Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

DENDAM PATUNG ARWAH (Part 4) - Darmawijaya

Danan dan Cahyo berhasil mencapai rumah abah, tapi tanpa sengaja mereka terjebak oleh sebuah tragedi yang tersembunyi di pasar malam.


Tanah Pasundan

(Sudut pandang Danan)
JEJAKMISTERI - Suara mesin motor Cahyo menderu melintasi keramaian pasar desa. Sontak seketika tatapan mata pengunjung pasarpun tertuju kepada kami dengan kesal.

“Wis tak kandani nganggo montorku wae..” (Sudah aku bilangin, naik motorku saja) ucapku sembari menepuk pundak Cahyo.
“Lho, jangan... Si Mbah masih belum menjelajahi wilayah sini, pokoknya semua medan tanah Jawa harus dilewati Simbah” balas Cahyo.

“Lha tapi ini kan daerah Sunda?” balasku.
“Tetep aja pulau Jawa Nan”
Aku tidak mengerti dengan tujuan dan niat Cahyo. Memangnya bila Si Mbah berhasil mengelilingi pulau Jawa dia bakal dapat penghargaan dari presiden? Yang ada malah nambah jajan sparepart lagi..

“Yowis terserah, yang penting jangan mogok aja” balasku lagi.
Aku melintasi sebuah pabrik tahu yang pernah kudatangi bersama Mas Jagad beberapa tahun lalu. Ada sebuah pohon di sana, pohon yang menjadi saksi atas kematian seorang wanita yang diperlakukan dengan biadab dan memilih untuk menggantungkan jasadnya di sana.
Namun kali ini pabrik itu sudah tidak menyeramkan seperti dulu. Tanpa adanya sosok yang memprovokasi, mereka tidak lagi mengganggu karyawan yang berada di sana.
Tak jauh dari pabrik, ada sebuah sungai. Rumah Abah dan Dirga berada di pemukiman di seberang sungai. Aku ingat ada masjid besar tak jauh dari rumah Abah.
“Kulo nuwun!!” ucapku.

“Heh salah Nan!.. Punteeeen” Teriak Cahyo.
“Oh iya, salah..”
Kami mengetuk pintu salah satu rumah sederhana di desa itu. Sebuah rumah kecil dengan sedikit lahan di depanya yang cukup untuk menanam sedikit tanaman dan memarkir motor.

Suara langkah kakipun mendekat dengan terburu-buru dan terdengar suara kunci pintu yang di buka.
“Eh, Danan, Cahyo.. sudah sampai saja, mangga masuk” sambut abah membukakan pintu untuk kami.
“Hatur nuhun bah, abdi masuk ke dalem ya”
Plakkk!!

Akupun memukul kepala Cahyo dengan jaketku melihatnya gaya-gayaan menggunakan bahasa Sunda.
“Nggak usah sok-sokan ngomong bahasa sunda, nggak cocok” ucapku.
“Ya elah Nan.. usaha dikit Nan”

Tak berapa lama Abah dan Emak sudah keluar dari dapur dengan membawakan kopi panas dan beberapa jajanan ringan khas tempat ini.
“Wah malah jadi ngerepotin Bah” ucapku.
“Mana ada ngerepotin, kalian sudah jauh-jauh datang kesini..” balas Abah.

“Iya mana ada ngerepotin Nan, mana enak-enak lagi, Hatur nuhun nggeh Bah” balas Cahyo sembari mengunyah Cireng yang disediakan oleh Emak.
Sekali lagi aku memukul kepala Cahyo..
“Yang sopan, lagian mana bisa bahasa sunda dicampur jawa begitu..” balasku sembari menggeser piring berisi Cireng ke arahku.

“Ya tapi, piringnya jangan diembat sendiri donk Nan” Cahyo tidak terima.
Abah dan Emak hanya tertawa melihat tingkah kami. Sedari tadi aku mencari keberadaan Dirga tapi sepertinya ia sedang tidak di rumah.

“Abah, Dirga lagi keluar?” tanyaku.
“Iya Mas Danan, Dirga teh udah dua hari pergi sama Jagad. Harusnya hari ini sudah pulang. Ditunggu saja ya, sudah kami siapin kamar kok” balas Abah.

Aku Yakin Mas Jagad dan Dirga pasti sedang menyelidiki sesuatu yang berhubungan dengan patung arwah yang mengincar Trah Darmawijaya. Tapi sebenarnya, aku penasaran apakah abah sudah tahu mengenai hal ini?
“Abah.. Apa Mas Jagad dan Dirga menceritakan sesuatu tentang...”

“Patung?” Tiba-tiba Abah memotong pertanyaanku.
“I...iya Bah” balasku.
“Jagad sudah cerita semuanya, akhir-akhir ini bukan hanya Dirga. Saya juga mendapat banyak mimpi aneh.
Sekarang Mas Jagad dan Dirga sedang mencari salah satu petunjuk.

Ada juga yang mau saya tunjukkan, tapi menunggu paklek dan yang lain kumpul sekalian ya..” jelas Abah.
Aku lega Abah sudah mengetahui hal ini. Akan tidak enak bila harus aku yang menjelaskan permasalahan ini pada mereka.

Beruntung sepertinya Abah juga sudah mempersiapkan sesuatu.
“Abah.. kami jalan-jalan dulu ya! Tadi sempet liat banyak jajanan di lapangan” ucap Cahyo.
“Oh iya, lagi ada pasar malam di lapangan.. tapi paling pedagangnya baru lengkap nanti malam.
Bilang saja tamunya abah, nanti nggak usah bayar tiket masuk” balas abah.
“Yang bener Bah?” Tanya Cahyo.
“Iya, tenang aja.. panitianya teman-teman abah semua” balas abah.
Cahyo terlihat senang dan semakin semangat menuju ke tempat itu.

Namun hari masih sore, mungkin tidak ada salahnya kami memutar sebentar untuk melihat-lihat sembari menunggu pasar malam buka.
“Kalau di Klaten, aku bilang ‘saya tamunya paklek’ kira kira dikasi masuk gratis nggak ya nan?” tanya Cahyo.

“Ngawur kamu, dikasih gratis.. tapi nggak ke pasar malam”
“Terus kemana?”
“Pabrik Gula!” balasku sembari bergegas mengenakan jaketku.
“Lah nek mrono kuwi jenenge nyambut gawe, dudu jajan” (Lah kalau ke sana itu mah namanya kerja, bukan jajan) balas Cahyo.
“Nah Itu tahu..”

Cahyo membalasku dengan raut wajah sepetnya.
"Wis, Jelas.. untuk masalah beginian, Paklek kalah sakti sama Abah” lanjut Cahyo.
Waktu sore itupun kami habiskan dengan mengelilingi ujung desa yang ternyata tidak jauh dari sebuah bukit.

Beberapa papan nama memang menunjukkan ke beberapa gunung yang sebenarnya lebih mirip kumpulan bukit.
Kamipun menghentikan motor kami sejenak dan menikmati udara dingin yang akan menutup hari menyambut malam ini.

Rupanya senja di tempat ini juga mampu memanjakan mata kami dan membuat kami enggan untuk beranjak.
Aku merasa sempat tertidur sesaat. Udara dingin dan pemandangan hijau di tempat ini benar-benar berhasil memanjakanku.
“Cringg... Cringg..”

Di tengah lelapku tiba-tiba aku tersadar dengan suara benda seperti kerincing yang bersautan dengan suara seekor kucing.
Iya.. kucing...
Aku terbangun saat langit merah mulai menghitam.

Saat aku terduduk samar-samar terlihat bayangan seorang lelaki tua bergamis putih yang berjalan masuk ke dalam gelapnya hutan bersama seekor kucing hitam yang terus mengikutinya.

Itu bukan pemandangan yang biasa, namun saat aku hendak mencari tahu tiba-tiba sosok itu suudah menghilang di kegelapan hutan.
“Kenapa Nan?” tanya Cahyo yang juga baru saja terbangun.
“Eh, nggak.. tadi kebangun sama suara kucing” balasku.
“Kucing? Di hutan?” Tanya Cahyo.

Mataku masih setengah ngantuk untuk memastikan apa yang kulihat merupakan mimpiku atau bukan. Akupun meminta Cahyo mengabaikanya dan melanjutkan rencana kami untuk mampir ke pasar malam.

Sekumpulan pedagang yang tadi siang kami lihat berjejer kini berkumpul semakin banyak. Berbagai permainan yang dihiasi lampu menyala-nyala membuat lapangan gersang ini menjadi terlihat sangat menyenangkan.

Aku sudah menggenggam sekantung plastik tahu sumedang yang sejak awal di pintu masuk sudah menggoda indra penciumanku. Aku sangat menikmatinya, tapi Cahyo masih mencari jajanan sembari memasang muka kusut.

“Kenapa to Jul? pasar malemnya rame kok kamunya malah cemberut” tanyaku sambil tertawa.
“Lha gimana nggak kesel? Aku lho udah siap-siap nyari loket tiketnya.. mau ngomong kalau tamunya Abah biar dikasi gratis.
Eh malah nggak ada loket tiket..
Ternyata Gratisss!” Balasnya dengan memanyunkan wajahnya.

Aku semakin tertawa menyaksikan raut wajah Cahyo memperagakan perkataanya itu. Aku juga tidak menyangka, ternyata abah juga bisa bercanda.

“Ya udah.. kan masuknya sama-sama gratis. Nggak ada bedanya” ucapku.
“Ndak lah, pokoknya beda!” balas Cahyo masih dengan wajah kesalnya.
Suara tawa anak-anak, alunan musik permainan benar-benar membuatku rindu suasana pasar malam saat masih kecil.

Dulu masih mainan kayu dan bambu yang dijajakan di pasar malam. Namun sekarang mainan modern seperti robot-robotan dan boneka yang ditangisi anak-anak untuk minta dibelikan.
Yah.. jaman memang sudah banyak berubah. Tapi menurutku satu hal yang tidak berubah.

Pasar malam selalu bisa menjadi alasan seorang anak atau orang tua untuk menikmati kebersamaan dalam kesederhanaan.
Entah sudah berapa lama kami menikmati suasana pasar malam itu, tanpa sadar tangan kami sudah dipenuhi cemilan pasar malam.

***

“Pergi!!! Jangan masuk ke tempat ini!!”
Di tengah riuhnya suara pasar malam tiba-tiba terdengar suara keramaian dari salah satu sisi pasar.
“Kek, jangan begitu.. kami rugi kalau nggak ada yang masuk ke sini” terdengar suara pemuda yang berusaha menenangkan kakek itu.

Kakek itu bersikeras menghalangi sebuah wahana yang berada di belakangnya. Wahana rumah hantu..
Beberapa orang berusaha menenangkan kakek itu baik baik, namun tetap tidak ada tanda-tanda kakek itu mau menyingkir.

Para petugas penjaga rumah hantu itupun kebingungan menghadapinya.
“Coba kita samperin Nan” ajak Cahyo.
Akupun mengikuti Cahyo dan menerobos kerumunan disekitar kakek itu.

Terlihat seorang kakek berambut putih panjang acak-acakan dengan baju compang camping berdiri menahan siapapun orang yang mencoba masuk ke dalam.
“Jangan masuk! Ada setan di dalam!” Teriak kakek itu.
Mendengar teriakan itu para pengunjungpun tertawa.

***

“Wahana rumah hantu teh pasti ada setanya, kalo nggak ya nggak laku”
“Mungkin kakeknya ketakutan sama setan-setanan buatan di dalam” Ucap beberapa warga yang heran dengan kelakuan kakek itu.

***

Aku dan Cahyo mencoba mendekat dan sedikit mengintip ke dalam. suara hantu buatan hingga suara latar yang seram sudah siap menakuti pengunjung yang masuk ke dalam.
Awalnya aku ingin bertanya maksud kakek itu melakukan hal ini.

Namun samar-samar Cahyo tersadar dengan sosok pria tanpa kepala yang jelas kami yakin bukanlah manusia.
“Kek, kami mau masuk!” ucapku.
“Tidak boleh! Berbahaya! Ada setan di dalam..” balasnya dengan wajah khawatir.

“Percuma mas, kami sudah merayunya dari tadi.. kalau sebentar lagi kakek ini tidak mau menyingkir. Mungkin kami akan lebih tegas” balas petugas.
“Kakek juga ngelihat lelaki tanpa kepala itu?” tanya Cahyo.

Seketika kakek yang terlihat panik itu menjadi tenang dan menatap Cahyo. Dia mengangguk mengiyakan pertanyaan Cahyo.
“Kalau gitu biar kami yang tangani, kakek yang tenang ya di sini” balasku.
Kali ini kakek itu membiarkan kami masuk ke dalam.

Sebelum masuk, seorang petugas ingin mengikuti kami namun kakek itu menghalangi.
“Mereka berdua boleh masuk.. tapi kalian tidak bisa” ucap kakek itu.
Seketika petugas dan pengunjung pasar malam itupun bingung menatap kami berdua.

Mungkin mereka heran mengapa kakek itu memperlakukan kami berbeda.
“..Kalian berdua!!” panggil kakek itu.
Kami berhenti sebentar dan menoleh ke arahnya.
“Sepuluh hari yang lalu ada seorang perempuan yang masuk ke tempat ini dan tidak keluar, tolong cari dia..” ucap Kakek itu.

“Tidak mungkin kek! Tiap hari rumah hantu ini dirapikan dan tiap ruangan ada hantu-hantuan yang jaga.. tidak mungkin ada orang yang terjebak di dalam” bantah petugas.
Kakek itupun tidak menghiraukan bantahan petugas itu dan terus memandang ke arah kami.

Kamipun mengangguk dan melanjutkan perjalanan kami.
Wahana ini memang dibuat semenyeramkan mungkin dengan dekorasi darah dan boneka manekin hantu. Yah.. menyeramkan. Bahkan mungkin lebih menyeramkan dari wujud alam ghaib yang sebenarnya itu sendiri.

Kami menemui beberapa petugas yang menyamar menjadi hantu. Mereka mengetahui masalah di depan, dan kamipun meminta mereka untuk menunggu di luar.
“Memang benar ada hantu beneran mas?” tanya mereka.

“Ya nggak tahu, tapi kalau memang nggak ada paling nggak kakek itu bisa tenang” balasku pada mereka.
“Ya sudah, kita keluar dulu deh cari yang seger-seger.. bosen juga di dalam” balas mereka.

Merekapun setuju dengan pendapatku dan pergi keluar. Kini kami merasa lebih tenang dalam mencari sosok yang kami rasakan tadi.
Beberapa ruangan telah kami susuri. Benar ucapan petugas, memang tidak ada orang lain selain petugas di rumah hantu ini.

Namun aku curiga dengan akar pohon yang menjadi satu dengan sebuah tembok bangunan tua yang menjadi pondasi bangunan semi permanen ini.
“Di sini ya Nan?” Tanya Cahyo yang juga merasakan hal yang sama.

Aku mengangguk dan mencoba menerawang beberapa bagian dari akar pohon tua itu. Dan benar saja, sama seperti di bangunan gang buntu sebelumnya ada sesuatu yang menarik kami ke sebuah tempat yang tidak wajar.

***

“Sepertinya lawan kita sekarang juga menguasai kekuatan lintas alam seperti Mas Jagad” ucapku.
“Tidak mengherankan mereka sangat sulit dilacak” balas Cahyo.
Kami sampai pada sebuah hutan gundul yang sangat aneh.

Semua yang terlihat di tempat ini seperti berwarna hitam dan putih. Terlebih ada kabut yang samar-samar menyelimuti hutan ini.
Ada suara keramaian dari salah satu sisi hutan. Tak ada tujuan lain, kamipun segera menghampir suara yang memberikan firasat tidak baik pada kami.

“Suara pertarungan Nan!” ucap Cahyo.

Benar, ada suara keris beradu, kilatan api hingga suara raungan. Ini bukan pertarungan biasa.
Saat mengikuti suara itu sekali lagi pemandangan mengerikan terpampang di hadapan kami.

Ada belasan kepala tergantung di atas pohon. Mirip seperti ritual penumbalan, namun kepala yang tergantung di tempat ini seperti telah disiksa dengan mengerikan.
Ada beberapa kepala yang masih meneteskan darah dan ada beberapa kepala yang sudah berwujud setengah tengkorak.

Dibanding sebagai tumbal, aku lebih melihatnya seperti pelampiasan balas dendam.
“Keris itu!?”
Aku melihat sebuah keris melayang beradu daengan makhluk hitam yang terbang dan menjadi batu tepat saat bertabrakan dengan keris itu. Itu adalah keris Dasasukma.

“Dirga?! Dirga yang bertarung di sana!” Teriak Cahyo.
Kami segera bergegas menuju tempat itu dan menemukan sebuah parang yang melayang terlihat sedang mengincar Dirga.
Trangg!!!
Suara parang itupun beradu dengan keris ragasukmaku dan terpental.

“Mas Danan??” Dirga terlihat sedikit lega.
Wajahnya terlihat pucat penuh dengan keringat. Namun lebih dari itu ada amarah dan rasa sedih yang terpancar dari wajahnya.
“Mas Jagad kemana?” tanya Cahyo.

“Mas Jagad masih mencari seorang perempuan, dia masih saudara jauhku” balasnya.
Belum sempat berbicara lebih panjang. Sekali lagi ada burung gagak terbang meluncur ke arah kami dengan cepat.

Saat Cahyo akan menahanya, tiba-tiba wujudnya berubah menjadi ular yang siap mematuk Cahyo.
“Jangan lengah!” Dirga melontarkan salah satu wujud kerisnya pada ular itu dan memenggalnya.
Anehnya sekali lagi makhluk itu berubah menjadi patung batu dan pecah.

“Lawan kita siapa?” tanyaku.
“Orang yang dendam dengan leluhurku..” balas Dirga.
Awalnya aku menganggap itu hanyalah pertarungan biasa. Namun saat mendengar ucapan Dirga dan melihat raut wajahnya, akupun kembali menoleh ke arah sosok kepala yang tergantung di pepohonan itu.

“Ja....jangan bilang, semua kepala yang menggantung di pepohonan itu bagian dari...”
Dirga tidak menjawab, namun raut wajahnya sudah memberi kami kesimpulan.

Cahyopun mulai tidak bisa menahan amarahnya saat mengetahui kepala-kepala itu adalah milik jasad Trah Darmawijaya yang memiliki hubungan darah dengan Dirga. Wajahnya dipenuhi emosi yang meluap.
“Wanasuraaa!!!”

Cahyo mengamuk, dengan kekuatan Wanasura ia memukul tanah dihadapanya dan melemparkan sebuah gelondongan kayu besar di dekatnya hingga menghantam ke arah makhluk yang mengirimkan serangan ke arah Dirga.
“Keluar!!”

Suara Cahyo bersahutan dengan suara wanasura yang menggeram ke seluruh penjuru hutan.
“Jul! Tenang Jul..” ucapku.
Cahyo tidak peduli dan kali ini melemparkan batu besar ke arah yang sama. Seketika ada sesuatu yang keluar dari balik kabut menuju ke arah kami.

“Aku tidak ada urusan dengan kalian makhluk-makhluk bodoh!”
Itu suara seorang kakek...
Ia melayang hanya dengan setengah bagian tubuhnya.
“Tidak ada urusan?” Cahyo segera menerjang sosok itu dan mencoba menyerangnya dengan membabi buta.

Namun sosok itu terus saja menghindar menjauhi serangan Cahyo.
“Setelah yang kau lakukan pada mereka, kau masi merasa tidak punya urusan?” Teriak Cahyo lagi.
“Aku tidak mau membuang kekuatan yang seharusnya kugunakan untuk menghabisi Trah Darmawijaya dan keturunanya!
Tapi kalau kalian mencoba menghalangi... kepala kalian juga akan tergantung di sana bersama mereka” Teriak kakek itu.
“Coba saja!” Tantang Cahyo.
Namun bukanya membalas, kakek itu malah menghilang dan muncul di belakang kami.

Ia menghampiri sebuah patung perempuan yang menggendong bayi tanpa kepala yang tiba-tiba ada tak jauh dari kami. Ada Asap hitam melahap kami yang berasal dari patung itu.
Entah apa yang terjadi, seketika semua terasa semakin gelap.

“Mas Danan? Mas Cahyo..” Terdengar suara Dirga yang masih tersadar mencoba menolong kami.
Namun sayangnya kesadaran kami mulai menghilang perlahan.

***

DENDAM MASA LALU

Mimpi? Atau sebuah penglihatan?
Aku tidak bisa membedakan keduanya saat ini, yang pasti seketika aku seperti menyaksikan sebuah kejadian yang jauh dari jamanku sekarang.

Suara tangis bayi terus terdengar di bangunan kayu reyot ini. Ada beberapa patung kayu batu yang belum jadi terpampang di dalam bangunan ini bersama dengan perlengkapan pembuat patungnya.
“Dek Sasma? Bagaimana keadaan keadaan Gumindar bayi kita?”

Tiba-tiba terlihat seorang pria buru-buru memasuki rumah. Di luar terdengar derap suara kuda dan prajurit yang mulai ramai.
“Nangis terus, tapi nggak papa mas...” balas seorang perempuan yang tengah menggendong bayi itu dengan nada cemas.

“Ki Luwang, Nyi Sasma!! Prajurit Darmawijaya sudah dekat!” Salah seorang teman itu berteriak memperingatkan pria yang dipanggil dengan nama Ki Luwang itu.
“Cepet mas!! Cepet pergi! Mas harus selamat” ucap Nyi Sasma.

“Tapi saya tidak bisa meninggalkanmu dan anak kita?” Ki Luwang terlihat ragu.
Nyi Sasma segera mendorong Ki Luwang ke arah pintu rumah.
“Tenang mas, prajurit Darmawijaya tidak pernah membunuh perempuan dan anak-anak. Kami pasti selamat” jelasnya

Mendengar keyakinan dari istrinya. Ki Luwangpun pergi dengan ragu untuk meninggalkan rumah dan kerajaanya yang tengah bergelut dalam pertarungan.
Benar saja, tak berapa lama beberapa prajurit menemukan rumah itu dan dengan beringas menerobos menggeledah rumah.

“Ampun tuan!! Ampunn..” perempuan itu menangis sembari terus memeluk anaknya yang menangis.
“Dimana suamimu? Siapa lagi penghuni bangunan ini?” tanya prajurit itu sembari mengacungkan tombaknya.

“Ampun tuan, suami saya hanya seorang pematung. Dia sudah pergi menyelamatkan diri” ucap Nyi Sasma.
Prajurit lain masih sibuk menggeledah rumah, dan salah satu dari mereka menemukan sesuatu.
“Dia bukan pematung biasa” Ucap prajurit itu.

Ia menggeser sebuah patung dan memecahkanya. Tak disangka dibalik patung itu ada tubuh seorang manusia yang sudah tidak utuh.
“I...itu? Itu prajurit kerajaan kita kan?” Tanya prajurit lainya.

“Jadi rupanya ini cara kalian menyembunyikan jasad teman-teman kami??” ucap prajurit yang tengah mengancam Nyi Sasma.
Nyi Sasma terlihat kaget, sepertinya ia juga tidak menyangka bahwa suaminya melakukan hal seperti itu.

“Tidak mungkin, suami saya tidak mungkin melakukan hal seperti itu” belanya.
Namun apa yang terlihat tidak dapat dihindari. Beberapa patung juga berisi hal yang serupa. Tak hanya itu, ada kalimat berisi mantra-mantra yang terukir di balik patung berisi jasad itu.

“Kalian memang tidak pantas hidup!” Salah seorang prajurit yang kesal menarik pedangnya dan hendak memenggal perempuan itu, namun belum sempat pedang itu menyentuhnya seorang prajurit lainya menghentikanya.

“Jangan gegabah! Mereka hanya perempuan dan bayi..” tahan prajurit itu.
Mendengar ucapan itu, prajurit itupun menahan niatnya dan menangkap perempuan dan bayi itu sebagai sandra.
Ada sebuah gerobak besar yang ditarik oleh kuda.

Gerobak itu berisi sandra perang mulai dari anak-anak, perempuan, dan orang yang sudah berumur. Nyi Sasma sedikit bernafas lega saat mengetahui dirinya selamat dari maut.
Saat ini ia hanya bisa berharap saat perang usai ia bisa bertemu lagi dengan kekasihnya itu.

***

Saat perjalanan ke istana mereka berhenti di sebuah camp prajurit. Mereka dikurung di camp tahanan sebelum besok kembali melanjutkan perjalanan.
Sebagai seorang tahanan, mereka seringkali mendapatkan perlakuan kasar hingga jatah makan yang tidak pantas.

Namun itu bukanlah hal yang paling mengerikan.
Saat lewat tengah malam, sebelum menjelang pagi, tiba-tiba ada prajurit yang datang menghampiri mereka.
Tanpa sebab yang jelas, ia menarik Nyi Sasma dan anaknya keluar dari kurungan kayu itu.
“A...ampun tuan” ucapnya.

“Bayi ini adalah keturunan orang itu, akan berbahaya bila membiarkanya hidup” ucap salah satu prajurit itu.
“Aku tidak peduli dengan bayi itu, aku hanya tertarik dengan perempuan ini...” balas prajurit lainya.

Merekapun merebut Gumindar dari Nyi Sasma dan membawa Nyi Sasma masuk ke dalam sebuah kemah.
“Jangan tuan! Jangan sakiti anak saya!!” teriak Nyi Sasma.
Nyi Sasma Terus melawan, hingga akhirnya sebuah tamparan mendarat tepat di wajah Nyi Sasma.

“Kalau kau tidak melawan, mungkin anakmu masih bisa selamat!” Ancam prajurit itu.
Mendengar ancaman itu Nyi Sasma hanya bisa menangis. Ia takut akan terjadi sesuatu pada anaknya jika terus melawan.
Malam itu adalah malam paling terkutuk yang ia rasakan.

Prajurit itu merobek dan melucuti pakaian Nyi Sasmi dengan bengis.
Bentuk tubuh Nyi Sasma terlihat begitu menggoda dengan disinari cahaya api lampu minyak yang menerangi kemah itu. Ia terus berusaha menutupi bagian tubuhnya dengan kedua tanganya.

Tak mau menyia-nyiakan apa yang terlihat dihadapanya. Prajurit itupun menjambak rambut Nyi Sasma dan melumat bibirnya dengan penuh nafsu.
Air mata terus menetes dari matanya tanpa mampu melawan.

Ia hanya mampu menangis dan memohon ampun saat tangan kasar prajurit itu meraba bagian sucinya yang selama ini hanya pernah disentuh oleh Ki Luwang suaminya.
Prajurit itu sama sekali tidak berbelas kasihan.

Ia memperkosa Nyi Sasma diiringi suara tangis bayi yang mencari keberadaan ibunya.
Setelah puas, prajurit itupun keluar dan berganti dengan seorang prajurit lainya yang datang bersamanya.
“Sial aku jadi harus dapet bekasnya” Keluh prajurit itu.

Walau kecewa, prajurit itu masih terus melampiaskan nafsunya pada Nyi Sasma tanpa ragu. Ia menikmati sejengkal demi sejengkal tubuh Nyi Sasma tanpa terlewat.
“Ikat wanita itu!”
Tiba-tiba prajurit sebelumnya masuk lagi ke dalam kemah dan memberikan sebuah tambang.

“Brengsek kau, aku belum selesai” tolak prajurit yang masih menikmati tubuh Nyi Sasma.
“Lanjutkan saja, aku ada tontonan menarik” tawa prajurit yang wajahnya sudah terlihat seperti iblis itu.

“Apa yang mau kalian lakukan? Apa yang mau kalian lakukan???” Nyi Sasma semakin terlihat takut.
Ini jauh lebih mengerikan dari sekedar mimpi buruk. Nyi Sasma tengah diperkosa oleh seorang prajurit tanpa belas kasihan di sebuah kemah.

Ia dipaksa menatap ke seorang prajurit lainya yang membawa bayinya Gumindar.
Di saat yang bersamaan, Nyi Sasma melihat bayinya dipenggal tanpa peri kemanusiaan oleh prajurit itu.

Tubuhnya yang diikat tidak mampu melawan sementara seorang prajurit lainya semakin semangat menikmati tubuh Nyi Sasma yang menangis kejar kehilangan anaknya.
“Bunuh! Bunuh saja saya!!” Teriak Nyi Sasma yang terus menangis.

Sementara itu, kedua prajurit itu tertawa menikmati kegilaan yang terjadi di malam itu. Iya tidak henti-hentinya menyiksa Nyi Sasma hingga tak mampu menahan kesadaranya.

***

Dari luar kemah terdengar suara derap kuda yang disusul dengan suara pedang yang saling beradu.

“Mereka datang” bisik prajurit itu yang segera mengenakan kembali pakaianya.
Merekapun meninggalkan Nyi Sasma terkulai sekarat tak berdaya bersama jasad bayi dengan kepala yang sudah terpisah.

Suara peperangan terdengar di tempat itu, tak berapa lama apipun menyala membakar sekeliling wilayah di sekitarnya. Terjadi peperangan yang sengit di sana yang tak sedikit menimbulkan korban jiwa.

***

“Dik!! Dik Sasma!!” terdengar suara Ki Luwang membangunkan istrinya yang tengah sekarat itu.
“Gumindar Mas.. gumindar...” hanya tangis yang bisa ia lakukan saat mengetahui suaminya tengah datang menjemputnya.

Ia menunjuk pada jasad bayi tanpa kepala. Seketika tangis Ki Luwang pecah mengetahui kematian anaknya. Ia mencari bagian kepala anaknya itu namun tidak menemukanya.
“Siapa??? Siapa pelakunya???” ucap Ki Luwang dengan dendam.

Nyi Sasmapun menceritakan semua yang terjadi dengan terbata-bata. Ia menceritakan bagaimana perlakuan prajurit kerajaan Darmawijaya memperkosa dirinya sembari membunuh bayi Gumindar di depan matanya.
Rasa dendam Ki Luwang akan kerajaan Darmawijayapun semakin pekat.

Wajahnya dipenuhi dengan amarah.
“Ayo kita pergi! Kita balaskan dendam ini” ajak Ki Luwang.
Tepat saat akan membantu Nyi Sasma, Ki Luwang tersadar. Kedua kaki Nyi Sasma patah dan tubuhnya penuh dengan luka. Nyi Sasma benar-benar tidak berdaya.

“Biadab! Mereka benar-benar biadab!!” Teriak Ki Luwang.
“Pergi Mas.. pergi! Selamatkan dirimu!” pinta Nyi Sasma.
“Tidak, kali ini aku tidak akan pergi lagi tanpamu” bantah Ki Luwang.
Sayangnya perasaan Nyi Sasma sudah campuraduk.

Ia tidak lagi bisa hidup dengan dirinya yang sudah seperti itu.
Iapun diam-diam mengambil sebuah pisau yang ada di pinggang Ki Luwang.
“Pergi pak! Balaskan dendam ini!” Ucap Nyi Sasma sembari mengerahkan pisau itu ke jantungnya.
“Jangan!! Tolong Jangan!!”

Air mata menetes ke bilah pisau yang menancap tajam ke jantung Nyi Sasma. Tusukan itu merenggut nyawanya, ia tahu pasti bahwa rasa sakitnya tidak akan sesakit apa yang terjadi dengan dirinya sebelumnya.

“Dik!! Jangan.. jangan tinggalin Mas!!” tangis Ki Luwang menghantar kepergian Nyi Sasma yang mati dalam penderitaan.

***

KEPERCAYAAN
“Seluruh keturunan Darmawijaya harus menanggung atas apa yang terjadi pada Istri dan anakku”
Kali ini Aku dan Cahyo kembali tersadar dihadapan patung seorang perempuan yang menggendong jasad bayi tanpa kepala.

Aku dan Cahyo menelan ludah mengetahui apa penyebab dendam kesumat seseorang bernama Ki Luwang ini.
“Apa yang ia tunjukkan itu benar?” Tanyaku pada Dirga.
“Mana saya tahu Mas, aku masih 15 tahun. Itu beratus-ratus tahun sebelum aku lahir” balas Dirga dengan polosnya.

Mendengar jawaban Dirga, sekali lagi sebuah parang yang melayang mengarah ke lehernya. Ia menghindar, namun dari jauh ada sesosok patung berwujut manusia kurus berjalan ke arahnya. Aku yakin patung itu bukan makhluk biasa.

“Ki! Dirga tidak salah! Ia bahkan belum lahir di masa itu..” aku mencoba membela Dirga.
Angin berhembus dari arah Ki Luwang seolah menandai kekesalanya.
“Begitu juga Gumindar! Ia juga tidak bersalah tapi tetap mati!!!” Teriaknya.

Di gelapnya hutan itu tiba-tiba dari dalam tanah muncul patung berbentuk tangan, kepala, yang merangkak ke atas permukaan. Mereka berjalan, merangkak, melata menuju ke arah kami.
Cahyo berusaha menghindari mereka dan menghancurkan patung itu dengan kekuatanya.

Namun yang terjadi benar-benar mencengangkanku.
Bagian patung yang pecah itu menunjukkan keberadaan wajah manusia yang sudah menjadi tengkorak di dalamnya.
“Mengerikan.. patung ini adalah tubuh manusia” ucapku.
Kamipun bekerjasama menghadapi patung-patung itu.

Tapi salah satu patung utuh berwujud manusia kurus dengan rambut yang panjang benar benar tidak goyah dengan serangan kami bertiga.
“Kalian akan menjadi salah satu dari mereka..” Terdengar suara Ki Luwang menggema di hutan ini.

Bersamaan dengan itu asap hitam yang berasal dari patung Nyi Sasma dan gumindar itu kembali muncul. Kini asap itu mengelilingi kami.
Ada yang aneh, saat asap itu mencapai kami, tiba-tiba kami mulai sulit menggerakkan tubuh kami.

Asap itu memiliki kekuatan misterius yang membuat kami tidak bisa bergerak.
Cahyo yang menyadari ini akan menjadi masalah besar, segera menggunakan kekuatan Wanasura untuk mengangkat kami berdua untuk menjauh.

Kami pergi kembali melintasi hutan-hutan yang berisi kepala yang menggantung. Namun dari jauh asap itu semakin meluas seolah besiap menelan hutan ini.
“Kesini!!”
Tiba-tiba terlihat kemunculan seseorang dari sebuah retakan udara.

Ia membopong seorang anak perempuan seperti yang diceritakan Dirga tadi.
“Mas Jagad?” Aku cukup tenang melihat kedatanganya.
Mas Jagadpun segera membaca keadaan dan membaca sebuah ajian hingga muncul sekumpulan kabut putih di dekatnya.
“Kita keluar! Cepat masuk ke kabut ini!”

Perintah Mas Jagad.
Kami segera berlari sekuat tenaga, asap hitam itu semakin pekat melahap hutan ini dan mulai mencapai kami.
“Tidak sempat mas! Pergi duluan! Selamatkan perempuan itu” Teriak Dirga.
“Sial rupanya sejak awal kita memang dijebak untuk ini” keluh Mas Jagad.

Benar ucapan Dirga, asap itu sudah menghadang kami. Cahyopun terlihat kebingungan mencari arah yang bisa membawa kami menuju gerbang yang dibuat Jagad.
Sepertinya tidak ada pilihan lain...
“Setelah aba-abaku, kalian segera lari ke kabut itu!” Perintahku.

Akupun mulai membacakan sebuah ajian layaknya sebuah puisi yang mengalun. Kini pusaran angin mendekatiku dan mengusir niat jahat dari semua benda yang mendekat ke arah kami.
Ajian Gambuh rumekso..
Dengan ini asap yang mendekat ke arah kamipun tertahan.
“Sekarang!!”

Jalur menuju Mas Jagadpun terbuka, Dirga dan Cahyo segera melesat ke sana. Namun sebelum sampai, Cahyo menghentikan langkahnya.
“Danan! Ayo!!” teriak Cahyo.
“Duluan! Habis ini aku nyusul” Balasku yang setengah mati menahan asap hitam itu dengan angin yang kubuat.

Cahyo menyadari niatku, ia bersiap mendekat menjemputku.
“Gak bisa!” Ucap Cahyo.
“Jangan Goblok!! Kalau kau ikut tertahan nggak ada lagi yang bisa diperbuat” balasku.
Cahyo berhenti, iyapun ragu.
“Nggak! Nggak bisa... kamu pasti mati kalau terkena asap itu!” ucap Cahyo yang bingung dengan mata berkaca-kaca.

Aku tersenyum tipis berusaha meyakinkanya.
“Kata siapa? Seorang Dananjaya Sambara tidak akan selemah itu” balasku.
Kini Cahyo mendapati keris ragasukma berada di genggaman tanganku.

Dengan ini semoga ia yakin kalau aku masih punya rencana agar selamat.

***

“Aku pasti kembali! Aku pasti nolongin kamu!” Teriak Cahyo yang akhirnya percaya denganku.
“Pastikan Dirga, Jagad, dan anak perempuan itu selamat” balasku.

Cahyo mengangguk dan segera melompat dengan kekuatan wanasura menuju Dirga dan jagad.
Benar saja, tepat setelah ajianku selesai asap hitam itu melesat dengan sangat cepat menutupi hutan ini dan membuatku tak mampu bergerak.

Aku sudah membaca amalan pelindung untuk melindungi diri, tapi setiap nafas yang kuhisap tetap merubah diriku perlahan menjadi sebuah patung.
Hanya satu harapanku yang masih tersisa. Kekuatan Keris Ragasukma. Dengan ini setidaknya aku masih bisa menyelamatkan sukmaku.

***

JEJAK DARMAWIJAYA

(Sudut pandang Cahyo)
Ajian yang digunakan Jagad berhasil membawa kami keluar dari alam yang mengerikan itu.
Danan...
Aku tahu kalau tidak ada waktu untuk gelisah mengkhawatirkan Danan.

Tapi aku juga tahu berada di alam itu tanpa mampu berbuat apapun pasti sangat menyiksa.
Setidaknya dari sorot mata Danan aku yakin, itu bukan sorotan mata orang yang berniat menyerah dan mati. Dia pasti punya sebuah rencana lain.

Aku, Dirga, Mas Jagad dan seorang perempuan yang dibawa Mas Jagad menyusuri wahana rumah hantu itu dan kembali keluar.
Para petugas penjaga dan beberapa pengunjung yang masih menunggu semenjak pagi kaget melihat kedatangan kami.

“Selamat.. perempuan itu selamat!” Kakek yang dianggap gila tadi terlihat tersenyum mengetahui kedatangan kami.
“Bukanya tadi kalian berdua? Siapa mereka? Dan temanmu?” tanya petugas kepadaku.
“Omongan kakek ini benar, tempat ini berbahaya. Sebaiknya ditutup dulu..” Balasku.

Aku tak ingin menjelaskan mengenai Danan kepada mereka. Mas Jagad sudah memastikan, gerbang itu tidak akan terbuka lagi di wahana rumah hantu ini. Tapi untuk jaga-jaga sebaiknya tidak ada lagi pengunjung yang masuk.

“Berarti tugasku selesai...” Tiba-tiba kakek itu meninggalkan tempatnya dan menjauh dari kerumunan.
Seketika gelagatnya tidak lagi seperti kakek tua aneh. Ia berjalan begitu saja dan pergi meninggalkan tempat ini.

Aku sedikit menaruh curiga, namun sepertinya ia bukan orang jahat. Akhirnya kami memilih untuk segera meninggalkan tempat itu dan kembali ke tempat abah untuk membicarakan semuanya.

***

“Astagfirullah... Mas Danan terjebak di alam persembunyian Ki Luwang?” Abah terlihat panik mendengar ceritaku.
“Dirga! Tolong air panas lagi!” terdengar suara emak yang tengah repot merawat perempuan yang diselamatkan oleh Mas Jagad tadi.

Kericuhan terjadi sesaat setelah kami datang. Saat mendengar cerita dariku abah memasuki kamarnya dan mencari sesuatu. Aku menunggu sembari menenangkan diri dengan segelas kopi yang dibuatkan Mas Jagad. Dan ketika keadaan mulai kondusif, Abah mengajak kami untuk berkumpul.

“Sepertinya harus abah sampaikan sekarang, Abah juga takut terjadi sesuatu dengan paklek” ucapnya.
Benar juga, seharusnya paklek juga sudah sampai di sini. Keterlambatanya juga bisa jadi merupakan sesuatu yang berhubungan dengan masalah ini.

***

“Trah Darmawijaya bukanlah Trah yang istimewa. Leluhur kami sudah terpecah dan menyebar ke seluruh penjuru negeri..” Abah mengeluarkan sebuah buku yang bertuliskan begitu banyak nama.
Dirga sepertinya tidak heran melihat buku itu, sepertinya ia juga sudah pernah melihatnya.

“Beberapa dari keturunan Darmawijaya juga banyak yang sudah mengganti namanya dan tidak menggunakan nama leluhur. Hanya beberapa dari kami yang mencoba menjaga warisan mereka untuk menghadapi hal seperti ini” tambah abah.

Aku mulai mengerti yang ingin dijelaskan oleh abah. Keturunan Darmawijaya hampir sudah tidak terdeteksi secara kasat mata secara keseluruhan. Namun entah bagaimana cara Ki Luwang mengenali keturunan Darmawijaya ini.

“Kalau seandainya Ki Luwang bisa mengenali keturunan Trah Darmawijaya, berarti bisa sampai ratusan orang yang akan diincar Bah?” Tanyaku.
“Ribuan mas Cahyo..” Balas Abah.
Aku dan Mas Jagad saring berpandangan. Apakah ucapan abah itu benar?

“Leluhur kami dulunya bangsawan, namun sebagian besar keturunanya memilih untuk berbaur dengan rakyat dan melepas kebangsawananya. Alhasil Trah Darmawijayapun menyebar ke berbagai wilayah.” Jelas Dirga.

“Walau begitu, seharusnya kita bisa menerka kemana Ki Luwang akan mengincar kan Bah?” Tanya dirga.
Abah mengangguk dan mengeluarkan beberapa buah benda berwujut perhiasan kuningan dan bekas senjata kerajaan.

“Ini adalah peninggalan leluhur kita, kalau mengikuti jenis senjata dan ukiranya seharusnya benda ini berasal dari salah satu keraton di Jawa Tengah. Di situlah letak Kerajaan Darmawijaya dulu pernah ada” Jelas Abah.

“Maksudnya? Ki Luwang mungkin akan menyerang ke sana?” Tanya Mas Jagad.
Abah mengangguk. Ia menunjukkan sebuah kota yang tak kusangka memiliki peninggalan dari keraton yang sudah menghilang.

“Kalau ada keturunan Darmawijaya yang masih banyak dan menyimpan pusaka, hanya di sinilah tempatnya” Jelas Abah.
Itu adalah kota di jawa tengah yang hampir berbatasan dengan Jawa Barat. Mungkin butuh waktu setengah hari perjalanan untuk bisa mengejar ke tempat itu.

“Setelah perempuan itu tersadar, kita segera berangkat kesana” ucap abah.
Aku mengangguk setuju, tapi tidak dengan Mas Jagad yang sedari tadi memperhatikan depan rumah.
“Nggak, kita harus segera pergi dari sini..” ucap Jagad dengan wajah khawatir.

Ada yang aneh.. aku merasakan kekuatan aneh dari luar di posisi yang dilihat oleh Jagad. Akupun menatap keluar dan memastikanya.
Seorang perempuan? Patung? Bukan.. itu seorang perempuan.
Entah mengapa mataku tidak bisa membedakan sesuatu yang harusnya terlihat jelas.

Yang pasti, itu adalah sosok sinden..
Ia mengenakan selendang dengan warna merah darah dengan kebaya merah tua. Ia menatap rumah Abah sembari tersenyum seolah menanti kami.
“Sinden? Jangan-jangan itu sosok patung sinden yang sempat diceritakan Paklek?” ucapku pada Jagad.

“Jika benar maka ini bahaya, sebelumnya Paklek bercerita patung itu belum mampu bergerak. Ia memanfaatkan seseorang untuk mencarikan tumbal untuknya” ucap jagad.
Jagadpun terus mengawasi sosok itu.

Makhluk itu enggan menerobos ke dalam rumah seolah rumah ini sudah dilindungi oleh sesuatu. Tapi dari senyumnya aku mengira ini tidak akan bertahan lama.
“Kita pergi sekarang, emak dan perempuan tadi biar di depan sama Mas Jagad” pintaku pada abah.

Abah menghela nafas, ia tidak menyangka akan mendapat serangan secepat ini.
“Berarti perburuan sudah di mulai ya?” Keluh Abah.
Perburuan? Benar.. mungkin itu adalah ucapat yang tepat saat ini.

Ki Luwang menggunakan patung-patungnya untuk memburu Trah Darmawilaya dan keturunanya.
“Abah, kita harus ke kota itu secepatnya bah.. bahaya kalau mereka diserang lebih dulu” ucap Dirga.

Abah mengangguk setuju, iapun segera menghampiri emak dan menjelaskan kondisi yang terjadi. Tanpa menunggu waktu lama, kamipun sudah bersiap untuk meninggalkan rumah abah.
Mas Jagad sudah bersiap dengan mobil bak terbuka miliknya.

Emak dan perempuan tadi duduk di sebelah Mas Jagad di dalam mobil.
“Kalian naik dulu” perintahku sembari mengawasi sosok sinden yang terus memantau kami dari kejauhan.
Tapi bukanya naik, abah malah menghampiriku dan menepuk pundakku.

Sebuah kujang.. Abah mengeluarkan sebuah kujang dengan ukiran aksara di bilahnya. Ia meletakkan kujang itu di dahinya sembari membacakan sesuatu.
Saat itu, senyum di wajah sinden itupun menghilang.

“Masihan kakuatan pikeun nutup jalan pikeun jalma anu niat jahat” (berilah kekuatan untuk menutup jalan bagi mereka yang berniat jahat)
Sekilas aku melihat kilatan cahaya dari Kujang itu dan abah kembali menarungkan kujangnya.

Aneh.. sosok sinden itu kini tidak terlihat lagi di dekat kami.
“Ayo.. kita berangkat!” perintah abah.
Aku mengangguk dan membantu abah menaiki bak terbuka dari mobil milik Mas Jagad.

***

“Abah, tadi ilmu apa bah? Kenapa sinden itu tiba-tiba menghilang?” Tanyaku yang penasaran dengan apa yang dilakukan abah tadi.
Abahpun mengerti rasa penasaranku dan mengeluarkan kujang itu lagi.

“Ini adalah pusaka yang kutemukan di salah satu bukit di dekat desa. kekuatanya bisa mengalihkan sosok yang memiliki niat jahat. Kujang Bumi Kalangkang...” Cerita abah.
“Naha eta ngarana teh aneh Bah?” (Kenapa namanya aneh Bah?) Tanya Dirga.

“Iya, abah teh bingung ngasi nama.. Ieu kujang teh teu hayang ngabejaan ngaranna.” (Kujang ini nggak mau memberi tahu namanya) balas abah.
Aku sedikit menggaruk kepala mendengar perbincangan abah dan Dirga.

Tapi aku bisa mengambil kesimpulan bahwa itu adalah pusaka yang ditemukan abah sendiri, dan salah satu kemampuanya adalah mengalihkan sosok yang ingin mencelakai.
“Dia.. dia disini”
Tiba-tiba perempuan yang diselamatkan oleh Mas Jagad tadi setengah tersadar dan menggumam.

Jagad sedikit menoleh ke arahnya mencari tahu apa maksud ucapan perempuan itu.
“Dia... dia yang ingin membunuh kita! Dia sudah ada disini!” ucapnya ketakutan.
“Teh.. tenang teh, kita aman disini.. teteh nggak sendirian” Emak mencoba menghibur perempuan itu.

Dari kaca belakang Jagad menatap kearahku memberi isyarat. Sepertinya akan ada sesuatu yang berbahaya. Dan ucapan itu terbukti tepat saat Mas Jagad menginjak Remnya secara mendadak.
Akupun berdiri dan menatap ke arah depan.

Sinden yang tadi menanti kami di dekat rumah kini tengah berdiri menghadang mobil kami. Kini aku melihatnya dengan jelas saat diterangi cahaya lampu mobil Mas Jagad. Sinden itu berwajah putih dengan sekitar matanya yang hitam.

Ia tersenyum dengan memamerkan darah yang ada di dalam mulutnya..
“Mas Cahyo di sana...!”
Dirga menepuk pundakku dan menunjukkan sesuatu yang melayang beberapa meter dari belakang mobil.
Makhluk itu melayang-layang bebas mengincar kami sambil tertawa.

Itu adalah sosok yang sama dengan yang menghadang kami di depan.
Sosok sang sinden...
Aku memperhatikanya lagi dan sosok mereka memang sama persis. Entah mereka memang ada dua atau itu adalah ilmu dari makhluk itu.

Suara tembang berbahasa jawa kuno tiba-tiba terdengar di sekitar kami. Suaranya begitu menyeramkan dengan nada yang naik turun yang membuatku pusing mendengarnya.
Sosok makhluk yang melayang itupun menari mengikuti alunan tembang.

Ia mengitari kami sembari melayang layang mengincar kami.
Tidak indah, gerakanya sangat tidak indah. Gerakanya begitu menyeramkan seolah ia hampir mematahkan tubuhnya sendiri. Walau begitu makhluk itu melakukanya sembari tertawa.
Hoeek!!!

Tiba-tiba Dirga tertunduk dan memuntahkan darah dari mulutnya.
“Dirga??!!” Abah panik melihat anaknya yang hampir kehilangan kesadaran.
Tapi tidak hanya Dirga. Suara tembang sinden itu dan membuat kepalaku perlahan merasakan perasaan yang mengerikan seolah ingin meledak.

Sepertinya hal yang sama juga dirasakan oleh Abah, Mas Jagad dan yang lain..
“Arrrghhh Sial!!!”
Wanasura yang merasakan keanehan ini meraung sekuat kuatnya hingga suara tembang itu tergantikan dengan raungan wanasura.
Saat itu, kesadaranku pulih sesaat.

Aku menggunakan kesempatan itu untuk melompat ke depan mobil Mas Jagad dan menggunakan kekuatan wanasura untuk menyerang sosok sinden yang menghadang kami.
“Minggir setan cempreng!!” Teriakku.
Aku menghantamkan pukulanku sekuat tenaga.

Namun pukulanku hanya menghantam aspal dan membuatnya sedikit retak.
Sinden itu?
Aku melihat ke keadaan sekitar, rupanya Sinden itu melayang secepat mungkin saat pukulanku hendak mendarat di tubuhnya.
“Jagad! Jalan!!!” Perintah abah yang kembali mengeluarkan kujangnya.

Aku mengikuti isyarat abah dan kembali menaiki mobil. Jagad menginjak gas secepatnya dan berjalan melintasi sinden yang menghadang kami tadi.
“Kowe kabeh ora iso lungo, kowe kabeh kudu tak pateni ning kene” (Kalian semua tidak bisa pergi, kalian semua harus dibunuh di sini)

Suara Sinden itu terdengar sumbang di telinga kami. Namun sebelum tembang sinden itu kembali terdengan. Abah membaca lagi ajianya dengan kujang yang ia angkat sejajar dengan dahinya.
Sekali lagi aku merasakan ada cahaya sesaat bersinar di dekat kami.

Rasanya seperti melihat kilat sesaat.. dan sekali lagi kedua sinden yang melayang itu tak lagi terlihat di hadapan kami.

***

“Abah, itu ajian yang tadi Bah? Hebat..” tanyaku pada abah sementara Jagad masih terus secepat mungkin meninggalkan jalur bukit yang kami lalui.

“Itu hanya ajian untuk menghalihkan perhatian mereka. Setiap orang yang memiliki niat jahat akan dialihkan, kita tidak dapat melihat mereka begitu juga sebaliknya. Tapi melihat tingginya ilmu makhluk itu, sepertinya ajian ini tidak akan bertahan lama..“ Jelas Abah.

Rasa ngeri memang masih kami rasakan di perjalanan ini. jalur bukit yang meliuk liuk dengan hutan-hutan di sekitar kami membuat kami semakin waspada.
Sesekali kami merasakan kehadiran sosok ghaib dari balik hutan yang mengincar kami.

Tapi dengan pagar ghaib yang kubuat dan dengan alunan doa dari abah sepanjang perjalanan kami bisa selamat dari gangguan itu.

Dirga berusaha memulihkan dirinya dari luka yang ia dapat tadi. Walaupun ilmunya mulai meningkat, tapi tubuhnya yang masih anak-anak masih sangat rentan bila mendapat serangan ghaib.
Hanya beberapa jam saja kami bisa tenang dari serangan-serangan. Saat melewati pertiga malam.

Kamipun memasuki jalan yang sudah dipenuhi dengan kabut.
Di sini aku merasakan dengan jelas ada yang mengikuti kami di balik kabut.

Benar saja, saat aku menoleh ke sisi-sisi kabut, terlihat bayangan sinden itu melayang mengejar kami dari sisi kanan dan kiri mobil dengan sangat cepat.
Bayangan itu terus mengejar mobil kami, sementara Mas Jagad saat ini tidak mampu menyetir dengan kecepatan penuh terhalang oleh kabut yang mulai pekat..

Perjalanan kami masih panjang...
Sekali lagi mobil kami terhenti dengan patung sinden yang menghadang Mas Jagad tepat di hadapanya mobilnya. Suara tawa cekikikan yang membuat bulu kudukku berdiri menyambut kami dari balik kabut.

Jelas suara itu berasal dari sosok sinden yang melayang-layang.
Mas Jagadpun keluar dari mobil. Aku dan abah bersiap menghadapi sosok yang akan muncul dari balik kabut.
Tapi sekilas aku merasa ada yang aneh dari Mas Jagad.

“Mas menjauh!! Jangan gegabah!” Teriakku mencoba memberi peringatan pada Mas Jagad yang ingin mendekati patung itu.
Mas Jagad tidak peduli. Ia terus mendekat ke arah patung itu selangkah dengan selangkah.

Ada rasa keraguan, tapi sepertinya rasa penasaran atau rasa lain yang ia rasakan lebih memaksanya untuk mendekat.
“Cahyo, patung itu... cantik..” Ucap Mas Jagad dengan wajah yang datar.

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close