tidak dapat mengalahkanya. Mungkin kami hanya perlu menjauhkanya.
“Kamu bawa ke mana mas?” Tanyaku.

“Aku ajak kencan sebentar” balasnya santai.
Melihat kejadian itu, satu satunya roh sinden yang tersisa mencoba melarikan diri namun ada keraguan di dirinya. Ia masih melihat Dirga merukiyah tubuh patungnya.

“Tadi godain, sekarang mau diajak kencan kok kabur?” Ucapku yang tiba-tiba melompat dan muncul di belakang roh sinden itu.
“Manusia sialan!!!” Teriaknya.
Akupun kembali menariknya ke bawah, dan sudah ada kabut putih yang disiapkan Mas Jagad.

Iapun menerima tubuh roh sinden itu dan membawanya ke dalam kabut itu.
Seperti sebelumnya, Jagad kembali dengan cepat dari sisi lain.
“Aman?” Tanyaku.
Jagad menggeleng, “Hanya sementara, dalam hitungan menit mereka pasti bisa kembali keluar.”

Kami bertiga menyusul Dirga, sudah banyak benda yang berserakan di bawah patung itu. Aku mengambil salah satu susuk emas yang jatuh dan memeriksanya.
Ada aliran kekuatan hitam dari susuk itu yang masih terikat dengan patung itu.

“Nggak, ini nggak bisa... walaupun kita bersihkan semua, benda ini akan kembali masuk ke dalam tubuh patung itu” ucapku.
Kami bertiga saling bertatapan dan memutuskan untuk menghentikan Dirga.

“Cukup Dirga, kita pergi sekarang sebelum patung ini pulih lagi dan roh sinden itu menemukan jalan kembali” perintah Mas Jagad.
Dirgapun menutup doanya dan kembali memasukkan tasbihnya. Terlihat wajahnya penuh keringat yang menunjukkan keras usahanya.

Baru beberapa melangkah, kamipun melihat butiran susuk itu mulai bergerak perlahan satu persatu menuju patung itu kembali.
“Cepat!!” Teriak Mas Jagad.

Kamipun segera mengambil posisi kami masing-masing di mobil dan melanjutkan perjalanan melewati patung yang sebentar lagi akan berhadapan dengan kami lagi.

***

“Patung itu benar-benar tidak bisa dihancurkan?” Tanyaku pada Abah dan Dirga.

Abah menggeleng masih sambil menenangkan anaknya itu.
“Ki Luwang.. begitu ia bisa dikalahkan, semua patung itu hanya akan menjadi petung batu biasa” balas Abah.

“Seandainya bisa dihancurkan, kekuatan Ki Luwang akan menyusun dan menyatukan patung batu itu lagi..” tambah Dirga.
Aku mengerti, mungkin itu yang menyebabkan aku tidak bisa menghancurkan patung pendekar yang berada di desa Gandurejo.

Beruntung saat itu aku terselamatkan dengan prasasti bertuah yang ada di hutan.
Sedari tadi aku mencoba menghubungi Paklek, entah mengapa sama sekali tidak ada jawaban darinya.

Kali ini aku benar-benar khawatir akan apa yang terjadi pada Paklek. Semoga saja tidak terjadi hal yang buruk denganya.

***

PERTARUNGAN TIGA HARI TIGA MALAM

Akhirnya setelah melalui perjalanan malam yang tidak wajar kamipun sampai di kota tujuan kami. Sebuah kota di perbatasan yang penuh dengan peninggalan bangunan bersejarah.

Kota ini terlihat sepi, hanya beberapa kendaraan yang melintas di jam sampainya kami saat ini. Seharusnya wajar karena kami sampai setelah lewat tengah malam, tapi entah mengapa firasatku merasakan sesuatu yang sangat tidak enak.

“Ada Wisma di timur kota tidak jauh dari bekas keraton, tujuan kita ke sana Mas Jagad” jelas Abah.
Mas Jagad mengerti dan mengarahkan kendaraanya menuju tempat itu, di tengah perjalanan tiba-tiba perempuan yang diselamatkan Mas Jagad dan Dirgapun terbangun.

“Ja...jangan! Jangan kesana!” ucapnya dengan panik.
“Neng... tenang neng, neng sudah aman di sini” ucap emah berusaha menenangkan.
Perempuan itu berusaha mengenali situasinya dan menenangkan diri.
“Mas, lebih baik berhenti dulu biar nengnya menenangkan diri dulu” pinta emak.

Mas Jagad Setuju, tidak hanya perempuan itu, kami yang berada di bak belakangpun sudah beberapa kali menggigil kedinginan dengan dinginya cuaca malam ini, beruntung selama perjalanan tidak terjadi hujan.

Kami meregangkan tubuh di sebuah warung kopi pinggir jalan bersama beberapa truk dan bus malam yang singgah sebentar untuk sekedar mengisi kopi hitam di termosnya. Ada beberapa gorengan seadanya yang kami nikmati untuk menghangankan tubuh sebelum melanjutkan perjalanan.

“Teh Siti gimana? Sudah sehat? Kemarin sempat demam lho” tanya Dirga pada perempuan bernama Siti itu.
“Sudah Dirga, sudah sehat. Makasi juga ya emak” balasnya yang sepertinya sempat sadar sesaat saat dirawat oleh emak.

Dirga memang sempat berbicara bahwa perempuan itu salah satu keluarga jauhnya. Namun aku penasaran sejauh apa hubungan mereka.
“Teh Siti ini masih saudara sama Dirga dan Abah?” Tanyaku.
“Iya mas, saudara jauh. Saya sendiri baru setahun tinggal di desanya Abah. Baru-baru aja kami tahu kalau ternyata kami satu trah” balasnya.
Akupun memperkenalkan diriku dan menjelaskan maksud kedatanganya hingga tiba di tempat ini.

Teh Siti bercerita bahwa dirinya mengejar sosok Ki Luwang dan mendapati bahwa kepala Ayahnya telah tergantung di hutan gaib tempat Dirga dan Mas Jagad menyelamatkanya. Ia terpancing untuk menjadi korban selanjutnya, namun sebelum itu terjadi, Mas Jagad menyelamatkanya.

“Sebelum bapak mati oleh Ki Luwang, bapak sempat melarangku untuk pergi ke tempat ini, ia menyuruhku pergi sejauh mungkin untuk menyelamatkan diri” jelasnya.
Tunggu, dengan keadaan yang diceritakan Siti, apa artinya kita datang ke tempat yang berbahaya?

“Memangnya apa yang terjadi di tempat ini Teh?” Tanya Dirga

***

Teh Siti terdiam sejenak seolah mengingat apa yang diucapkan oleh ayahnya.
“Perang... tempat yang akan kita datangi adalah medan perang. Bapak menyuruhku untuk menjauh” jelasnya.

Mungkin ayah Teh Siti mirip seperti Abah yang mendapat penglihatan dan petunjuk. Tapi, bila memang akan terjadi perang disana berarti mereka benar-benar butuh bantuan.
“Kalau memang ada perang, kok tidak kedengeran sampai sini ya?” Tanya Dirga dengan polosnya.

“Mungkin belum terjadi, tidak terjadi, atau malah sudah selesai” balas Abah.
Ucapan Abah itu seketika membuat kami gelisah. Tanpa banyak kata kamipun kembali ke mobil dan bergegas menuju sebuah wisma tempat dimana peninggalan Trah Darmawijaya masih tersisa.

***

Kami sampai di sebuah bangunan yang dikelilingi tembok putih yang cukup tinggi. Beberapa bagian sisi tembok menggunakan pagar hingga terlihat ada satu bangunan besar di tengah bersama beberapa bangunan pendampingnya.

Bangunan ini megah, layaknya bangunan mirik juragan jaman dulu dengan ornamen dekorasi kayu yang antik.
Tapi... bangunan ini begitu sepi.
Kami berhenti di hadapan pintu kayu besar yang menjadi gerbang masuk wisma ini.
“Dikunci?” Tanyaku.

“Iya Mas..” Balas Dirga yang masih mencoba mengutak-atik gembok besar yang menahan pintu itu dari dalam.
Ada lubang di dekat bagian kunci agar orang bisa membuka gembok yang posisinya ada di dalam pintu itu.

Aku ingin mencoba memeriksa namun Abah mendahuluiku sembari merogoh tas kainya.
“Coba ini..” ucapnya.
Ada sebuah kunci perunggu berukuran besar dikeluarkan dari Abah dari tasnya.

Aku melihat kunci itu sudah berkarat dan memiliki warna yang sama dengan gembok yang mengunci pintu kayu.
Klekk!
Gembok itu terbuka dengan mudah.
“Bisa Bah!” Ucap Dirga.
Kamipun berhasil masuk dan kembali menutup pintu besar itu.

“Itu kunci dari mana Bah?” Tanya Mas Jagad.
“Kunci itu teh ditinggalkan orang tua Abah, saat melihat gembok besar itu Abah langsung kepikiran kunci ini..” balasnya.
Mendengar cerita Abah, aku merasa seolah leluhur Abah juga sudah mengetahui kejadian ini akan terjadi.

Tapi apakah mereka juga sudah mempersiapkan bagaimana cara menghentikan semua ini?
Kampipun berjalan ke dalam bangunan melewati pepohonan besar yang tumbuh terawat di sana. Aku yakin sebelumnya bangunan ini tidak sesepi ini, pasti sedang terjadi sesuatu.

Semakin kami mendekat, terdengar suara aneh dari dalam. Seperti suara orang menggumam atau membaca mantra.
Cahaya api mulai terlihat dari taman yang dikelilingi bangunan. Samar-samar mulai terlihat beberapa orang di sana.

Dan benar, Puluhan orang tengah mengenakan baju kebaya sedang duduk bersila membantuk sebuah formasi sembari bersemedi.
“Paklek! Itu Paklek!!” Aku berteriak bersiap menghampiri Paklek yang juga melakukan hal yang sama, tapi Abah menahanku.

“Tahan dulu!!” ucap Abah sembari menunjuk kepada seseorang yang sudah terbaring dengan kaki masih bersila.
Dari mulutnya keluar darah hitam yang tidak berhenti mengalir.
“Khhoooeekekkk”

Terdengar lagi seseorang yang tengah mencoba menahan sesuatu hingga mengeluarkan darah dari mulutnya.
“Mereka sedang bertarung...” ucap Abah.
Seketika kami semua menatap Abah meminta penjelasanya.

“Ilmu rogosukmo, mereka semua sedang melepaskan sukmanya dan bertarung. Kalian tunggu sebentar...” ucap Abah.
Abahpun mengambil posisi duduk bersila di dekat mereka dan membacakan sebuah mantra. Tak berapa lama aku melihat sukma Abah melesat meninggalkan tubuhnya.

“Di...Dirga? Abah juga bisa ilmu Ragasukma seperti Paklek?” Tanyaku.
“Dirga nggak tahu mas, ini pertama kalinya Dirga ngeliat Abah seperti ini” balasnya.
Gila, ilmu Ragasukma merupakan ilmu tingkat tinggi yang hanya bisa digunakan bila seseorang sudah mencapai tingkatan spiritual tertentu. Banyak resiko yang akan terjadi di alam roh apabila seseorang belum menguasai tingkatan sebelumnya.
“Terus kita gimana? Cuma menunggu? Tanya Dirga.
Aku dan Jagad memperhatikan kondisi sekitar dengan seksama.

“Cari mereka yang terluka dan masih hidup, kita bacakan doa dan ayat suci untuk memperkuat sukma mereka di alam sana” perintahku.
“Emak, Siti... jangan jauh-jauh dari kita ya” ucap Mas Jagad.
“I...iya.. emak takut” ucap emak yang masih terus berusaha menenangkan Siti.

Gila, tepat sesaat memasuki formasi ini aku merasakan aliran kekuatan yang luar biasa. Kekuatan itu beradu berlomba untuk mencapai tubuh ini dan sebaliknya. Tapi di sini aku mendapat petunjuk.
Tidak semua orang-orang ini mampu menggunakan ilmu Rogosukmo.

Keberadaan Paklek di tengah formasi ini seolah membagi kekuatanya untuk digunakan oleh mereka.
“Rupanya Paklek sudah memulai pertarungan ini lebih dulu..” ucap Mas Jagad.
Akupun tidak mau ketinggalan.

Yang bisa kami lakukan saat ini adalah mengurangi resiko kematian mereka yang terluka sembari menunggu kabar dari Abah.
“Khhooeekek!!” Sekali lagi terdengar suara seseorang yang memuntahkan darah.
“Dirga, bantu bapak yang di sana..” Perintahku.

Dirga segera menuju tempat orang itu dan membantunya duduk. Ia menenangkan tubuh orang yang hampir kehilangan kesadaran itu sembari membacakan amalan yang mampu memulihkan kondisi sukmanya.

Tak tinggal diam, Emak dan Siti menghampiri orang yang terluka dan membantu membersihkan luka yang terjadi di pertarungan yang tak kasat mata ini.
Baru kali ini aku merasa bingung. Aku tidak menguasai ilmu Rogosukmo seperti Paklek dan Danan.

Aku takut kali ini tidak dapat berbuat banyak.
Angin malam berhembus semakin kencang. Tetesan keringat mulai menetes deras dari pelipis semua orang yang ada di tempat ini.
“Panjul!!!” Tiba-tiba Paklek tersadar.

“Dirga!” Abah juga tersadar dari ilmunya, tapi mereka terlihat panik.
Kamipun segera berkumpul untuk mendengarkan apa yang ingin mereka sampaikan.
“Roh sinden membawa kutukan, roh pendekar membawa pasukan yang mengerikan, dan roh makhluk berwujud kakek tua berkepala kambing menyediakan tumbal bagi mereka... semua begitu mengerikan” Jelas Abah.
“Apa Ki Luwang ada di sana?” Tanyaku.
Abah mengangguk namun ia seperti masih bingung.

“Paklek juga tidak pernah menyangka akan semengerikan ini. Tanpa adanya tanda-tanda dan peringatan, tiba-tiba nyawa mereka ditarik dengan paksa dari tubuhnya” Jelas Paklek.
Firasat yang ditunjukkan oleh Keris Sukmageni membawa Paklek datang ke tempat ini, saat itu tengah terjadi hal yang mengerikan di tempat itu.

Ada seorang sesepuh bernama Raden Topo Darmawijaya yang menjaga Pusaka di Wisma ini yang sudah memperingatkan bencana ini. Seluruh keturunan Darmawijaya yang masih dapat dihubungipun berkumpul untuk mencari cara menghadapi apa yang akan dilakukan oleh Ki Luwang.

Seharusnya mereka bisa bertahan dengan keberadaan orang-orang yang menguasai ilmu kanuragan. Tapi sayangnya tidak semudah itu.
Dua hari yang lalu tiba-tiba istri Raden Topo meninggal dengan mendadak tanpa ada bekas luka.

Nyawanya menghilang begitu saja dan tubuhnya membusuk dengan cepat. Setelahnya terjadi hal yang sama terhadap beberapa anggota trah yang lain, namun beruntung Raden Topo segera memberi petunjuk anggota trah yang lain cara untuk menolongnya sebelum bernasib sama seperti istrinya.

Sayangnya, walau begitu mereka yang kena serangan menjadi gila dan berkelakuan aneh.
“Sukma mereka disandra oleh Ki Luwang. Saat Raden Topo mencoba menolongnya, sudah ada sepasukan makhluk yang dibawa oleh ketiga patung terkutuk itu untuk menghabisi kami” jelas Paklek.

“Terus kami harus gimana Paklek? Apa aku harus membawa tubuh Cahyo dan Dirga ke alam itu?”Tanya Mas Jagad.
“Jangan... patung-patung itu masih ada di alam ini, mereka akan kemari” tahan Abah.
Paklek mengangguk setuju dengan Abah.

“Kami akan menghadapi Ki Luwang di alam sana, dan kalian bersiap untuk menghadapi mereka” Jelas Paklek.
“Biar kubantu Paklek!” ucap Jagad.
“Tidak! Kalian bantu Cahyo dan jaga Dirga.. ingat Keris Dasasukma tidak bisa digunakan dihadapan patung Ki Luwang” ucap Abah.

“Ada gudang pusaka di belakang, keluarkan dan gunakan semua kemampuanmu untuk melawan mereka.. tidak mungkin mereka tidak terkalahkan” ucap Paklek.
Abahpun memerintahkan Emak dan Siti untuk mencari dan membawakan semua pusaka yang ada di gudang pusaka.

Aku teringat ilmu penghancur pusaka jagad yang memiliki kekuatan yang mengerikan. Mungkin bila itu digunakan, kami bisa menghancurkan patung batu itu agar wujud rohnya yang bertarung dengan Paklek dan Abah bisa sirna.
Khoeeek!! Aarrhrhrrggg...!

Telihat beberapa orang yang melengkapi formasi itu kewalahan dan hampir kehilangan kesadaran. Paklek dan Abahpun semakin khawatir.
“Kami titipkan tubuh kami” ucap Paklek.
Aku dan Jagad mengangguk.

Kami sama-sama bersiap menghadapi firasat mengerikan yang mendekat ke arah kami.
Sebelum kembali, Paklek membacakan sebuah doa dan mengatur gerakan tanganya. Perlahan muncul api yang membara di tanganya.

Ia mengusapkan itu pada beberapa orang yang terluka dan meninggalkanya melayang di tengah-tengah kami begitu saja.
“Gunakan seperlunya..” ucap Paklek.
Geni Baraloka, itu adalah ilmu terkuat milik Paklek.

Tanpa kekuatan penyembuh keris sukmageni, Paklek pasti sudah benar-benar menguras tenaganya.
Dalam beberapa hela nafas, Paklek dan Abah yang duduk berhadapan mulai kehilangan kesadaranya dengan sukmanya yang melesat entah kemana.

***

TIGA PATUNG ARWAH

Tembok yang mengelilingi wisma ini tingginya lebih dari dua kali tubuh manusia. Coba bayangkan apa yang kami lihat.
Ada sosok bayangan makhluk besar berkepala kambing yang menatap kami dari atas tembok gerbang.

Tak cukup sampai di situ, seketika aku menjadi gelisah ketika suara tembang aneh mulai terdengar dan mengganggu ketenanganku.
Ndoro Kasmolo... itu adalah sebutan untuk Patung berhala berwujud kakek berkepala kambing.

Namun dengan tumbal yang ia dapatkan ia bisa mendapatkan wujud roh sebesar itu.
Raden Rogo Biryono... Patung pendekar mengerikan tanpa mata dengan tangan yang memanjang hingga ke tanah. Itu adalah patung yang sama sekali tidak dapat kuhancurkan bahkan dengan kekuatan Wanasura.

Dewi Lawung Mayit... Sebutan untuk patung sinden menawan yang menampung ratusan susuk untuk menghasut calon tumbalnya.
Kini ketiga patung arwah yang tidak dapat dikalahkan oleh aku, Danan, dan Paklekpun muncul dihadapanku, Dirga, dan Mas Jagad.

Tiga lawan tiga, tapi dari hasil pertarungan sebelumnya, bahkan dengan bantuan dari yang lain kami sangat sulit untuk mengimbanginya. Saat ini kami hanya bisa berpegang pada takdir yang telah ditentukan oleh Yang Maha Pencipta.

Aku yakin, pasti ada jalan untuk menghadapi tragedi ini.
“Mas...” Tiba-tiba Dirga maju mendahului kami.
“Ndoro Kasmolo, dukun berhala dengan wujud raksasa itu biar aku yang menghadapinya..” ucap Dirga.

Bukan Keris Dasasukma yang digenggam oleh Dirga, melainkan sebuah tasbih dan keyakinan yang kuat untuk mengalahkan sosok besar yang bahkan membuat Danan kewalahan.
“Jangan nekat Dirga! Kita pikirin strategi dulu..” Balasku walau tak tahu rencana terbaik apa yang bisa kami lakukan.

“Kalau tidak bisa menghadapinya tanpa pusaka, berarti aku belum mempercayakan hidupku sepenuhnya pada Penciptaku..” Ucapnya dengan mata yang tajam.
Jagad memperhatikan Dirga sebentar dan menyusulnya.

“Dewi Lawung Mayit.. sinden itu biar aku yang melawan” ucap Jagad Tiba-tiba.
“Mas Jangan ikutan nekat! Ini bahaya!” Tahanku.
“Haha.. tenang Cahyo, jangan sekhawatir itu.. Ingat! Bahwa sebelum bertemu kalian, aku dan Dirga sudah melakukan perjalanan berdua dan selalu mampu menemukan jalan untuk menyelesaikan masalah kami temui...” Jelas Jagad.
“Iya Mas... aku harus bisa mengalahkan keraguanku..” Tambah Dirga.

“Aku juga harus bisa mengalahkan nafsuku agar tidak terpengaruh seperti tadi lagi” Ucap Mas Jagad.
Sepertinya aku tidak bisa menahan mereka. Semoga saja mereka menemukan cara untuk mengalahkan Ndoro Kasmolo dan Dewi Lawung itu.

“Wanasura!!!” Panggilku pada sahabat tak kasat mataku dan mulai membakar emosinya.
“Kita berhadapan lagi dengan pendekar jelek itu! kali ini kita harus menang!” Ucapku.
Suara geraman nafas Wanasura mulai menyesuaikan dengan jantungku.

Bersamaan dengan itu muncul cahaya dari beberapa tempat yang menyorot ke langit tepat di atas kami.
Seketika aku mengingat tentang prasasti bertuah yang pernah kumanfaatkan.
“Ini adalah perang penentuan... semua akan berakhir disini” jelasku.
Braaaaakkk!!!

Suara gerbang yang ambruk terdengar dari keberadaan sosok ketiga makhluk mengerikan yang menerobos masuk ke dalam wilayah wisma.
Aku sudah mengira, keberadaan mereka diikuti sosok demit-demit alas dan berbagai sosok arwah gentayangan yang menyerbu ke dalam.

Aku sudah muak dengan semua itu dan membiarkan Wanasura menandai wilayahnya.
GGGGRrrrrrroarrrrrr!!!!
Kali ini Wanasura sudah dibakar amarah. Suara raunganya berkali kali lebih kuat membuat tidak ada roh pengganggu yang berani mendekat ke wilayah kami.

Saat ini kami hanya harus fokus pada lawan kami masing-masing.
Baru bersiap menyerang, tiba-tiba suara tembang Dewi lawung timbul dan hilang dengan aneh. Aku memperhatikan Mas Jagad sedang bertarung di dalam kabut putih yang menghubungkanya dengan alam lain.

Dirga tidak henti-hentinya melantunkan doa dan mendekat ke sosok bayangan raksasa besar Ndoro Kasmolo. Makhluk besar itu tidak menyerang, ia malah mengirimkan makhluk-makhluk pengikutnya dengan wujud manusia berkepala hewan.

“Roh siluman? Tidak berani melawan sendiri. Sudah kuduga kau lemah!” Ucap Dirga.
“Katakan itu kalau kau sudah jadi mayat!” balas Ndoro Kasmolo.”
Aku belum pernah melihat Dirga bertarung seperti ini. Ia hanya menghindar sembari tak putus membaca doa.

Tanganya berusaha membalas siluman-siluman jelmaan manusia itu dan menangkap kepalanya.
Perlahan tapi pasti, ia merukiyah roh yang terkena tipu daya Ndoro Kasmolo untuk kembali menjadi roh manusia.

“Dirga, Ucapanmu benar. Dia Lemah... Aku dan Paklek gagal menghancurkan patung sinden dan pendekar. Tapi Danan sempat memecahkan patung itu hingga terbelah sebelum menyatu kembali..” ucapku melewatinya dan menghadapi Raden Rogo.
Blarrrr!!!!

Terdengar dentuman suara pukulanku yang diperkuat pukulan Wanasura, namun seranganku sama sekali tidak menggores sosok makhluk yang wujudnya persis seperti patung yang kulihat kemarin-kemarin.

Secara kasat mata, ketiga patung itu tidak bergerak dan hanya berdiam di satu tempat. Namun tubuh roh yang mereka miliki menyerang kami dengan kemampuanya masing-masing.

Hampir saja aku lengah, tangan Raden Rogo yang panjang hampir saja menangkap kepalaku namun aku berhasil menjauh dan kembali menyerang. Ada sesuatu yang ingin kucoba lakukan.
Dari balik sarung, aku mengeluarkan sebuah pusaka batu berbentuk pisau.

Ini adalah pusaka tanpa nama milik Mas Linus yang belum sempat kukembalikan.
Aku mengambil ancang-ancang, dan melemparkan pusaka itu sekuat tenaga kearah Raden Rogo. Ia menghindar hinga pusaka itu melesat dan menabrak tubuh aslinya.
Praakkkk!!

Tunggu... Ia menghindar? tapi serangan itu mendarat di tubuh patung Raden Rogo dan dari suara itu aku memastikan ada retakan di sana.
“Bocah brengsek!!” Umpat Raden Rogo.
Aku tersenyum, ternyata batu pusaka pisau ini lebih kuat dari batu yang digunakan untuk patung Raden Rogo.

“Hahaha... Berhasil! Ternyata batu pusaka itu lebih hebat darimu!” Ledekku.
Raden Rogo Terlihat kesal, ia mencoba menyerangku namun aku bergerak dengan lincah dan mengambil kembali pusaka itu.

“Tentu saja! Umurku sudah ribuan tahun sebelum menjadi pusaka.. jangan bandingkan aku dengan batu remeh sepertinya”
Tiba-tiba aku berbicara sendiri saat kembali menggenggam pusaka itu.
“Mas? Mas Cahyo kerasukan?” Tanya Dirga yang khawatir saat melihat keanehan pada suaraku.

“Eh.. eng...enggak, tapi..” Aku bingung.
“Ini aku! Pusaka batu yang kau genggam, tenagaku sudah mulai pulih. Akan kubantu kalian mengalahkan makhluk ini” Ucap sosok pusaka pisau batu itu melalui tubuhku.

Aku merasakan keselarasan antara tanganku dengan Pusaka ini. Saat Raden Rogo tiba-tiba berada di dekatku, aku melempar pisau batu ini ke tubuhnya dan membuatnya terpental. Berbeda dengan sebelumnya, pisau batu itupun terpental kembali ke arahku.

Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, akupun kembali melemparkan pisau batu ke Raden Rogo, dan Pisau batu ini kembali ke tanganku.
“Hebat! Mirip seperti kerisnya Dirga yang bisa kembali sendiri” ucapku.
Sebenarnya tidak seperti keris Dirga.

Batu ini kembali dengan terpental seolah seranganku sengaja menentukan sudut yang tepat untuk melompat kembali.
Titik bagian tubuh Raden Rogo yang kuserangpun mulai menghitam dan terluka. Sayangnya itu tidak cukup.

Saat mengetahui seranganku mampu melukainya, Raden Rogo menghadapiku dengan lebih berhati-hati.
Tanganya yang panjang dan besar bisa tiba-tiba berada di dekatku dan membuatku terpental walau sudah menangkisnya.

Tapi setiap itu terjadi, aku kembali menyerang dengan pusaka batu ini.

***

“Sahabat panglima kera, percepat pertarungan ini.. teman-teman kalian sudah kewalahan.” Ucap pusaka pisau batu itu lagi melalui tubuhku.

Aku memperhatikan Paklek, Abah dan mereka yang sedang bertarung di alam lain. Mereka terlihat gelisah dan menahan luka yang mereka rasakan.
Pranggg!!
Terdengar suara benda yang berjatuhan di depan pelataran bersama kedatangan Teh Siti dan Emak.

Puluhan pusaka terlihat terjatuh dari satu peti yang mereka bawa berdua.
“Mas... apa benar ini?” Teriak Teh Siti.
Mas Jagad menoleh sebentar dan berlari kearahnya.
“Bisa! Ini bisa digunakan” ucap Mas Jagad.
Keris, Belati, perhiasan kuningan, mata tombak, hingga benda peninggalan kerajaan jaman dulu berada dalam satu peti lagi.
“Siti! Mau ke mana?” Tanya emak yang melihat Siti yang hendak pergi lagi.
“Cermin.. masih ada cermin di sana, ada seseorang yang ingin berbicara dengan Siti dari balik cermin itu” ucapnya.

“Hati-hati! Kamu bisa terpengaruh..” ucap Emak.
“Bukan Emak, dia leluhur Siti...”
Mendengar ucapan Siti, emak ikut menemaninya lagi untuk memastikan sosok yang ingin berbicara dengan Siti itu.
Jagad mengambil sebuah keris dan kembali ke medan pertempuran.

“Saat sudah siap, dekatkan patung-patung itu ke arahku” ucap Mas Jagad.
Iapun membaca sebuah ajian yang membuat keris itu bisa menyala. Aku tahu, itu adalah ajian watu geni yang ia salurkan ke keris di tanganya.

Kekuatan keris dan ajian itu melebur jadi satu membentuk kekuatan yang mengerikan.
“Sudah mas.. jangan sakiti aku lagi”
Sosok roh sinden cantik tiba-tiba berada di belakang Mas Jagad. Ia memeluknya dari belakang seolah berusaha mempengaruhinya.

Mas Jagad terdiam, tatapanya kosong bersama kabut hitam yang perlahan mengelilingi tubuhnya.
“Mas Jagad! Sadar!!” Teriakku, tapi sepertinya teriakanku tak mampu mencapai kesadaranya.
Aku ingin menghampirinya namun sebuah pukulan membuatku terpental.

Tangan roh sinden itu mulai menggerayangi tubuh Mas Jagad perlahan hingga mencapai kepalanya. Dari gerakan tanganya aku menduga ia akan mematahkan kepala Mas Jagad yang sedang dalam pengaruhnya.
Namun sebelum itu terjadi tiba-tiba Mas Jagad menghilang bersama sosok itu.

Sisa kabut yang menggantikan posisi mereka menandakan itu adalah ilmu Mas Jagad.
Tak berapa lama, Mas Jagad kembali dalam keadaan basah kuyup.
“Mas? Kamu nggak papa?” Tanya Dirga yang mulai kewalahan menghadapi makhluk besar yang kini langsung menghadapi Dirga.

“Nggak, cuma aku ajak kencan ke danau di alam sana. Eha, gitu aja dia udah kapok” Balas Jagad Santai.
Kini ia segera berlari menuju patung Sinden itu dan melemparkan kerisnya yang masih menyala ke patung itu.
Blaarrrr!!!

Serangan dari pusaka yang Jagad korbankan itu berhasil membuat patung sinden itu pecah. Ia segera mengambil pusaka lain, kali ini mata anak panah. Ada tiga pusaka di tanganya dan ia bersiap melemparkanya lagi dengan jurusnya.

“Sudah mas... sudah” sosok sinden itu kembali muncul di hadapanya dengan wajah memelas.
“Berisik! Aku sudah melihat apa yang kau lakukan pada tumbalmu!” Ucap Jagad.

Iapun melemparkan mata panah itu menembus wujud sinden itu dan kembali menghancurkan patung berwujud sinden itu.
Tepat saat patung itu terpecah, sosok sinden yang cantik itu berubah menjadi hitam dengan wajah yang mengerikan

“Tolong ya Mas Jagad” ucap Dirga.
Mas Jagad mengangguk dan memilih sebuah pusaka perunggu berbentuk cakram. Ia berganti posisi dengan Dirga dan sekali lagi menggunakan ajian watu geni dengan perantara cakram perunggu itu.
Prakkkk!!!

Tepat saat patung Ndoro Kasmolo pecah, sosok raksasa itu berubah menjadi kakek tua renta yang bahkan tidak dapat mengangkat tubuhnya sendiri.
Kini giliranku...
Mas Jagad kembali untuk memilih sebuah pusaka lagi. Namun sepertinya itu tidak perlu.

Dengan pusaka pisau batu ini aku berkali-kali mengarahkan seranganku ke patung Raden Rogo hingga tubuh patungnya terkikis.
“Kalian akan menanggung dosa Darmawijaya!” Ancam Raden Rogo yang sabetanya semakin menguat hingga menumbangkan beberapa pohon di tempat ini.

Aku tidak akan terpancing oleh amarahnya.
“Jangan dilempar lagi...” pisau batu itu berkata lagi padaku, dan sepertinya aku mengerti maksudnya.
Ajian penguat raga dan kekuatan Wanasura.

Aku mempersiapkan semua yang aku miliki dan berlari secepatnya ke arah patung Raden Rogo lagi.
“Kita lihat siapa yang akan mati!” Ucap Raden Rogo yang mempersiapkan cakarnya untuk menghabisiku.

Kali ini aku tidak gentar. Aku jelas merasakan patung raden rogo tidak sekuat sebelumnya saat kuhadapi di desa Gandurejo. Aku rasa ia belum pulih sepenuhnya dari kutukan Prasasti bertuah itu.

Aku menendang pergelangan tangan raden rogo yang panjang dan menghindari lengan satunya dengan mengikuti pergerakan niat dari seranganya.
Itu adalah gerakan yang sering digunakan oleh guntur saat bertarung.

Sepertinya aku harus membiasakan cara bertarung seperti mereka untuk lebih bisa menyimpan tenaga.
Dengan cara itu aku bisa menghindari raden rogo dengan mudah dan mencapai ke tubuh patungnya.

Dengan sekali lompatan, aku menancapkan pusaka pisau batu yang kugenggam ke ubun-ubun patung raden rogo.
“Ki Luwang!!!! Pulihkan kami!! Akan kami balaskan ini semua!!!” Teriak Raden Rogo.
Prakkk!!!!

Kini ketiga patung itu telah hancur. Mas Jagad tidak jadi menghancurkan satu pusaka lagi.
“Jangan biarkan orang itu menggunakan ilmunya padaku” terdengar suara pusaka batu itu membicarakan Mas Jagad dari dalam tubuhku.

Rupanya pusaka batu ribuat tahunpun takut dengan ilmu yang dimiliki Mas Jagad.
Kami memutuskan untuk mengawasi pecahan patung batu itu dan meruwatnya agar tidak ada kekutan hitam yang membuatnya kembali pulih.

Tapi itu tak lama... seketika kami merasakan ada sosok yang melayang layang diatas bagunan ini dengan energi yang besar.
Aku mulai waspada, namun tak berapa lama dari dalam bangunan Paklek dan Abah yang telah kembali ke tubuhnya berlari menghampiri kami.

“Bahaya!! Asap itu yang merubah Danan menjadi patung!” Teriakku.
Seketika seluruh abdi panik, akupun masih belum mengetahui cara menghadapi serangan itu.

“Raden! Jangan nekad!!” Raden Tobo berusaha menahan temanya yang mencoba menghentikan Ki Luwang, sayangnya dalam sekejap ia tidak bisa bergerak dan perlahan berubah menjadi patung batu.

Merekapun memutuskan untuk mundur ke pelataran, tapi sebentar lagi asap itu mencapai Paklek.
“Aarrrh!!” Aku tidak dapat berpikir.
Jangan sampai setelah Danan, kini Paklek juga berubah menjadi patung. Setidaknya aku bisa menolong Paklek untuk menjauh.
“Tunggggu!!!”

Belum sempat aku bergerak, tiba-tiba terdengar suara Teh Siti yang keluar dari dalam dengan membawa sebuah cermin besar yang ia bawa bersama emak.
“Tolong lihat ini!!!” Teriak Teh Siti.
“Itu cermin pusaka Darmawijaya, peninggalan istana Prabu Arya” ucap Raden Topo.

Iapun segera membantu Siti membawa cermin itu kehadapan kami.
“Dirga, Mas Cahyo..“ Teh Siti memanggil dan mengisyaratkan kami untuk menatap cermin itu.
Ada bayangan yang berbeda dari dalam cermin itu, sebuah bayangan tempat mengerikan yang tidak dapat kulupakan.

Bayangan dari Jagad Segoro demit.
“Apa maksudnya ini?” Tanyaku.
Belum sempat Siti menjawab, tiba-tiba ada sosok pria yang muncul dari cermin itu.
“Eyang Prabu Arya?” Tanya Dirga.
Sosok dibalik cermin itu mengangguk tersenyum.

“Aku sempat terjebak di Jagad segoro Demit, sebuah alam yang tidak terbatas ruang dan waktu. Aku sudah menemui banyak keturunanku, dan sudah melihat bencana-bencana yang mereka alami.” Ucap Prabu Arya.
“Maksud eyang?” tanya Dirga Bingung.

“Ikatan Cahyo dengan alam Jagad segoro demit, dan ikatan Dirga dengan Prabu Arya memungkinkan cermin ini menunjukkan masa dimana Prabu Arya masih hidup dan terjebak di alam itu” ucap Raden Topo.

“Biar saya tunjukkan hal yang sebenarnya yang terjadi pada Ki Luwang musuh kalian” ucap Prabu Arya.
Sekarang aku mulai mengerti. Rupanya Prabu Arya yang sempat terjebak di Jagad Segoro Demit 

Sempat bekeliling melintasi ruang dan waktu untuk menemui keturunanya dan memwasiatkan apa yang ia miliki. Dia sangat bijak dibanding aku, Cahyo dan Paklek yang hanya berfokus untuk mencari jalan pulang dari alam itu.

“Ki Luwang! Hentikan! Ada yang ingin menemuimu!” Teriak Abah sembari menunjukkan cermin itu.
Pantulan wujud Prabu Arya membuat Ki Luwang geram. Iapun melepaskan Paklek dan menatap cermin itu.
“Kau sudah mati!!! Siapa kau!!”

Prabu Arya hanya menggeleng kasihan melihat sosok Ki Luwang. Iapun meghilang dan menunjukkan sebuah kejadian dari dalam cermin itu.

***

“Junjung tinggi etika perang! Walaupun kita menang dengan menyakiti mereka yang lemah itu hanya akan merubah kalian menjadi monster” terdengar suara pidato prabu arya di hadapan prajuritnya.

“Membunuh perempuan, anak-anak, dan warga sipil yang sudah menyerah. Itu adalah kejahatan besar” lanjutnya.

Seluruh prajurit kerajaan Darmawijaya memegang teguh keyakinan itu dan berperang dengan terus menjaga harga dirinya.
Suatu ketika terjadi perang antara kerajaan Darmawijaya dengan kerajaan tempat Ki Luwang tinggal, Kerajaan Pakujagar.

Mereka diam-diam membunuh prajurit perbatasan dan meminta beberapa pematung termasuk Ki Luwang untuk menyembunyikan jasadnya dalam patung batu buatan mereka.
Prajurit Darmawijaya sudah memastikan apa yang terjadi, tapi mereka masih belum mengaku dan terus menyerang kerajaan darmawijaya secara diam-diam.
Peduli dengan keselamatan prajuritnya. Prabu Aryapun melakukan serangan ke kerajaan di mana tempat Ki Luwang tinggal itu. Ia menghancurkan satu desa yang berisi pematung dan meratakanya.

Walau begitu, beberapa pematung termasuk Ki Luwang berhasil lolos. Prajurit Prabu Arya hanya menyandra perempuan, anak kecil, dan orang tua yang sudah menyerah.
Sampai terjadi suatu tragedi..
Ternyata penyerangan itu adalah umpan dari kerajaan Pakujagar.

Mereka sengaja mengorbankan desa Ki Luwang untuk menghabiskan kekuatan pasukan Darmawijaya untuk melakukan penyerangan di camp prajurit saat mereka lengah.

Ki Luwang dan warga desa yang bersembunyi diajak untuk membalas dendam atas hancurnya desa mereka sementara mata-mata prajurit Pakujagar sudah mempersiapkan serangan dari dalam.
Ada prajurit mata-mata yang sudah mengincar kecantikan Nyi Sasma.

Mereka jugalah yang meyakinkan Nyi Sasma bahwa prajurit darmawijaya tidak akan melukai wanita dan anak anak. Hal itu membuat Nyi Sasma tenang dan ikut bersembunyi dengan Ki Luwang.
Rencana mereka berhasil, merekapun mendapati Nyi Sasma ditahan di camp prajurit sebelum dibawa ke kerajaan.
Malam itu prajurit Pakujagar yang menyamar sebagai mata-mata melampiaskan nafsunya pada Nyi Sasma dengan leluasa.

Tak hanya itu, Ki Luwang sendiri ternyata sudah menjadi incaran prajurit-prajurit kerajaanya sendiri.
Mereka sadar, Ki Luwang adalah keturunan trah keramat yang bernama Warnuguni. Trah keturunan orang-orang yang memiliki ilmu memberikan kehidupan pada benda seperti patung.

Leluhurnya pernah memberontak pada kerajaan, namun berhasil di redam. Sayangnya itu hanya tipu muslihat. Kerajaan Pakujagar diam-diam mengeksekusi trah Warnuguni karena ketakutan dengan kemampuanya.

Kiluang Warnuguni, dan anaknya Gumindar Warnuguni juga tidak luput dari incaran mereka. Oleh karena itu, prajurit itu bisa membunuh bayi itu tanpa belas kasihan.

***

“Mengenaskan, selama ini kau terkena tipu muslihat kerajaanmu sendiri?” Ucapku pada sosok yang kini terlihat terpaku itu.
Bagaimana tidak, setelah beratus-ratus tahun baru ia sadar bahwa yang menghabisi anak dan istirinya adalah orang-orang yang ia bela.

“Tidak... tidak mungkin!” Ki Luwang masih tidak bisa terima dengan kenyataan ini.

“Ini kenyataanya, kau sendirilah yang paling tahu tentang sejarah leluhurmu” ucap sosok Prabu Arya Darmawijaya dari dalam cermin itu.
Ki Luwang mengamuk. Ia berteriak dan menangis sejadi-jadinya. Kami khawatir akan apa yang akan dia lakukan setelah ini.

“Tugasku selesai sampai disini, aku masih harus mengejar sosok penari terkutuk yang memecah belah kerajaan Darmawijaya..” ucap Prabu Arya.
Seketika penglihatan dari pusaka cermit itupun menghilang.

Bersamaan dengan itu cermin itu pecah dengan sendirinya, sepertinya cermin pusaka itu juga sudah menyelesaikan tugasnya.
Kini kami hanya bisa menunggu apa yang akan dilakukan oleh Ki Luwang.
“Sudah Ki... semua sudah jelas.

Kami bisa membantu agar Ki Luwang bisa pergi dengan tenang. Seluruh dosa yang ada adalah urusanmu dengan Yang Maha Pengampun” Ucap Abah.
Sayangnya Ki Luwang Kini dibakar api amarah. Ia menatap kami semua dengan penuh dendam tanpa mau menerima kenyataan yang ada.

“Dendam harus dibalaskan, bila bukan Trah Darmawijaya berarti semua orang harus menerima dendamku!” ucapnya.
Ki Luwang kini menyerang ke arah kami dengan asap hitam yang menyelimutinya. Kamipun bersiap menerima seranganya sembari berusaha menghindari asap hitam itu.

Tapi tepat sebelum Ki Luwang mencapai kami, sebuah keris melesat dari atas langit dan menahan Ki Luwang.
“Itu.. Keris Ragasukma??” ucapku.
Aku segera menoleh ke sekeliling bangunan ini dan menemukan sosok roh yang mendekat ke arah kami.
“Mas Danan!!!” teriak Dirga.

Aku tersenyum dan segera menghampiri sosok itu.
“Wis tak kiro! Kowe musti teko nganggo ilmumu!” (Sudah kuduka! Kamu pasti datang menggunakan ilmumu) ucapku menyambutnya.
Sebelum berubah menjadi patung batu, Danan menggenggam keris ragasukma.

Aku yakin, pasti ia menyelamatkan sukmanya dengan menggunakan ilmu ragasukma sebelum menjadi batu.
“Iya, tapi ada kendala. Kalau aku mendekat ke Ki Luwang atau patung-patung itu, kekuatan keris ragasukma akan hilang” ucap Danan.
“Terus kenapa sekarang bisa?” Tanya Dirga.

Danan menjelaskan bahwa Pusaka Darmawijaya tidak dapat menggunakan kekuatanya bukan karena takluk pada Ki Luwang atau patung ciptaanya.
Dosa Darmawijaya terhadap Ki Luwang yang membuat Pusaka Darmawijaya tidak pantas menyakitinya lebih lagi.

Tapi saat kebenaranya terungkap, Mereka pusaka-pusaka Darmawijaya tidak lagi punya alasan untuk menahan diri.
“Berarti keris dasasukma?” Tanya Dirga.
Danan mengangguk, Dirgapun memanggil kerisnya dan Paklek mulai mengeluarkan keris sukmageninya bersiap untuk bertarung.

“Keluarkan semua pusaka kalian! Aku habisi kalian semua tanpa tersisa!” Teriak Ki Luwang.
Kali ini seluruh asap hitam itu mengumpul ke semua pecahan patung sinden, prajurit, dan dukun itu. Mereka menyatu dengan patung Nyai Sasma dengan Ki Luwang yang merasukinya.

Seketika petir menyambar menunjukkan sosok bayangan yang sangat besar dari patung yang akan terbentuk itu. Asap hitam terus mengelilinginya seolah besiap merubah siapa saja menjadi batu.
“Mengerikan! Satu desa bisa hancur oleh makhluk itu!!” ucap Danan.

Mas Jagad sepertinya mendapat sebuah pusaka menarik dari peti pusaka Darmawijaya.
“Kalau gitu kita selesaikan di alamnya!” ucap Mas Jagad.
Dengan pusaka yang berbentuk gelang kuningan, Jagad meletakkan telapak tanganya di tanah dan membaca beberapa baris mantra.

Seketika aku merasakan perubahan rasa di tempatku berpijak dan dalam hitungan detik kami sudah berpindah di sebuah tempat yang mirip sebuah pantai.
“Kita selesaikan di sini...” ucap Mas Jagad.
Aku memperhatikan sekitar..

Hanya aku, Dirga, Paklek, Abah, Raden Topo, dan Roh Danan yang dibawa ke alam ini oleh Mas Jagad.
“Kalau terjadi sesuatu, pusaka ini bisa menguncinya di alam ini dengan kita sebagai korbanya” ucap Mas Jagad.

Kami semua menatap Mas Jagad, ini keputusan penting yang dia ambil tanpa meminta persetujuan kami. Tapi beruntung tidak ada yang protes karena ini adalah satu-satunya cara untuk mengamankan desa.
Besar... sosok itu begitu besar seperti batu karang.

Sosoknya seperti raksasa buto sakti yang bersiap melumat apapun. Wajah dan tubuhnya terlihat kurus tapi kekuatan besar memancar dari wujud mengerikan Ki Luwang itu.
“Dendam ini harus dibalaskan!!!” teriak Ki Luwang.

Danan, Dirga, Paklek, dan Abah sudah bersiap dengan pusakanya masing-masing. Akupun bersiap dengan kekuatan Wanasura untuk menyerang namun tiba-tiba aku berbicara sendiri.
“Jangan mau kalah dengan mereka, Biar kutunjukkan kekuatan sebenarnya panglima kera Alas Wanamarta” sosok kesadaran pusaka pisau batu itu kembali berbicara.

“Jul? Ngomong sendiri?” Tanya Danan Bingung.
Akupun menunjukkan pusaka pisau batu itu dan segera dimengerti oleh Danan.
“Memangnya apalagi yang bisa ia lakukan?” Tanyaku.

Aku merasakan kekuatan dari pusaka batu itu seolah melepaskan sesuatu dari Jiwa Wanasura. Perasaan Wanasura menjadi tenang.
Sesuatu yang berkecamuk dengan batinya mulai menghilang seolah membuka sesuatu yang baru yang pernah ia lupakan.

“Ini alam roh, kau bisa melepaskan Wanasura di alam ini” ucapnya lagi.
Benar, mungkin dengan ini kami bisa bertarung lebih leluasa.

Ini adalaha alasan mengapa panglima kembar alas wanamarta bisa menghancurkan kerajaan lawanya seorang diri.

“Ajian Triwikrama...”

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close