Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

DENDAM PATUNG ARWAH (Part 1) - Misteri Patung Arwah

Sebuah mimpi menghantarkan Dirga ke sebuah tempat yang dipenuhi patung batu misterius..
Ada dendam yang terkubur ratusan tahun di sana..


Prolog
JEJAKMISTERI - Sebuah mobil pickup terparkir di perbatasan sungai. Suara gemericik air menghantarkan dua manusia mendekat ke sebuah desa yang hampir termakan oleh alam. Hanya tersisa bangunan-bangunan yang tidak utuh dan sudah dipenuhi lumut dan tanaman merambat.

Bahkan untuk berjalan saja mereka harus bersaing dengan rumput liar yang sudah tumbuh tinggi di sana.

“Desa ini yang muncul di mimpi kamu?” Tanya Jagad memperhatikan suasana di sekitar desa mati itu.
“Iya Mas, nggak salah lagi” balas Dirga singkat.

Dirga menembus jalur yang tertutup rumput liar itu seolah sudah mengetahui jalan yang harus dia lewati. Mimpinya selama beberapa malam ini memaksanya untuk masuk ke dalam desa di hadapanya. Ada rasa cemas yang ia rasakan ketika mimpi itu terasa semakin nyata.

Saat masuk semakin dalam, Dirga mendadak pucat. Terdengar suara tawa cekikikan persis dari arah salah satu bangunan paling ujung di desa itu.

“Hati-hati, jangan lengah” Jagadpun merasa ada sesuatu yang tidak biasa dari tempat itu.

Di hadapan mereka berdua berdiri sebuah bangunan yang cukup luas. Gapura bata merah yang sudah lapuk menyambut mereka masuk ke dalam.

Bangunan itu sudah tidak utuh, tapi setidaknya ini adalah bagunan dengan kondisi yang paling baik di desa ini.

Bata merah yang membentuk dindingnya mengingatkan mereka akan bangunan jaman kerajaan jaman dulu. Jagad dan Dirga mengeluarkan senter dan bersiap masuk ke dalam bangunan itu.

Belum sempat mereka melangkah, mereka tercekat dengan keberadaan bayangan anak-anak di antara mereka.

“Itu patung?” tanya Jagad.
“Iya Mas..”
Mereka menemukan bangunan itu hampir dipenuhi patung anak anak dengan pakaian jaman dulu. Beberapa dari wajahnya terlihat seolah tidak wajar.

Ada yang tidak memiliki telinga, ada yang matanya lebih dari dua, hingga yang mulutnya memanjang hingga ke leher.

“Kalau ini seni, jelas ini terlalu menyeramkan” ucap Dirga.
Jelas Jagad setuju dengan ucapan Dirga.

Namun saat mereka semakin masuk ke dalam, mereka dikagetkan kembali dengan suara cekikikan anak kecil.
“Hihihhihi….”

Jagad dan Dirga menoleh ke setiap arah di bangunan itu. Mereka mencari asal suara itu, namun tidak menemukan apapun. Bahkan mata batin mereka tidak mendeteksi sosok di balik suara itu.

“Disini…hihihi…” Tiba-tiba Dirga tersentak dengan suara yang berasal dari belakangnya. Ia sedikit menunduk dan melihat sebuah patung anak anak tanpa mata dan hidung menyeringai ke arahnya.

“Hwaaa…” Dirga kaget dan melangkah ke belakang. Namun entah mengapa tiba-tiba Dirga menyenggol patung yang iya yakin sebelumnya tidak ada di belakangnya. Prakkk!!! Patung itupun terjatuh, itu adalah patung perempuan berambut panjang dengan kulit berbintil di wajahnya.

Seketika suasana di ruangan itupun berubah.
“Dirga?!” Jagad menghampiri Dirga.
“Sebelumnya patung itu nggak ada di belakang mas..” ucap Dirga.
Jagadpun memeriksa patung yang jatuh itu. Ia merasa ada sesuatu yang janggal di sana.

Patung itu pecah dengan sesuatu yang keluar dari dalamnya.
“I...itu? Tulang? Dan itu cairan apa?” Dirga menyadari sesuatu yang diperiksa oleh mas Jagad.

“Darah…”

Darah itu berwarna hitam pekat seolah sudah berumur sangat lama. Namun bagaimana darah itu tidak membeku dan masih terus berada di dalam patung itu? hal itu mulai membuat Jagad dan Dirga merasakan hal yang berbahaya di tempat ini.

“Hihihihi.. Sutri mati…”
“Salah dia sendiri nakal…” Suara anak-anak itu kembali terdengar.
Berbagai suara anak kecil mulai ramai di telinga mereka. Kini mereka tahu dengan jelas asal suara itu.

“Siapa?! Siapa kalian!” Tanya Jagad.

Pertanyaan Jagad saat itu dibalas tawa oleh suara-suara anak itu.

“Mas-mas tua itu galak!” “Padahal kita cuma becanda… Hhihihi…”

Dirga tidak merasakan bahaya dari suara di patung-patung itu. Iapun mencoba mengatur perasaanya dan bertanya dengan baik-baik kepada mereka.

“Maaf, saya nggak sengaja nyenggol teman kalian. Sebenarnya kalian ini teh siapa?” Tanya Dirga.

***

Suara tawa itu terhenti sesaat.

“Yang kecil lebih baik, pantes aja wajahnya lebih ganteng..” suara anak perempuan terdengar lagi di antara mereka.

“Hatur nuhun, terima kasih. Tapi saya teh penasaran, kalian ini siapa?” Tanya Dirga lagi.

Pertanyaan Dirga hanya dibalas dengan suara kasak-kusuk yang berasal dari patung-patung itu. Sampai beberapa saat, akhirnya salah satu dari mereka mau menjawab.

“Siapa? Kami siapa? Kami juga tidak tahu..”
“Iya kami juga tidak tahu…”

Jagad dan Dirga bertatapan satu sama lain.

“Saya dibuang oleh keluarga karna cacat, Ki Luwang menolong saya dan membawa ke tempat ini. Tapi setelah itu saya tidak bisa bergerak hanya bisa melihat, mendengar, dan mencium bau saja” ucap salah satu patung di belakang.

“I...iya! Hanya Kelik yang bisa mengingat. Kami semua tidak tahu kami siapa. Setelah kalian pergi, kami pasti akan lupa lagi” balas patung lain.

Tangan Dirga mengepal dengan geram. Ia menyadari patung-patung ini sebelumnya adalah manusia yang rohnya di masukkan ke dalam patung untuk tujuan tertentu.
“Kalau gitu, saya bacakan doa supaya kalian bisa bebas apa kalian mau?” Tanya Jagad.

“Maksudnya? Kita bisa bergerak lagi? Tanya Patung kelik.
“Kita nggak gelap-gelapan di sini lagi?” tanya patung yang lain.
Dirga mengangguk. Ia membacakan doa pada patung wanita yang terjatuh di belakangnya mencoba menenangkan roh perempuan yang terjebak di dalamnya.

Samar-samar roh anak perempuan muncul di hadapan mereka. “Rasanya.. tenang” ucap Roh itu sembari tersenyum.

Senyum Dirgapun menyusul senyuman roh anak wanita itu untuk mengantar kepergianya. “Aku mau!!” “Aku juga!”

Suara mereka terdengar seperti suara anak-anak yang berebut meminta jajanan. Jagad dan Dirgapun mengambil posisi duduk di tempat itu dan membacakan ayat-ayat suci untuk menenangkan roh yang berada di patung itu.

“Maaf ya” ini cuma sebentar kok.

Sementara mas Jagad melanjutkan doa-doanya. Dirga menghancurkan patung itu satu persatu dan mengeluarkan berbagai macam tulang, organ yang sudah mengering, dan darah yang berada di dalam patung. Sekumpulan roh anak kecil mulai bersliweran di bangunan tua itu.

Mereka semua tersenyum dan bersiap meninggalkan alam ini. Tapi saat akan menghancurkan patung kelik, kelik menahan Dirga sesaat.

“Saya ingat sesuatu...” Dirga terhenti dan mendengarkan ucapan kelik.

“Ada ruangan lain di dalam, ada patung-patung yang lebih menyeramkan di sana. Tugas kami adalah menjaga mereka sampai mereka sempurna di purnama ke seribu...” Ucapan Kelik membuat Jagad menghentikan doanya sesaat dan mendekatinya.

“Patung lagi? Kelik tahu Untuk apa mereka dibuat?” Tanya mas Jagad.
“Mereka dibuat untuk membalaskan dendam Ki Luwang. Mereka memakan jiwa manusia, dan membawa semua ilmu terlarang dari jaman kerajaan” ucap patung kelik.

“Balas dendam? Balas dendam pada siapa?” Tanya Jagad.

***

“Keluarga Darmawijaya dan keturunanya...”

***

Ucapan patung kelik itu membuat Dirga kaget. Jagadpun segera menoleh ke arah Dirga dan memastikan ia tidak terguncang.

“Ada lagi yang mau kau sampaikan?” Tanya Dirga.
“Ada…” ucap patung kelik.
“Apa itu?” Patung itu terdiam cukup lama seolah menelaah ruangan yang sudah mengurungnya selama bertahun-tahun itu.
“Terima kasih...” Doa dari Jagad dan Dirga mengantarkan kepergian Kelik menyusul teman-temanya yang lain.

“Memang bukan di sini ujung dari mimpi saya mas” ucap Dirga.
“Maksud kamu? Masih ada tempat lain?” Dirga mengangguk dan mengarah ke ruangan yang lebih dalam. Ada ruangan cukup luas setelah ruang patung itu.

Cahaya matahari sudah tidak mampu menerangi sampai dalam hingga mereka berdua mengeluarkan senter untuk menerangi langkah mereka.

“Kalau tau cara jualnya barang-barang di sini bisa laku mahal nih” gurau Jagad.

“Iya mas, habis itu kita kena sial tujuh turunan” balas Dirga sembari mengarahkan senternya ke benda-benda yang tergantung di dinding dan yang berserakan di ruangan itu.

Berbagai benda aneh mereka temukan di sana. Mulai dari tengkorak hewan buas, guci kuno, meja kayu tua, yang semuanya sudah tertimbun oleh debu. Mimpi Dirga menuntun langkahnya menuju sebuah tangga ke bawah.

Ada lorong kecil yang cukup panjang menghantarkan mereka ke sebuah ruangan lagi. Kali ini perasaan mengerikan semakin dirasakan oleh mereka. Merekapun mengikuti firasat yang terus menuntun mereka ke ruangan di ujung lorong itu.

Belum sempat Dirga memasukinya, tiba-tiba ia terjatuh lemas. Ada sesuatu yang menekan dirinya seolah ia ditolak dari ruangan itu.

“Dirga? Kenapa?” Jagad khawatir.
“Nggak mas, nggak papa.. masih bisa kutahan” balasnya.

Jagad memahami apa yang terjadi pada Dirga. Iapun memutuskan untuk bertukar posisi untuk memasuki ruangan itu. Sebuah ruangan yang lembab, berantakan, dan tidak terawat berada di tengah mereka. Bahan dan peralatan pembuat patung tergeletak berantakan di berbagai sisi.

Saat menerangi ruangan itu akhirnya Jagad tahu apa yang membuat Dirga tertekan. Ada tengkorak dan tulang belulang manusia di sebuah kursi kayu di tengah-tengah ruangan itu. tengkorak itu seolah terus menatap ke arah masuk Jagad dan Dirga.

Dari posisinya tengkorak itu berasal dari manusia yang menghabiskan umurnya di kursi kayu itu.

“Ada kekuatan jahat yang meluap-luap dari tulang belulang itu” jelas Jagad.
“Iya mas, hati-hati” balas Dirga.

Jagad masuk ke dalam dan mendapati ruangan itu benar-benar seperti sarang setan yang mengerikan. Hampir di tiap dinding dan langit-langit merayap makhluk berwujud manusia kurus dengan rambut panjang.

Di sudut-sudut ruangan berdiam sosok setan berlidah panjang yang tidak bergerak menatap kedatangan mereka.

“Gila, aku nggak melihat keberadaan mereka di mimpi mas” Ucap Dirga yang bergidik ngeri melihat sosok-sosok itu.

“Wajar, mereka bukan bagian dari tempat ini. Kekuatan yang terus memancar dari tulang-belulang inilah yang memanggilnya” jelas Jagad.
Jagad berusaha tidak menghiraukan setan-setan itu. Namun beberapa dari mereka tetap mendekati Jagad.

Salah satu setan yang merayap menjatuhkan tubuhnya dan mendekatkan wajahnya ke samping wajah Jagad.

“Teu aya hak pikeun jalma anu béda alam pikeun silih campur” (Tidak ada haknya yang berbeda alam untuk saling mengganggu) Dirga memberi peringatan kepada sosok yang mencoba mengganggu Jagad.
Tidak hanya menggertak, Dirga juga sudah memagari dirinya dan Jagad dengan ayat-ayat suci yang segera ia bacakan.

Jagadpun segera melakukan sebuah ritual pemutihan.

Ia mengambil sebotol air dari tasnya dan membacakan doa yang cukup panjang. Sembari membaca doa itu, ia menuangkan air itu melingkar ke kursi di tempat tulang belulang itu berada.

“Nyuwun panguwasaning Gusti kanggo ngresiki kekuwatan ala sing ana ing panggonan iki” (Mohon kuasa Tuhan untuk membersihkan kekuatan jahat yang ada di tempat ini) Kali ini berganti ayat-ayat suci dibacakan oleh Jagad untuk meruwat sisa-sisa jasad yang berada di hadapanya.

Tak lama energi hitam yang menyelimuti tulang belulang itupun hilang. Dan sesuai dugaan mereka, hilangnya kekuatan itu membuat sosok-sosok setan yang berada di dalam ruangan itu pergi satu persatu.
“Sudah aman, Dirga” panggil Jagad.

Dirgapun mendekat, tepat setelah energi itu menghilang, perasaan yang menekan dirinyapun ikut lenyap. Walau begitu firasat akan bahayanya tempat itu masih belum hilang dari dalam dirinya.

“Sebenarnya dia ini siapa ya mas? Kenapa hanya aku yang terpengaruh oleh sisa residu kekuatanya” Tanya Dirga.

Jagadpun mendorong tubuh Dirga untuk masuk lebih jauh. Ia menyorotkan cahaya senternya ke sebuah tembok yang ada di hadapanya.

Tidak begitu jelas, tapi masih dapat terlihat. Ada tiga buah alas bekas patung terjejer di sana. Beberapa retakan seolah menandakan sebelumnya ada patung yang berdiri di sana.

Sayangnya retakan yang tidak berdebu itu seolah menandakan berpindahnya patung itu belum dalam jangka waktu yang lama. Tapi bukan hanya itu yang ingin ditunjukkan oleh Jagad. Melainkan tulisan besar di dinding yang dipahat cukup dalam.

***

“Turunan ke tujuh, purnama ke seribu.. Sumpahku untuk menghabisi seluruh trah Darmawijaya dan semua keturunanya akan dimulai! Ketiga anakku akan membalaskanya untukku..! Nyawaku kupersembahkan untuk darah seluruh garis keturunan Darmawijaya!”

-Ki Luwang

***

PATUNG SINDEN Suara deru mesin mobil bersahutan dengan suara radio yang menemani Jamal dan Rendi melalui jalur antar kota. Jalur pegunungan yang minim penerangan tak membuat Jamal ragu untuk memacu kendaraanya untuk kembali ke kampungnya di Jawa Tengah.

“Kenapa nggak lewat Pantura aja Mal? Biasa kan lewat sana?” Tanya Rendi.
Jamal menoleh ke arah Randi sebentar dan kembali berkonsentrasi pada jalan.

“Biasanya kan kita berangkat dari Jakarta, lebih cepet lewat utara. Lha sekarang kita kan mampir Bandung dulu. Kalau lewat Pantura ya muter” balas Jamal.
Rendi hanya mengangguk sembari memikirikan topik pembicaraan untuk mengamankan Jamal dari kantuknya.

“Lagian kamu nggak ingat kejadian tahun lalu pas kita lewat alas roban?” Tanya Jamal.

Rendi mengingat sejenak. Ia menggali lagi memorinya saat terakhir kali kembali ke kampungnya melewati jalur alas roban. Saat itu ada kejadian aneh yang menimpa mereka.

Sepanjang perjalanan mereka diikuti oleh sebuah mobil yang terus menempelnya tak jauh dari belakang. Mereka sudah melambat ke jalur kiri untuk membiarkan mobil itu melewatinya, anehnya mobil itu malah ikut melambat dan terus berada di belakang mereka.

Merasakan kemungkinan bahaya, merekapun memutuskan menepi ke salah sebuah warung di jalur alas roban yang menurut mereka cukup ramai. Merekapun turun dari mobil dan memperhatikan sosok mobil yang mengikuti mereka.

Mobil itupun melewati Jamal dan Rendi dengan perlahan seolah masih berharap mereka mau melanjutkan perjalanan lagi. Tapi, saat mobil itu akan melewati mereka berdua, sontak perasaan ngeri menyelimuti Jamal dan Rendi.

Mobil itu adalah sebuah mobil box tua yang sudah penuh dengan karat. Beberapa bagian di mobilnya sudah penyok. Jika dilihat dari bentuknya seharusnya mobil itu sudah tidak mungkin beroperasi lagi. Tapi bukan itu masalah utamanya...

Saat melintasi mereka berdua, mobil itu berjalan dengan perlahan. Jendela mobil itu terbuka dan terlihat seorang supir mengendarainya. Jamal dan Rendi yang penasaran berusaha mengintip sopir yang sedari tadi membuntuti mereka. Dan hal itu membuat mereka menyesal.

Mobil itu dikendarai seorang pria dengan tubuh penuh darah. Tanganya tetap menggenggam setir sembari menoleh menyeringai ke arah Jamal dan Rendi dengan wajahnya yang penuh darah. Seketika wajah Jamal dan Rendi menjadi pucat.

Dan tepat saat akan melewati mereka, kepala sopir itu terjatuh di kursi sebelahnya.. Jamal dan Rendi tak mampu bereaksi melihat pemandangan itu sampai akhirnya mobil itu menghilang diantara kabut malam itu.

“Nggak mungkin aku lupa Mal, seumur-umur baru itu aku ngeliat setan” balas Rendi mengkonfirmasi pertanyaan Jamal.

“Nah, pas ngitung-ngitung jam tadi kira-kira kita akan lewat alas roban di jam yang sama. Aku nggak mau ngambil resiko Ren” balas Jamal.

Rendi mengangguk setuju, ia melamun mengingat kejadian mengerikan yang ternyata belum selesai itu. Setelah mobil itu menghilang, Jamal dan Rendi ingin segera melegakan diri mereka dengan secangkir kopi di warung. Tapi kembali lagi hal aneh mengagetkan mereka.

Warung yang tadi terlihat ramai dengan adanya penerangan kini menghilang. Mereka merasa parkir tepat di depan warung, tapi saat menghampiri warung itu, yang terlihat hanya hutan-hutan tanpa ada tanda-tanda warung dan orang sekalipun.

Saat itu Jamal dan Rendi panik. Iapun segera kembali ke mobil dan melanjutkan perjalananya.

***

“Mudah-mudahan lewat selatan nggak ada kejadian begituan lagi deh Ren” ucap Jamal.

“Iya, yang penting ni mobil kuat aja ngelewatin tanjakan-tanjakan pegunungan begini” sahut Rendi.

“Tenang, ini bukan pertama kali aku lewat sini kok” balas Jamal. Rendipun tenang mendengar ucapan Jamal.

Mengenai keahlian menyetir, profesi Jamal sebagai driver di kantor mereka sudah membuat Rendi merasa aman. Walau begitu, tetap saja mobil Jamal yang cukup tua memberi rasa mengganjal untuk Rendi.

***

Melewati jam dua belas malam mereka sempat melamun sebentar sembari menikmati perjalanan. Sedari tadi memang tidak ada kendaraan lain yang berjalan bersama mereka. Di tengah lamunanya, tiba-tiba Rendi mengecilkan suara radio dan mencoba manajamkan telinganya.

“Mal, kamu denger ga?” Wajah Rendi terlihat sedikit bingung. Kali ini ia mematikan radionya dan memastikan lagi kepada Jamal.
“Mal, kok aku denger suara orang nyinden ya?”

Rendi menunggu jawaban dari Jamal, tapi saat memperhatikan wajah Jamal yang ia temukan adalah wajah Jamal yang pucat dan tegang. Hal itu seolah memastikan sedang ada yang tidak beres.

Tidak ada perbincangan diantara mereka berdua setelah itu. Jamal hanya terus fokus pada jalan seolah berusaha tidak menghiraukan sesuatu. Sementara itu sayup-sayup Rendi masih mendengar suara sinden yang entah berasal dari mana.

Perjalanan itu mengantarkan mereka ke percabangan jalan. Rendi melihat plang bertuliskan nama kota mereka ke arah jalur yang kiri, tapi Jamal malah mengarahkan mobilnya ke arah kanan. “Mal! Ke kiri Mal, ambil kiri..” ucap Rendi.

Tapi Jamal tidak menghiraukan dan terus mengambil jalur kanan untuk berbelok ke kanan. Rendi yang bingungpun memperhatikan percabangan di hadapanya dan mendapati pemandangan yang janggal. Ada seorang perempuan berbaju sinden sedang berdiri tepat di tengah jalan jalur kiri.

Ia hanya berdiri dengan raut wajah pucat menatap ke arah Jamal. Mungkin hal itulah yang membuat Jamal memilih mengambil jalur kanan. Wajah Jamal masih terlihat pucat, namun kali ini akhirnya ia mencoba menjelaskan kepada Rendi.

“Sinden itu Ren, dari tadi sinden itu ada di kursi belakang..” jelas Jamal dengan suara yang gemetar.
Rupanya sedari tadi wajah Jamal menjadi pucat karena melihat sosok sinden tengah duduk di kursi belakang.

Ia sengaja tidak menceritakan pada Rendi agar ia tidak menjadi lebih panik lagi. Rendi yang mendengar cerita itupun menelan ludah tidak menyangka dengan apa yang terjadi.

Belum sempat ia bertanya lebih jauh tiba-tiba Jamal mengerem mendadak yang membuat kepala Rendi hampir beradu dengan kaca.

“Mal! Kenapa lagi?” tanya Rendi yang kaget dengan perilaku Jamal.
“Itu! I...itu Ren” tunjuk Jamal.

Ada bayangan manusia di hadapan mereka. Sesosok bentuk menyerupai manusia menghadang mereka tepat di tengah jalan. Tapi tidak ada sedikitpun pergerakan dari bayangan itu.

“Deketin aja Mal, pelan-pelan” ucap Rendi.

Jamal mengikuti ucapan Rendi dan perlahan mendekat ke sesuatu yang menghadang mereka. Cahaya lampu mobilpun menunjukkan sosok yang ada di hadapan mereka. Sebuah patung... Patung itu terlihat sangat tua dan sudah berlumut dengan beberapa bagian yang sudah mengerak.

Wujudnya seorang perempuan bersanggul anggun namun wajahnya datar tanpa ada ukiran mata, hidung, dan mulut.

“Patung sinden..” gumam Jamal. Rendi tidak mengerti bagaimana Jamal bisa menyimpulkan seperti itu, namun ucapanya memang sesuai dengan wujud patung itu.

Patung itu mengenakan kebaya layaknya seorang sinden, namun sebagian kebayanya sudah sobek seperti sudah sangat tua.

“Aku pinggirin dulu deh” kata Rendi yang segera turun dari mobil untuk menggeser patung itu. Rendi menatap sesaat patung itu dan merasakan perasaan yang aneh.

Iapun mencoba mengangkatnya, tapi tak sedikitpun patung itu bergeser dari tempatnya.

“Kenapa Ren?” Teriak Jamal dari dalam mobil.
“Nggak bisa, berat. Kayak jadi satu sama aspalnya..” Jamalpun ikut turun dari mobil dan menghampiri Rendi dan patung itu.
“Lemah kamu Ren” ledek Jamal.
“Yee, coba saja sendiri” balas Rendi.

Jamal berdiri sejenak dihadapan patung itu. Tidak seperti Rendi, entah mengapa Jamal terkesima melihat benda seni yang ada di hadapanya itu.

“Kalau kita bawa pulang saja gimana Ren?” tanya Jamal.

“Heh! Maling itu namanya! Jangan aneh-aneh” Tegur Rendi sembari menepuk bahu Jamal.
Jamalpun mengangkat patung itu, tapi anehnya patung itu terasa sangat ringan.

“Enteng kok Ren, gampang banget ngangkatnya” ucap Jamal sembari beberapa kali mengangkat patung itu.

Rendi heran, ia kembali mencoba mengangkat patung itu tapi gagal. Kali ini ia jelas merasa ada yang aneh.

“Lho.. lho! Kok dibawa ke mobil?” tanya Rendi.

“Nggak papa, biar taro di rumahku aja buat pajangan di deket pancuran” ucap Jamal sambil melipat jok mobil tengah dan belakang untuk membawa patung itu.

“Jangan Mal, aku ngerasa ada yang nggak beres sama patung itu. Aku ga bisa ngangkat sama sekali, tapi kamu bilang enteng?” ucap Rendi berusaha menahan Jamal.

“Halah, kamu yang lemah yang disalahin patungnya. Udah cepet masuk” balas Jamal yang segera kembali ke kursi pengemudinya. Merekapun melanjutkan perjalanan malam itu. Rendi masih terus curiga dengan patung yang ia bawa.

Beberapa kali ia menoleh ke arah benda yang terbaring di belakangnya untuk mengawasinya. Beruntung akhirnya saat pagi datang mereka sudah sampai di kota tujuan. Kampung Jamal dan Rendi cukup berdekatan. Hanya berjarak setengah jam perjalanan bila menggunakan mobil.

Jamalpun mengantar Rendi ke desanya sebelum pulang ke rumahnyya.
“Matur nuwun ya Mal, sebulan lagi tak samperin ke desamu” ucap Rendi.
“Halah, santai.. aku samperin ke sini lagi juga nggak masalah” balas Jamal.

Merekapun berpisah dengan Jamal masih membawa patung sinden itu di dalam mobilnya.

***

Wabah

Sudah lebih dari sepuluh hari sejak perpisahan Jamal dan Rendi. Setelah sampai di kampung masing-masing mereka lebih banyak menghabiskan waktu dengan anggota keluarga mereka.

Setelah Jamal mengabari ia sudah sampai di kampungnya, hampir tidak ada komunikasi diantara mereka berdua.

“Kamu ndak main ke kampungnya Jamal Mas?” tanya Sudarti istri Rendi.
“Nggak usah dek, dia juga pasti lagi sibuk sama keluarganya. Apalagi kelar proyek kemarin dia bawa duit banyak” balas Rendi. “Wah, enak banget. Lha kamu mana mas? Masa nggak bawa juga?” pandang Sudarti dengan mata sedikit sinis.

Saat itu juga Rendi menggandeng tangan istrinya dan menunjuk ke arah salah satu sawah.
“Itu lho, sawahnya Pak Carik udah mas bayar. Ada sisanya sedikit buat peganganmu pas mas berangkat lagi.” Jelas Rendi.
“Maksudnya, sawah Pak Carik sudah Mas beli?” tanya Sudarti memperjelas.

Rendi mengangguk,
”Baru sepetak, mudah-mudahan tahun depan bisa nambah lagi terus mas bisa ngurus sawah dan nggak merantau lagi” Sudarti tersenyum mendengar penjelasan suaminya itu.

Awalnya ia sedikit malu karena biasanya apabila ada warga pulang merantau pasti mengadakan syukuran yang mewah dan kadang berbagi rupiah untuk anak-anak warga desanya. Tapi kali ini tidak dilakukan oleh Rendi.
“Maaf ya, kita harus prihatin dulu” ucap Rendi.

“Nggak papa mas” balas Sudarti singkat sembari memeluk tangan Rendi memandang sepetak sawah yang baru saja mereka miliki.

***

Rendipun mulai menggarap sawah itu dengan bantuan warga desa.

Setidaknya sawah sudah selesai ditanam saat Rendi berangkat dan ada warga yang membantu mengelolanya saat kepergian Rendi. Di tengah kesibukan mereka tiba-tiba Sudarti menghampiri ke sawah dan memanggil Rendi dengan wajah yang cemas.

Rendipun meninggalkan pekerjaanya sejenak dan menghampiri istrinya. “Istri Mas Jamal datang” ucap Sudarti.
“Sama Jamal?” tanya Rendi.
Sudarti menggeleng menjawab pertanyaan Rendi. Mengetahui hal itu Rendi merasa ada hal yang serius yang ingin dibicarakan oleh istri Jamal.

Iapun berpamitan pada warga desa yang membantunya untuk segera kembali ke rumah.

Sesampainya di rumah, Rendi mendapati Wasmi istri Jamal tengah menunggu dengan wajah yang cemas. Saat mengetahui kedatangan Rendi ia segera berdiri menyambutnya.

“Masuk dulu Wasmi” sambut Rendi sembari mempersilahkanya duduk. Sementara Rendi membersihkan diri, terjadi perbincangan kecil antara Sudarti dan Wasmi. Perbincangan mengenai kegiatan sehari-hari dan kabar anak-anaknya.

Tapi mengenai tujuanya ke tempat ini seorang diri, Wasmi masih menunggu Rendi.

“Diminum dulu Wasmi, tumben kesini sendirian? Kemana Jamal?” Tanya Rendi yang baru saja bergabung dengan mereka.

Wajah Wasmi terlihat bingung, ia menatap Sudarti seolah ragu apa harus membicarakanya atau tidak.

“Anak saya Mas, Udin sakit mas. Sudah hampir seminggu..” Wasmi membuka maksud kedatanganya.

“Ya ampun, terus gimana? Sudah dibawa ke rumah sakit?” Tanya Sudarti.

“Sudah Mbak, sudah dapet obat. Tapi bukanya semakin membaik malah sebaliknya” jelas Wasmi. Rendi dan Istrinya beradu pandang memikirikan hal yang sama.

“Jamal gimana? Udah coba dibawa ke rumah sakit kota?” Tanya Rendi.

Wasmi sudah tahu pertanyaan itu pasti akan keluar dari mulut mereka berdua. Iapun menggenggam erat tanganya di pangkuanya seolah menguatkan diri untuk bercerita.

“Jamal semakin hari semakin aneh mas..” ucapnya.
“Aneh gimana maksudnya?” tanya Rendi.

“Mas juga tahu kan kalau Jamal pulang dengan membawa patung dengan pakaian sinden?” Rendi mengangguk, sementara Sudarti mencoba mencerna arah perbincangan mereka.

“Jamal jadi aneh beberapa hari setelah pulang ke rumah, sepertinya karena patung itu..”

Jamal pulang seperti biasa disambut oleh istri dan anaknya. Tidak ada hal aneh saat itu. Jamal memberi kejutan pada Wasmi dengan memberikan gajinya pada istrinya. Udinpun turut senang setelah dijanjikan akan diberikan sepeda.

Tapi hal itu berubah ketika Jamal menurunkan patung sinden itu dan meletakkanya di gudang halaman belakang.

“Setiap hari Mas Jamal ngurusin patung itu terus Mas, makin lama makin nggak wajar” ucap Wasmi. “Maksudnya nggak wajar gimana?” tanya Rendi.

Wasmi bercerita, awalnya mas Jamal hanya membersihkan patung itu untuk dipajang di halaman belakang. Tapi saat malam tiba, Jamal meninggalkan kamar dan menghampiri patung itu di gudang. Ia berada di sana sampai pagi hari.

Setelah kejadian itu, Jamal menjadi cuek dengan keluarganya. Ia melupakan janjinya pada udin dan malah membeli benda-benda aneh. Patung itu dipakaikan kebaya yang mahal dan selendang yang mewah. Terkadang tercium bau kemenyan dari dalam gudang belakang.

Setiap saya mau melihat ke sana Jamal selalu marah. Tak cukup sampai disitu, hampir setiap hari Jamal membeli ayam hidup. Awalnya Wasmi bingung, namun suatu malam ia memberanikan diri untuk mengintip ke gudang.

“Mas Jamal menyembelih ayam itu dan mengguyurkanya di patung sinden itu mas..”

Rendi hampir tidak percaya dengan cerita yang ia dengarkan dari Wasmi. Namun bila Wasmi sampai datang ke tempat ini seorang diri, pastilah itu hal yang serius.

Wasmi menjelaskan bersamaan dengan tingkah aneh Jamal, kesehatan udin mendadak memburuk dengan tiba-tiba. Tubuhnya melemah dan muncul koreng di tubuhnya. Wasmi meminta Jamal untuk membawa udin periksa, tapi Jamal seolah tidak peduli.

Udin sudah diberi obat, namun sakitnya malah semakin parah. Yang membuat Wasmi berpikir bahwa penyakit itu tidak wajar adalah ketika setiap malam saat Jamal memasuki gudang belakang, tak lama Udin berteriak kesakitan. Lukanya kembali bernanah tanpa sebab yang jelas.

Besoknya tak hanya udin, hampir semua anak-anak di desa itu terjangkit penyakit yang sama. Anak-anak itu lemah tak mampu bangkit dari tempat tidurnya, tubuhnyapun muncul bintik dan luka persis seperti Udin.

Awalnya Wasmi ingin memberi tahu tentang Jamal ke warga desa dengan harapan ada yang mengerti sehingga bisa menangani wabah ini. Tapi Wasmi mengurungkan niatnya karena takut terjadi apa-apa pada Jamal bila ia dituduh sebagai penyebabnya.

“Ya sudah, kita samperin aja Jamal. Kalau benar seperti ceritamu biar aku tempeleng sendiri orangnya” ucap Rendi. Rendipun berpamitan pada istrinya dan mengikuti Wasmi menuju desanya.

Sebelum berangkat Rendi menghampiri Pak Carik terlebih dahulu untuk menitipkan sawah yang baru saja ia beli darinya. Sejak awal Pak Carik memang sudah berjanji akan membantu mengelola sawah tersebut sampai Rendi kembali menetap di desa.

“Kulo Nuwun” Rendi menghampiri sejenak rumah Pak Carik yang tengah menerima tamu seorang bapak di sana. “Eh monggo mas Rendi, maaf mohon tunggu sebentar ya” Sambut Pak Carik.
“Wah lagi repot ya pak? Saya ijin pamit sebentar pak. Mau nitip sawah saja, pupuk dan yang lainya sudah saya letakkan di depan” Ucap Rendi.
“Lah mau kemana to mas Rendi? Bukanya katanya sebulan di sini?” Tanya Pak Carik.
“Iya pak, Cuma sebentar. Mau nyamperin temen di desa sebelah” balas Rendi..
“Temenya sakit?” tanya Pak Carik.

“Bisa jadi pak, agak aneh juga. Makanya mau saya samperin”
“Aneh gimana?” Pak Carik penasaran.
“Belum tau juga, tapi katanya sampai membawa wabah ke anak-anak di desanya” jelas Rendi. Mendengar ucapan seseorang yang bertamu seolah menatap penasaran ke arah Rendi.

Pak Carikpun tak mau menahan Rendi lebih lama dan mempersilahkanya untuk berangkat. Merekapun berjalan kaki ke jalan utama dan menaiki bus menuju rumah Jamal.

***

Menjelang maghrib mereka tiba di tempat tujuan. Tidak seperti di desa Rendi, desa Jamal terasa lebih sepi di waktu maghrib. Wasmi mengajak Rendi ke rumah orang tuanya terlebih dahulu. Di sanalah tempat ia menitipkan udin anaknya sembari membiarkan Rendi beristirahat.

Ia yakin bila Rendi dan Jamal bertemu pasti akan ada perbincangan panjang. Rendipun menikmati segelas kopi dan makanan ringan yang disajikan oleh Wasmi. Saat itu ia mendengar suara rintihan dari salah satu kamar di rumah itu. “Ibu… sakit ibu..”

Itu adalah suara udin. Benar seperti cerita Wasmi, udin merasa kesakitan saat hari mulai gelap. Iapun ikut masuk dan melihat keadaan Udin. Ia mendapati Udin merintih kesakitan dengan luka bernanah di tubuhnya. Tubuhnya kurus dengan wajah yang pucat.

Terlebih setiap malam ia selalu meminta lampu kamarnya dimatikan karena merasa kesakitan bila berada di ruangan yang terang. Suara rintihan itu juga terdengar di beberapa rumah lain di desa itu. Rendipun geram dan meminta ijin untuk langsung menemui Jamal.

Wasmi dan Rendipun sampai di rumah Jamal. Sesuai dugaan Wasmi, mereka tidak menemui keberadaan Jamal di rumah dan bergegas menuju gudang belakang. Itu adalah gudang sederhana yang dibuat dengan kayu seadanya, namun cukup besar untuk menyimpan peralatan pertanian.

Dari celah kayu itu terlihat cahaya oranye menyala dari dalam ruangan. Dari bentuk cahayanya mereka menduga itu berasal dari nyala lilin atau lampu minyak dibanding nyala lampu.

Sebelum memutuskan untuk masuk, Rendi memilih untuk mengintip terlebih dahulu apa yang dilakukan oleh Jamal di dalam bangunan. Ia meminta Wasmi menjaga langkahnya agar tidak terdengar sementara Rendi mengintip dari celah bangunan itu.

Baru sebentar melihat dari celah lubang, tiba-tiba wajah Rendi berubah menjadi seram. Ia seolah menahan marah. Saat itu juga ia menendang pintu gudang itu hingga terbuka lebar.

“Heh Jamal! Kesurupan apa kamu! Gendeng kamu!
Bisa-bisanya melakukan tindakan menjijikkan itu!” Rendi marah sejadi jadinya. Wasmi tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Patung sinden itu kini terlihat cantik dengan wajah yang sudah terlukis dengan darah yang pekat.

Bagian tubuh lainyapun masih terlihat darah segar dari ayam yang baru di sembelih oleh Jamal. Tapi bukan itu bagian mengerikanya... Mereka memergoki Jamal sedang memasukkan kemaluanya ke bagian kewanitaan dari patung sinden itu.

Dengan kebaya dan jarik yang setengah terbuka, patung itu terlihat dengan jelas memamerkan bagian kewanitaanya, dan Jamal terlihat bernafsu dengan itu.

“Mas! Eling mas! Eling!” ucap Wasmi sembari menangis.

“Rendi! Ngapain kamu di sini!!” Jamal terlihat sangat marah melihat kedatangan mereka berdua.

“Nggak usah banyak tanya! Pakai celanamu dan keluar!!” Rendi menarik Jamal dan memaksanya untuk keluar, tapi Jamal menolak.

“Kamu nggak usah ikut campur! Ini urusanku!!”

Merasa kesal, Rendipun mengayunkan lenganya dan meninju wajah Jamal. Jelas saja Jamal segera membalas pukulan itu hingga terjadi keributan di sana. Aneh, Jamal terlihat berbeda sejak terakhir mereka bertemu. Wajahnya terlihat lebih segar dan tubuh yang lebih kekar.

Tenaganyapun jauh lebih kuat dari sebelumnya.
“Wasmi! Hancurkan patungnya!” Teriak Rendi.
Mendengar teriakan Rendi, Wasmi segera mengambil sebuah cangkul dan berlari menuju patung itu. “Jangan berani-berani! Kubunuh kamu!” Teriak Jamal.

“Itu Istrimu bangsat!” Teriak Rendi sembari kembali memukul Jamal. Warga desa yang mendengar keributan itupun mulai berdatangan dan mencari tahu tentang keributan mereka berdua.
“Mas ada apa to ini?” beberapa dari mereka mencoba memisahkan.

Wasmipun mengayunkan cangkulnya untuk menghancurkan patung sinden yang mengerikan itu, tapi berkali-kali ia memukul patung itu tidak hancur dengan mudah. Sebaliknya Wasmi merasakan adanya kejanggalan.

“I...ini siapa yang nyinden?” salah satu warga desa tersadar dengan suara yang tiba-tiba terdengar di antara mereka.

Sementara itu Wasmi terpaku menatap patung itu,
”Patung ini hidup?” Entah mengapa Wasmi merasa seperti itu, padahal patung itu tidak bergerak sama sekali.

Bersamaan dengan suara sinden itu, Jamalpun mulai bertingkah aneh. Tenaganya semakin kuat dan melepaskan diri dari warga. Warga mengira ia akan mengamuk, namun sebaliknya. Jamal malah menari sambil tersenyum menikmati suara sinden yang mengiringinya.

“Jamal! Sadar Jamal!” Teriak Rendi. Jamal tidak peduli. Ia benar-benar menikmati tarianya bersama suara sinden misterius yang sayup-sayup terdengar olehnya. Gerakan Jamal terlihat semakin cepat seolah mulai termakan emosi. Beberapa warga yang mencoba menahanyapun terpental.

Tiba-tiba dari jauh terdengar suara langkah kecil yang mendekat. “Nak!! Mau kemana nak??” teriak seorang ibu yang berusaha menarik anaknya mendekat ke arah Jamal.

“Udin? Kenapa kamu kesini udin?” Wasmipun heran mengapa Udin juga ikut mendekat ke tempat ini.

Wargapun mulai tersadar dengan keadaan disekitarnya. Seluruh anak kecil yang tengah sakit di desa itu ternyata sedang mencoba mendekat ke arah Jamal. Wasmi dan warga lain mencoba menahan anak-anak yang semakin terlihat pucat itu. Namun tenaga mereka jauh di luar nalar.

Anak yang lolos dari wargapun mendekat kepada Jamal dan ikut menari. Satu persatu dari merekapun ikut bergabung. Beberapa warga memeluk anaknya erat-erat agar tidak mendekat, tapi ia tetap berusaha menari dengan alunan suara sinden itu.

“Ini ada apa? Kenapa bisa begini?” ucap warga yang kebingungan. “Patung itu Wasmi! Hancurkan! Minta bantuan warga!” teriak Rendi yang masih mencoba menahan Udin.

Dengan isyarat dari Rendi beberapa warga segera berlari membantu Wasmi untuk menghancurkan patung itu.

Sayangnya sebelum mereka sampai ke sana, tiba-tiba Jamal menghentikan tarianya dan memuntahkan cairan hitam dari mulutnya. Hal itu terjadi bersama tumbangnya anak-anak yang menari bersamanya.

Mereka terjatuh terbaring dengan mata yang masih terbuka namun dengan tubuh yang terbujur kaku.

“Udin! Sadar Udin!” teriak Rendi. Mengetahui ada keanehan pada anaknya, Wasmipun melemparkan cangkulnya dan berlari ke arah udin.

“Nak! Kamu kenapa nak!” ibu yang lainpun mendekat ke arah anak-anak itu. Sayangnya, malam itu menjadi malam yang kelam untuk desa itu. Semua anak kecil di sana terbaring tak bernyawa setelah selesai menari bersama Jamal.

“Udin!! Jangan pergi Udin!” Wasmi menangis sejadi-jadinya mengetahui anak yang ia usahakan untuk diselamatkan menginggal dengan tidak wajar. Rendi kembali mendekat kepada Jamal, namun Jamal juga terkapar di tanah.

Suara tangis memenuhi halaman belakang rumah Jamal di malam itu. Patung sinden itu masih berdiri dengan posisi pakaian yang menggoda. Rendi melihatnya dengan kesal dan mengambil sebuah cangkul. Ia berniat menghancurkan patung itu.

Sayangnya, tiba-tiba seseorang memeganginya dari belakang dan menghalanginya. “Jangan sentuh patung itu!” Jamal kembali sadar. Tapi kini suaranya berbeda dengan sebelumnya, suaranya menipis seolah bukan suara Jamal.

Warga yang melihat kejadian itupun menyusul Rendi dan berinisiatif menghancurkan patung itu. Namun saat mereka mendaratkan pukulanya ke patung itu, tiba-tiba mereka terhenti. Semua warga yang mencoba menghancurkan patung itu dengan alat apapun tiba-tiba bertingkah aneh.

Matanya memerah seolah kerasukan sosok yang buas. Merekapun berbalik ke arah warga dan Rendi dengan menggenggam berbagai peralatan berat di tanganya. Ada tiga warga yang mengalami nasib serupa. Mereka seolah mengincar Rendi dan warga desa untuk dihabisi.

“Pak! Ja...jangan pak! Patungnya! Hancurkan patungnya!” Teriak Rendi. Sayangya ketiga warga itu tidak peduli dan semakin cepat mendekat ke arah Rendi yang ditahan oleh Jamal. “Lepasin Jamal! Lepasin!” Teriak Rendi. Anehnya tenaga Jamal semakin besar.

Ia merasa kulit Jamal semakin segar dan tubuhnya semakin kuat. Rendi bersiap menahan serangan dari ketiga warga yang kerasukan itu, tapi sebelum sebuah linggis mendarat di kepalanya tiba-tiba terdengar suara alunan doa yang mendekat kepada mereka.

Ada seseorang berjalan cukup cepat mendekat dari kejauhan. Seorang pria... Rendi mencoba mengenali wajah orang yang terlihat tidak asing bagi Rendi. Dalam sekejap iapun mengingat bahwa ia adalah seorang bapak yang tadi berkunjung bertemu Carik Desanya.

Lantunan doa pria itu membuat warga yang kerasukanpun terhenti. Saat mencapai Rendi, ia memegang kepala warga yang kesurupan satu persatu dan membacakan doa. Perlahan satu persatu warga desapun pingsan dan kehilangan kesadaran. Jamalpun tak luput dari itu.

“Menjauh semua! Menjauh dari patung itu!” Teriak orang itu. “Pak, bapak yang tadi ketemu di tempat Pak Carik itu kan?” tanya Rendi.
“Iya betul, nama saya Bimo. Maaf saya terlambat” ucapnya sembari melihat jasad anak-anak kecil yang sebagian besar masih di pelukan ibunya.

“Pak Bimo tahu tentang semua ini?” Tanya Rendi. “Sayangnya tidak mas, tapi setidaknya semoga saya bisa mencegah bertambahnya korban” ucap Bimo. Bimo mengambil sebotol air, membacakan doa, dan menyiramkanya ke sekeliling bangunan tempat patung itu berada.

Ia juga melemparkan garam kasar di sekitarnya sembari membacakan ayat-ayat suci. Perlahan suara tembang sinden itupun sayup-sayup tidak terdengar lagi. Rasa mencekam yang dirasakan warga desapun perlahan mulai menghilang.

Setelah memastikan tidak ada warga yang kesurupan, wargapun berpencar mengurus permasalahan ini. Sebagian mengurus jasad anak-anak yang meninggal, dan sebagian berkumpul di balai desa membahas permasalahan ini.

“Pak, anak saya pak..” tangis Wasmi meminta petunjuk mengenai kondisi Udin yang sudah tidak sadar. Bimopun mengecek tubuh Udin dan menggeleng.
“Maaf Mbak, ikhlaskan anak ini ya. Biar saya bacakan doa untuk menghantarnya” balas Bimo sembari menutup mata udin dan mendoakanya.

Wasmi terus menangis tanpa henti. Orang tuanyapun datang dan berusaha menenangkanya. Kini sebagian warga, Rendi, dan Bimopun berkumpul di balai desa.

“Apa yang sebenarnya terjadi? Beberapa hari lalu desa ini masih tenang, kenapa tiba-tiba anak-anak bisa sakit dan berakhir seperti ini?” ucapan keras seorang warga membuka pembicaraan.

Warga di balai desapun memulai berbagai spekulasi, mulai dari wabah anak-anak, patung sinden, dan bahkan mulai membicarakan Jamal. “Pak Bimo, mungking panjenengan bisa menjelaskan apa yang terjadi pada desa kami?” Tanya salah seorang warga.

Bimo menghela nafas dan menoleh pada Rendi.
“Mohon maaf bapak-bapak, saya sendiri baru datang dan belum mengerti. Tapi mungkin Mas Rendi tahu sedikit tentang masalah ini. Tapi tolong jangan menyalahkan siapapun atas kejadian ini. Karena satu hal yang saya tahu pasti, ini semua karena tipu daya setan..” ucap Bimo mempersilahkan Rendi.

Malam itu Rendi menceritakan semua hal yang ia tahu. Runtutan kejadian-kejadian itu sangat sulit dipercaya.

Mulai bertemunya mereka dengan sosok setan sinden di jalan hingga dihadang oleh patung. Kemampuan Jamal mengangkat patung itu saja juga sudah janggal, disitulah Bimo menjelaskan bahwa saat itu Jamal sudah dipengaruhi oleh setan itu.

Sesampainya di desa, Rendi tidak begitu khawatir hingga Wasmi datang ke rumahnya meminta tolong untuk berbicara dengan Jamal perihal sakit anaknya dan perbuatan anehnya setiap malam di gudang belakang.

Dan malam inilah Rendi tahu bahwa Jamal melakukan ritual menjijikkan dengan memenuhi semua nafsu patung itu.

“Anak-anak di desa ini adalah tumbal untuk patung sinden itu. Sosok dibalik patung itu sedang mencoba melakukan sesuatu yang mengerikan” Jelas Bimo.

“Maksudnya anak-anak kami, anak di desa kami menjadi tumbal Jamal?” Tanya salah satu warga dengan penuh amarah.

“Bukan Jamal, dia juga korban.. patung sinden itu bisa mempengaruhi siapa saja. Besok biar kita kuburkan anak-anak dengan layak agar rohnya tidak terikat sebagai tumbal patung itu..” jelas Bimo. Warga berusaha menerima penjelasan Bimo, namun beberapa dari mereka masih memendam amarah pada Jamal.

Belum sempat melanjutkan perbincangan, tiba-tiba terdengar suara mesin mobil yang menyala. Suara itu berasal dari rumah Jamal.

“Pak! Jamal hilang!” teriak salah satu warga yang segera mengecek keberadaan Jamal setelah mendengar suara mesin mobil itu.

Seketika seluruh warga di balai desa berhamburan keluar memastikan mobil yang melintas tak jauh dari hadapan mereka.

“Itu mobil Jamal” ucap Rendi. Iapun berinisiatif berlari ke rumah Jamal memastikan keadaan di sana.

Wasmi masih berada di rumah orang tuanya dan tidak ada siapapun di rumah Jamal.

“Pak Bimo, patung sinden itu tidak ada..” Ucap Rendi yang segera kembali dengan terengah-engah menemui Bimo.

“Sialan! Bisa-bisanya Jamal!” umpat salah satu warga desa tersebut.

Bimo terlihat bingung, tanpa adanya patung itu ia tidak bisa menyelediki patung apakah itu dan mengapa patung itu sampai memiliki kekuatan yang bisa mengutuk satu desa.

Sebelum kembali ke desa Bimo mencoba memeriksa gudang di belakang rumah tempat patung itu sebelumnya berdiri. Ia menyalakan lampu minyak yang tergantung di gudang itu dan melihat sekitarnya.

Sebuah ruangan yang wangi dengan kembang dan kemenyan, padahal tanah di bawah tempat itu sudah tergenang darah ayam yang dikurbankan. Bimo mencari petunjuk apapun di tempat itu, namun yang tersisa hanya sisa ubo rampe ritual.

Rendi ikut mencoba mencari tahu apa yang sekiranya bisa membantu Bimo. Iapun menemukan sebuah benda yang dibungkus kantung plastik hitam. saat mengetahui isinya, ia segera memberikanya kepada Bimo.

“Pak Bimo, ini kebaya tua yang dikenakan patung itu saat kami temukan” ucap Rendi. Bimo membuka bungkusan itu dan melihat kebaya berwarna krem dengan selendang berwarna merah gelap. Benda itu sudah kotor dan memiliki robekan yang cukup banyak.

Tapi Bimo tahu, ada sesuatu yang mungkin bisa ia ketahui dari benda ini.
“Matur nuwun mas, saya bawa benda ini. Semoga saja bisa memberi saya petunjuk” Balas Bimo.

Kejadian di desa itu sama sekali tidak terduga oleh Bimo.

Entah mengapa ia merasa itu adalah awal dari tragedi yang jauh lebih besar. Paginya Bimo membantu warga untuk menguburkan anak-anak hingga benar-benar selesai. Tangisan orangtua mereka hampir tidak pernah berhenti bahkan hingga makam mereka ditutup.

Bimopun jelas merasakan kesedihan mereka. Tak lama terdengar suara dering telepon dari telepon genggam milik paklek. nama Danan terpampang di layarnya, iapun segera mengangkatnya. “Paklek, maaf ganggu ada kabar penting paklek” ucap Danan.

“Kabar apa Nan? Coba ceritain pelan-pelan” Melalui itu Danan bercerita tentang kejadian yang membuatnya bingung tentang adanya sebuah bagunan yang tak begitu jauh dari kantornya. Beberapa isu menceritakan bahwa bangunan itu digunakan oleh sekumpulan orang yang mencurigakan.

Orang-orang itu berkumpul setiap malam tertentu. Merekapun membawa barang-barang yang tidak biasa. Bahkan mereka pernah kepergok membawa seekor kambing hitam hidup-hidup masuk ke dalam gedung.

“Kamu sudah mencari tahu sendiri Nan?” Tanya paklek.

“Sudah Paklek, makanya sekarang saya bingung..”
“Memangnya apa yang kamu temukan?” Danan bercerita kalau dia sempat menggunakan ilmu ragasukmanya untuk mengecek tempat itu. Tapi saat masuk ke sana, danan melihat sukma orang-orang itu tidak lagi berwujud manusia.

Sukma mereka berwujud setengah binatang. Tapi saat semakin mendekat, sukma danan terpental dan kembali ke tubuhnya dengan paksaan.

“Ada kekuatan di sana yang membuat kemampuan keris ragasukma tidak berdaya, paklek” jelas Danan.
“Apa itu Nan? Kamu sempat melihat sesuatu?”

“Iya paklek, ada sebuah patung di sana. Sebuah patung berwujud kakek tua bungkuk dengan pakaian seperti pada jaman dulu. Tapi wajahnya lebih menyerupai seekor kambing.
Patung itu disembah oleh kelompok itu. Ada banyak kurban yang diserahkan. Tapi ada satu yang mengganjal pikiranku paklek.
Ada seorang anak perempuan yang dikurung di kamar berbentuk penjara dan didandani secantik mungkin. Aku takut kalau ternyata mereka berniat mengurbankan anak wanita itu untuk berhala itu…”

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya
close