Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

DENDAM PATUNG ARWAH (Part 3) - Prasasti Bertuah


DESA PEDALAMAN
(Sudut pandang Cahyo)
JEJAKMISTERI - Derasnya rintikan hujan beradu dengan kaca helm yang kugunakan untuk menerobos perjalanan malam ini.

“Mas, yakin mau lanjut? Deres banget nih!” Keluh Guntur yang sepertinya khawatir dengan kondisi perjalanan kami.

“Maunya ya berhenti Tur, tapi ini kanan kiri hutan semua.. nanti aja nunggu kalau udah ada pemukiman” balasku.

Sejujurnya, tanganku juga sudah mulai gemetar karna menahan dinginnya air hujan yang menerpa jas hujanku.

Tapi bila berhenti di tengah jalanpun kami hanya bisa berteduh di bawah pohon tanpa ada penerangan sedikitpun.

“Itu mas! Di depan! Sudah mulai banyak warung!” Guntur menunjukkan keberadaan beberapa warung yang mulai terlihat di hadapan kami.

Ada beberapa truk yang terparkir di sana dan ada beberapa warung dengan penerangan seadanya seolah sudah siap menyambut kami.

“Ealah masnya, sampe hujan-hujanan begini..” sambut seorang pria muda yang sepertinya menjaga warung ini.

“Hihi, jiwa muda harus nekad mas” balasku singkat.

Kamipun mengambil handuk kecil dari tas dan mengeringkan bagian tubuh kami yang tidak selamat dari terpaan hujan.

“Mas-masnya dibuatin apa? Kopi atau teh?” tanya penjaga warung itu.

“Satu kopi, satu teh mas.. kalau ada gorengan anget juga boleh” pesanku.
Tak berapa lama secangkir kopi dan secangkir tehpun diantarkan kepada kami. Kami menikmati hangatnya minuman itu di tengah hujan yang tetesanya sesekali masih mencapai kami yang tengah berteduh ini.

“Sumpah mas, ueeenak.. tambah gorengan anget pasti joss tenan” ucap Guntur menikmati tehnya.

“Tenan to, dibalik musibah pasti selalu ada hikmah” balasku.

Suara berisik dari hujan deras itu tidak menyurutkan niat kami untuk membicarakan tujuan kami sebenarnya.

Tujuan kami adalah sebuah desa di pedalaman yang cukup jauh dari desa lainya.
“Aku nggak nyangka mas Cahyo nggak nolak waktu di suruh ke desa tempat tinggal Nyai Jambrong dulu. Padahal tempatnya sudah jelas nggak wajar” ucap Guntur.

“Kamu pikir selama ini seorang Cahyo mainya kemana saja? Bisa ketemu listrik di desa yang aku datengin aja udah seneng” balasku.
Aku sudah lupa berapa desa terpencil yang sudah kudatangi.

Yang tak aku sangka, ternyata masih ada warga yang mau tinggal di tempat-tempat yang jauh dari kata modernisasi. Walau begitu, terkadang aku iri dengan mereka yang selalu bersyukur dengan keadaan yang ada.
“Masih ada desa yang belum kemasukan listrik mas?” tanya Guntur bingung.

“Ada, bukan karena pemerintah tidak peduli. Tapi jalur untuk menarik kabel listrik hampir tidak mungkin” balasku.
Guntur mengernyitkan dahinya membayangkan sekelam apa desa itu.

“Desa yang mau kalian datangi juga tidak ada listrik, lebih baik malam ini menginap di sini saja” tiba-tiba penjaga warung itu keluar dengan membawa beberapa tempe mendoan dan bakwan hangat ke hadapan kami.

Seketika mataku dan Guntur berbinar-binar mendapati dua piring gorengan hangat terhidang di hadapan kami.
“Lha, masnya kok tahu tujuan kami?” tanyaku pada penjaga warung itu.
“Ya jelas tahu, saya juga salah satu pendekar dari sana. Dan tasbih yang digunakan masnya itu, jelas berasal dari desa saya. Desa Gandurejo.” Balasnya.
Aku memperhatikan tasbih yang digunakan di tangan Guntur. Aku menduga itu adalah pemberian Nyai Jambrong.

Penjaga warung itupun memperkenalkan diri dengan nama Darman, ia adalah salah satu pendekar dari perguruan di Desa Gandurejo. Kami memang sempat mendengar tentang desa ini dari Nyai Jambrong.

Tapi saat ini, hujan yang deras memperdengarkan kami secara lengkap tentang cerita desa itu dari mulut Mas Darman.
“Kalau kalian melewati hutan malam-malam menuju desa, kalian pasti akan melihat hal yang aneh-aneh” buka Mas Darman.

Desa Gandurejo adalah desa pelatihan untuk para pendekar. Tempatnya yang terpencil, tak tersentuh aliran listrik, dan medan yang berat membuat tempat itu menjadi tempat yang baik untuk melatih seorang pendekar.

Beberapa perguruan menjadikan Desa Gandurejo sebagai destinasi pelatihan bagi para murid-muridnya. Tempat itu dipenuhi oleh orang-orang yang memang mencari ilmu. Namun menurut Mas Darman, desa itu juga memiliki sebuah misteri.

“Alas sewu lelembut, warga menyebutnya dengan nama itu” ucap Mas Darman.
Sebutan Alas sewu lelembut, atau hutan seribu arwah disematkan warga desa setelah mereka selalu menemukan sosok tak kasat mata di hutan itu.

Terkadang mereka melihat pasukan genderuwo, parade pocong, hingga makhluk yang tak bosan bergelantungan di atas pohon dengan wajah mengerikan.
Namun beruntung penampakan itu semua hanya terjadi di malam hari.

Keberadaan sosok itu disangkutpautkan dengan keberadaan sebuah prasasti peninggalan kerajaan jaman dulu.
“Prasasti mas?” Tanyaku.
“Iya mas, prasasti itu baru ditemukan beberapa tahun lalu. Tapi yang terukir di prasasti itu begitu menakutkan, ada kutukan di sana” Jelas Mas Darman.
“Kutukan?” Guntur menanggapi kami dengan bingung.
Mas Darman menceritakan tentang kutukan di prasasti itu.

Kata-kata itu bertuliskan tentang apa yang akan diterima oleh siapapun yang memotong “Jati pitu” atau jati tujuh yang berada di sekitar prasasti itu.
Jati Pitu adalah tujuh pohon jati tua yang berdiri tegap hampir mengelilingi prasasti.

Siapapun yang melakukan hal itu akan mati dengan puluhan tusukan tombak, jasadnya dimakan hewan buas, tubuhnya terkoyak hingga organya berhamburan. Prasasti gelap inilah yang dipercaya warga mengundang sosok ghaib di sekitarnya.

“Tapi mas tenang saja, besok pagi biar saya antar sekalian pulang” balas Mas Darman.
“Wah makasi lho Mas Darman, hampir saja aku pasrah tersesat dengan kendaraan antik di pinggir hutan” balas Guntur.
Akupun segera mengambil sarungku dan menyabetkanya pada Guntur.

“Kendaraan antik opo? Tak bilangin simbah lho! Tar kamu nggak boleh naik?” balasku.
“Hehe.. becanda mas Cahyo, Si Mbah mah udah jadi idola” canda Guntur.

Ternyata ucapan Mas Darman tidak basa-basi. Ia benar menyiapkan kursi bambu besar di dalam warung dengan beberapa kain yang bisa digunakan sebagai selimut.
“Kalau mau tidur bisa di sini ya mas, besok saya bangunin” tawar Mas Darman.

Kami berterima kasih pada Mas Darman dan ijin untuk menutup mata sebentar setelah perjalanan yang cukup panjang.

***

SANG PRAJURIT
“Darman keluar kamu!!”

Belum sempat matahari menunjukkan cahayanya dengan penuh, tiba-tiba terdengar suara beberapa orang berkumpul di luar warung. Aku mencari Mas Darman namun tidak ada tanda-tanda dia berada di tempat ini.

“Kalau tidak mau keluar kuhancurkan tempat ini!” Ancam orang yang menghampiri tempat ini.
Mendengar ucapan itu akupun meninggalkan kursi bambu yang kugunakan untuk tidur dan menghampiri ke arah pintu. Guntur yang tengah tertidur lelappun sampai terbangun dengan teriakan itu.

“Ngapunten, ada apa ya mas?” Tanyaku berusaha sopan dengan mereka.
“Mana Darman! Suruh dia keluar!!!” Teriak orang itu.
“Mas Darmanya lagi nggak di tempat mas, mau ditunggu saja apa gimana?” balasku.

Namun bukanya menjawab dengan baik, orang itu malah menggebrak pintu dan membentakku.
“Jangan bohong! Keluarkan dia atau saya hancurkan warung ini!” ancamnya.
“Nggak bohong mas, jangan.. kasihan Mas Darman,” balasku lagi dengan nada sedikit memelas.

Dari penampilanya dan tubuhnya sepertinya mereka bukan hanya sekedar preman biasa. Mereka seolah berasal dari perguruan bela diri. Mungkin mereka juga berasal dari desa yang sama dengan Mas Darman.

Sayangnya bukanya bersikap sopan mereka malah menerobos masuk ke dalam dan mencoba menghancurkan barang-barang di warung. Dengan sigap aku menangkap tangan mereka dan mendorong mereka kembali menjauh.
“Kurang ajar! Ngelawan kamu?” ucap orang itu.

“Ya nggak mas, tapi jangan hancurin warung Mas Darman.. nanti dia makan apa” balasku masih berusaha untuk bersabar.
Walau dengan memelas seperti itu mereka masih berusaha masuk untuk menghancurkan warung Mas Darman. Aku terus menahan mereka dan mendorong keluar dari pintu.

Merasa kesal merekapun mulai mencoba menyerangku..
Sebuah pukulan melesat tepat ke arah wajahku, namun aku menangkisnya dengan mudah dan mendorongnya menjauh. Rupanya perbuatanku itu semakin membuat mereka marah.

Merekapun kembali menyerangku, aku berusaha melindungi tubuhku dari berbagai macam serangan yang mereka daratkan ke arahku. Setidaknya kali ini serangan mereka mengarah kepadaku, bukan warung ini.

“Mas Cahyo! Mereka siapa?!” Guntur yang tersadar dengan keadaanku berusaha menyerang mereka, namun dengan cepat aku menahan seranganya dan menyuruhnya untuk mundur.
“Jangan ikut campur!” ucapku.

Guntur tidak mengerti, ia masih terus mencoba menolongku tapi aku menatapnya dengan tajam dan memintanya untuk mundur.
“Benar bocah! Jangan sampai kami harus memuatmu babak belur juga”

Aku melihat rasa geram Guntur, kepalan tanganya seperti sudah tidak tahan melihat kejadian ini. Tapi aku memintanya untuk bersabar sebentar lagi.
Benar saja, setelah puas mendaratkan pukulan ke tubuhku merekapun berhenti.

Mungkin saat ini wajahku sudah penuh lebam dengan darah yang menetes di pinggir bibirku.
“Itu peringatan untuk Darman! Temui kami atau kami akan datang lagi!” ucap orang itu yang akhirnya pergi meninggalkan kami.

Tepat saat keadaan sudah aman, Guntur langsung menarikku dan mengambil peralatan obat-obatan yang kami bawa dan membantu mengobati lukaku.
“Kenapa nggak dilawan aja sih mas, harusnya kalau kita lawan berdua mereka bukan lawan yang sulit” ucap Guntur kesal.

“Terus habis dilawan?”
“Ya mereka pasti bakal kabur..” balas Guntur.
“Terus setelah mereka kabur?” tanyaku lagi.
Guntur terdiam sesaat, ia baru sadar apa yang akan terjadi setelahnya.
“Mereka pasti bakal dateng dengan orang yang lebih banyak..” jawabnya.

“Kalau kita masih ada di sini mungkin masih aman, tapi kalau hanya tersisa Mas Darman di tempat ini.. keadaanya pasti lebih kacau” balasku.
Guntur menghela nafas, ia sepertinya masih tidak terima dengan keputusanku. Wajar sajar, hal ini memang terlihat tidak adil.

Tapi suatu saat ia harus mengerti, bahwa pengorbanan kecil kadang diperlukan untuk melindungi sesuatu yang besar.
“Pokoknya aku masih kesel mas Cahyo sampai dipukulin begini” balasnya sambil terus mengobatiku.

“Dengerin Tur, ingat ini baik-baik. Terkadang kita memang harus kalah dalam sebuah pertarungan untuk memenangkan sebuah pertempuran..” jelasku pada Guntur.
“Maksudnya apa mas?”
“Nanti kamu juga ngerti..” ucapku sembari mengusap kepala Guntur.

Tak berapa lama setelah kejadian itu terdengar suara seeorang masuk ke dalam warung.
“Mas Cahyo, Dek Guntur.. bangun, ada pepes ikan nih. Sarapan dulu” ucap Mas Darman baru saja kembali ke warung.
“Wah! Mantab nih! Ayo sarapan dulu Tur” ajakku.

Mas Darman memperhatikanku sesaat. Ia menemukan bekas luka dan beberapa perban yang menempel di wajahku.
“Mas? Masnya kenapa?” Tanya Mas Darman.
“Nggak, nggak papa.. ayo sarapan dulu” balasku.
Mas Darman menghadangku, kini tatapan matanya semakin serius.

“Ada yang datang ke tempat ini mas?” tanya Mas Darman.
“Tenang saja mas, sudah beres. Nggak usah dipikirin” balasku singkat.
“Pasti Jumarto!!”
Mas Darman meminta maaf padaku, tapi aku memaksanya untuk tidak memikirkan hal itu.

Terlebih bila berbuat macam-macam, masalah yang lebih besar bisa saja menimpa Mas Darman.
Sebenarnya aku cukup penasaran dengan masalah yang membuat seseorang bernama Jumarto itu mengincar Mas Darman, tapi aku memilih untuk tidak bertanya lebih jauh dan semoga saja mereka sudah cukup puas setelah menghajarku.

***

Sesuai janji, Mas Darman mengantarkan kami ke Desa Gandurejo setelah menutup warungnya. Aku kira lokasi desa tidak jauh dari warung Mas Darman, rumanya kami masih harus menempuh perjalanan satu jam lagi untuk memasuki Desa Gandurejo.

Pertama kali aku memasuki desa ini, yang terlintas dalam pikiranku adalah ‘Desa Alam’. Sebuah desa yang tak jauh dengan sungai dengan hamparan pepohonan mengelilinginya.
“Mas Darman, itu suara air terjun?” Tanya Guntur penasaran.

“Iya, nggak jauh dari sini ada air terjun. Tapi kalau musim panas suaranya nggak akan sederas ini” Jawab Mas Darman.
Mas Darman menceritakan kalau kami harus berhati-hati dengan tempat ini, terutama dengan tempat yang bernama Alas Demit.

Tadi kami sempat melewati tempat itu, dan memang benar ada kekuatan besar yang menarik sosok-sosok tak kasat mata untuk berkumpul di tempat itu.
Semoga saja kami tidak harus berurusan dengan benda yang disebut dengan prasasti kutukan itu.

Mas Darmanpun menghantarkan kami ke rumah Kepala desa. Mbah Sarman namanya. Nyai Jambrong sudah memberi tahu tentang Mbah Sarman yang sudah menjaga desa ini selama puluhan tahun tanpa ada yang menggantikan.

“Kulo nuwun Mbah Sarman, Saya Cahyo dan ini adik saya Guntur” aku dan Guntur memperkenalkan diri pada seseorang di hadapanku.
Walau sudah cukup berumur, Mbah Sarman memiliki tubuh yang tegap dan sehat. Sepertinya dia sama sekali tidak bisa diremehkan.

“Monggo-monggo, masuk mas. Kenalanya Mas Darman?” Tanya Mbah Sarman.
“Mboten Mbah, kebetulan saja ketemu di warung. Sekalian saja saya antarkan ke sini” balas Mas Darman.
Mbah Sarman memperilahkan kami duduk dan menyuguhkan teh hangat bersama beberapa makanan kering.

“Mas-masnya ini ada apa sampai jauh-jauh datang ke tempat terpencil seperti ini? mau mencari guru? Atau belajar ilmu?” tanya Mbah Sarman.
Tidak heran beliau bertanya seperti itu, pasalnya desa ini memang dipenuhi orang-orang yang sepertinya berniat untuk berlatih ilmu bela diri.
“Bukan Mbah, kami dimintai tolong seseorang untuk mengambil barang miliknya. Dulu dia sempat lama tinggal di tempat ini” balasku.

“Oo.. biar saya bantu, dia tinggal di perguruan mana? Siapa namanya?” ucap Mbah Sarman.
“Yang minta tolong eyang saya mbah, perguruanya saya kurang tahu.. tapi kita kenalnya namanya Nyai Jambrong” ucap Guntur.
Braakkk!!!

Tiba-tiba Mas Darman jatuh dari bangkunya, dan wajah Mbah Sarman terlihat kaget saat mendengar perkataan Guntur.
“Mas.. Mas Darman nggak papa?” ucap Guntur yang khawatir.

“Nggak...nggak papa.. tapi, benar kamu cucunya Nyai Jambrong?” tanya Darman dengan cara berbicara yang tiba-tiba berubah.
“Eh, bukan sih mas.. saya muridnya, tapi saya sahabatnya Arum cucu satu-satunya Nyai Jambrong” balas Guntur polos.
Brakkk!!!

Sekali lagi terdengar suara yang kali ini berasal dari gebrakan meja. Sontak aku dan Gunturpun ikut kaget.
“Ternyata benar nenek peyot itu masih hidup...” ucap Mbah Sarman.
“Hehe.. iya Mbah, tapi... Mbah Sarman ini nggak musuhan sama Nyai Jambrong kan?” Tanyaku dengan penuh hati-hati.

Kali ini Guntur memegangi lenganku seolah takut dengan raut wajah Mbah Sarman.
“Kalian lihat luka di leher samping saya ini?!! Ini adalah ulah nenek peyot itu!” Teriak Mbah Sarman.

Aku menelan ludah mendengar cerita itu. Sepertinya aku harus mulai berhati-hati dengan Mbah Sarman. Aku hampir lupa bahwa sebelum kenal dengan kami Nyai Jambrong adalah sosok yang jahat dan tidak ragu untuk membunuh lawanya.

“Tapi bila kalian bertemu dengan anak saya, Nyai Jambronglah yang menolong dia waktu hanyut di sungai..” lanjut Mbah Sarman.
Saat itu raut wajah Mbah Sarman kembali melunak. Aku menarik nafas lega berharap kejadian itu tidak menjadikan Nyai Jambrong sebagai musuhnya.

“Mas Cahyo sama Guntur, nanti kalau ketemu orang jangan bilang kalau kenalanya Nyai Jambrong ya.. dia punya banyak musuh di desa ini” Jelas Mas Darman.
“I..iya Mas” balas Guntur dengan cepat.

Sial, walau orangnya nggak muncul ternyata Nyai Jambrong namanya saja bisa membuat banyak masalah.
“Ya sudah.. habis ini kita ke rumah nenek peyot itu. Kalau kalian mau bersih-bersih. Kalian bisa tinggal di sana” ucap Mbah Sarman.

“Tapi kalau cuma sebentar, menginap di rumah saya saja. Daripada repot-repot bersih-bersih. Apalagi rumah itu...” ucapan Mas Darman terputus.
“Rumah itu kenapa mas?” Guntur penasaran.
“Katanya di sana banyak pusaka yang bisa hidup sendiri..” ucap Mas Darman.

Aku saling bertatapan dengan Guntur. Setahu kami Nyai Jambrong bukan seorang penggemar pusaka. Tapi mungkin kita akan tahu setelah masuk ke rumahnya.

Terpisah dari pemukiman desa, ada sebuah rumah kayu besar yang tak terawat.

Tanaman menjalar sudah tumbuh di atapnya, tapi ada satu cirikhas tempat tinggal Nyai Jambrong yang aku ketahui. Ada sebuah pohon besar di dekatnya yang mengatapi rumah tersebut.
Aku mencoba membuka pintu rumah itu, namun terkunci dengan rapat.

“Untuk kunci rumah ini yang megang siapa Mbah?” tanyaku.
Mbah Sarman menggeleng, sepertinya ia memang tidak tahu siapa yang memegang kunci bangunan ini.

“Belum ada satupun orang yang bisa masuk ke rumah ini. Bila kalian disuruh oleh nenek peyot itu, harusnya kalian tahu cara masuk ke dalam” ucap Mbah Sarman.
Aku bertatapan dengan Guntur dan sepertinya Nyai Jambrong memang tidak memberi petunjuk mengenai cara membuka rumah itu. Tapi sepertinya Guntur penasaran.

Ia mendekat ke pintu utama bangunan itu dan meletakkan tanganya di sana. Tak lama kemudian terdengar suara kunci selop kayu yang terbuka dari dalam dan pintu itu terbuka dengan mudah.
Guntur menatap bingung kepadaku, tapi aku hanya mengusap kepalanya.

Ini artinya Guntur memang sudah dianggap menjadi murid Nyai Jambrong.
“Terbuka Mbah” ucap Mas Darman heran.
“Berarti benar, akhirnya rumah ini bisa terbuka juga” ucap Mbah Sarman.
Ada hal mengenaskan di rumah ini.

Salah satunya adalah alasan mengapa rumah ini tidak bisa terbuka. Ada satu sosok yang menjaga bangunan ini seorang diri dari dalam. Kini ia menatap kami jauh dari dalam rumah.
Dia adalah roh seorang prajurit berbaju kumuh...

Tepat saat Guntur memasuki rumah, roh itu mendekat dan berlutut di hadapan Guntur. Tidak ada satupun kata dari makhluk itu, namun yang aku tangkap ia menganggap Guntur sebagai tuanya seperti Nyai Jambrong.

Awalnya Guntur bingung, tapi mungkin ini juga salah satu maksud dari Nyai Jambrong meminta kami datang ketempat ini. Iapun menoleh ke arahku dan meminta persetujuanku.
Akupun mengangguk dan menepuk pundak Guntur.

“Sudah, tugasmu sudah selesai.. kamu sudah bebas” ucap Guntur pada sosok itu.
Roh prajurit itu menatap pada Guntur dengan tatapan tidak percaya.
“Tuan yakin?” tanya roh itu.
Guntur mengangguk dan menunjukkan tasbih pemberian Nyai Jambrong.

“Perkataanku adalah kehendak Nyai Jambrong, pergilah..” ucap Guntur.
Seketika raut wajah roh prajurit itu berubah. Ada sedikit senyum haru di wajahnya yang akhirnya menghilang seperti kabut yang terbawa angin.

Kami menarik nafas lega melihat kejadian itu. Sepertinya kami akan menemukan kejutan lain lagi di rumah ini.
“Ya sudah, silahkan habiskan waktu sepuasnya di sini. Kalau butuh apa-apa kalian bisa temui saya atau Mas Darman” pamit Mbah Sarman.

“Jangan malu-malu ya mas, tapi sepertinya ada satu pesan lagi yang harus saya sampaikan” ucap Mas Darman sembari menatap Mbah Sarman.
“Apa mas?” tanyaku.
“Kalau bisa nanti malam jangan keluar ke desa, akan ada perayaan Balung Rangit. Akan banyak pendekar adu ilmu di desa” ucap Mas Darman.

“Oh iya.. saya lupa bilang hal itu. Sudah tiga hari ini perayaan berlangsung. Masih ada dua hari lagi. Pokoknya setelah jam tujuh malam lebih baik di dalam rumah saja” jelas Mbah Sarman.

Kamipun menurut ucapan beliau, sepertinya memang tidak ada hal yang harus kami lakukan di larut malam kali ini. Semoga saja...

***

API PERTARUNGAN
Cukup aneh, harusnya rumah ini sudah tidak dimasuki selama puluhan tahun. Tapi dari dalam tempat ini seolah masih terawat. Memang benda dan perabotan di rumah ini sudah ditutup debu, tapi tidak ada tanda tanda kelapukan maupun bagian rumah yang bocor.

“Apa roh prajurit tadi yang menjaga tempat ini mas?” tanya Guntur.
“Aku pernah mendengar tentang ritual tumbal sebelum membangun sebuah bangunan, hal itu bisa membuat bangunan menjadi awet bahkan setelah beratus-ratus tahun..” ucapku.

Aku menduga mungkin saja di masa lalu Nyai Jambrong sempat melakukan hal serupa. Kalau memang benar mungkin aku bisa membaca maksud tujuan Nyai Jambrong meminta kami kemari.

Sesuai arahan Nyai Jambrong kamipun mengambil sebuah kotak berisi benda keramat yang disimpan oleh Nyai Jambrong. Selain kotak itu aku tidak merasa ada benda berharga lain di rumah ini.

Memang ada beberapa benda antik yang terpajang di dinding, tapi itu tidak lebih dari sekedar pajangan.
Aku dan Guntur bersepakat untuk hanya membersihkan satu kamar untuk bermalam. Besok kami akan langsung pulang dan meninggalkan rumah ini.

Seperti ucapan Mas Darman, kami mendengar suara keramaian dari arah desa. Namun karena tidak ingin terlibat masalah lagi, kami memilih untuk berdiam di kamar sembari mendoakan bangunan ini.

***

Drakkk!!
Di tengah tidurku, tiba-tiba terdengar suara dari arah jendela.

Aku segera bangun dan mencari tahu asal suara itu.
Jendela kamar tiba-tiba terbuka, ada seseorang menatapku dari jauh diluar jendela itu.
“Siapa kamu?!” teriakku.
Tapi orang itu tidak menjawab, ia malah berpaling dan berjalan seolah memintaku mengikutinya.

Aku menoleh pada Guntur sebentar memastikan apakah ia akan baik-baik saja saat kutinggal. Tapi firasatku seolah memaksaku untuk mengikuti sosok itu.
Dengan cepat aku berlari mengejarnya, tapi secepat apapun aku berlari sosok itu selalu ada jauh di hadapanku.

Anehnya aku sama sekali tidak merasa lelah.
Pengejaranku berhenti di sebuah tempat dengan tujuh buah pohon jati yang terpisah dari pohon lainya. Di tengah formasi itu ada sebuah prasasti yang bertuliskan aksara jawa.
Apa ini prasasti kutukan yang diceritakan Mas Darman?

Aku mencoba mendekat dan memastikan prasasti itu. Bentuknya sebuah batu lempeng besar dengan ukiran kata-kata yang hampir utuh. Namun sayangnya banyak sosok-sosok mengerikan menatapku dari jauh seolah terkumpul oleh energi dari prasasti ini.

Setelah tersadar dari kekagumanku akan prasasti ini, aku kembali mencari sosok yang kukejar. Tiba-tiba ia berada dihadapanku. Sosok pria dengan baju kerajaan jaman dulu. Ia tidak berbicara apapun dan menghilang begitu saja.

Seketika aku seperti tertarik menjauh dari tempat itu dengan cepat. Entah apa yang terjadi tiba-tiba aku terbangun di tempatku tertidur sebelumnya.
“Mimpi?” gumamku.
Tapi semua terasa nyata. Apa sukmaku meninggalkan tubuhku?

Apa itu penglihatan? Kejadian tadi terasa begitu nyata.
Tanpa sadar terdengar suara ayam berkokok menandakan subuh telah datang. Aku yang masih gelisah mencoba keluar untuk menikmati udara pagi.
Ada cahaya dari ufuk timur yang menerangi pagi ini.

Awalnya aku cukup heran mengapa matahari terbit sepagi ini sampai aku sadari itu bukanlah cahaya matahari.
Cahaya itu berkobar seperti nyala api yang terlihat dari arah desa.
“Guntur! Bangun Guntur!” ada yang tidak beres di desa.

Aku mencoba membangunkan Guntur yang masih terlelap. Bila memang ada masalah, aku tidak mungkin meninggalkan Guntur seorang diri.
“Ada apa to Mas Cahyo?” tanya Guntur bingung.
“Ada kebakaran di desa” balasku.

Sontak Guntur melipat sarungnya dan bergegas mengenakan pakaianya untuk mengikutiku.
Benar.. ada kebakaran di desa. Beberapa orang terlihat sibuk memadamkan rumah mereka sementara tak sedikit orang yang terkapar di tanah.

“Apa ini hasil perayaan semalam? Ini sama sekali tidak pantas” ucapku.
“Mas, lihat diatas rumah-rumah itu!” ucap Guntur.
Akupun menoleh ke arah atap rumah-rumah yang terbakar.

Ada sosok hitam dengan kaki dan tangan yang panjang. Lidahnya menjulur seolah bersiap melahap sesuatu.
“Setan itu menunggu apa?” ucapku.
“Nggak mungkin nungguin korban yang mati kan?” ucap Guntur.
Kali ini aku tidak mau tinggal diam.

Secepat mungkin aku memperhatikan semua rumah, beberapa rumah sudah hampir padam. Hanya ada satu rumah yang masih menyala.
Ada seseorang terkapar di depanya, itu Mas Darman.
“Mas! Mas Darman!” Tubuhnya penuh luka hingga tak sadarkan diri.

Aku menatap ke arah rumahnya, perlu waktu lama untuk memadamkanya tapi keberadaan makhluk itu membuatku curiga.
Tidak ada pilihan, mau tidak mau aku harus memastikan. Aku membasahi tubuhku dan menutupi tubuhku dengan sarung.

Ada sebuah ajian yang kugunakan untuk melindungi diri dari nyala api ini sementara waktu.
Dengan cepat aku menerobos rumah kayu sederhana itu dan mengecek ke kamar. Dan benar saja, seorang anak kecil sedang menangis di sudut kamar meratapi ibunya yang sudah kehilangan kesadaran.

“Ayo ikut sama mas!” ucapku yang segera membopong wanita yang tak sadarkan diri itu sembari berusaha meraih anak itu.
Anak itu ketakutan dan menggeleng, namun api terus menyala semakin besar..

“Mas Cahyo!!!” terdengar suara Guntur dari luar. Sepertinya keadaan sudah semakin parah.
Akupun terpaksa menarik tubuh anak itu dan menggendongnya. Kayu-kayu atap yang terbakar mulai berjatuhan aku harus berhati-hati menghindarinya.

Tapi sosok makhluk hitam tadi sudah menghadangku di ruang tengah.
Ia seperti tidak terima tumbal yang seharusnya bisa ia dapatkan malah kuselamatkan. Tapi tidak mungkin aku membiarkanya menghalangiku.
Grrrraaaaorrr!!!

Seketika suara raungan wanasura yang kesal memenuhi seluruh ruangan dan membuat makhluk itu menjauh. Dengan cepat akupun pergi dan membawa kedua tubuh itu keluar dari rumah.
Byurrr!!!

Tepat saat keluar dari rumah Guntur menyiram tubuhku untuk meredakan rasa panas yang kurasakan.
“Mas Cahyo nggak papa?” Mbah Sarman ternyata sudah sampai di tempat ini setelah membantu memadamkan rumah lain.

“Saya nggak papa pak, ibu, anak ini, dan Mas Darman.. mereka yang butuh pertolongan” Ucapku.
Seketika Mbah Sarman memerintahkan perangkat desa lainya untuk membantu Mas Darman dan keluarganya.

Tapi masalah belum selesai, dengan selamatnya mereka makhluk-makhluk hitam itu menatapku dengan kesal. Mereka seperti mencoba untuk menyerangku.
“Ojo wani-wani” (Jangan berani-berani!)
Mbah Sarman menatap ke arah makhluk itu dengan tajam.

Entah bagaibamana bisa hanya dengan ucapan seperti itu, semua makhluk itu ketakutan dan menjauh.
“Mbah bisa melihat mereka juga?” tanyaku.
“Mereka ingon salah satu perguruan, seharusnya ia hanya memakan manusia yang ditumbalkan untuk mereka.” Jelas Mbah Sarman.

Gila, bahkan ada perguruan yang memelihara makhluk seperti ini. Untuk apa? Segila apa ilmu yang dicari mereka sampai harus memelihara setan-setan ini?
Tepat saat matahari terbit apipun padam.

Warga mulai kembali ke rumah masing-masing sementara Mbah Sarman membantu merawat Mas Darman dan beberapa orang yang terkapar di balai desa.
“Apa selalu seperti ini mbah?” tanya Guntur.
“Luka dan babak belur itu sudah biasa, tapi ini sudah keterlaluan. Sejak beberapa hari yang lalu aku merasa ada yang aneh dengan salah satu perguruan” ucap Mbah Sarman.

***

“Le! Keluar le!! Api!!!” tiba-tiba Mas Darman terbangun sambil mengigau.
“Anak saya! Anak saya masih di rumah terbakar api!” Mas Darman panik.

Akupun menahanya dan menolehkanya ke arah anak dan istrinya yang sedang terbaring dirawat.
“Mereka aman mas, tenang dulu ya. Untuk rumah Mas Darman, maaf kami terlambat” ucapku.
Mas Darman menangis, ia lega saat mengetahui istri dan anaknya selamat.

Akupun memeluknya berusa meredam emosinya.
“Ini ulah siapa mas?” tanyaku sembari menahan kesal.
“Jumarto!! Dia memang sudah mengincar keluarga saya untuk menjadi makanan ingonya!”ucapnya sembari menangis.
“Saya gagal melindungi mereka..”

Aku berusaha mengerti perasaan Mas Darman. Ia menangis sejadi-jadinya merasakan apa yang terjadi pada dirinya. Terlebih aku mendengar cerita dari warga lain.
Seseorang bernama Jumarto itu tidak melakukan pertarungan seperti pendekar lainya.

Ia malah membawa segerombolan orang untuk mengeroyok orang-orang yang mereka incar.
Mengetahui hal itu, pendekar lain tidak ingin mencari masalah dan meninggalkan desa.
Sialnya, Jumarto tetap mengincar Darman dan beberapa orang hingga membuat mereka babak belur.

“Mereka mengincar anak dan istri Darman dan pendekar lain! Mereka ingin memberi makan ingon mereka!” Teriak salah seorang pendekar yang bernasib sama seperti Mas Darman.
Aku semakin geram mendengarnya.

Bila memang itu tujuanya, dia pasti akan kembali lagi untuk menyerang Darman.
“Guntur, jaga Mas Darman ya” ucapku pada Guntur.
“Nggak! Aku ikut!” Bantah Guntur.
Aku menatap matanya, sepertinya ia juga sudah menahan rasa kesalnya.

Akupun tidak melarangnya dan menitipkan Mas Darman pada warga desa.
“Mbah, dimana orang bernama Jumarto ini tinggal?” Tanyaku.
“Mas! Mas jangan aneh-aneh” ucap Mbah Sarman.
“Dimana?!” kali ini aku bertanya dengan sedikit nada ancaman.

Sepertinya Mbah Sarman mengetahui maksudku.
“Kalau begitu aku antarkan kalian!” Balas Mbah Sarman yang tahu tidak mungkin bisa menahan kami.
Mbah Sarman membawaku berjalan melalui jalur yang cukup jauh.

Ada sebuah bukit kecil yang kami lalui sebelum akhirnya tiba di sebuah bangunan kayu besar dengan panji merah di depanya.
“Di sini tempatnya?” Tanyaku.
Pintu bangunan itu tertutup, namun aku mendengar banyak suara dari dalamnya.

Dengan sekuat tenaga aku menendang pintu itu hingga terlepas dan terpental.
Ada belasan orang di dalam tempat yang berbentuk seperti aula itu. Mereka serentak menatap ke arahku dengan mata kesal.
“Brengsek! Kau cari mati!” Teriak mereka.

Aku memandang seluruh ruangan itu dan menemukan seseorang yang menghajarku kemarin pagi. Dengan segera aku berjalan menghampirinya.
“Ngapain sampah pengecut berani dateng ke sini?” ucap Jumarto.
Di sisi lain beberapa orang yang ikut menghajarku kemarin juga membicarakanku.

“Dia yang kemarin kita hajar sampai babak belur, cari mati dia ke sini?” ucap mereka.
Aku tidak peduli dan terus mendekatinya. Iapun menghadangku dengan memasang wajah sombongnya.
“Jangan sok ka...”

Belum sempat Jumarto berbicara sebuah pukulanku sudah mendarat di wahajahnya dan membuatnya terkapar.
“Bangun!” teriakku.
Seketika wajah orang-orang diruangan itu berubah.
“Brengsek!!!” Jumarto berdiri dan mencoba menyerangku, namun sebelum ia selesai mendaratkan pukulan sekali lagi ia terpental dengan pukulanku yang mendarat di wajahnya.
“Bangun!!!” Teriakku sekali lagi.
Wajah Jumarto sudah penuh dengan darah, tapi aku masih belum puas.
“Jangan kira kamu bisa seenaknya di tempat ini!”

Salah seorang pendekar berlari dan melontarkan sebuah tendangan ke arahku. Tapi sebelum itu terjadi ia terpental oleh sebuah tendangan yang dilontarkan oleh Guntur.
“Jangan ikut campur!” ucap Guntur.
Aku hanya menoleh sebentar ke arah Guntur dan kembali menatap Jumarto.

Aku yakin mereka bukan masalah besar untuk Guntur.
Sekali lagi Jumarto berdiri, ia mengambil sebuah tongkat kayu dan mencoba menyerangku. Dengan sebuah serangan aku mematahkan tongkat itu dan membalas seranganya lagi.

Tak mau perguruanya dilecehkan, semua orang yang ada ditempat itu mulai datang menyerang kami.
“Mbah Sarman tidak usah ikut campur” ucapku.
Awalnya Mbah Sarman khawatir. Namun saat mengetahui kami berdua bisa mengimbangi semua serangan mereka Mbah Sarman hanya menggeleng.

“Dia.. dia orang yang kita hajar kemarin kan?” Tanya salah seorang dari mereka.
“Dia juga anak kecil yang di sana??”
Hampir semua serangan yang mereka lakukan tidak melukai kami. Ada satu hal yang menarik perhatianku, Guntur bisa menangani mereka dengan lebih baik.

Sepertinya sebentar lagi ia bisa menyaingi ilmu beladiriku.
“Guntur dengarkan ini...” ucapku.
Guntur sedikit menoleh sembari bertarung dengan lawanya.

“Ada waktunya kita harus diam tanpa melawan, bahkan ada waktunya juga kita harus melarikan diri, tapi ada juga waktunya kita untuk berdiri melawan..
Itu adalah ketika orang yang baik kepadamu dan bertindak benar disakiti...” ucapku.

Dalam sekejap seluruh pendekar yang ada di ruangan itu terkapar tak mampu melawan. Jumarto berlari ke belakang dan berteriak memanggil seseorang.
“Guru! Tolong kami guru!!” teriak Jumarto menggedor pintu di ruangan belakang.

Tak lama kemudian seorang pria tua berambut panjang keluar dan melihat keadaan sekitar. Raut wajahnya seketika berubah melihat tempat itu.
Ada yang aneh, ada kekuatan hitam mengalir dari tubuhnya. Ingon yang tadi ada didesapun mengikuti di belakangnya seolah menjaganya.

“Baru saja kutinggal meditasi sebentar kalian sudah dipermalukan sama bocah kampung ini?” teriak orang itu.
“Maaf guru! Mereka menggunakan siasat busuk. Kalau tidak kami tidak mungkin kalah” ucap Jumarto.
“Minggir!” ucap pria tua itu.

“Rasakan! Yang kalian lawan adalah pendekar rowo geni, Raden Sunjoro. Mati kalian!” Ucap Jumarto.
Dengan cepat Pria bernama Raden Sunjoro itu melesat kehadapanku dan menyerangku. Dengan sigap akupun menghindar dan menjauh.
“Jangan buru-buru, bukan aku yang jadi lawanmu!” balasku.

Aku menoleh ke arah Guntur dan menyuruhnya maju.
“Aku mas? Yang bener aja?” tanya Guntur.
“Berisik! Cepet! Jangan malu-maluin Masmu!” balasku.
Guntur terlihat ragu, tapi ia terus berjalan dan memasang kuda-kuda menghadapi Raden Sunjoro.

“Mas.. jangan main-main, sampai kapan kalian mau mempermalukan mereka?” Ucap Mbah Sarman.
“Sampai mereka tidak punya muka lagi untuk membuka perguruan!” balasku.
“Tapi Guntur masih anak kecil?!” bantah Mbah Sarman.
“Mbah lupa dia murid siapa?” balasku.

Mendengar pertanyaan terakhirku Mbah Sarman segera terdiam. Sepertinya ia penasaran bagaimana cara murid seorang Nyai Jambrong bertarung.
“Bocah Brengsek! Jangan salahkan kalau anak ini mati di tanganku!” balas Raden Sunjoro.

Raden Sunjoro melancarkan sebuah jurus dalam sebuah pukulan ke wajah Guntur. Aku sempat mengira pukulan itu akan menggores wajahnya namun ternyata pukulan itu tidak mengenainya dan hanya sedikit bersisihan dengan kulit Guntur.

Hampir semua serangan Raden Sunjoro mengenai Guntur, tapi tak satupun serangan itu mengenainya. Guntur hanya melakukan sedikit gerakan tapi semua itu sangat tajam menghindari Raden Sunjoro.
“Hebat..” Mbah Sarman kagum melihat gerakan Guntur.

Akupun memegang daguku memperhatikan setiap gerakanya. Guntur benar-benar berusaha keras.
Merasa kesal, Raden Sunjoro membacakan mantra dan menghantamkan kembali sebuah pukulan.

Sekali lagi pukulan itu dihindari oleh Guntur namun suara ledakan terdengar dari arah pukulan Raden Sunjoro.
Itu jurus pukulan jarak jauh, mirip jurus yang digunakan Danan.
Guntur kaget, namun ia masih menguasai pertarungan.

“Tubuhmu akan jadi sasaran empuk jurusku” ancam Randen Sunjoro.
“Itu kalau kena kan?” Balas Guntur santai.
Benar saja, tak satupun serangan Raden Sunjoro mengenai Guntur. Ia mampu menepis setiap serangan itu dengan mudah.

Sebaliknya, walaupun awalnya serangan Guntur dapat ditahan oleh Raden Sunjoro lambat laun ia mulai merasa kesakitan hingga sebuah tendangan yang sangat kuat menerjang tepat di dada Raden Sunjoro.
“Haha! Aku tau gerakan itu!” ucap Mbah Sarman.

“Aku juga pernah dibuat terpental sama tendangan itu” sahutku pada Mbah Sarman sembari mengingat bagaimana Nyai Jambrong mempecundangiku saat pertama bertarung denganya.
Jumarto kaget gurunya dapat dikalahkan oleh seorang anak kecil.

“Siapa kamu sebenarnya?!” Tanya Raden Sunjoro.
“Saya Guntur! Pewaris ilmu bela diri Nyai Jambrong!” ucap Guntur dengan gagahnya.
Seketika seluruh pendekar di tempat itu tidak percaya dengan apa yang mereka dengar. Aku melihat ketakutan dari wajah mereka.

“Nyai Jambrong? Tidak mungkin! Dia tidak pernah mau menerima murid” bantah Raden Sunjoro.
“Kalau masih belum percaya, maju saja lagi!” Tantang Guntur.
Aku tersenyum melihat bertumbuhnya seorang pendekar.

Seorang bocah mengesalkan yang dulu cerewet kini berhadapan dengan pimpinan perguruan seorang diri. Dia hanyalah Guntur, seorang manusia biasa dengan tujuan hidup biasa tapi dengan kebesaran hati yang luar biasa.

“Kalau dia memang murid Nyai Jambrong, maka ia harus segera kita habisi! Serang!” Perintah Jumarto.
Belum sempat mereka menyerang Guntur, aku menjejakkan kaki di tanah yang menimbulkan dentuman besar hingga mereka terdiam.

“Kalian pasti tahu apa yang terjadi bila Nyai Jambrong tahu muridnya di keroyok” ucapku.
Seketika merekapun ragu melangkahkan kakinya dan menahan diri. Akupun tertawa, ternyata nama besar Nyai Jambrong mampu membuat mereka takut.

“Jangan sombong! Ada alasan mengapa aku memimpin perguruan ini” ucap Raden Sunjoro.
Sebuah ritual ia lakukan dengan membuat sebuah gerakan. Ada mantra yang ia bacakan hingga sosok ingon yang tadi ada di desa kini mendekat ke arahnya.

Makhluk-makhluk hitam bertangan dan kaki panjang itu kini membantunya untuk menyerang Guntur.
“Ini baru masalah..” gumamku.
“Wanasuraaa!!”
Tak mau memperpanjang lagi, akhirnya aku memanggil kekuatan wanasura untuk menghadapi ingon hitam milik Raden Sunjoro.

“Guntur! Selesaikan ini dengan cepat! Firasatku tidak enak” jelasku.
Ingon-ingon yang mencoba menyerang Gunturpun terpental dengan seranganku. Guntur mengikatkan tasbihnya pada tanganya sembari membaca doa untuk menenangkan pikiranya.

Entah jurus apa yang ia punya, namun aku sama sekali tidak merasakan ada kekuatan batin dalam seranganya.
Dengan kekuatan Wanasura dan jurus Guntur kami mementalkan Raden Sunjoro bersama ingonya hingga mendobrak Tembok kayu di belakangnya.

Raden Sunjoro terkapar tak berdaya. Semua pendekar di ruangan itupun gentar dengan kami. Namun sayangnya masalah besar baru dimulai.
Dibalik tembok kayu itu tersembunyi sebuah patung batu dengan pancaran hitam yang mengerikan.

Sialnya, ada beberapa jasad manusia yang tergantung di atasnya dengan darah yang menetes tepat di atas patung itu.
“Gila, apa lagi itu? Itu.. itu istri Sasto kan?” Mbah Sarman tidak menyangka akan melihat pemandangan keji seperti itu.

Tanpa menunggu lama aku segera melompat dan meraih jasad yang tergantung dan melepaskanya.
“Hentikan! Ritual belum selesai!!” Teriak Raden Sunjoro yang kembali mencoba menyerangku dan Guntur.
Kali ini serangan Raden Sunjoro tertahan.

Mbah Sarmanlah yang mengangkat tubuhnya dan seketika membantingnya ke tanah.
“Ini sudah keterlaluan! Apa rencana kalian!” ucap Mbah Sarman kesal.
Aku menoleh sebentar, ternyata benar Mbah Sarman bukan seorang pria tua biasa.

“Brengsek! Jangan ikut campur! Sebentar lagi ritual selesai!!” Teriak Raden Sunjoro tapi Mbah Sarman sekali lagi menghajarnya hingga terpental.
Aku mendekat ke patung itu dan mencoba menghancurkanya.

Itu adalah patung berwujud pendekar tanpa mata dan dengan tangan yang memanjang hingga ke tanah. Kekuatan yang terpancar dari benda itu jauh lebih mengerikan dari wujudnya.
Sebuah pukulan kudaratkan dengan kekuatan wanasura, namun tak sedikitpun kekuatanku menggores patung itu.

“Ini bukan patung biasa” gumamku.
Guntur mencoba mengambil tongkat kayu dan mencoba memukulnya tapi hasilnya tetap sama.
“Percuma kalian tidak akan bisa melukai Raden Rogo Biryono.. dia yang akan memberikan kekuatan besar pada kami” ucap Raden Sunjoro sembari tertawa.

Aku tidak menyerah, tidak mungkin aku membiarkan patung mengerikan ini berbuat sesuatu.
“Guntur, lindungi aku” ucapku.
Guntur mengerti dan mengambil posisi di belakangku menghadap semua pendekar itu.

Akupun membacakan doa yang cukup panjang dan berusaha mencoba memutihkan energi jahat patung itu.
Berhasil, perlahan kekuatan hitam dari patung itu mulai memudar. Raden Sunjoro terlihat kecewa namun aku merasa, ini tidak akan mudah.

***

“Menungso sampah! opo harus aku dewe sing nggolek getih kanggo kebangkitanku...”
(Manusia sampah! Apa harus aku sendiri yang mencari darah untuk kebangkitanku)
Tiba-tiba terdengar suara mengerikan dari patung itu. Sontak Jumarto dan Raden Sunjoro ketakutan.

Aku menyaksikan ada makhluk jangkung berdiri dibalik patung itu.
“Wengi iki, menungso neng deso iki ora ono sing oleh urip! Wengi iki kudu banjir getih!”
(Malam ini, manusia di desa ini tidak ada yang boleh hidup! Malam ini harus banjir darah) Ucap makhluk itu.

Kini aku gentar, jelas makhluk itu bukanlah makhluk biasa. Bahkan tingginya lebih besar dari wanasura.
Arrrgghh!!! Jangannn!!!
Terdengar teriakan dari murid murid Raden Sunjoro. Satu persatu dari mereka kesurupan, tubuhnya membesar dengan otot-otot yang merobek kulitnya.

Mereka menyeringai buas seolah siap mengejar mangsanya.

“Guntur! Tutup pintunya! Jangan sampai mereka keluar!” Teriakku.

Guntur menoleh ke arahku dengan bingung.

“Gimana caranya mas? Kan daun pintunya sudah mental ditendang mas Cahyo?” Balas Guntur.

Benar juga, aku menggaruk kepalaku dan berlari ke arah pintu. Kami bertiga menjaga pintu itu agar tidak ada yang keluar dari bangunan.
Sayangnya mereka lebih pintar dari yang kami kira. Merekapun menerobos jendela dan atap bangunan dan meninggalkan tempat ini menuju ke desa.

***

TEROR DARI BALIK BUKIT
Senja mulai menghilang, dan gelap mulai datang. Tidak seperti biasananya kegelapan malam kali ini membawa rasa takut bagi warga Desa Gandurejo.

“Yang akan kalian lawan bukan sekedar pendekar, mereka dirasuki setan! Jangan lengah!” Teriak Mbah Sarman memimpin pendekar yang masih tersisa di desa.

Seolah mengetahui akan adanya pertarungan besar. Sosok-sosok makhluk penunggu hutan menyaksikan kami dari kejauhan seolah menunggu ada darah yang terjatuh untuk mereka.

Walau sudah pergi terlebih dahulu, sepertinya Raden Rogo Biryono memilih menunggu malam untuk menyerang desa ini.

Ada satu orang berjalan mendekati kami. Ia memasuki desa dengan menyeret langkahnya. Matanya putih, kesadaran sudah bukan lagi miliknya.

“Jumarto?! Itu Jumarto!” Teriak warga yang menyadari siapa orang yang mendekat itu.

Aku melintasi kerumunan dan bersiap menghadapi sosok Jumarto yang mendekat. Tapi bukanya menyerang, sosok itu malah terhenti.

“To...long”

Jumarto mencoba berbicara, namun sepertinya ia tidak dapat berbuat lebih dari itu. Setelah mengucapkan itu tiba-tiba ia memegang kepalanya dengan kedua tanganya.

Ada tawa jahat dari makhluk yang merasukinya.

Seketika Jumarto menyeringai dan mengangkat sekuat tenaga kepalanya hingga terpisah dari badanya.

Darah bermuncratan dari leher Jumarto yang seketika terjatuh di tanah dengan kepala yang menggelinding. Seluruh warga desa gentar melihat kejadian itu.

“Ini yang akan terjadi pada kalian!” Ucap Raden Sunjoro yang tak lagi menguasai kesadaranya.

Seketika dari dalam kegelapan muncul pasukan pendekar yang dirasuki oleh pengikut Raden Rogo Biryono. Mereka menerjang ke arah kami dengan kesetanan.

Seseorang merangkak layaknya hewan buas menyerang warga desa yang berusaha membela diri. Di sisi lain ada yang memanjat pohon dan berusaha menarik warga desa untuk menggantungnya. Kekuatan mereka berkali-kali lipat dari biasanya.

Saat ini aku dan Guntur tengah berusaha menghadang sosok yang mereka panggil dengan nama Raden Rogo Biryono ini. Sementara Mbah Sarman mengumpulkan pendekar di desanya untuk menahan mereka.
“Hati-hati, dia bukan setan biasa” peringatku.

“Aku juga tahu mas, niatnya sih mau kabur dari tadi. Sayangnya masih inget kalau aku cowo” balas Guntur sepertinya mencoba mencairkan suasana.
“Nggak boleh begitu lah Tur, kalau sampai kamu kabur… ya ajak-ajak” balasku.

Sayangnya perbincangan kami hanya terhenti sampai di situ. Bayangan pendekar jangkung itu segera mendekat dan mencekik aku dan Guntur secara bersamaan dengan tanganya yang panjang.
“Wanasuraaa!!”
Aku segera memanggil wanasura untuk melepaskan diri dari cengkeramanya.

Tidak ada lagi alasan untuk menahan diri saat ini.
Dengan sigap aku menarik kekuaran wanasura ke dalam lenganku dan melayangkan sebuah pukulan ke tubuh setan itu. Anehnya tak sedikitpun seranganku mampu membuatnya terluka.

“Gila! Belum pernah aku menemui makhluk sekuat ini” ucapku.
“Jangan gegabah mas Cahyo!” Teriak Guntur.
Ia bergantian denganku menyerang sosok itu. Ada sebuah tasbih di genggamanya yang telah ia bacakan sebuah doa.

Aku tau seranganya bukanlah pukulan biasa, namun sekali lagi serangan Guntur tak mampu melukai Raden Rogo Biryono sama sekali.
Kami tak mau menyerah. Berkali-kali kami menghantamkan serangan kami ke tubuh bayangan milik makhluk itu. Namun tetap sama saja.

Dengan sekuat tenaga kami menahan serangan makhluk itu sembari mencari celah untuk menyerang. Namun stamina kami ada batasnya.
Sedikit lengah, tangan panjang makhluk itu berhasil menyapu Guntur hingga terpental.

Tubuhnya menabrak pohon hingga memuntahkan darah dari benturan itu.
“Guntur!!” Teriakku yang segera mencoba menghampirinya, tapi setan itu tidak memberiku kesempatan.
Aku menangkis berbagai seranganya, namun tanganya yang panjang mampu meraih mengangkatku dan membantingku ke tanah. Beruntung kekuatan Wanasura melindungiku, tapi tetap saja aku menerima luka yang cukup parah.
Setan itu tidak meremehkanku. Ia masih terus menyerangku tanpa ampun.

“Hati-hati mas! Lari!” Teriak Guntur menghkhawatirkanku sepertinya ia masih belum mampu memulihkan dirinya.
“Tolooonggg!!!”
Tiba-tiba, terdengar suara seorang perempuan dari arah desa, ia terseret dari dalam rumahnya tanpa mampu melawan.

“Ibuuu” Anak dari perempuan itu menangisi ibunya.
Keadaan di desa sudah semakin mencemaskan. Sepertinya sudah ada korban dari warga desa.
Aku melihat Mbah Sarman berusaha menolong wanita itu, tapi di sisi lain sudah ada seorang perempuan yang tergantung di atas pohon setelah diseret dari rumahnya.
Rupanya seluruh warga sudah kewalahan. Sebagian warga sudah terkapar babak belur di tanah oleh serangan pendekar yang kesetanan itu.
“Guntur Tolong mereka!” Perintahku.

“Terus Mas Cahyo?”
“Aku akan cari cara buat ngalahin setan ini...”
Aku berpikir sekuat tenaga, namun yang bisa kulakukan sekarang hanya terus menghindari seranganya dan bertahan. Bila terus seperti ini akan ada lebih banyak korban jiwa.

Sebaliknya, bergabungnya Guntur dalam pertarungan mampu membuat keadaan berbalik. Satu persatu anak buah Raden Sunjoro yang kesetanan dibuat kewalahan oleh Guntur.

Tasbih pemberian Nyai Jambrong ternyata mampu menarik kekuatan batin Guntur dan membuat roh yang merasuki tubuh pendekar itu menjadi melemah.
“Hei murid Nyai Jambrong, apa nenek peyot itu tidak mengajarkan jurus lain padamu?” tanya Mbah Sarman.

“Eyang hanya mengajarkan ilmu bela diri untuk melindungi diri, bukan untuk melukai orang lain.. dia sudah bukan dukun jahat seperti dulu lagi” Jelas Guntur.
“Sudah kuduga...” Mbah Sarmanpun mendekat ke arah Guntur dan mengambil posisi di depanya.
“Perhatikan ini baik-baiik... Tidak semua ilmu harus berasal dari dalam diri. Segala sesuatu yang ada di alam merupakan bagian dari diri kita yang dapat kita gunakan sesuai kemampuan kita.
Energi tak kasat mata melayang-layang di sekitar kita dan kita bebas membentuknya sesuai kehendak. Pikirkan apa hal terhebat yang bisa kau pikirkan...
Tarik sebanyak mungkin energi itu ke dalam tubuhmu, dan tumpuk semuanya dalam satu pukulan”
Seketika suara raungan harimau menggelegar dengan sebuah pukulan yang dihantamkan ke Raden Sunjoro.

“I...itu, itu seperti jurus Nyai Jambrong!!” Teriak Guntur sembari tertawa.
Akupun mengingat jurus itu saat Nyai Jambrong bertarung dengan raden Darwana saat tubuhnya hampir sekarat. Hanya saja saat itu serangan Nyai Jambrong lebih berwujud macan putih.

“Pahami itu, dan lindungi orang-orang yang kau sayangi” ucap Mbah Sarman.
Aku melihat sesuatu mulai berubah dari Guntur. Ia sedikit terlihat lebih siap.
Berkali kali Guntur mengayunkan lenganya mencoba merasakan energi yang dimaksud oleh Mbah Sarman.

Iapun menutup matanya mencoba membayangkan hal yang paling bisa ia andalkan untuk melawan musuhnya kali ini.
Dan ini yang aku tunggu-tunggu.. sebuah kekuatan mengalir dari lengan Guntur.
Daarrrrr!!!!
Suara petir menyambar terdengar di penjuru desa.

Bukan dari langit, tapi serangan itu berasal dari lengan Guntur yang menghantam Raden Sunjoro. Kini ia benar-benar terkapar tak sadarkan diri.
“Gila, memang pantas menyandang gelar murid Nyai Jambrong!” ucap Mbah Sarman.

Aku tersenyum melihat hal itu. Guntur sudah menemukan jawaban atas permasalahanya, kini tinggal bagaimana caraku melawan makhluk mengesalkan ini.
Saat aku memperhatikan sekitar, tiba-tiba terlihat sosok manusia dari jauh yang terlihat tidak asing.

Wujudnya yang tembus pandang memastikan ia bukanlah manusia.
Itu adalah sosok yang muncul di mimpiku sebelumnya.
Seketika aku teringat akan prasasti terkutuk yang berada di tengah hutan. Sepertinya aku punya rencana.

***

“Setan buta! Kita selesaikan semua sekarang!”
Sekuat tenaga aku memukulkan kekuatan wanasura ke wajahnya. Kali ini ia menahanya hingga terseret, namun saat akan membalas seranganku aku berlari menjauh.

Ia mengejarku, tapi dengan kekuatan wanasura aku bisa melompat dengan cepat dan bersembunyi diantara pepohonan. Saat ia lengah, aku kembali mendaratkan sebuah pukulan sembari membacakan ayat suci untuk membuka pertahanan hitamnya.

“Bersembunyi dan menyerang diam-diam, itu yang kau maksud selesaikan semua?” ucap Raden Rogo.
Merasa kesal ia menyapukan lenganya dan menumbangkan beberapa pohon. Aku cukup gentar dengan seranganya, bahkan wanasura sekalipun tidak mempunyai kekuatan sebesar itu.

Akupun berlari menjauh, namun rasa kesal Raden Rogo membuatnya tidak mau melepaskanku. Sekali lagi ia menyapukan lenganya ke arahku dengan gelombang kekuatan yang mengerikan. Akupun menghindar, dan seranganya mengancurkan pohon jati yang ada di belakangku.
Rencanaku berhasil...

"Ngapunten nggih mas penunggu...” (Maaf ya mas penunggu) ucapku sembari mengarah kepada prasasti dan sosok makhluk penunggunya.
Beberapa pohon jati itu rusak. Salah satunya bahkan sampai terbelah. Sekarang tinggal kita buktikan, apakah kutukan prasasti itu benar adanya.

Raden Rogo tiba-tiba sudah ada di hadapanku dengan wajah kesalnya. Ia mencoba menyerang, namun tiba-tiba dari udara muncul benda seperti tombak yang menusuk tubuhnya.
“Brengsek! Apa ini? siapa kalian??” teriak Raden Rogo, namun tidak ada suara apapun.

Perlahan aku menjauh mundur dari Raden Rogo. Prasasti yang sebelumnya terlihat begitu tua kini samar-samar seperti bersinar.
“Siapapun yang merusak ‘Jati Pitu’ atau ketujuh pohon jati ini akan menerima kutukan seperti yang tertera di prasasti ini” ucapku.

“Sialan! Kau menjebakku!” Teriak Raden Rogo.
Kekuatan kutukan prasasti itu benar-benar mengerikan. Dari sekitar Raden Rogo muncul bayangan bersama makhluk hitam yang mencabik-cabik tubuhnya dengan mengerikan.

“Selama tubuh patungku masih utuh, aku akan kembali... kau akan merasakan yang lebih mengerikan dari ini!” ancamnya.
Iapun merintih kesakitan, tapi dalam sekejap suaranya menghilang setelah hewan buas memakan kerongkonganya.

Raden Rogopun menghilang bersamaan dengan hilangnya cahaya di prasasti ini.
“Gila... ini benar-benar kutukan yang gila..” ucapku.
Samar samar aku merasakan ada seseorang di belakangku. Dan benar ada roh seseorang di sana. Dia adalah roh penjaga prasasti ini.

“Siapa kamu sebenarnya” tanyaku.
“Bisa-bisanya kau memanfaatkan kutukan prasasti ini” ucap sosok berpakaian kerajaan jaman dulu itu.
“Eh.. i...iya, ngapunten. Mohon maaf saya tidak kepikiran cara lain” balasku meminta maaf.

Makhluk itu mengangkat tanganyanya seolah tidak ingin memusingkan hal itu. Tapi sepertinya ia memiliki maksud lain.
“Sudah tidak masalah, toh tujuan dari makhluk itu juga menghancurkan keturunanku. Mungkin akulah yang seharusnya berterima kasih” ucapnya.

Keturunan? Apa ini adalah permasalahan antara dua kubu?
“Keturunan? Maksud Masnya apa?” Tanyaku.
Makhluk itu menceritakan bahwa pendekar di keluarganya pernah memiliki perselisihan dengan sebuah kerajaan.

Demi melindungi rakyatnya ia terpaksa menyerang kerajaan itu dan menjadikanya medan pertempuran.
Mereka menang, namun beberapa orang sakti dari kerajaan itu ada yang masih bertahan dan ingin membalas dendam.

Salah satunya bernama Ki Luwang, pematung sakti yang konon meninggalkan sesuatu untuk membalas dendam.
“Patung itu sedang mengumpulkan kekuatan sebelum akhirnya akan membalas dendam kepada anak dan cucu kami..” ucap roh itu.

Itu adalah cerita yang singkat, namun aku merasa ada hal yang lebih pelik dari itu hingga seseorang bernama Ki Luwang ini menanamkan dendam hingga sedemikian rupa.
Bila Ki luwang dan peningggalanya masih mencoba mengumpulkan kekuatan, berarti masih akan ada banyak korban yang berjatuhan menjadi tumbalnya.
“Maaf, memangnya masnya siapa? Dan siapa keturunan masnya?” Tanyaku.
Mungkin dengan mengetahuinya aku bisa mencari cara menghentikan dendam ki luwang.

“Saya adalah Raden Swarga Darmawijaya.. aku hanya menjaga prasasti ini” jawabnya.
Tunggu Darmawijaya?
“Berarti anda leluhur Dirga? Dirga Darmawijaya? Dan ada hubungan darah denga Raden Arya Darmawijaya?” Tanyaku lagi.
Raden Swarga tersenyum mendengar ucapanku.

“Sepertinya memang sudah takdir kita dipertemukan..”
Ini gawat, berarti nyawa Dirga dan Abah dalam bahaya. Apalagi Darmawijaya merupakan Trah besar, berarti masih ada keturunan Darmawijaya yang akan diincar oleh mereka.

“Mas Raden Swarga, apa yang harus saya lakukan untuk melindungi Dirga?” Tanyaku.
Raden Swarga menggeleng.
“Saya tidak tahu, saat ini saya hanya menjaga prasasti ini. Prasasti berisi kutukan yang saya buat untuk melindungi ‘Jati Pitu’” ucapnya.

“Mas Raden ini aneh-aneh aja lho, kenapa sampai bikin kutukan begini untuk pohon jati?” balasku.
Raden Swarga menghela nafas.
“Jati pitu adalah istilah, tujuh pohon jati ini hanya simbolnya... dia melambangkan tujuh pilar tanah jawa yang tidak boleh dirusak. Ada tujuh prasasti juga yang melindunginya” ucap Raden Swarga.
Aku menggaruk-garuk kepalaku. Penjelasan Raden Swarga kali ini cukup membuatku bingung. Namun karena tidak ada lagi yang bisa kami bicarakan, akupun ijin untuk pamit membantu Guntur.

“Tunggu.. ada satu yang bisa kubantu” ucap Raden Swarga.
Aku berhenti sebentar dan kembali menoleh.
“Raden Rogo akan bangkit lagi, saat itu terjadi prasastiku akan menyala dan bersinar ke langit. Itu adalah pertanda untuk kalian” ucapnya.

“Memangnya butuh berapa lama Raden Rogo untuk mendapatkan tubuh itu lagi?” Tanyaku.
“Satu purnama...”
Akupun mengangguk mengerti dan berpaling meninggalkan prasasti itu.
Akupun berlari dan sampai di desa dengan banyak orang yang terkapar. Pemandangan ini begitu mengerikan.

Ada seorang perempuan mati tersangkut di pohon, ada seorang pendekar yang tubuhnya terbelah dua, dan banyak pendekar yang terkapar di tanah. Tapi pertarungan ini sudah selesai, seluruh anak buah Jumarto kini terbaring tak bernyawa.
“Mas Cahyo?! Raden Rogo?” tanya Guntur.

Aku hanya membalasnya dengan menggoreskan jariku di leher, “Khek!! Mati!”
Gunturpun menghela nafas lega.
“Bagaimana bisa?” Tanya Mbah Sarman.
“Saya memanfaatkan Prasasti kutukan itu, beruntung itu berhasil.” Balasku.

Mbah Sarman menggeleng mendengarkan rencanaku. Akupun segera menceritakan bahwa ini hanya sementara. Warga Desa Gandurejo harus mengungsi dan meninggalkan desa ini sebelum Raden Rogo bangkit lagi.
Mbah Sarman mengerti, iapun mulai membentuk kelompok untuk melakukan evakuasi.

Setelahnya akupun berpamitan pada Mbah Sarman dan Mas Darman. Aku harus mencari sinyal untuk memberi tahu tentang masalah ini pada Paklek dan Danan.
Aku berjanji akan mengunjungi mereka lagi. Masih ada yang harus kucari tahu tentang desa Nyai Jambrong dan prasasti kutukan itu.

Semoga saja waktuku cukup panjang untuk mendapatkan cara mengalahkan Ki Luwang dan segala pengikutnya.

***

“Patung pendekar? Sing nggenah kowe jul?” (Patung pendekar? Yang bener kamu Jul) ucap Danan kaget, tapi anehnya ia tidak begitu heran saat kuceritakan bahwa patung itu memiliki kekuatan yang begitu besar.
“Apa ada cerita serupa nan?” Tanyaku.
“Iya, Paklek nemu Patung Sinden, aku berhadapan sama Patung Kakek kepala kambing, dan kamu patung pendekar.. sudah lengkap tiga” jelas danan.
“Ada tiga yang seperti ini??” tanyaku kaget.
“Iya Jul, cepetan balik.. kita harus bahas ini sama Dirga dan Abah secepatnya” balas Danan.
Akupun menyetujui ucapanya dan segera melesatkan motorku untuk kembali.

***

Sebelum kembali ke Klaten aku mampir ke desa Nyai Jambrong untuk memulangkan Guntur. Sebenarnya aku malas bertemu denganya, tapi takutnya mungkin saja nanti kami akan membutuhkan bantuan Nyai Jambrong lagi.

“Khekehkeke... lama sekali, Cuma mengambil ini saja kan” ucap Nyai Jambrong menerima sebuah kota kayu dari Guntur.
“Ya ampun Eyang, demi ngambil itu aja kami hampir mati” balas Guntur.

“Kalau sampai hampir mati berarti kamu masih kurang latihan! Besok bangun subuh!” Teriak Nyai Jambrong.
Sontak wajah Guntur berubah menjadi jelek setelah mendengar perintah gurunya itu.

“Udah nurut aja, besok aku juga ikut bangun subuh masakin sarapan” tiba-tiba terdengar suara anak perempuan yang masuk ke rumah membawakan makanan kecil.
“Eh Arum.. kali ini aku bangun subuh sih nggak masalah, sudah biasa” ucap Guntur yang seketika menjadi sumringah ketika melihat Arum.

Aku tertawa sendiri melihat kelakuan Guntur. Tapi yang lebih menarik perhatianku ketika Nyai Jambrong membuka isi kotak itu. Ada sebuah kain Jarik dengan motif batik emas.

“Nah... kalau pake Jarik ini kan aku nggak kalah bagus sama si Sar..” ucap Nyai Jambrong.
Seketika teh yang baru saja diminum oleh Guntur muncrat dan wajahnya berubah merah.
“Jadi eyang nyuruh kami jauh-jauh ke sana, hujan-hujanan, nginep di rumah tua, sampai ngelawan setan Cuma buat ngambil jarik untuk dipamerin ke Mbok Sar..?” Teriak Guntur.
“Ssst... jangan teriak-teriak, Jarik yang bagus itu penting. Har..ga Di..ri.. kehkehkehe...” ucap Nyai Jambrong.
“Rum Eyangmu tuh Rum!” ucap Guntur kesal.

Sekali lagi aku tertawa melihat tingkah Guntur. Namun aku sadar tujuan sebenarnya dari perintah Nyai Jambrong.
Ada roh seorang prajurit yang harus ia bebaskan..
Ada bangunan yang dibangun dengan dosa yang harus dilepaskan pelindungnya agar bisa termakan umur.

Setidaknya aku melihat Nyai Jambrong ingin memperbaiki kesalahanya di masa lalu satu persatu.

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close