DENDAM PATUNG ARWAH (Part 2) - Sekte Berhala
Roh anak itu terus menatap ke bangunan di ujung jalan buntu. Ia mati di sana, dan teman-temanya masih berada di sana bersama sekelompok orang yang rohnya tak lagi berwujud manusia..
JEJAKMISTERI - BANGUNAN DI UJUNG GANG
(Sudut pandang Danan)
Ribuan bangunan memadati pemandangan di Ibukota yang jauh dari kata tenang. Suara mesin dan klakson kendaraan bermotor tidak pernah lupa melengkapi pagi mereka yang berpacu dengan waktu.
“Koran-koran! Koran hangat.. reshuffle kabinet, penculikan anak jalanan, harga sembako meroket, berita hangat..”
Penjaja koran terlihat berkeliling bergantian dengan pedagang asongan yang lain.
Aku bersama Rizal sedang menikmati semangkuk mie ayam di pinggir jalan sembari menikmati waktu istirahat kami.
“Bang koran satu bang!” Rizal mengeluarkan satu lembar uang lima ribuan dan menyerahkanya ke pedagang koran yang lewat kembali di hadapan kami.
“Tumben beli koran, ada berita yang rame?” Tanyaku pada Rizal.
“Iya Danan, ini anak-anak jalanan yang hilang lokasinya nggak jauh dari tempat kita. Penasaran aja” jawab Rizal sembari membuka lembaran koran yang baru saja dia beli.
Anak hilang? Penculikan? Kadang aku merasa bahwa makhluk halus, dedemit, atau apapun itu yang sering menakuti manusia tak semengerikan perbuatan manusia itu sendiri.
Setidaknya makhluk halus masih takut dengan Sang Pencipta dan akan takluk dengan ayat-ayat suci.
Sedangkan untuk beberapa manusia, keberadaan Tuhan sudah tidak lagi mereka anggap.
Akupun mengecek jam tanganku dan mengajak Rizal untuk kembali ke kantor. Rizalpun segera melipat koranya dan membawanya ke dalam.
“Makan dimana Nan? Nggak kelihatan di kantin?” Tanya Fira.
“Makan Mie ayam, sekali-kali cari suasana baru” balasku.
“Lah nggak ngajak-ngajak” protes Fira.
“Lah kan elu yang keluar duluan Fir, kebalik kali” balas Rizal.
“Hehe.. iya juga ya”
Perbincangan singkat itu ditutup dengan sebuah map yang diberikan oleh Dian kepada Fira, “Nih, Pak Bos minta kita kelarin hari ini. Semangat ya!”
Rupanya sudah ada pekerjaan menumpuk yang menanti kami di pertengahan hari ini.
Kamipun menyudahi perbincangan kami dan melanjutkan perkerjaan kami masing masing. Dari jumlah pekerjaanya, dapat dipastikan kami akan lembur malam ini.
“Rasanya terjebak di alam ghaib itu gimana Nan? Aku nggak pernah bisa ngebayangin seandainya terjebak di sana” Tanya iseng Rizal di akhir jam kerja kami.
“Nggak enak, di sana nggak ada nasi, mie ayam, setiap saat kita selalu merasa gelisah dan sangat mudah untuk kehilangan kewarasan” balasku sedikit menggambarkan selama terjebak di Jagad Segoro Demit beberapa bulan lalu.
Rizal memperhatikan Danan baik-baik. Dia dan kawan-kawan yang lain sempat tidak yakin Danan akan kembali dengan selamat. Merekapun tidak menyangka Danan akan kembali lagi ke kantor setelah sekian lama.
“Gua sempet ngira lu nggak bakal balik ke kantor sini lagi Nan” ucap Rizal.
“Haha.. Aku yang ragu bakal diterima lagi setelah lama ngilang, untung bos pengertian” balasku.
Akupun tidak menyangka bahwa mereka masih memberi tempat untukku untuk bekerja di kantor ini. Wajarnya jika aku bekerja di perusahaan lain, mungkin aku sudah dipecat.
“Iya, bos tahu banget permasalahanya. Justru kalau lu nggak balik, kita yang diminta jemput lu lagi Nan” jelas Rizal.
Aku tersenyum mendengar cerita Rizal. Sebuah keberuntungan aku bisa bekerja di tempat yang mau mengerti tentang permasalahan yang sering aku hadapi.
Waktupun menunjukkan pukul tujuh malam. Aku yang telah menyelesaikan pekerjaan segera membereskan barang dan bersiap untuk pulang. Rizal dan yang lain masih sedikit menyelesaikan pekerjaan mereka.
“Duluan ya, nongkrong dulu di pos Pak Sholeh” pamitku.
“Ok Nan, bentar lagi kita juga kelar” balas Fira mewakili yang lain.
Akupun turun ke bawah dengan menenteng tasku menuju pos Pak Sholeh. Aku tidak menemui Pak Sholeh di pos itu, sebaliknya ia sedang menatap sesuatu di luar gerbang.
“Dor!! Ngelamunin apa Pak Sholeh” isengku mengagetkan beliau.
“Heh, Mas Danan iseng aja..” balasnya.
Akupun melongokan kepala mencari tahu apa yang dilihat oleh Pak Sholeh.
“Liat apaan sih Pak?” Tanyaku.
Pak Sholeh menatapku sebentar dan berfikir akan menceritakanya sesuatu. Akupun menyeduh kopi panas sembari mencari tempat duduk yang nyaman di pos.
“Mas Danan ini ngerti soal hal ghaib kan?” Tanya Pak Sholeh tiba-tiba.
“Memang kenapa pak? Orang terdekat Pak Sholeh ada masalah yang berhubungan sama hal ghaib?” Tanyaku.
Pak Sholeh menggeleng.
“Kemaren ada security kantor lain cerita, katanya dia sempat pulang kemaleman, dan ngeliat ada setan setinggi bangunan. Katanya wujudnya mirip kakek-kakek” cerita Pak Sholeh.
Aku mengernyitkan dahiku dan mencoba mendengarkan cerita Pak Sholeh keseluruhan.
“Di mana itu pak?”
“Lima ratus meter dari kantor kita, setelah lampu merah ada satu gang yang buntu. Gang itu jarang sekali dilewati. Waktu itu teman saya nggak sengaja lewat tempat itu malam-malam.”
Pak Sholeh menceritakan bahwa temanya itu sebenarnya sudah curiga tentang sebuah bangunan yang terkadang masih beroperasi di sana. Katanya masih digunakan sebagai gudang.
Anehnya, kantor itu hanya pernah didapati beroperasi di malam hari, Itupun tidak rutin. Apalagi orang-orang yang masuk ke dalam kantor benar-benar beragam. Tidak seperti karyawan.
Ada ibu-ibu, anak muda, perempuan cantik, bapak tua.
Curiga sudah pasti, tapi saat ada kunjungan dari kelurahan sama sekali tidak ada keanehan di sana. Hanya berisi barang-barang stok gudang dari kantor utamanya.
Baru beberapa minggu ini ada hal-hal yang janggal di sana.
Mulai dari anak-anak jalanan yang dikabarkan hilang, suara keramaian dari bangunan itu pada malam hari. Dan yang terakhir saat teman Pak Sholeh mau mengecek keramaian itu, ia dihadang makhluk besar setinggi bangunan itu.
“Waktu dia cerita nggak ada yang percaya mas. Tapi karna saya pernah ngalamin kejadian yang terjadi di kantor ini, akhirnya saya dengerin cerita dia sampai habis” jelas Pak Sholeh.
Aku sedikit merenung mendengar cerita Pak Sholeh.
Kalau cerita itu benar, sudah pasti ada hal yang tidak wajar di bangunan itu.
“Polisi pernah meriksa tempat itu?” tanyaku.
Pak Sholeh menggeleng.
“Nggak mas, yang punya bangunan itu orang penting. Pada nggak berani macem-macem” Balasnya.
Kalau polisi tidak berani memeriksa, apalagi aku yang hanya karyawan biasa. Tapi mungkin ada baiknya sesekali aku melewati bangunan itu untuk memastikan apakah ada hal yang aneh di sana.
“Ngomongin kantor gang buntu itu ya?” tanya Rizal yang mendadak sudah sampai pos.
“Iya Zal, kamu tahu?” tanyaku.
“Ya udah, nanti pulang kita lewat situ aja” ajak Rizal.
Aku memperhatikan Rizal, rupanya Rizal masih dengan kebiasaanya mencari tahu tentang masalah hal ghaib sendirian.
“Jangan bilang kamu udah nyelidikin ke sana duluan? Tak laporin mbahmu lho” ucapku memperingatkannya.
“Nggak Nan, tenang.. Cuma sebatas penasaran. Tar juga kamu tahu sendiri” balasnya.
Mendengar ucapan Rizal akupun penasaran dan meminta Rizal mengantarkan aku ke bangunan itu. Pak Sholeh memperingatkan kami untuk berhati-hati. Terlebih ini bukanlah masalah yang berhubungan langsung dengan kami.
Akupun memacu sepeda motorku mengikuti arah yang ditunjukkan oleh Rizal. Tidak terlalu jauh, tapi padatnya kendaraan membuat kami membutuhkan waktu lebih lama untuk sampai ke tempat itu.
Sekilas tidak terlihat bangunan yang dimaksud oleh Pak Sholeh.
Kantor-kantor yang menghadap ke jalan terlihat megah menutupi jalan buntu yang menuju ke bangunan itu.
“Ini bangunanya Zal?” Tanyaku.
“Iya”
Akupun memperhatikan bangunan kantor tiga lantai itu dan tidak merasakan keanehan apapun.
“Kayaknya kalau secara ghaib nggak ada yang aneh” balasku.
“Ya udah liatin dulu aja, habis itu ikutin aku” ajak Rizal.
Aku belum mengerti maksud Rizal. Berkali-kali aku memeriksa bangunan ini memang tidak ada tanda-tanda mencurigakan.
Bahkan kantor kami lebih memiliki masalah per’demit’an yang lebih pelik dari kantor ini.
“Ya sudah, terus mau ngajak kemana lagi?” Tanyaku pada Rizal.
Rizal mengajakku berjalan ke sebrang memasuki salah satu gang yang berhadapan dengan gang buntu yang kami masuki ini.
“Dek, kamu masih di sini?” Tiba-tiba Rizal berteriak ke arah jalan yang sedikit sepi itu.
Aku berniat menanyakan niat Rizal, tapi akhirnya aku memilih mengurunkan niatku dan percaya dengan apa yang akan ditunjukkan oleh Rizal.
“Mas, kesini lagi?”
Tiba-tiba terdengar suara anak kecil yang dari belakang. Kami cukup kaget, namun Rizal dengan segera bisa mengenali anak itu.
“Kan Mas udah bilang, mas bakal dateng lagi” balas Rizal.
Itu adalah roh anak laki-laki yang mungkin masih berumur sepuluh tahun.
Ia mengenakan baju yang lusuh yang sepertinya baju yang ia kenakan saat kematianya.
“O.. ya sudah” ucapnya yang segera meninggalkan kami dan duduk santai di pinggir jalan.
“Zal, anak itu siapa? Korban kecelakaan?” tanyaku.
Rizal menggeleng, “Masalahnya lebih pelik dari itu. Katanya sebelum mati dia melihat temanya dibawa ke bangunan itu. Katanya sampai sekarang temanya masih ada di sana”
Mendengar penjelasan Rizal akupun mendekat ke anak itu.
“Benar teman kamu masih di sana?” Tanyaku.
“Iya bang, abangnya bisa nolongin dia?” Tanya anak itu.
“Nolongin? Emangnya kamu tahu teman kamu diapain di sana?” tanyaku.
Bocah itu menggeleng, tapi dia menceritakan sesuatu yang membuatku benar-benar harus mengawasi bangunan itu.
Kejadianya beberapa bulan yang lalu. Saat itu dia dan beberapa anak perkampungan pinggir rel sedang mengamen di daerah itu. Kali ini mereka berencana pulang cukup malam, mereka merasa berani karena mereka beramai-ramai.
Merasa cukup lelah selama mengamen seharian, merekapun berniat beristirahat sebentar dengan tidur di pinggir jalan tempat kami berada saat ini. Tapi tanpa sadar mereka tidak terbangun sampai hingga tengah malam. Dan dimalam itulah hari kematian bocah itu.
“Mereka memakai topeng bang, mereka tidak membangunkan kami dan membopong kami masuk ke bangunan itu” Jelasnya.
Dalam keadaan setengah sadar, anak itu melihat keadaan kantor itu seperti kantor biasa sampai ia tiba di salah satu tempat.
Dia dan anak yang lain dibawa ke sebuah tempat yang terdapat kolam. Entah bagaimana bisa tiba-tiba anak itu tersadar sementara teman-temanya masih tertidur pulas. Iapun merasa yang terjadi pada mereka bukanlah hal yang wajar.
“Baru saja saya mencoba membangunkan yang lain, tiba-tiba muncul kepala dari bawah lantai. Dia ngeliatin saya sambil ketawa bang...” ucapnya memperagakan kejadian itu.
Kejadian itu membuat anak itu ketakutan dan berlari meninggalkan ruangan itu.
Sayangya makhluk itu masih mengejarnya. Dia ketakutan hingga saat sampai di salah satu lorong ia dihadang makhluk besar yang bahkan wajahnya tidak bisa ia lihat.
Tanpa ada pilihan lain, anak itupun memilih kabur lewat jendela yang ternyata saat ini ia ada di lantai atas.
Seketika ia terjatuh dengan luka yang parah.
Dengan sisa tenaganya iapun pergi ke jalan besar untuk meminta pertolongan. Sayangnya saat itu malam sudah terlalu larut. Iapun meregang nyawa di seberang jalan tempat kami menemuinya saat ini.
“Berarti teman-temanmu masih ada di bangunan itu?” tanyaku.
Bocah itu mengangguk, berarti sudah jelas bahwa itu alasanya belum bisa tenang. Tapi yang lebih membuatku khawatir adalah tentang isi bangunan itu. Bila apa yang dikatakan roh bocah itu benar adanya, bisa jadi sosok di dalamnya benar-benar berbahaya hingga bisa menahan kekuatanya hingga tidak terdeteksi.
“Ya sudah, nanti saya cari tahu. Sabar ya..” ucapku pada anak itu.
Akupun memberi isyarat pada Rizal bahwa sudah mengerti akan apa yang ingin ia sampaikan.
Namun aku membutuhkan waktu untuk menyelidikinya.
Mungkin bila aku tidak bisa masuk ke tempat itu, aku harus meminjam kekuatan Keris Ragasukma untuk mengecek tempat itu dengan wujud sukma.
***
Patung Berhala
Dengan kekuatan Keris Ragasukma aku bisa memisahkan ragaku dengan sukmaku sesaat. Yang membedakan dengan ilmu Paklek, ilmu ragasukma dari keris ini juga membekaliku dengan wujud roh dari keris ini sehingga aku tetap bisa membela diri ketika mendapat perlawanan dalam wujud sukma.
Sekali lagi aku menghampiri bangunan kantor yang kudatangi tadi.
Dari jauh aku masih melihat anak tadi menatap ke bangunan itu seolah masih menanti kedatangan teman-temanya.
Sungguh aku tidak merasakan ada yang mencurigakan dari bagunan ini. Tidak seperti bangunan terbengkalai atau rumah angker yang terdapat residu kekuatan ghaib, bangunan ini benar-benar tidak memiliki keanehan yang mencolok.
Akupun masuk ke dalam bangunan yang difungsikan sebagai gudang itu dan memang menemukan banyak tumpukan kardus yang tersusun rapi dengan penomoran yang tertata.
Aku mencoba mencari seseorang yang menjaga bangunan ini, entah itu security atau karyawan yang bertugas untuk jaga malam, namun tidak kutemukan.
Cukup lama aku menjelajahi bangunan ini, namun sama sekali tidak ada petunjuk.
Aku mencoba mencari ruang rahasia, namun tidak dapat kutemukan.
Saat itu waktu menunjukkan pukul tiga pagi, aku bersiap untuk kembali meninggalkan bangunan ini. Tapi tiba-tiba aku merasakan firasat yang janggal.
Suara langkah kaki tiba-tiba mendekat ke arahku.
Bukan hanya satu, tapi banyak. Sementara itu aku menoleh ke arah pintu masuk, tapi tidak ada tanda-tanda pintu itu pernah terbuka.
Nyala lampu lilin tiba-tiba menerangi ruangan itu. Ada lebih dari sepuluh manusia yang tiba-tiba berada di ruangan.
Benar seperti cerita Pak Sholeh, mereka orang-orang yang sangat berbeda baik dari segi umur, maupun profesi.
“Darah ini menghantarkan kami kepadamu...”
Kalimat itu dimulai dengan satu orang yang meneteskan darahnya pada sebuah pola yang baru saja ia gambar di salah satu keramik lantai. Sisa orang berikutnya mengulang kalimat yang sama dan ikut meneteskan darahnya.
Aku memperhatikan dari jauh dengan berhati-hati.
Dan pemandangan yang tidak wajar terlihat di hadapanku.
Ada tangan besar dari dalam tanah yang mecengkram kaki-kaki manusia disana dan seolah menariknya masuk ke dalam tanah. Satu persatu dari merekapun menghilang dari penglihatanku.
Kali ini aku yakin, tempat ini menyembunyikan sesuatu yang besar.
Akupun mencoba mengikuti arah energi dari tangan itu berasal dan benar saja, energi itu membawaku ke sebuah tempat yang belum kuketahui.
Hutan? Bukan.. tempat ini lebih seperti sebuah pemakaman.
Tapi, tidak ada langit di tempat ini. Apakah ini masih di dalam bangunan? Aku tidak dapat mengambil kesimpulan apapun dari apa yang kulihat.
“Lari!! Setanya datang!!”
Terdengar suara anak kecil yang berlarian sambil tertawa di tempat itu.
“Kena! Gantian kamu setanya!”
Ada lebih dari sepuluh anak kecil yang bermain kejar-kejaran di tempat itu. Tapi ada satu yang mencolok. Seorang anak perempuan yang terlihat paling tua diantara mereka.
Saat terdengar derap langkah orang-orang yang mendekat kepada mereka, merekapun membubarkan diri.
Dan anak perempuan yang paling tua itu masuk kedalam sebuah kurungan di salah satu sisi tempat itu.
“Teteh mainya berhenti sebentar ya, kita jampi berkah dulu” ucap salah seorang ibu yang baru saja datang bersama yang lain.
Anak perempuan itu mengangguk. Aku tidak bisa menilai ekspresinya, apakah itu ekspresi menurut karna mengerti atau karena takut.
Salah seorang dari mereka juga membawa berbagai macam jajanan anak-anak dan membaginya ke anak kecil yang lain.
Dengan senang hati mereka menerimanya dan kembali ke sudut lain tempat itu. Sepertinya ada tempat khusus bagi mereka di sana.
“Aku mau di sini terus saja, di sini nggak pernah kelaparan” ucap salah seorang anak kecil.
“Kakak-kakak itu juga bawain mainan lagi lho!” balas yang lain.
Mereka menerima dengan senang pemberian orang-orang itu. Memang penampilan anak-anak itu saat ini tidak lagi seperti anak jalanan. Pakaianya lebih rapi, dan tubuhnya lebih terurus.
Setelah menyelesaikan urusanya dengan anak-anak itu. Orang-orang itupun mendekat ke sebuah altar di dekat kurungan anak perempuan tadi. Ada sebuah peti yang diletakkan berdiri di tempat itu. Tingginya lebih dari dua meter dengan lebar yang melebihi bahu tiga orang.
Ada beberapa lilin yang dipasang di dekatnya dengan beberapa tampah atau nampan bambu yang dijejerkan di sana. Satu orang dari mereka mengatur menyalakan kemenyan dan mengatur posisi kembang di tampah.
Setelahnya, satu persatu dari mereka membuka benda yang mereka bawa dan meletakkanya di tampah itu.
Aku mencoba mendekat dan memastikan benda apa yang mereka gunakan sebagai sesaji. Dan itu adalah benda yang jauh dari kata wajar.
Kepala kambing diletakkan di sebelah kiri..
Kepala kerbau diletakkan di tengah..
Sementara di paling kanan diletakkan kepala anjing yang masih menunjukkan taringnya.
Merekapun menggumamkan beberapa kalimat yang tidak kumengerti apa artinya.
Bersamaan dengan itu dua orang yang berada di altar membuka peti itu dengan berhati-hati.
Tepat saat peti itu terbuka, keadaan di tempat ini menjadi berubah. Seketika tempat ini diselimuti kekuatan mengerikan yang bahkan aku tidak mampu menahanya.
Aku menajamkan mataku menyaksikan apa yang saat ini berada di atas altar.
Sebuah patung...
Patung seorang kakek tua besar yang bongkok dengan janggut yang panjang. Aku seolah melihat dua tanduk pada kepalanya yang membuatnya terlihat lebih mirip dengan seekor kambing.
Saat aku hendak mendekat tiba-tiba wujud roh keris ragasukma menghilang dari genggamanku. Aku tidak mengerti apa yang terjadi dan tiba-tiba terpental dari tempat itu.
Singkat, namun aku sempat memperhatikan saat aku terpental.
Sukmaku kembali melalui bangunan gudang itu, namun suasananya berubah sangat drastis. Bangunan yang sebelumnya tidak kucurigai itupun kini berubah menjadi sarang setan yang berkeliaran di setiap sudut ruangan.
Sayangnya aku tidak berkutik, kekuatan keris ragasukma yang memisahkan sukmaku dari raga mendadak menghilang. Tanpa dapat kutahan, akupun segera kembali ke ragaku dengan paksa. Seketika itu juga aku memuntahkan darah dari mulutku.
***
PERBATASAN RUANG GHAIB
Cahaya matahari menyinari dengan terang dari jendela kamarku. Bagaimana mungkin? Seingatku aku tidak begitu lama dalam wujud sukma saat menjelajah bangunan itu.
Atau jangan-jangan tempat dimana patung itu berada bukan berada di alam ini?
Akupun segera membersihkan tubuhku dan menenenangkan diri. Sudah ada beberapa telepon masuk dari Rizal dan teman kantor yang lain mempertanyakan keberadaanku.
Aku membalasnya dengan beralasan akan masuk terlambat karena tidak enak badan.
Segera aku memberi tahu Paklek tentang kejadian yang kualami semalam. Paklek juga cukup bingung karena kebetulan ia juga berurusan dengan sesosok patung misterius berwujud sinden. Entah berhubungan atau tidak, paklek akan mencoba mencari tahu tentang ini semua.
***
“Tumben telat nan, kalau masih nggak enak badan istirahat di rumah dulu saja” ucap Rangga menyambutku yang masuk ke ruangan dengan mencolok.
“Haha, udah enakan kok. Kalau dibiarin besok kerjaan malah tambah numpuk” balasku.
Baru duduk sebentar tiba-tiba Rizal sudah menghampiriku dengan meletakkan secangkir kopi panas yang baru saja ia buatkan untukku.
“Makasi Zal..” balasku.
“Jujur nan, kamu nyelidikin bangunan itu kan?” tanya Rizal yang sepertinya membaca kecemasan di wajahku.
“Iya Zal, nanti kita bahas berdua ya.. jangan ngelibatin mereka yang nggak ngerti” balasku mencoba menahan niat Rizal mencari tahu.
Iyapun menepuk pundakku dan meninggalkanku. ”Jangan maksain diri, nggak semuanya harus kamu yang beresin”
“Tenang Jal, aku nggak gegabah” balasku.
***
Sepulang kerja aku kembali memutuskan menghabiskan waktuku di pos terlebih dahulu bersama Rizal. Kali ini Pak Pandilah yang kebagian berjaga malam. Sepertinya ia juga sudah mengetahui isu mengenai bangunan di gang buntu itu.
Aku menceritakan tentang apa yang kulihat kemarin pada Rizal. Barangkali Mbah Widjan yang merupakan Eyang Rizal mengetahui tentang apa yang aku temukan kemarin.
“Aku coba tanyakan ke Mbah, tapi sepertinya mereka yang hidup di desa tidak tahu mengenai hal seperti ini” ucap Rizal.
“Jangan meremehkan mereka Zal, mereka saja lebih tahu lebih dulu tentang Setra Gandamayit daripada aku dan Paklek” balasku.
Rizal mengerti, sebenarnya malam itu kami sepakat tidak melakukan tindakan apapun sampai dapat petunjuk dari Paklek ataupun Mbah Widjan.
Tepat saat kami menyelesaikan seruputan kopi terakhir kami, tiba-tiba ada seorang anak memperhatikan kami dari jauh.
Ia berdiri di depan pagar kantor kami dan hanya menatap kami dari jauh.
“Zal, itu..”
Aku mengenali bocah itu, dia adalah roh anak yang kemarin menunggu di depan jalan buntu itu.
“Namanya Maul, ngapain dia sampai ke sini?” Tanya Rizal.
Pak Pandi terlihat bingung dengan reaksi kami. Beliau tidak bisa melihat roh Maul yang ada di hadapan kami. Sementara itu Maul berjalan meninggalkan kantor seolah memberi isyarat untuk kami ikuti.
“Pak Pandi, kita pamit dulu ya...” ucapku yang segera meninggalkan pos bersama Rizal.
Maul sedang menunggu di ujung jalan saat kami mengeluarkan motor. Ia benar meminta kami untuk mengikutinya menuju bangunan di gang buntu itu.
“Makhluk besar itu muncul lagi. Hari ini ada beberapa anak lagi yang dibawa masuk ke dalam” ucap Maul.
Ia menunjukkan sebuah mobil box terparkir di ujung gang buntu itu. Kami menyembunyikan kendaraan kami dan memantau dari jauh tentang apa yang sedang terjadi di sana.
“Itu, kantong mayat?” Tanya Rizal curiga dengan sosok beberapa orang yang diam-diam membawa kantung mayat masuk ke dalam mobil box itu.
Aku membayangkan apa yang sedang terjadi di sana. Apa mungkin teman-teman Maul dalam keadaan bahaya?
“Zal, coba hubungi kantor polisi terdekat..” perintahku sembari mencoba mengendap-endap mendekat ke bangunan itu.
“Jangan nekad Nan, percuma juga lapor. Kan Pak Sholeh juga cerita sebelumnya sudah ada yang melapor tapi sama sekali tidak digubris” ucap Rizal yang juga perlahan mengikutiku.
Aku hanya menoleh sebentar pada Rizal dan mencari celah untuk masuk ke dalam bangunan itu.
“Ini bahaya Zal, nggak usah ikut..”
“Terus kamu ngapain?”
“Udah ada satu nyawa melayang, nggak mungkin aku nggak ngelakuin apa-apa” balasku.
Rizal tetap ngotot untuk ikut denganku. Mungkin ia juga merasa khawatir dengan apa yang akan kulakukan.
Kami memastikan tidak ada orang di luar dan mengendap masuk ke dalam bangunan.
Tidak ada penerangan yang dinyalakan saat itu, tapi jelas kami merasakan keberadaan sosok yang tidak wajar di bangunan ini.
“Tinggal ini, setelah itu kalian bisa pergi” ucap seseorang yang menyerahkan sebuah kantung mayat lagi kepada petugas yang membawa mobil box itu.
Kami bersembunyi di salah satu sudut tergelap dan menunggu hingga mobil itu pergi. Setelahnya orang-orang yang berada di dalam bangunan itu mengunci pintu itu dan kembali ke dalam.
“Berarti kita terkunci di sini?” Bisik Rizal.
“Kayaknya sih begitu..” balasku.
Setelah keadaan mulai aman, akupun meninggalkan ruangan itu dan mengarah ke tempat dimana orang-orang itu meneteskan darah untuk bisa masuk ke tempat patung itu berada.
Tapi belum sempat berjalan terlalu jauh, kami sudah melihat ruangan itu masih dipenuhi orang-orang yang masih riuh di sana. Ruangan itu hanya diterangi lilin-lilin yang menyala.
“Jangan takut.. setelah ini berarti kalian sudah sempurna” ucap seorang bapak di tempat itu.
“Tapi apa tidak ada cara lain pak? Saya takut” ada seorang perempuan yang menolak melakukan ritual yang dilakukan di sana.
Bapak itu malah tersenyum, ia menarik sebuah kursi di dekatnya dan meraih salah satu tali yang menggantung di dekatnya.
“Kalau kalian tidak yakin, biar saya terlebih dulu..” ucapnya.
Saat itu dihadapan kelompoknya, ia mengalungkan tali itu di lehernya. Tanpa ada rasa ragu ia menendang kursi yang ia naiki dan membiarkan dirinya tergantung hingga tak sadarkan diri.
Pengikut yang lain merasa miris melihat pemandangan itu, namun eskspresi mereka mulai berubah ketika sebuah tangan besar menarik jasad orang itu ke bawah meninggalkan sosok roh menyerupai orang yang mati tadi di tempat itu.
Jelas ini adalah sebuah ritual, roh itu bukan lagi berwujud manusia. Walaupun menyerupai, tapi bagian wajah dan tubuh roh itu seolah menyerupai wajah dan cakar seekor anjing. Walau berwujud roh, para pengikut yang lain masih bisa melihat wujud orang itu.
“Kalian masih ragu?” ucap sosok itu.
Melihat hal itu pengikut yang lain segera melakukan hal yang serupa. Ada yang menggenggam pisau di tanganya, ada yang ingin menggantung dirinya, hingga ada yang ingin meminum racun yang ia bawa sendiri.
Mengetahui hal tersebut dengan cepat melemparkan benda yang dapat kujangkau ke arah mereka. Sontak merekapun kaget dengan keberadaanku.
“Hentikan! Jangan bodoh!” Teriakku mencoba menghentikan mereka.
Merasa kaget dengan kedatanganku merekapun panik.
Beberapa dari mereka masih merasa takut, namun beberapa ingin mencoba melawanku.
“Si...siapa kau!” Teriak salah satu dari mereka.
“Saya bukan orang jahat, tapi kalian sedang dimanfaatkan oleh setan-setan itu” jelasku.
Mendengar ucapanku, seseorang yang sudah berubah menjadi makhluk setengah anjing itupun mendekat ke arahku.
“Jangan menghasut mereka, kami adalah orang-orang terpilih yang pantas menerima berkah Ndoro Kasmolo”
Ndoro Kasmolo? Apa itu sosok yang mereka sembah kemarin?
“Tidak ada! Tubuh kalian hanya dijadikan tumbal, dan roh kalian dikutuk olehnya untuk menjadi siluman.. kalian hanya akan menjadi abdi mereka!” Jelasku.
Mendengar ucapanku, makhluk setengah anjing itu segera melesat kearahku dan menghantamkan serangan yang begitu cepat.
Ia tanpa ragu mencoba menggigit wajahku namun dengan sigap aku menghindarinya.
“Kalian nilai sendiri, apakah ini kutukan atau berkah dari Ndoro..” ucap makhluk itu.
Terlihat sekali lagi tangan besar muncul dari bawah mengambil sebuah jasad dari orang bodoh yang menusukan pisaunya ke jantung. Kini rohnya tetap tinggal di sana dan berubah bersisik seperti ular.
“Aku tidak akan terpengaruh, setelah ini kita bisa menggunakan tubuh anak-anak itu” ucap sosok setengah ular itu.
Gila.. ternyata itu rencana mereka.
Melihat orang kedua melakukan ritual yang sama merekapun tidak ragu lagi, namun sebelum itu terjadi aku membacakan sebuah ajian yang memanggil alunan udara yang mengalir ke bangungan ini. Gambuh rumekso..
Dengan serangan itu beberapa dari mereka tumbang, setidaknya itu bisa menggagalkan mereka untuk mengakhiri hidupnya sendiri.
“Danan! Awas! Mundur!!!” Rizal menyadari sesuatu dan memintaku kembali.
Ternyata seranganku tadi memancing amarah sosok yang menguasai mereka.
Seketika tangan besar yang menarik tubuh orang orang itupun muncul mencengkramku dan membantingku ke tanah. Rizal mencoba menangkapku namun kami terhentak ke tanah tanpa mampu melawan.
Saat itu penglihatanku kabur, aku mencoba mempertahankan kesadaranku namun perlahan semua menjadi gelap.
***
Saat kesadaranku mulai pulih, hanya pemandangan mengerikan yang tersisa di penglihatanku saat ini.
Tali-tali yang menggantung tadi kini sudah penuh diisi jasad manusia yang tersangkut di sana. Beberapa mayat juga sudah tergeletak di tempat itu baik dengan pisau yang menancap di tubuhnya maupun yang mati dengan menenggak racun.
Aku gagal menyelamatkan mereka...
Kini roh mereka tengah berdiri menantikan tubuh mereka diambil oleh sosok yang mereka sebut dengan nama Ndoro Kasmolo satu persatu untuk masuk ke tempat yang sempat kudatangi semalam.
“Danan.. Mbah berkomunikasi denganku saat kehilangan kesadaran tadi.”
Tiba-tiba Rizal tersadar dan berusaha untuk meraihku.
“Para pengikut Ndoro Kasmolo memang sudah tidak lagi dapat di selamatkan, Rohnya sudah menjadi abdinya sejak mereka mengikat perjanjian denganya.
Wujud binatang itu adalah perwujudan perbuatan biadab mereka untuk mendapatkan ilmu dari Ndoro Kasmolo itu..” jelas Rizal.
“Mbah Widjan sudah tahu sebanyak itu?” tanyaku.
“Ada kasus serupa yang mereka temui, dan semua berhubungan dengan sosok patung. Yang bisa kita lakukan saat ini adalah mencegah mereka merebut tubuh anak-anak itu..” jelas Rizal.
Aku mulai mencerna petunjuk yang diberikan Mbah Widjan.
Kalau memang patung itu mengendalikan kejadian ini, maka yang harus kulakukan adalah menghancurkan patung itu.
“Rizal, jaga tempat ini dan coba cari bantuan..” perintahku yang segera memanggil keris ragasukma kedalam genggamanku.
“Jangan Nekad Nan! Ini bukan masalah sepele!” Teriak Rizal.
Aku tidak peduli. Tepat ketika tangan makhluk besar itu menarik jasad pengikutnya aku menghubuskan kerisku ke tanganya.
Suara raungan terdengar menggema ke seluruh ruangan.
Makhluk itu merasakan kesakitan dari serangan keris ragasukma. Saat itu batas antara ruang patung itu berada mulai terbuka. Aku melihat roh para pengikut makhluk itu sudah berada di sana sebagian. Dengan segera aku bersiap melompat ke tempat itu sekali lagi.
“Aku ikut!” Rizal bersiap mengikutiku namun dengan tegas aku mendepaknya menjauh.
“Tolong cari bantuan Zal! Aku belum tentu bisa menemukan jalan keluar dari tempat itu. Terlebih waktu di ruangan itu berbeda dengan alam kita..” jelasku.
“Tapi siapa? Siapa yang bisa?”
“Jagad Putra Sambara.. Cari nama itu, Mbah Widjan juga kenal dengan Mas Jagad” ucapku yang segera pergi meninggalkan Rizal.
Aku teringat, kemarin aku bisa masuk ke tempat itu dengan wujud sukma.
Tapi bila masuk dengan tubuh fisik, entah bagaimana caraku untuk keluar dari tempat itu. Tapi Mas Jagad yang mempelajari arus dimensi ghaib, mungkin ia bisa membantuku.
***
MEMPELAI BERHALA
Tanah tanpa langit, hutan tanpa angin, dan berbagai macam tumbuhan mati tersusun di tempat ini. Altar berbentuk punden berundak kini menjadi pusat perhatianku di tempat itu.
Ndoro Kasmolo...
Itu adalah sosok patung yang mereka sembah. Sosok patung berwujud kakek bungkuk berkepala kambing yang tingginya lebih dari dua meter.
Aku sedikit menelan ludah melihat posisiku saat ini. Dihadapanku ada berbagai sosok roh manusia yang sudah menjelma sebagai siluman.
Mereka mengantri mendapatkan tubuh anak-anak yang selama ini mereka manjakan di tempat ini.
Di satu sisi ada seorang anak perempuan yang dikurung di dekat altar yang seolah dipersiapkan untuk sesuatu.
Sosok besar berwajah kambing itu muncul dari patung Ndoro Kasmolo.
Aku mengambil kesimpulan bahwa ini adalah wujud yang bisa ia gunakan saat ini.
Mengetahui keberadaanku, Ndoro Kasmolopun mendahului pengikutnya dan bersiap menghampiriku.
Akupun dengan sigap mempersiapkan keris Ragasukma di genggamanku dan seketika Ndoro Kasmolo terhenti melihat kerisku.
“Itu keris Raden Arya Darmawijaya..” ucapnya.
Aku semakin waspada saat mengetahui Ndoro Kasmolo mengetahui asal-usul keris ragasukma.
“Tapi kau bukan keturunan dari Darmawijaya! Tunjukkan pemilik keris itu yang sebenarnya!”
Tiba-tiba Ndoro Kasmolo terlihat geram. Ia seperti memiliki dengam kesumat dengan pemilik keris ini.
“Akulah pemilik keris ragasukma ini, tidak ada yang lain!” Jawabku singkat.
Ndoro Kasmolo menggeleng, ia sedikit menertawakanku.
“Keris itu adalah salah satu pusaka keluarga Darmawijaya, dan tugasku adalah menghabisi mereka semua!” Ucapnya.
Seketika ucapan Ndoro Kasmolo membuatku panik. Jika benar itu yang diincar olehnya, mungkin Dirga dan Abah akan ada dalam bahaya.
“Sayangnya tidak ada lagi yang perlu kau cari, akulah pemilik sah pusaka ini” ucapku sekali lagi.
“Aku ingin tahu, apa tulang belulang dan isi organ tubuhmu akan mengatakan hal yang sama..”
Saat itu sekali lagi tangan hitam Ndoro Kasmolo menghantam tubuhku. Aku berhasil menghindar dan bersiap menusukkan keris ragasukma ke tangan hitam itu lagi.
Aneh.. seketika keris ragasukma menghilang dan kembali ke sukmaku tanpa sebab.
Aku yang panik segera menjauh, tapi salah satu manusia yang sudah berubah jadi siluman anjing tadi sudah menungguku dan menghantamkan cakaran ke punggungku.
Seketika darah segar mengalir dari bekas luka yang ia buat.
Namun aku mencoba menangkap sosoknya dan membacakan sebuah doa untuk memurnikan rohnya kembali.
Ia mengerang kesakitan, setiap ayat suci yang kubacakan membuatnya meronta. Tapi terlambat, aku tidak lagi bisa memurnikan rohnya.
Ia terikat dengan Ndoro Kasmolo yang saat ini menjadi sesembahanya.
Sekali lagi aku memanggil Keris Ragasukma, namun gagal. Akupun teringat kejadian saat kemarin sukmaku terpental ketubuhku dari tempat ini.
“Jangan kau kira kekuatan leluhur Darmawijaya bisa kau gunakan di tempat ini..” Tawa Ndoro Kasmolo.
Ia merasa bisa menyingkirkanku dengan mudah. Namun aku terus menahan seranganya sebisa mungkin dengan sisa tenaga yang aku miliki.
Sekali saat tenaga besarnya meremas tubuhku, namun amalan api yang kumiliki membuat tanganya terbakar dan membantingku ke tanah. Tak ingin diam, akupun membacakan sebuah doa pada kepalan tanganku.
Kutitipkan ayat-ayat suci dan doa yang mampu memusnahkan niat jahat pada sebuah pukulan jarak jauh yang kuhantamkan tepat di tubuhnya. Ajian lebur saketi...
Makhluk itu terpental dan sekilas aku merasa tubuhnya sedikit menyusut.
“Bocah brengsek, aku tidak menyangka akan merasakan serangan seperti itu lagi di jaman ini..”
Ajian lebur saketi merupakan serangan pukulan jarak jauh yang sering digunakan pendekar pada jaman perang antar kerajaan.
Jika makhluk ini mengetahui tentang ajian ini, mungkin saja makhluk ini pernah hidup di jaman kerajaan.
“Lepaskan perjanjianmu dengan roh manusia itu, dan bebaskan anak-anak yang lain” aku memperingatkan Ndoro Kasmolo.
“Bocah sombong, baru sedikit melukaiku sudah berani memerintahku?”
Bukanya jumawa, namun aku memikirkan sebuah rencana yang mungkin bisa menyelamatkanku di tempat ini.
“Memangnya apa yang bisa dilakukan makhluk yang dikutuk Tuhan, terhadap manusia makhluk yang paling mulia?” Ledekku memancing emosi Ndoro Kasmolo.
Berbagai serangan kuhindari sebisaku sehingga membuat tempat itu porak poranda.
Ada serangan yang membuatku sesekali terpental namun aku juga sudah bersiap memberikan sebuah balasan.
Tepat saat posisi yang kupersiapkan sekali lagi aku membacakan sebuah doa pada kepalan tanganku dan memukulkan sebuah pukulan jarak jauh.
Cahaya ajian lebur saketi menerjang ke arang Ndoro Kasmolo, namun ia tidak akan tertipu dua kali. Ia dengan sigap menghindari serangakanku dan berbalik menepuk tubuhku dengan tanganya yang besar hingga aku terpental.
Aku memuntahkan darah atas luka yang kudapat, tapi setidaknya rencanaku berhasil.
PRAAAKKK!!!
Ajian lebur saketi mendarat di patung Ndoro Kasmolo dan membuatnya terbelah menjadi dua. Seketika wujud rohnya tidak lagi stabil dan menyatu kembali dengan patung itu.
“Bocah sialan!!”
Ndoro Kasmolo menggunakan kekuatanya untuk menyatukan patung itu lagi. Namun saat ini ia tidak bisa lagi menggunakan tubuh rohnya.
Tak kehabisan akal, tiba-tiba Ndoro Kasmolo menyibakkan bayangan hitam ke salah satu sudut ruangan itu dan perlahan terdengar suara anak-anak keluar dari sana.
“Dibuka! Kita bisa main!! Ayo keluar!!!”
Belasan anak keluar dari tempat yang tidak bisa kutebak.
Anak-anak itu bermain seolah tempat itu merupakan tempat yang nyaman untuk mereka. Dan satu hal yang kutebak, sepertinya mereka tidak menyadari keberadaan roh manusia yang sudah menjadi siluman itu di sana.
“Jangan! Jangan pergi ke sana!” Teriakku pada anak-anak itu.
Aku merasakan Ndoro Kasmolo memiliki rencana yang membahayakan mereka.
“Ini Titah dariku! Siapapun dari kalian yang bisa membunuh orang itu. Akan segera kubangkitkan ke tubuh anak itu tanpa menunggu waktu yang dijanjikan...” Perintah Ndoro Kasmolo.
Seketika seluruh mata siluman-siluman itu tertuju kearahku. Mereka menyerangku bertubi-tubi hingga membuatku kewalahan. Tapi bukan itu yang kukhawatirkan, melainkan keselamatan anak-anak ini.
“Pergi dari tempat ini! Kalian akan dijadikan wadah siluman-siluman ini!” Teriakku memperingatkan anak-anak itu.
“Siluman? Wadah?”
“Mas ini siapa? Mana orang-orang yang sering membawakan makanan enak untuk kita?”
Mereka saling bertanya satu sama lain, mereka benar-benar tidak sadar dengan apa yang terjadi di sekitarnya.
Tak ada pilihan lain, sekali lagi kubacakan doa yang sekiranya dapat membuat siluman-siluman ini menjauh dariku.
“Ayo kita pergi dari sini!” perintahku pada anak-anak itu.
“Pergi? Kemana? Di sini enak kok..” ucap salah satu anak itu.
Aku heran, apa anak-anak ini sedang dalam pengaruh setan itu? merekapun masih bermain dan berpencar di tempat mengerikan ini.
Saat ini Ndoro Kasmolo sedang dalam amarahnya, ia mencoba menangkap salah satu anak itu sembari memulihkan wujud patungnya.
Akupun mementalkan seranganya dan menjauhkanya dari anak-anak.
“Masnya itu lagi apa sih? Aneh?” ucap salah satu anak yang lain.
Aku bingung bagaimana harus menjelaskan kepada mereka.
Setidaknya saat ini aku harus mengumpulkan mereka di satu tempat dan membuat perlindungan hingga pertolongan datang.
Siluman itu berusaha menyerangku, sementara Ndoro Kasmolo berusaha menangkap salah satu dari anak itu.
Mungkin ia bermaksud membangkitkan beberapa dari siluman itu untuk melawanku. Hal itu tidak boleh terjadi, tapi tubuhku sudah mencapai batasnya.
***
“Kena, sekarang masnya jadi setanya..”
Terdengar suara anak kecil yang menyentuhku dari belakang. Suara itu tidak asing di telingaku.
Itu adalah Maul..
“Masnya jadi setan, kita ngumpet!!” Teriak Maul memberi isyarat pada anak-anak yang lain.
“Maul ikutan! Seru nih! Ayo lari!!” Teriak anak yang lain.
Pikiranku menerawang sesaat. Apa mungkin Maul bisa masuk ke tempat ini karena ia berwujud roh? Namun apa tujuanya sampai memaksakan diri di tempat ini?
“Aku tahu tempat ngumpet yang aman! Ikut aku!” Teriak Maul.
Aku mulai sedikit mengerti dengan maksud maul.
Ia berhasil menggiring teman-temanya menuju sebuah tempat yang ia temukan sendiri. Ada sebuah tempat tertutup pepohonan dan ada tumpukan batu menyerupai goa di sana. Maul membawa anak-anak itu untuk bersembunyi di sana.
“Sepertinya, aku harus mengikuti permainan mereka..” gumamku sambil tersenyum.
Saat itu juga aku menggunakan sisa tenagaku untuk membacakan ajian muksa pangreksa yang seharusnya bisa menghalau niat jahat siluman-siluman itu.
Dengan sekuat tenaga aku berlari dan memukul patung Ndoro Kasmolo hingga kembali terpisah. Namun aku tahu, itu tidak akan bertahan lama lagi.
“Kena! Kamu setanya!” teriakku sembari menyentuh sosok Ndoro Kasmolo.
Akupun segera berlari ke arah anak-anak itu sementara Ndoro Kasmolo masih tidak mengerti dengan apa yang aku rencanakan.
Saat itu aku mendekat ke tempat persembunyian anak-anak itu.
“Mas Ikut ngumpet donk! Dia yang jadi setanya!” Ucapku dengan gaya kekanak-kanakan.
Tidak seperti tadi, kini anak-anak itu membuka jalan untukku dan memberikanku tempat untuk bersembunyi.
“Sini.. sini mas!” ucap mereka.
Maul terlihat menertawakanku yang bertingkah seperti anak kecil. Namun aku sangat menghargai idenya saat itu.
Sebelum Ndoro Kasmolo dan pengikutnya mendekat, aku memasang posisi bermeditasi untuk memasang pagar ghaib di sekitar tempat persembunyian ini. Aku yakin, selama anak-anak ini tidak keluar, tempat ini akan aman dari serangan mereka.
Setidaknya sampai patung Ndoro Kasmolo pulih lagi.
Berbagai serangan dari pengikut Ndoro Kasmolo menghantam pagar ghaib yang kubuat. Namun mereka adalah siluman yang baru lahir, mereka seharusnya tidak memiliki kemampuan untuk menembus pagar ini.
“Itu suara apa? Kok serem?” Tanya salah satu anak-anak itu.
“Itu suara setan, kita jangan keluar dari tempat ini..” balas Maul mencoba menenangkan mereka.
Saat ini aku hanya bisa menunggu sampai ada pertolongan yang datang membantuku.
Bila waktu di tempat ini berjalan lebih cepat, mungkin saat ini Rizal sudah seharian mencari bantuan. Seharusnya ini tidak akan lama.
Aku terus membaca ayat-ayat suci dengan tenang untuk melindungi mereka. Sepertinya saat ini aku bisa cukup tenang.
***
“Ngapain di sana? Sini main sama teteh..”
Tiba-tiba terdengar suara anak perempuan memanggil anak-anak itu dari luar semak semak.
“Teteh! Itu suara teteh!” seketika anak-anak semakin riuh mengetahui keberadaan salah satu teman mereka.
Aku benar-benar terlupa bahwa masih ada seorang anak perempuan yang berada di kurungan di dekat altar.
“Jangan! Jangan mendekat ke dia!” ucap Maul menghadang mereka.
“Kenapa? Dia kan teteh? Dia yang jagain kita dan ngajak kita main” balas yang lain.
“Bukan! Dia bukan bagian dari kita! dia jahat..!” balas Maul.
Kali ini mereka tidak percaya dengan ucapan Maul. Pergunjingan mereka membuat mereka berniat keluar dari perlindunganku.
Aku bingung harus berkata apa, tapi tiba-tiba Maul menghadang salah satu anak yang berlari dan anak itu menembus tubuh Maul.
Anak itupun terhenti dan menoleh ke arah Maul.
“Maul? Kok kamu nggak bisa dipegang?” ucap anak itu.
Maul hanya tersenyum tanpa mau menjawab. Seluruh anak itu kini menatap pada Maul dengan tatapan bingung.
“Maul, jawab.. apa yang terjadi saat kita terpisah kemarin” ucap anak itu.
Kali ini air mata Maul menetes.
Ia sepertinya berusaha menahanya sejak menemukan teman-temanya itu.
“Makanya sekali ini saja kalian nurut. Jangan sampai kalian bernasib sama sepertiku..” ucap Maul.
***
“Jangan dengarkan anak jalanan itu, ayo main sama teteh” anak perempuan itu masih berusaha merayu anak-anak itu untuk keluar, tapi kali ini anak-anak itu lebih penasaran dengan keadaan Maul.
“Maul, kamu masih hidup kan?” tanya salah satu dari mereka.
Sebagian dari mereka mencoba menyentuh Maul, namun gagal.
Sebaliknya Maul hanya menangis sambil menggelengkan kepalanya.
“Aku sudah mati..” jawab Maul singkat.
Saat itu juga air mata anak-anak itu menetes menangisi temanya itu.
“Makhluk itu mengejarku saat kita diculik, dia makhluk yang mendiami patung itu. Saat itu pilihanya adalah aku mati olehnya atau menyelamatkan diri melalui jendela.. dan akhirnya aku mati kehabisan darah setelah jatuh dari jendela” jelas Maul kepada mereka.
“Kenapa Cuma Maul yang diserang? Kenapa kita dibiarkan hidup?” tanya mereka.
“Weton kalian sama dengan orang-orang yang menculik kalian, tubuh kalian akan digunakan sebagai wadah roh mereka yang sudah menjadi siluman” jelasku sembari mengingat beberapa kantung mayat yang dibawa keluar saat kami menyelinatp tadi..
“Dan karena tidak ada weton mereka yang cocok dengan Maul, merekapun membuang Maul”
Wajah merekapun berubah ketakutan. Akhirnya ceritaku bisa sampai di dalam pemikiran mereka. Entah karena ucapan Maul, atau karena pagar ghaib ini berhasil menetralisir pikiran mereka.
Tapi masalah masih belum selesai.
“Kalau tidak mau keluar, biar teteh yang menarik kalian keluar!” ucap anak perempuan itu.
Samar-samar aku merasakan wajah anak perempuan itu berubah seperti makhluk tua yang mengerikan. Namun itu hanya sesaat.
Entah apa yang harus aku perbuat, anak perempuan itu tengah berjalan menuju patung Ndoro Kasmolo dan mencium kakinya. Ia mendapat restu yang membuatnya diselimuti kabut hitam.
“Ini gawat..” gumamku.
Sekali lagi aku berusaha memanggil keris Ragasukmaku, namun gagal.
Padahal aku berharap bisa menggunakan mantra leluhur di saat seperti ini.
Tapi.. belum sempat anak perempuan itu mendekat, tiba-tiba seseorang terjatuh tak jauh dari atasku dan mengerang kesakitan.
“Aduh..! Kok bisa munculnya dari atas begini!” Ucap orang itu.
“Mas Jagad!” Seketika aku tersenyum menyaksikan kedatanganya.
Ia menatapku sejenak dan berusaha membaca situasi di sekitar tempat ini.
“Ini tempat apa Nan?”
“Udah, aku jelasin nanti.. bawa dulu anak-anak itu keluar” perintahku.
Jagad mengerti maksudku, iapun meminta anak-anak itu saling berpegangan dan membawanya kembali ke alam manusia dengan kemampuanya.
Sembari menunggu Jagad kembali, aku menghadapi sosok teteh yang saat ini terlihat mengerikan itu.
“Kamu bukan anak kecil biasa?” ucapku.
Anak itu memiringkan kepalanya dan tersenyum aneh kepadaku.
“Dia adalah mempelai Ndoro Kasmolo” jelas Maul.
Kini aku sedikit mengerti. Patung itu dan wanita ini adalah sebuah kesatuan. Jelas akan terjadi hal mengerikan bila mereka berhasil bersatu dan menjalankan rencananya.
Aku bersiap menerima serangan anak perempuan itu, tapi tiba-tiba ia sudah tidak ada di posisinya.
“Mati!”
Seketika teteh sudah berada di belakang memeluk kepalaku. Dalam sekejap ia bermaksud mematahkan kepalaku.
Tapi belum sempat itu terjadi, sebuah tepukan mendarat dibahuku dan memindahkanku ke sebuah tempat yang jauh berbeda.
“Danan! kamu nggak papa?” ucap Mas Jagad yang ternyata membawaku keluar dari tempat itu di saat yang tepat.
Aku berusaha menenangkan diri sementara Rizal mengantarkan sebotol air putih untukku.
“Minum dulu nan!” ucap Rizal.
Aku meminum air pemberian Rizal dan mendapati kami dan anak-anak tadi berada di atas atap kantorku dan Rizal.
Tak hanya Mas Jagad, Dirga juga tengah berada di sana merawat anak-anak yang masih menyesuaikan diri setelah kembali ke alam ini.
“Mas, bahaya mas... Dirga, dan abah mereka diincar...” ucapku.
Mendengar ucapanku itu raut wajah Jagad terlihat tidak terlalu heran.
Mungkin saja Mas Jagad sudah mengetahui hal ini terlebih dahulu.
“Mereka mengincar garis keturunan Darmawijaya Nan, tapi mereka masih mengumpulkan kekuatan untuk membalaskan dendamya itu” jelas Mas Jagad.
Mas Jagadpun bercerita mengenai penemuan mereka berdasarkan mimpi Dirga.
Ia menceritakan tentang ketiga patung yang sengaja dibuat untuk membalas dendam ke keturunan Darmawijaya.
“Paklek sudah berhadapan dengan patung sinden, kamu dengan patung berhala, dan tidak satupun dari kita mampu mengalahkanya” ucap Mas Jagad.
Tentu saja ucapan itu membuatku semakin khawatir. Tapi saat ini sepertinya keadaan anak-anak ini lebih penting untuk diperhatikan.
“Mas, Maul benar sudah meninggal?” Tanya salah satu dari anak itu.
Aku menangguk, tidak mungkin aku berbohong pada mereka.
Maul menatap mereka sambil duduk di pembatas bangunan di atap gedung kecil ini. Ia terlihat tersenyum menatap teman-temanya.
“Maul, kami kira kamu nyelametin diri sendirian.. maaf ya”
“Kami kira, kamu kabur. Aku udah ngeledekin kamu terus lho”
Anak-anak itu meluapkan apa yang ingin mereka ucapkan pada Maul dengan berlinang air mata.
Saat itu matahari subuh mulai terbit dari dari belakang tempat Maul duduk. Fajar yang menguning menunjukkan keberadaan Maul yang mulai samar di mata kami.
“Mana mungkin seorang Maul kabur melarikan diri! ingat walau anak jalanan, Maul tetap Maul!” ucapnya sombong.
Kini sesuatu yang membuat Maul tidak tenang sudah terpenuhi. Ia menemukan teman-temanya selamat dan berada di tangan yang aman.
Semoga saja ia benar-benar bisa pergi dengan tenang.
“Bang, titip mereka ya” pamit Maul pada Rizal.
Rizalpun mengangguk sembari menahan air matanya.
Saat itu beberapa bait doa kami lantunkan untuk menghantar kepergian Maul.
Seorang anak jalanan yang telah tiada namun tetap berusaha bertanggung jawab untuk teman-temanya.
Bicara soal teman, sepertinya untuk masalah sebesar ini aku membutuhkan seorang teman yang bisa diandalkan.
Semoga saja dia masih berada di Klaten dan tidak kepikiran jadi tukang Topeng monyet keliling bersama kliwon.
Kalau memang benar, akan butuh ongkos lebih untukku mengejar keberadaanya. Akupun mengambil telepon genggamku dan mencari satu nama yang sudah lama tidak kuhubungi.. Cahyo.
[BERSAMBUNG]
*****
Selanjutnya
*****
Sebelumnya
Terima kasih sudah mengikuti Part ini hingga selesai. mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian cerita yang menyinggung.