Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PEREMPUAN DI PENGHUJUNG WAKTU MAGHRIB

“Ada dia yang selalu setia menantiku di waktu maghrib..”

-Fajar, Jawa Tengah

Sebut saja namanya Fajar, salah seorang narasumber yang kini sudah berkeluarga dan tinggal bahagia dengan anak dan istrinya. Ini adalah cerita tentang masa kecil Mas Fajar yang sangat membekas hingga saat ini.

Mungkin saja tanpa kejadian ini, Mas Fajar tidak akan seperti saat ini.


JEJAKMISTERI - Namaku Fajar, seorang anak yang mungkin tidak diharapkan hadir di kehidupan kedua orang tuaku. Bahkan namaku sendiri merupakan pemberian almarhum eyangku yang memaksa agar aku tetap di lahirkan.

Tapi bila menurut kalian ini adalah sebuah keberuntungan, maaf.. bagiku masa kecilku adalah sebuah neraka.
Hukum adat membuat ibuku harus menikahi ayah yang menghamilinya.

Memang mereka memiliki hubungan, tapi mereka sama sekali tidak berniat untuk ke jenjang yang lebih serius.

Setelah kelahiranku semua keadaan menjadi lebih parah, aku yang tidak pernah diharapkan hanya menjadi bulan-bulanan kekesalan mereka.

Selama ada eyang, iyalah yang mengurusku. Tapi sepeninggal eyang... rumah adalah rumah terakhir yang ingin kutuju.
Aku tak pernah terlambat sekolah, tempat itu adalah termpat teraman untukku.

Namun setelah itu, aku selalu menghabiskan waktu dengan bermain bahkan hingga langit gelap. Disinilah aku bertemu dengan dia, perempuan yang selalu memandangku di sudut senja. Aku memanggilnya Mbok Warni.

Dia adalah seorang perempuan yang cukup berbeda dengan warga desa. Pakaianya mirip dengan yang dipakai eyang-eyang, kebaya jaman dulu yang jarang digunakan oleh perempuan atau ibu-ibu jaman sekarang.

Saat adzan maghrib berkumandang, seharusnya semua orang masuk kedalam rumah dan menutup pintunya. Tapi tidak denganku, buatku suara adzan adalah pertanda Mbok Warni akan datang dan menemaniku bermain.

Kami sering bermain di berbagai tempat, tapi Mbok Warni paling suka mengajakku bermain di dekat pohon bambu.
Awalnya aku menganggap mbok warni hanya tetangga biasa yang senang dengan anak kecil, sampai satu kejadian terjadi.

Sore itu aku pulang kerumah untuk berganti baju karena kehujanan. Tak lama kemudian bapak juga pulang, namun aku mencium dengan jelas bau alkohol dari mulutnya. Ia meminta ibu membuatkan kopi namun ibu marah karena bapak pulang dengan keadaan seperti itu.

Sialnya akulah yang menjadi pelampiasan atas reaksi ibu. Sebuah vas bunga melayang dari meja dan mendarat tepat di kepalaku. Aku menangis, namun bukanya berhenti bapak yang ternyata baru kalah judi melayangkan sebuah pukulan kearahku hingga tubuhku membentur tembok.

Awalnya ibu membelaku, namun saat pertengkaran semakin lama ibu mulai menyudutkanku.

“Seharusnya Fajar memang nggak pernah ada! Dia adalah dosa kamu!” umpat ibu.

“Kalau bisa dijual! Jual saja anak itu! uangnya lebih berguna!” balas bapak.

Dua kalimat itu selalu kuingat sampai saat ini. Akupun melarikan diri sebelum pukulan lain melayang ke arahku. Maghrib itu tanpa di duga, Mbok Warni sudah menungguku tak jauh dari rumahku berada.

Aku segera berlari ke arahnya dan menjauh dari rumah. Saat itu aku hanya menangis dan menangis di pangkuan Mbok Warni. Entah selama berapa lama, tapi langit sudah menjadi gelap sejak tadi.

Sesekali aku mendengar suara orang memanggilku, tapi aku tidak mau peduli.

Aku hanya ingin berada di sini untuk tenang di pangkuan Mbok Warni. Aku berada di sebuah tempat di dekat rumpun bambu. Samar-samar sesekali aku mendengar suara anak kecil berlarian di sekitarku, namun aku tidak pernah bisa melihat sumber suara itu.

Aku tenang berada di sana, namun ketenangkanku tiba-tiba terusik ketika terdengar suara panci, wajan yang dipukul-pukul dengan memanggil-maggil namaku. Aku sempat berpikir untuk menghampiri suara itu, namun mbok warni menahanku.

Setelah suara itu menghilang, ada suara lain yang mendekat. Kali ini adalah suara alunan doa-doa. Di sinilah aku merasakan keanehan, tiba-tiba wajah mbok warni terlihat gelisah. Sesekali wajahnya terlihat menyeramkan.

“Itu Fajar! Fajar di sana!” Teriak seseorang.
Tak lama kemudian, beberapa orang datang menghampiriku dan mengajakku pergi. Jelas saja aku menolak, terlebih saat aku melihat kedua orang tuaku ada di belakang mereka.

Itu bukan tatapan cemas.. aku tahu, mereka pasti akan menghukumku tepat saat aku sampai ke rumah.
Akupun menoleh ke arah mbok warni untuk meminta pertolongan, namun tiba-tiba sosok mbok warni sudah menghilang.

Sekali lagi aku menangis, aku benar-benar tidak mau pulang ke rumah. Dan ketika aku semakin melawan, tiba-tiba ada salah seorang warga yang bertingkah aneh.
Ia terjatuh, tubuhnya kejang-kejang. Tapi itu hanya sementara. Setelahnya ia berdiri dan mengamuk.

Matanya terlihat mengerikan dan memandang ke arah ustad yang membacakan doa.

“Kuwi anakku!” (Itu anakku) ucap orang itu.

Itu suara perempuan. Aku seperti kenal dengan suara itu, namun kali ini suaranya terdengar lebih mengerikan.

Beberapa orang mencoba menahanya, namun warga yang kesurupan itu melawan hingga melukai mereka. Setelahnya beberapa warga juga mengalami hal yang sama, kali ini suara anak kecil yang merasuki mereka. Ustad dan wargapun kewalahan menangani kejadian ini.

Saat kejadian itu, Ibu dan Bapak menghampiriku dan memaksaku untuk mengikuti mereka. Tapi tiba-tiba orang yang pertama kesurupan tadi menarik mereka dan mengamuk membanting bapak. Malam itu benar-benar menjadi malam paling mencekam di desa selama ini.

Usaha apapun yang dilakukan oleh ustad dan warga yang masih sadar tidak berbuah banyak.
Sampai saat menjelang subuh orang yang kesurupan itu menghentikan seranganya ke bapak sambil mengancam.

“Nek kowe wani-wani nyakiti anakku! Kowe tak pateni!” (Kalau kamu berani-berani menyakiti anakku! Kamu kuhabisi!) ucap sosok yang merasuki warga itu.
Tepat saat adzan subuh berkumandang, seluruh warga yang kesurupanpun tersadar.

Dan sesuai perkiraanku, akupun dipulangkan kembali kerumah orang tuaku.
Tapi... ada sesuatu yang berbeda.
Kadang bapak sering ketakutan saat menatapku. Ia tidak pernah lagi menyakitiku secara fisik.

Hal ini juga membuat emosi ibu semakin stabil sampai akhirnya bapak meninggalkan rumah tanpa pamit, dan tanpa kabar. Yang kami tahu, beberapa hari setelah kepergianya seseorang datang kerumah untuk menagih hutang judi padanya.

Kepergian bapak tidak membuat ibu dan aku sedih, justru saat itulah ibu mulai bisa hidup mandiri dengan menitipkan dagangan di pasar dan menghidupiku.

Belakangan baru kuketahui. Ternyata saat aku ditemukan, aku sudah menghilang selama tiga hari, padahal aku hanya merasa hanya beberapa jam saja. Dan menurut pak ustad yang menemukanku, ia mengetahui siapa sosok mbok Warni yang sering menemuiku hingga saat itu.

Mbok Warni adalah sosok yang sering disebut warga desa dengan nama “Wewe Gombel”

~SEKIAN~
close