JASAD HIDUP SANG SANTRI (Part 4 END) - Sosok dibalik Jasad Santri
Suara langkah kaki terdengar setapak-demi setapak menyibak dedaunan. Ia berjalan bungkuk menahan dendamnya. Dengan wajah penuh amarah ia menuju pesantren diantara tengah perbatasan malam.
JEJAKMISTERI - Ustad Sobirin masih memantaunya sepanjang malam berharap Fadil akan kembali seperti biasa seperti sebelum-sebelumnya.
Tapi amarah itu tidak reda..
“Kembalikan tumbalku...”
Ia menggeram sembari menggumam meminta sesuatu yang menurutnya menjadi haknya.
“Yang kalian curi, harus kalian bayar dengan mahal...”
Nyatanya sosok yang mendiami tubuh Fadil kini sudah dipenuhi oleh amarah yang entah dimana ujungnya.
Ustad Sobirin tidak tahu resiko atas perbuatanya.
Namun ia mengambil keputusan itu karena tragedi ini harus diselesaikan, cepat atau lambat.
***
Kang Aang melihat kedatangan seseorang dari jauh. Kala itu matahari mulai menunjukkan sedikit cahayanya bersama kabut putih yang setia menyambutnya.
Seseorang berjalan bungkuk melangkah perlahan ke arah Kang Aang. Itu bukan cara berjalan manusia pada umumnya. Jelas saja Kang Aang waspada dan memperhatikan sosok itu.
“Siapa itu?!”
Sosok itu tidak menjawab dan terus berjalan perlahan menuju pesantren.
Ada firasat buruk di diri Kang Aang saat melihatnya, iapun keluar untuk menghampirinya.
“Fadil?”
Tanya Kang Aang bingung saat sosok itu mulai mendekat.
Tubuhnya basah, pakaianya penuh dengan kotoran tanah, wajahnya penuh dengan amarah tidak lagi seperti wajah seorang anak remaja.
“Fadil? Kamu ngapain di sana? Gimana kamu bisa keluar?” Tanya Kang Aang bingung.
Fadil tidak menjawab dan terus menyeret langkahnya menuju pondok. Perasaan Kang Aang berada diantara khawatir atau takut.
Kang Aangpun bersiap menghampiri Fadil, namun sebelum itu terjadi tiba-tiba Ustad Sobirin muncul dan menghadang Fadil.
“Kamu tidak boleh masuk ke dalam..” Tahan Ustad Sobirin.
Melihat kedatangan Ustad Sobirin, Fadilpun menyeringai. Ia sedikit tertawa menatap raut wajah Ustad Sobirin.
“Aku tahu, ini ulahmu.. Janin itu adalah perjanjian mereka denganku” kata sosok yang menghuni tubuh Fadil itu.
“Sekarang perjanjianmu sudah cacat, tidak akan ada lagi janin yang kau terima!” Ucap
Wajah Fadil berubah kesal, ia mengangkat lenganya menunjuk tepat ke wajah Ustad Sobirin.
“Terkutuk kau manusia! Kalian akan membayar ini semua!” ancam Fadil.
Ustad Sobirin terlihat tidak gentar, menurutnya ini adalah satu-satunya cara agar perjanjian antara sosok yang merasuki tubuh Fadil dengan orang tuanya berakhir.
Mulut Fadil terlihat seolah sedang membacakan sesuatu.
Suara desis dan ucapan menyerupai mantra terdengar di telinga Ustad Sobirin.
Ada perasaan aneh yang dirasakan oleh Ustad saat mendengar kata-kata yang seolah tidak memiliki arti itu. Ustad Sobirin tahu dengan jelas bahwa itu adalah sihir.
Saat itu juga Ustad Sobirin mengambil tasbihnya dan membacakan ayat-ayat suci untuk melindungi dirinya dari mantra-mantra yang dibacakan oleh Fadil.
Tapi... Fadil malah tersenyum.
Senyuman Fadil membuat Ustad Sobirin waspada. Dan benar saja, di perbatasan pagi itu, tiba-tiba muncul sosok putih dari balik kabut melayang mendekat ke arah mereka.
“U...ustad! Itu! Itu pocong!!
Dari jauh Kang Aang menyadari ada sosok-sosok yang mendekat ke arah mereka.
Itu adalah pocong yang melayang terbang seolah ingin mengepung mereka.
Kang Aang menelan ludahnya dan meminta Ustad Sobirin untuk kembali, tapi Ustad Sobirin lebih memilih untuk tetap di sana.
“Mereka yang mati sudah tidak memiliki urusan lagi dengan alam ini, dan makhluk seperti kalian tidak punya kuasa atas kami!” ucap Ustad Sobirin.
Iapun membaca ayat kursi untuk mengusir semua sosok yang dipanggil oleh sosok di balik tubuh Fadil ini.
Beberapa dari sosok itu menghilang, tapi beberapa dari mereka masih melayang-layang menembus kabut seolah tidak takut dengan doa-doa yang dibacakan Ustad Sobirin.
Sekali lagi Fadil tersenyum...
Kali ini senyumanya hampir bersamaan dengan suara kentongan yang terdengar dari arah pondok.
Tok..tok...tok...tok..
Suara pukulan itu menandakan sedang terjadi sesuatu yang berbahaya di pondok. Tak lama setelahnya terdengar kericuhan dari arah asrama.
“Kang Aang! Ustad! Tolong!!”
Dari balik pagar terdengar Suara Rizal yang berlari menghampiri Kang Aang dan Ustad Sobirin. Sontak merekapun kaget saat menyaksikan keadaan Fadil dan berbagai sosok yang ada di sana.
“Kang? I...itu pocong??” Ahmad jatuh terduduk saat melihat sosok-sosok di sekitar Ustad Sobirin.
“Jangan Takut! Apa yang terjadi di dalam?” Tanya Ustad Sobirin.
Ahmad mengumpulkan keberanianya dan menceritakan pada Ustad.
“Mereka kesurupan lagi Ustad! Mereka mengamuk begitu saja. Ustad Yahya mencoba menahan mereka setengah mati, banyak dari mereka yang mencoba bunuh diri...” Jelas Ahmad.
“Bunuh diri??!” Ustad Sobirin tidak percaya mendengar kata-kata itu.
Tapi saat ia menoleh ke arah pondok. Ia melihat salah seorang santri tengah berdiri di atap bangunan seolah bersiap untuk menjatuhkan dirinya.
Santri yang kesurupan itu menoleh ke arah Ustad Sobirin, ia tertawa seolah meledeknya dan bersiap menjatuhkan dirinya dari atap asrama yang sudah lapuk itu.
Sontak Ustad Sobirin berlari ke arah Pondok. Kang Aang menoleh sebentar ke arah Fadil merasa tidak yakin harus meninggalkan Fadil dengan keadaan seperti itu, tapi ia tahu keadaan di dalam pesantren jauh lebih berbahaya.
Baru saja memasuki area pesantren, tiba-tiba santri yang berada di atas bangunan bersiap untuk menjatuhkan dirinya ke tanah. Ustad Sobirin bahkan belum mampu mencapai untuk menangkapnya.
Tapi saat akan mencapai langkah terakhirnya tiba-tiba langkah santri itu terhenti dengan terdengarnya suara Adzan subuh berkumandang.
“Rizal! Itu suara Rizal!” teriak Ahmad.
Entah mendapat ide dari mana, namun saat ini Rizal sedang mengumandangkan Adzan subuh dengan mengguakan pengeras suara. Sontak seluruh santri yang kesurupan tiba-tiba menutup telinganya.
“Ustad!! Ustad!! Kenapa saya ada di sini??” Teriak santri yang berdiri di atas atap, suara adzan itu mengembalikan kesadaranya sesaat sebelum ia gelisah dengan sosok yang masih berada di dalam tubuhnya.
Ustad Sobirin yang menyadari itu segera mengangkat tangga bambu di pinggir bangunan dan memasangnya.
“Tahan, jangan sampai kesadaranmu diambil alih lagi..” Teriak Ustad Sobirin sembari memandunya untuk turun.
Belum sempat mendarat dengan sempurna, tiba-tiba santri itu kembali dikuasai makhluk yang merasukinya. Ia mencoba kembali ke atas tapi Ustad Sobirin sekuat tenaga menahanya.
Iapun menarik santri itu dan merukiyahnya agar terlepas dari ikatan makhluk yang merasukinya.
Belum selesai dengan urusan santri itu, tiba-tiba tercium bau asap dari salah satu sisi pesantren. Ustad Sobirin menoleh ke arah asal bau itu dan menemukan nyala api mulai membesar dari sana.
“Api!!! Ada api!!!” Teriak Ahmad.
Ada seseorang yang tertawa di hadapan api yang menyala itu. Fadil dan beberapa santri yang membawa Jerigen tersenyum sembari menatap Ustad Sobirin. Kali ini mereka benar-benar ingin menghancurkan Ustad Sobirin.
Kang Aang meminta bantuan beberapa santri yang masih sadar untuk mengambil air. Ia masih berharap api itu tidak akan menjalar ke bangunan lainya.
“Kalian! Kalian mengikuti perintah Fadil?” tanya Ahmad panik.
Santri-santri itu tidak menjawab. Mereka hanya menatap Ahmad dengan gerakan kepala yang aneh. Jelas mereka sedang dalam kendali Fadil.
Rizal keluar dari tempatnya membacakan Adzan yang hampir tersentuh api. “Siapa yang nyalain api?”
“Fadil Jal!! Kali ini bener-bener keterlaluan” balas Ahmad.
Rizalpun molongo ketika melihat api yang mulai menjalar ke bangunan dapur umum. Sudah ada beberapa santri yang mencoba memadamkan, tapi api lebih capat menjalar.
Ada hal aneh yang dilihat oleh Rizal. Sodar terlihat sedang berjalan dengan langkah yang aneh menuju kobaran api. Matanya terlihat takut, tapi ia terus berjalan menuju kobaran api yang semakin besar itu.
“Kang Sodar! Bahaya!” teriak Rizal.
Sodar tidak menghiraukanya, ia malah terus berjalan ke arah nyala api itu.
“A...Aku nggak mau mati” terdengar suara Kang Sodar bersama isak tangis yang terlihat dari wajahnya.
Air matanya menetes dengan wajah yang sangat ketakutan.
Tapi entah mengapa tubuhnya tidak selaras dengan ucapanya dan terus melangkah ke nyala api. Rizalpun mulai yakin bahwa itu bukan kehendak Sodar.
“Kang! Kembali kang! Bahaya!” Kali ini Rizal berusaha menarik tangan Sodar untuk menjauh dari nyala api itu.
Sayangnya tenaga Rizal tidak mampu menahan kang sodar.
“Jal! Tolong Jal... aku nggak mau mati” Tengok Sodar dengan wajah ketakutan.
“Ya jangan ke sana Kang! Menjauh..!!!”
“Tubuhku bergerak sendiri, ada bisikan yang terus terdengar di dalam kepalaku!”
“Lawan kang!!”
Rizal susah payah menarik tubuh kang sodar, namun ia terus saja menyeret langkahnya kedalam kobaran api.
“Ahmad! Tolong!!” Panggil Rizal.
Ahmad yang tengah memadamkan api membawakan embernya dan menyiramkan ke api yang tak jauh dari hadapan Sodar. Tapi padamnya api itu tidak berlangsung lama.
Sadar akan hal itu, Ahmad ikut membantu Rizal untuk menahan Sodar.
Merekapun terjatuh, Ahmad dan Rizal menahan Sodar di tanah. Tapi walaupun begitu, Sodar terus berusaha merangkak menuju api itu.
Mereka pikir setidaknya tenaga mereka berdua seharusnya bisa menahan Sodar untuk sementara waktu.
Tapi tak jauh dari belakang mereka terdengar suara langkah seseorang yang berjalan perlahan.
“Ampun! Aku nggak mau mati!”
Sontak Rizal dan Ahmadpun menoleh.
Di belakangnya sudah terdapat beberapa santri seangkatan Sodar yang bersiap menyambut api di hadapanya dengan raut wajah ketakutan persis seperti Sodar.
“Astagfirullahaadzim...”
Rizal membaca Istighfar melihat ada santri lain yang senasib dengan Sodar.
“Tolong.. tolong kami Jal!!” Tangis Sodar.
“Tenang mas, sebentar lagi Ustad Sobirin pasti ke sini menolong kita” Rizal berusaha menenangkan Sodar.
“Kami sudah tersesat, kami terjebak.. semua santri yang ngilmu di hutan jati mendengar perintah yang sama.
Di Kepala kami terngiang-ngiang perintah untuk masuk ke dalam nyala api itu” jelas Sodar.
“Ngilmu? Hutan Jati?? Bagaimana bisa?” Ahmad Bingung.
“Fadil! Kitab yang kami rebut dari Fadil, pusaka, dan berbagai benda yang kami rebut dari dia mengarahkan kami ke sana..” tangis Sodar.
Rizal dan Ahmad seolah tidak percaya. Perundungan yang mereka lakukan pada sosok Fadil ternyata adalah sebuah jebakan.
Sesuai kecurigaan Rizal, selama ini Fadil memang sengaja memancing amarah kakak kelas agar mereka merebut benda-benda yang dimiliki Fadil. Mereka tidak menyangka bahwa benda-benda itu adalah pancingan untuk santri-santri agar melakukan tindakan musrik.
“Dia benar-benar setan...” ucap Rizal menoleh ke arah Fadil.
Ahmad dan Fadil menyaksikan wajah Fadil yang sudah sangat berbeda. Bukan wajah polos santri seangkatanya yang mudah untuk dikerjai. Atau mungkin, wajah Fadil terlihat saat ini adalah wajah Fadil yang sebenarnya?
Rizal mencari keberadaan Ustad Sobirin untuk menolongnya, namun ternyata keadaanya saat itu juga tak kalah genting.
Setiap Ustad Sobirin berhasil merukiyah satu santri, sosok lain sudah bersiap merasuki santri itu lagi.
“Ustad, ini mengerikan..” ucap Kang Aang memperhatikan seluruh keadaan pondok saat itu.
Diantara api yang mulai membesar, Kang Aang melihat sosok-sosok tak kasat mata mengerubungi pesantren.
“Tempat ini sudah dikepung..” Jelas Kang Aang.
“Maksud Kang Aang apa?” balas Ustad Sobirin yang mulai tak mampu menahan tetesan keringatnya.
“Pocong-pocong itu melayang mengitari pondok, sementara itu ada makhluk-makhluk yang tubuhnya hitam seperti terbakar tersebar di sekitar kita.
Mereka yang merasuki santri-santri itu” Jelas Kang Aang.
Kali ini penglihatan ghaib Kang Aang menajam, iapun gentar melihat sosok-sosok yang saat ini berada di sekitarnya.
Di tengah kericuhan itu seorang santri berlari mendekat ke arah Ustad Sobirin.
“Ustad! Masukkan mereka ke kamar!”
Tiba-tiba Fariz berlari menghampiri Ustad Sobirin. Ia terengah-engah sembari membawa tasbih milik Ustad Yahya.
“Fariz!! Bantuin kami!! Tahan teman-teman kang Sodar!” Teriak Rizal yang kewalahan menahan teman kang sodar sementar Ahmad menahan kang sodar sampai terguling-guling di tanah.
Fariz segera menghampiri Rizal dan membantunya, namun ia tetap berusaha teriak ke Ustad Sobirin.
“Kamar kami aman ustad! tidak ada setan yang berani masuk lagi ke dalam! Ustad Yahya sedang merukiyah yang kesurupan di sana” Fariz berteriak.
Ustad Sobirinpun menoleh ke arah Fadil. Ia melihat wajah kesal Fadil saat mengetahui ucapan Fariz.
Dari situ ia mengambil kesimpulan mungkin saja ucapan Fariz ada benarnya.
Mendengar ucapan Farizpun Kang Aang teringat akan sesuatu di kamar Fariz. Keberadaan makhluk berwujud nenek yang selama ini bertingkah misterius.
“Bangunan ini tidak ada artinya dibanding nyawa santri kita! Semuanya! Tarik paksa semua santri yang kesurupan ke kamar Fariz!!” Perintah Kang Aang.
“Kang! Kamu yakin??” tanya Ustad Sobirin.
Kang Aang hanya menarik nafas sejenak sembari menatap arah asrama, tepatnya arah kamar Fariz.
“Yakin kang, ada sesuatu yang berlawanan dengan niat Fadil di sana” ucap Kang Aang.
Ustad Sobirin menoleh ke arah kamar itu dan samar-samar ia melihat sosok nenek dengan wajah yang mengerikan berdiri dengan mata yang tegas di sana.
“Bismillahirrahmanirrahim...”
Ustad Sobirin membaca bismilah berharap keputusanya bukanlah perbuatan yang buruk.
“Lanjutkan niatmu Kang! Biar saya yang menghadapi Fadil..”
Kang Aang mengangguk, iapun mengatur seluruh santri yang sadar untuk mengajak seluruh santri yang kesurupan ke dalam kamar Fariz.
Ujang yang mendengar komando dari Kang Aang segera membantu Rizal yang sudah hampir kewalahan.
“Kang Ujang, tahu siapa saja santri yang ikut Ngilmu sama Kang Sodar?” Tanya Rizal.
“Ngilmu? Maksud kamu apa Jal?” Ujang terlihat bingung.
Rizal menjelaskan bahwa santri yang kesurupan adalah santri-santri yang tengan mencari ilmu aneh yang didapat dari benda-benda Fadil.
Kang Ujang terdiam sembari terus membantu Rizal dan Ahmad.
“Sepertinya aku tahu sesuatu, tapi sebaiknya kita bawa mereka ke Ustad Yahya dulu” balas Ujang.
Kamar asrama yang sebelumnya menjadi tempat tidur yang tenang untuk Rizal dan teman-temanya kini dipenuhi santri-santri yang sedang mengamuk.
Terdengar suara ayat-ayat suci tak berhenti mengalun dari mulut Ridho dan Ustad Yahya.
Benar ucapan Fariz, semua setan yang merasuki santri tidak kembali masuk setelah di rukiyah di kamar ini.
“Jadi benar, sosok nenek itu berniat baik?” Tanya Rizal pada Kang Aang.
Kang Aang menggeleng, “Nggak Tahu Jal, entah karena persaingan wilayah, atau memang maksud baik. Kita tidak bisa menebak niat dari makhluk seperti itu”
Rizal mengangguk mengerti, sepertinya diantara merekapun tidak ada yang memiliki kemampuan memastikan niat dari sosok nenek yang awalnya menghuni gudang lama itu. Tapi kali ini sosok nenek itu tidak terlihat menyeramkan lagi bagi Rizal.
Ia berdiri di depan kamar dengan menggenggam tongkatnya. Ia menatap fadil dengan kesal.
“Setelah ini kita harus mengirimkan doa untuk nenek itu Kang, mungkin saja ia bisa tenang” ucap Rizal.
Kang Aang menoleh ke arah nenek itu sejenak dan mengangguk menyetujuinya.
Ujang pergi sebentar ke kamarnya dan membawa sebuah lipatan benda yang sepertinya terbuat dari kulit binatang.
“Ini punya Sodar” Ujang memberikan lipatan kertas itu pada Rizal.
Rizal membuka lipatan itu dan mendapati sebuah simbol yang terlihat tidak biasa. Di dalamnya terdapat beberapa nama yang sebagian nama itu sama dengan nama santri-santri di pondok ini.
“Apa benar ini?” Tanya Ujang.
“Cuma orangnya langsung yang bisa memastikan” Jawab Rizal.
Rizalpun membawa benda itu ke arah Sodar yang masih meronta untuk dilepaskan dari ruangan itu. Ia masih menunggu mendapat giliran untuk dirukiyah oleh Ustad Yahya ataupun oleh Ridho.
“Apa ini nama-nama orang-orang yang ‘ngilmu’ di hutan jati?” Tanya Rizal.
Sodar seolah ingin menjawab, namun tiba-tiba raut wajah dan suaranya berubah.
“Bukan urusanmu.. khekehkehke” kali ini suaranya terdengar seperti kakek tua.
Walah begitu Sodar terlihat masih tersiksa, ia seperti ingin mengembalikan kesadaranya lagi.
“Bocah brengsek, sudah ada perjanjian diantara kita. Tubuhmu sudah menjadi bagianku juga” ucap sosok di dalam tubuh sodar, sepertinya sodar juga melawan.
“Lawan terus kang sodar, kami tidak akan membiarkan setan itu menang” balas Rizal.
Rizal membacakan ayat kursi di hadapan Kang Sodar. Ujangpun ikut membantunya sembari menahan tubuh Sodar. Perlahan tenaga sodarpun melemah ia benar-benar berusaha mendapatkan kesadaranya kembali.
“Bawa nama-nama itu kepada Ustad Yahya” Sodar mulai tersadar.
“Kami memberikan potongan kuku dan rambut kami untuk diterima berlatih di sana. Yang kami terima bukan kesaktian, melainkan jin yang menyatu dengan tubuh kami”
Di kalangan beberapa santri memang sedang trend mengenai ilmu kanuragan ataupun ilmu kesaktian lainya yang bisa membuat mereka menjadi terpandang.
Kisah mengenai santri pengembara dan menjaga diri dari perlakuan senior yang berniat tidak baik menjadi motivasi mereka mencari ilmu dengan cara instan.
“Ustad...”
Rizal mencoba mencari celah dalam ritual rukiyah Ustad Yahya dan menyerahkan benda bertuliskan nama-nama itu.
“Astagfirullahaladzim...”
Ustad Yahya kaget melihat benda itu berada di hadapanya. Ia memandang beberapa nama di sana, dan hampir semua santri yang kesurupan namanya tertulis di lipatan kulit hewan itu.
“Ridho, Aang tahan mereka sebentar!”
Ustad Yahya meninggalkan ruangan itu sebentar. Pintu kamar dikunci saat kepergian Ustad Yahya.
“Sodar, kamu sadar dengan apa yang kamu perbuat?” Ridho menghampiri Sodar yang tanganya kini diikat di tiang kamar oleh Ujang.
“Aku salah Dho! Aku salah... aku nggak tahu harus berbuat apa, aku nggak mau mati” Sodar kali ini benar-benar menyesali perbuatanya.
“Kalau dia mati! Tubuh ini menjadi milikku khekheke...” mendadak kesadaran Sodar kembali diambil alih, tapi Ridho tidak gentar.
Ia memegang kepala Sodar dan membaca doa-doa yang ia pelajari dari Ustad Yahya. Berbeda dengan sebelumnya, kini Ridho lebih tenang. Ia lebih bisa menggunakan Kharomah miliknya untuk merukiyah teman-temanya.
“Ikatkan akar dan batang daun lontar ini di tangan santri yang namanya terdapat di benda itu, ikatkan pada mereka baik yang kesurupan maupun yang tidak. Kumpulkan mereka di tengah kamar” Perintah Ustad Yahya saat kembali masuk ke dalam kamar.
Kali ini Ustad Yahya benar-benar mengerti dengan apa yang harus ia perbuat. Santri yang lainya mengikuti perintah Ustad Yahya dengan mengikatkan benda-benda itu.
Tiba-tiba teriakkan perlawanan terdengar diantara mereka, namun Ustad Yahya sudah bersiap akan itu semua.
Ia memerintahkan seluruh santri untuk membuat lingkaran mengelilingi mereka dan membacakan ayat-ayat suci dibawah pimpinan Ustad Yahya.
“Ikatan itu tidak mungkin sirna dalam waktu cepat, tapi saya yakin mereka masih bisa dibersihkan” jelas Ustad Yahya pada Ridho.
Ridho seperti mengambil pelajaran dari perbuatan Ustad Yahya.
Belum ada setengah jam, santri-santri yang sebelumnya kesurupan mulai terkulai lemas dan kehilangan kesadaran. Merekapun menarik nafas lega.
“Ustad, kami ijin keluar. Kami khawatir dengan Ustad Sobirin” Rizal, Ahmad, dan Fariz memberanikan diri untuk meminta ijin Pada Ustad Yahya.
“Kalian yakin?” tanya Ustad Yahya.
“Iya Ustad, sepertinya kami yang paling mengerti tentang permasalahan Fadil saat ini” balas Rizal.
Ustad Yahyapun mengangguk mengerti dengan keputusan mereka bertiga.
“Sebaiknya Ustad Yahya juga ikut, mereka tidak akan cukup menghadapi masalah ini..”
Tiba-tiba Ridho menghentikan kajianya dan berkata pata Ustad Yahya.
“Mereka masih belum pulih, seandainya mereka kumat lagi semua akan sia-sia” balas Ustad Yahya.
“Saya akan memimpin semua santri melanjutkan ini, Saya merasa yakin mereka tidak akan kumat lagi” jelas Ridho.
“Saya akan mendampingi Ridho, sebaiknya Ustad membantu Ustad Sobirin. Perasaan saya tidak enak” tambah Kang Aang.
Rizalpun menatap Ustad Yahya, matanya seolah mengatakan bahwa keadaan akan lebih baik bila Ustad Yahya ikut dengan mereka.
“Baik, Saya titip mereka... Assalamualaikum” pamit Ustad Yahya.
“Walaikumsalam...”
***
Tepat saat pintu kamar terbuka cahaya terang terlihat dari hadapan mereka. Bukan cahaya matahari, melainkan suara dapur pesantren yang sudah terbakar separuhnya oleh api.
Beruntung bangunan itu terpisah dengan bangunan lainya, sehingga api itu belum menjalar ke bangunan lainya. Tapi bila ini terus berlanjut, dapat dipastikan seluruh pondok pesantren akan dilahap kobaran api.
Sayangnya, bukan itu saja yang membuat mereka tercengang. Di luar mereka menemukan Ustad Sobirin berdiri dengan terus membaca doa dengan tasbih di genggamanya. Sebagian tubuhnya sudah berlumuran darah.
Mereka mencari tahu bagaimana Ustad Sobirin bisa terluka seperti itu, dan mereka menemukan sosok Fadil sudah didampingi dua orang warga desa dengan wajah yang juga kesetanan.
“Tidak hanya nama-nama santri yang tertulis di lipatan itu, masih ada orang lain yang terjebak olehnya” Jelas Ustad Yahya.
Merekapun segera menghampiri Ustad Sobirin. Dibanding raut wajah takut atau marah, Ustad Sobirin lebih terlihat kebingungan.
“Sudah Ustad, kita tangkap paksa Fadil dan kita amankan dulu” ucap Ustad Yahya.
Sebelum Ustad Yahya menghampiri Fadil tiba-tiba Ustad Sobirin meraih tangan Ustad Yahya dan menggenggamnya dengan keras. Ia menahanya untuk melangkah lebih jauh.
“Ke...kenapa ustad?” Tanya Ustad Yahya bingung.
Rizalpun menyadari keanehan yang terlihat pada Fadil.
“Ustad Yahya! Lihat yang dipegang Fadil!” Teriak Rizal.
“Pisau?” Fariz memperjelas.
Fadil tertawa dan meletakkan ujung pisau itu tepat di lehernya.
“Melangkah lebih jauh, dan pisau ini akan membelah leher ini” Ancam Fadil sembari tertawa puas.
Rupanya sedari tadi Ustad Sobirin tidak dapat berbuat banyak karena ancaman Fadil.
Jelas saja jika Fadil mati di tempat ini akan menjadi masalah besar tidak hanya untuk Ustad Sobirin, tapi juga seluruh pesantren.
Ustad Yahyapun menjadi gentar, ia bingung dengan apa yang harus mereka lakukan.
Sementara itu tiba-tiba ada batu yang melayang dan mendarat tepat di tubuh Ustad Sobirin. Lemparan batu itu tidak berhenti dan terus menyerang ke Ustad Yahya juga.
“Ini hukuman yang kalian berikan untuk pendosa kan? Dirajam sampai mati!” Tawa Fadil.
“Su...sudah! Hentikan!!” Teriak Rizal.
Ternyata darah dari tubuh Ustad Sobirin diakibatkan oleh lemparan batu Fadil dan pengikutnya. Ustad Yahya yang berusaha melindungi Rizal dan yang lain juga tak luput dari lemparan itu.
“Kalau kalian beranjak sedikit saja tubuh ini akan terbaring tanpa nyawa dengan darah yang membanjiri tanah ini” Ancam Fadil sekali lagi.
Mereka hampir putus asa dengan keadaan itu. tapi tidak dengan Rizal, ia berusaha berpikir keras untuk mengakhiri situasi ini.
Rizal dengan berani berhati-hati maju ke arah Fadil sembari menghindari lemparan batu mereka.
“Rizal jangan nekad!” Perintah Ustad Sobirin.
“Nggak Ustad! Keadaanya sudah berbeda. Sekarang Ustad Sobirin tidak sendirian” ucap Rizal.
“Bukan masalah jumlah! lebih rumit dari itu!” teriak Ustad Yahya.
Rizal mencoba menyampaikan apa yang ada dipikiranya.
“Kita Ikhlaskan Fadil!” ucap Rizal.
“Nggak semudah itu Rizal...” bantah Fariz.
“Tidak seperti tadi, bila terjadi apa-apa dengan Fadil, Ustad Sobirin akan menanggung semuanya. Tapi sekarang kita bisa menjadi saksi untuk melindunginya” Jelas Rizal.
Fariz mulai mengerti maksud Rizal.
“Benar Ustad, seandainya Fadil gugurpun kami bisa menjadi saksi untuk membuktikan apa yang terjadi sebenarnya. Kami bisa menjelaskan kalau apa yang terjadi adalah pertimbangan terbaik” Tambah Fariz.
Ustad Yahya mulai mengerti maksud Rizal. Iapun menatap Ustad Sobirin meminta keputusanya.
Butuh waktu sesaat untuk Ustad Sobirin menentukan keputusanya. Pada akhirnya iapun menghela nafas seolah merelakan harapanya akan kemungkinan terbaik.
“Baik, itu adalah hal terbaik yang bisa kita lakukan saat ini. Saya akan menanggung resikonya” balas Ustad Sobirin.
Ustad Yahya menepuk punggung Ustad Sobirin dan memberinya semangat. “Warga desa itu biar saya dan Rizal yang menahanya”
Mendengar perkataan itu Ustad Yahya, Rizal dan kedua temanya berlari menahan warga yang berada dalam pengaruh Fadil. Kini tinggal Fadil dan Ustad Sobirin yang berhadapan.
Keputusan itu membuat Fadil terlihat panik. Ia menggoreskan pisau itu di lehernya hingga darah mengucur namun Ustad Sobirin tidak gentar.
“Subhanallah, Subhanallah walhamdulillah walailaha illallah wallahu akbar...”
Butir demi butir tasbih bergeser dari jari-jarinya. Ia bersiap membacakan doa untuk menghentikan Fadil dari semua perbuatanya.
Kali ini wajah Fadil terlihat gentar.
“Bener kamu Jal, ternyata dia nggak akan berani bunuh diri. Kalau kehilangan tubuh Fadil, belum tentu dia akan mendapat tubuh lagi dengan mudah..” ucap Fariz.
Fadil menoleh ke arah Fariz, reaksinya seolah menyatakan bahwa ucapanya benar. Sementara saat ini Fadil sudah mulai merasa gelisah dengan doa-doa yang dibacakan oleh Ustad Sobirin. Tapi bukanya menyerah, Fadil malah tertawa.
“Kau yang memaksaku...”
Saat itu Fadly mengamuk, ia menyerang Ustad Sobirin dan mencekiknya. Ustad Sobirin yang tengah terlukapun kewalahan. Ia masih terus berusaha membaca doa untuk melemahkan Fadil.
Berbagai pukulan mendarat di tubuh Ustad Sobirin. Ia ingin membalas, tapi kali ini ia kembali ragu. Bagaimana mungkin seorang ustad menganiaya santrinya sendiri.
Ustad Sobirin hanya bertahan sembari terus membaca doanya.
Sayangnya, Ustad Sobirin tak mampu untuk terus bertahan.
Fadilpun mengambil pisaunya kembali, dan sekarang ia berusaha untuk membunuh Ustad Sobirin.
“Fadil Jangan!!” Teriak Rizal.
Tentu saja Fadil mengacuhkan teriakan itu. Sejak awal memang dia bukanlah Fadil.
Tidak mungkin ia mau mendengar ucapan mereka.
Belum sempat pisau itu mendarat ke tubuh Ustad Sobirin tiba-tiba sebuah batu besar terbang melayang ke lengan Fadil dan menghempaskanya.
Saat itu semua orang terpaku pada sosok yang melemparkan batu itu.
“Kalau kau terlalu takut mengotori tanganmu, biar aku saja!” terdengar suara seseorang yang masuk ke dalam pesantren.
Ia membawa beberapa orang yang segera berlari untuk memadamkan api di dapur umum.
“Mamat! Apa yang kau lakukan di sini!” Teriak Ustad Yahya, tapi Mamat tidak menghiraukan ucapan Ustad Yahya.
Ia segera berlari menarik baju Fadil dan menghajarnya habis-habisan.
“I...itu Mamat? Preman Pasar?” Tanya Ahmad.
“I...iya,” Rizal mengangguk bingung dengan apa yang terjadi di hadapanya.
Fadil tidak diam, ia mulai membacakan mantra mantra mengerikan dari mulutnya yang membuat Mamat mulai linglung. Mamat masih terus berusaha bertahan dan terus berusaha menghajar Fadil.
“Pergi Mamat! Jangan campuri urusan pesantren ini! kedatanganmu akan membawa lebih banyak masalah!” Teriak Ustad Yahya.
Ustar sobirinpun berusaha untuk berjalan dan menahan Ustad Yahya.
Ustad Yahyapun bingung dengan perbuatan Ustad Sobirin.
“Hentikan Mamat! Kalau dia mati hukumanmu tidak akan ringan!” Teriak Ustad Sobirin.
Mamat tidak peduli, ia masih terus menghajar Fadil. Tapi ada satu hal yang membuat Ustad Yahya, Rizal dan yang lain kaget.
Saat Fadil kembali membacakan mantranya, Mamat juga membaca sebuah doa. Doa yang sebelumnya dibacakan oleh Ustad Sobirin.
Mamat melanjutkan doa itu dengan fasih dan membuat Fadil benar-benar merasa kesakitan.
“Aku tidak peduli walaupun harus mendekam di tahanan lagi” Ucap Mamat.
“Tidak mungkin aku akan diam bila ada yang berani mencari masalah dengan pondok!”
Mamat melempar Fadil yang hampir tak berdaya ke tanah.
Ia membacakan doa-doa untuk merukiyah Fadil, persis seperti yang Ustad Sobirin lakukan di hutan jati saat pertama kali memergoki Fadil.
“Kenapa? Kenapa Mamat bisa sepeduli itu dengan pesantren ini, ustad?” Tanya Rizal pada Ustad Yahya.
Ustad Yahya menggeleng, iapun tidak menyangka doa-doa Mamat didengarkan oleh Yang Maha Kuasa dan mampu menahan Fadil.
“Brengsek!! Manusia brengsek!!!” teriak Fadil kesakitan.
“Mamat, hentikan! Jika sosok di tubuh Fadil pergi anak itu akan mati!” Tahan Ustad Sobirin.
Mamat tidak berhenti, Ustad Sobirin ragu, tapi ia berniat menghentikan Mamat tapi ada seseorang yang mendekat.
***
“Sudah Ustad, sa...saya ikhlas..” suara seorang Ibu terdengar dari belakang mereka.
Ustad Sobirin menoleh ke belakang dan menemukan anak buah Mamat menghantarkan kedua orang tua Fadil. Ustad Sobirinpun kaget dibuatnya.
“Maafkan saya Ustad, saya sudah melakukan perbuatan yang dikutuk Allah” Ibu Fadil tersungkur dihadapan Ustad Sobirin.
Fadil yang melihat kedua orangtuanya berusaha mencari celah untuk menyelamatkan diri.
“Buu, Ibuuu !!! Tolong Fadil Bu! Tolong! Sakitt!!” Teriak Fadil berusaha menjulurkan tanganya pada ibunya.
Ibu Fadil yang melihat anaknya kesakitan itu tergetar hatinya. Ia ingin sekali menyelamatkan anaknya, tapi kali ini tekadnya sudah bulat. Terlebih ia melihat kondisi pesantren akibat perbuatan anaknya itu.
“Alhamdullilah, tapi bagaimana bisa? Kenapa tiba-tiba kalian bisa mengikhlaskan ini?”
Ayah dan ibu Fadil belum ingin menjawab Ustad Sobirin. Sebaliknya ia menatap dengan anaknya yang tengah dirukiyah oleh Mamat.
Kini Mamat juga menggenggam sebuah tasbih. Tasbih yang sama persis dengan milik Ustad Sobirin. Ustad Yahya berusaha mencerna semua kejadian ini, namun ia tidak dapat memahaminya.
Dari Jauh Ustad Sobirin juga menggenggam tasbihnya dan membaca doa-doa yang sama dengan Mamat. Doa itu mengalun bersama dengan merdu seolah mereka sudah mengulanginya ratusan kali bersama.
Di hadapanya ada seorang santri yang meronta kesakitan. ”Ampun! Sudah hentikan..”
Butir-butri tasbih berganti bersamaan dengan butir-butir air mata orang tua Fadil yang tak kuat melihat apa yang terjadi pada anaknya. Tapi mereka berusaha menyaksikan sampai akhir bagaimana Mamat dan Ustad Sobirin berusaha mengakhiri dosa yang mereka mulai.
Cahaya matahari mengusir tabir embun yang menutupi pesonanya. Di bawah sinarnya, seorang santri telah kehilangan nafas dan degup jantungnya.
Kali ini kedua orang tuanya ada di sisinya mendampingi jasadnya yang kini tidak lagi dikuasai oleh makhluk yang dilaknat Allah.
***
“Kang Mamat yang nyamperin kedua orang tua Fadil, Ustad” bisik salah seorang anak buah Mamat.
Ustad Sobirin memasang telinga mendengarkan penjelasan orang itu.
Mamat mengetahui Fadil adalah akar permasalahan di pesantren ini saat ia berbicara dengan orang tua Hanifah.
Kepergianya dari pesantren bukan semata-mata karena trauma, melainkan karena keberadaan Fadil yang mengincar Janinnya.
Tak cukup dengan tumbal yang diberikan ibunya. Fadil merayu hanifah, ia mengajaknya bergabung dengan perkumpulan di alas jati. Di situlah Hanifah dijebak.
Keberadaan hanifah disana disambut baik. Dengan mantra dari Fadil, Hanifah merayu semua yang ada di hutan jati dengan tarian hingga semua mereka kehilangan akal sehatnya. Merekapun menikmati tubuh Hanifah dan memperkosanya di tengah hutan.
Hanifah yang berada dalam pengaruh mantra Fadilpun menikmati perlakuan mereka hingga akhirnya iapun hamil.
Bukan untuk dilahirkan, Fadil membuat hanifah terus mengikuti ritual itu hingga akhirnya Hanifah keguguran. Tepat saat janin itu keluar, iapun terlepas dari mantra Fadil.
Hanifah yang masih mengingat semua apa yang terjadi pada dirinyapun mulai kehilangan akal sehatnya. Ia hanya bisa menangis sambil terus menari di hutan jati itu hingga Rizal menemukanya.
“Saat hanifah sadar ia menceritakan semuanya, Mamatpun mulai memperhatikan Fadil” jelas anak buah Mamat.
Mamat sempat beberapa kali ke pondok mengingatkan Ustad. Namun ustad masih berusaha mencoba melindungi Fadil dan mencoba menangani masalah ini sendiri.
Akhirnya Mamatpun berusaha untuk menghampiri orang tua Fadil.
Saat itu kedatangan Mamat ditolak mentah-mentah, bahkan ia sampai diusir oleh kepala desa karena tampilanya yang seperti preman. Tapi Mamat tidak menyerah.
Mamat menjelaskan bahwa Fadil sudah tidak ada, ada sosok lain yang menghuni tubuh Fadil. Saat itu ayah Fadil terlihat kaget, ia tidak terima dengan ucapan Mamat. Tapi Mamat bisa membaca gelagat dari Ibu Fadil.
Ibu Fadil mengetahui semua ini..
Berkali-kali Mamat memohon agar mereka menghentikan perbuatanya. Namun mereka tidak mengaku dan beberapa kali Mamat berkelahi dengan keamanan desa. tapi Mamat tidak menyerah.
Ia menjelaskan pada orang tuanya tentang keadaan Fadil.
Menjelaskan dosa-dosa mereka, dan menjelaskan penderitaan Fadil yang sebenarnya bila mereka tetap bersikukuh.
“Bayangkan perasaan Fadil saat mengetahui Ibunya menimbun dosa demi dirinya” Ucapan itu sedikit mengetuk perasaan Ibu Fadil.
Iapun akhirnya jujur dan menceritakan pada keluarganya.
Malam saat mengantar Fadil ke pesantren mereka mengalami kecelakaan. Ibu Fadil sadar bahwa Fadil sudah tidak bernafas. Tapi ia masih tidak mau menerima kenyataan itu.
Rasa sedihnya membuatnya tidak bisa berfikir dengan akal sehat. Iapun bertemu dengan seorang kakek yang mengaku bisa menolong Fadil.
Kakek itu adalah seorang dukun ilmu hitam. Ia memberi syarat kepada ibu itu agar Fadil bisa selamat.
Syaratnya, setiap waktu-waktu yang ditentukan lewat perjanjian, sang ibu harus menguburkan Janin yang umurnya tidak lebih dari lima bulan di tempat yang ditentukan.
Ia harus menancapkan pasak hitam di tanah itu sebagai pertanda untuk Fadil.
Lewat tengah malam Fadil akan mendatangi tempat itu dan memakan janin itu. Hanya dengan cara itulah Fadil bisa terus hidup.
Ibu Fadil yang belum siap kehilangan anaknyapun menyetujui persyaratan itu.
Iapun selalu mencari cara untuk mendapatkan Janin-janin itu dari berbagai tempat.
Klinik aborsi, mendekati perempuan yang hamil di luar nikah, dan membelinya dari dukun beranak..
Lambat laun Ibu Fadil semakin merasa bersalah.
Bahkan iapun semakin takut untuk menemui anaknya itu di pesantren,
Sayangnya Kenyataan itu tidak membuat mereka siap untuk kehilangan Fadil. Mereka masih terus memberikan tumbal janin tanpa sepengetahuan Mamat.
Ustad Sobirin memang pernah diperingati Mamat. Tapi informasi yang diberikan oleh Mamat sudah diketahui olehnya, iapun meminta Mamat untuk tidak bertindak seenaknya.
“Semalam teh saya melihat kepergian Ustad Sobirin ke hutan jati. Saat itu saya langsung menghubungi Kang Mamat.
Akhirnya Kang Mamat menelepon orang tua Fadil dan menghadangnya setelah menanamkan Janin itu” Jelas anak buah mamat.
Dengan penjelasan anak buah Mamat semua semakin jelas.
“Saya bahkan tidak berpikir untuk berbuat sejauh itu” ucap Ustad Yahya.
“Saya juga tidak menyangka, ia terus menjaga pesantren ini dari jauh” Balas Ustad Sobirin.
Api di dapur umum sudah mulai padam, lebih dari setengah bangunan terbakar. Tapi mereka yakin bisa membangunya lagi setelah ini.
Anehnya, Mamat masih terus waspada. Seolah yang ia incar bukan mengenai masalah Fadil.
***
“Keluar kau setan busuk! Aku tahu kau ada di sini! Hadapi aku!” Teriak Mamat entah pada siapa.
Pagi itu hening, namun Mamat tetap terlihat waspada.
Mamat memberi isyarat pada anak buahnya. Mereka membawa bungkusan kain dan melemparkan isinya di tanah.
Bermacam-macam benda berserakan di tanah.
Jimat kuningan, kain kafan bertuliskan rajah, tanah kuburan, bagian tubuh hewan, benda-benda itu sudah pasti membawa merupakan ilmu hitam.
Rupanya selama ini Mamat menemukan benda itu di sekitar pesantren. Ia memberi tahu itu pada Ustad Sobirin dan melarangnya untuk memberitahu siapapun. Ia khawatir ada orang dalam pesantren yang bersekongkol.
“Ini kan hasil perbuatanmu? Ibu Fadil sudah memberitahukan persembunyianmu! Jika tidak keluar akan kubakar dan kuhabisi sendiri kau di sana!” Ancam Mamat.
Benar saja, dengan ancaman itu tiba-tiba salah satu pintu ruangan pesantren terbuka.
Seorang kakek berjalan bertelanjang kaki keluar dari sana.
Seorang kakek berjanggut dengan baju hitamnya tertawa mendekat ke arah Mamat.
“I...itu! Itu orangnya.. dia yang menghidupkan Fadil” Teriak Ibu Fadil.
Akhirnya Ustad Sobirinpun mengerti. Iapun mendekat dan berdiri di samping Mamat.
“Sudah Kang, biar Mamat yang ngeberesin” Ucap Mamat.
Baru saja menghentikan ucapanya, tiba-tiba Mamat terjatuh dan memuntahkan darah hitam.
Tapi Ustad Sobirin tidak diam, ia segera membacakan doa sembari menahan punggung Mamat.
“Bismillaahilladzhii laa yadhurru maa ismihi shai-un fil ardhi wa laa fissamaa-i wa huwassamii'ul 'alim..”
Mamat kembali mendapatkan kesadaranya dan segera berdiri.
“Aku tidak akan punya wajah menemui abah bila membiarkanmu celaka bertarung sendirian” ucap Ustad Sobirin.
Ucapan Ustad Sobirin itu seolah memperjelas sesuatu.
“Apa itu artinya Kang Mamat itu adiknya Ustad Sobirin?” Tanya Rizal.
Ustad Yahya menarik nafas dan sedikit tersenyum, “Sepertinya begitu, saya juga tidak menyangka bahwa orang sepreman Mamat adalah anak Kyai.”
“Jangan menilai orang dari luarnya Ustad Yahya, Kang Mamat itu nggak pernah melalaikan ibadahnya. Kami tahu kok” ucap Ahmad sedikit sok tahu.
Ustad Yahyapun hanya tersenyum sembari mengelus kepala Ahmad. Iapun meminta jangan ada yang mendekat ke pertarungan mereka.
Ustad Yahya meminta semua orang berlindung di belakangnya sembari membaca doa. Ilmu Santet dukun itu bisa saja membahayakan mereka semua.
Ustad Sobirin menangkal semua santet yang telah dipasang oleh dukun itu. Ia tahu berbagai sosok tengah membantu dukun untuk menyerang Mamat.
Dengan bantuan Ustad Sobirin, Mamat dengan leluasa menghajar dukun itu. Dukun itu bisa memberikan perlawanan, namun tetap tidak sebanding dengan ilmu bela diri Mamat.
Pagi itu mereka melihat sesuatu yang sangat tidak biasa.
Nyala api tiba-tiba jatuh dari langit mencoba menyerang Mamat, tapi mendadak meledak saat Ustad Sobirin menghalanginya.
Saat mamat akan mengakhiri dukun itu, tiba-tiba muncul seorang santri yang mendekat. Ia keluar dari ruangan yang sama dengan dukun itu.
“I...Imam? Kang Imam?” Fariz mengenali Santri itu.
Ia berjalan dengan tatapan yang aneh dan mendekat ke arah Mamat. Saat mendekat sebuah pisau ditikam olehnya ke tubuh Mamat.
“Imam! Kau sudah gila?!” teriak Ustad Yahya.
Imampun jatuh terduduk setelah menusukkan pisau itu ke tubuh Mamat.
“Hahaha... kau sudah menebak ada yang bersekongkol denganku, tapi tetap saja kau tidak bisa mencegahnya kan?” ledek dukun itu.
Rizal, Fariz dan teman-temanya segera mengejar Imam dan menahanya.
Imam terlihat ketakutan, sepertinya ia melakukan itu dengan sebuah ancaman.
“Ma...maaf!” ucap Imam.
Dukun itu tertawa keras, namun seketika tawa itu terhenti dengan pukulan hampir yang menghancurkan rahangnya.
Pisau yang ditusukkan imam terjatuh, entah mengapa pisau itu tidak menggores tubuh Mamat sama sekali.
***
“Aku pernah ingat bahwa Kyai kita pernah mengusir seorang santri karena melakukan sebuah lelaku. Sebuah ilmu yang menyimpang dari ajaran kita.. tapi aku tidak pernah menyangka bahwa yang ia usir adalah anaknya sendiri” Ucap Ustad Yahya.
Dukun itu kaget tidak ada satupun benda tajam yang mampu melukai tubuh Mamat. Iapun mulai gentar ketika semua rencananya gagal.
“Kau!! Kau tidak lebih suci dariku! Kau pengguna ilmu yang lebih hitam dariku!! Kau pendosa!!” ucap dukun itu.
Mamat tidak peduli, ia kembali memukul dukun itu hingga terkapar.
“Dosaku akan kupertanggungjawabkan dengan Allah! Bukan denganmu!”
Mamat sudah siap menangkap dukun itu. Ia menarik tubuhnya dan meminta anak buahnya untuk mengikatnya.
Tapi, dukun itu tidak berniat mengakhirinya secepat itu.
Ia mengambil pisau dari kantungnya dan berlari bersiap menusuk ustad sobirin. Mamat yang sadar akan itu mengejarnya dan menangkap pisaunya. Namun tiba-tiba darah mengalir diantara mereka berdua.
“Bukanya tadi katanya Kang Mamat tidak bisa terluka oleh benda tajam?” Ahmad bingung.
Tapi ternyata darah itu bukan berasal dari tubuh Mamat. Pisau itu menancap di tubuh dukun itu di genggaman Mamat.
“Aku tidak sudi membiarkanmu mendapatkan pengampunan.. dosamu bertambah lagi, dan aku akan tertawa melihatmu menikmati jeruji penjara”
Dukun itu terus tertawa hingga nafasnya menghilang. Darah merah terus mengalir membasahi tubuh Mamat menambah lagi satu nyawa yang mati di tanganya.
***
Kematian Fadil dan dukun itu menjadi catatan kriminal Mamat dan membuatnya dipenjara. Semua orang di kejadian sudah bersaksi menceritakan hal yang sebenarnya, namun tidak merubah keputusan apapun.
“Ustad, ini nggak adil. Kang Mamat kan nolongin kita kenapa dia malah dipenjara” Tanya Rizal pada Ustad Sobirin.
Ustad Sobirin mengelus kepala Rizal yang tengah melamun di pendopo bersamanya.
“Jangan khawatir, Tuhan itu Maha Adil. Ingat, hukum Allah itu lebih adil dari hukum manusia” ucap Ustad Sobirin.
Ridho berjalan mendekati mereka berdua dengan sedikit ragu.
“Kenapa Ridho? Sini gabung. Ada kacang rebus nih” Ajak Ustad Sobirin.
Ridhopun bergabung ke pendopo sembari menyaksikan santri-santri lain asik bermain bulu tangkis di lapangan.
“Ini ustad..”
Ridho menyerahkan lipatan benda yang terbuat dari kulit hewan. Di benda itulah terdapat nama-nama santri yang terjebak dalam ritual dukun itu.
“Ada apa dengan ini Dho?” Tanya Ustad Sobirin.
“Jafar Ahmadi... nama itu ada di situ Ustad” ucap Ridho.
Rizal tidak mengerti, namun ia ikut memastikan bahwa nama itu memang ada di sana.
“Maksudmu apa Ridho?” tanya Ustad Sobirin lagi.
“Ustad, kalau su’udzon kan dosa ya? Tapi nama itu sama dengan nama polisi yang memimpin penyidikan kasus Kang Mamat” Ridho menjawab dengan sangat hati-hati.
Mendengar ucapan itu raut wajah Ustad Sobirin berubah.
“Berarti, Polisi yang ngurusin Kang Mamat itu anak buah dukun itu?” tanya Rizal.
Sontak sebuah pukulan peci mendarat di kelapa Rizal.
“Dibilang jangan su’udzon” ucap Ridho menepuk kepala Rizal.
“Yee Kang Ridho, kan maksud Kang Ridho emang itu kan?” Rizal memperjelas.
“Sudah-sudah, terima kasih Ridho biar nanti kita cari tahu ya..”
Informasi dari Ridho membuat Ustad Sobirin menemui babak baru untuk mencari keadilan untuk Mamat.
***
Tepat setelah satu bulan setelah tragedi di pesantren, Mamatpun meninggalkan Lapas dan kembali menghirup udara segar. Semua tuduhan atas kasusnyapun dibatalkan.
Di luar lapas Ustad Sobirin, Ustad Yahya, Rizal dan teman-temanya menyambut keluarnya Mamat dari lapas.
“Bagaimana bisa?” Tanya Mamat pada Ustad Sobirin kakaknya.
“Kau sudah melindungi pesantren, kini gantian kami yang melindungimu” balas Ustad Sobirin.
Iapun menceritakan bahwa beberapa polisi yang terlibat di kasusnya merupakan anak buah dukun itu.
Hal itu membuat penyidikan tidak objektif. Selain itu beberapa bantuan dari luar juga sangat berpengaruh besar.
“Ada warga desa yang bertanya kang, preman yang rajin sholat subuh itu kemana?” Ucap Rizal.
Mamat mengernyitkan dahinya mendengar ucapan Rizal.
“Dia khawatir, karna kang Mamat nggak pernah bolos sholat subuh sebelumnya. Akhirnya kita ceritain deh semuanya... ternyata beliau adalah pengacara” Tambah Fariz.
“Bantuan dari beliau, dan dukungan dari pesantren-pesantren lain membuat kasus ini akhirnya memutuskan hal yang adil” sambung Ustad Yahya.
Mamatpun sedikit tersenyum. Kali ini senyumnya berbeda, bukan senyum seorang preman yang senang menerima jatahnya.
Tapi senyum tenang seseorang yang merasa masih bisa berguna untuk ‘rumah’ yang disayanginya.
“Kamu punya tempat di pesantren” ucap Ustad Sobirin.
“Saya sudah diusir dari sana, Kang” balas Mamat singkat.
“Kalau begitu saya mengundang lagi” Ustad Sobirin tidak menyerah. Mungkin bisa saja keberadaan Mamat di pesantren bisa membantunya menebus dosanya di masa lalu.
Tapi Mamat menggeleng, ia punya pemikiranya sendiri.
“Selama pesantrenmu masih menerima uang dari santri, saya tidak akan kembali ke sana..” Ucap Mamat.
“Itu bukan bayaran, itu keikhlasan. Sejak dulu kita tidak pernah menentukan bayaran. Tanpa itupun mereka juga tidak dibedakan dengan santri yang lain” balas Ustad Sobirin.
Walau berdebat ucapan mereka terdengar santai. Rizal dan yang lainpun mendengarkanya sembari tersenyum membayangkan seorang preman pasar tiba-tiba tinggal di pesantren.
“Tahu dari mana mereka ikhlas? Bisa jadi mereka memaksakan membayar dengan jumlah tertentu agar tidak merasa malu, padahal belum tentu mereka mampu” balas Mamat lagi.
Kali ini Ustad Sobirin yang berpikir. Ucapan Mamat terkadang ada benarnya.
“Saat pesantren bisa kembali seperti dulu, dimana kita beternak, bertani dan hasilnya membiayai semua santri hingga kita bisa menghidupkan desa, saat itu aku sendiri yang akan memohon untuk kembali ke pondok.”
Mamatpun mengangkat tasnya dan berpamitan dengan mereka. Keberadaan Mamat menyadarkan mereka bahwa seseorang mungkin bisa melakukan kesalahan. Tapi terkadang penyesalan atas kesalahan itu menjadi pemacu untuk seseorang hidup dengan lebih baik.
***
Sebuah perjalanan menghantarkan Ustad Sobirin, Rizal dan yang lain menuju sebuah rumah. Ini sudah kesekian kalinya mereka mampir ke rumah itu.
Ada sebuah rumah di pedesaan yang padat penduduk. Cukup besar diantara rumah rumah sekitarnya. Sayangnya rumah ini hanya dihuni oleh dua orang.
“Eh Ustad, Rizal? Ayo masuk...” sambut seorang ibu yang kaget dengan kedatangan mereka.
Ada sebuah foto di dinding rumah itu. Foto seorang anak yang mereka kira kenal cukup lama. Itu adalah foto Fadil.
Setelah kepergian Fadil, Rizal dan yang lainya rutin berkunjung ke rumah orang tua Fadil.
Selain karena rasa khawatir, Rizal dan yang lain senang dengan suguhan dan keramahan orang tua Fadil. Apalagi kunjungan itu memberi waktu mereka saat jenuh di pondok.
“Wah pada dateng? Kok mendadak?” sambut ayah Fadil yang sudah berpakaian rapi.
“Wah mau keluar ya pakde? Kita habis mampir ke tempat Hanifah tadi, jadi sekalian” balas Rizal.
“Iya tadi rencananya mau nengok kontraktor dulu, tapi nggak urgent kok. Kapan-kapan saja kesananya” balas ayah Rizal.
“Kontraktor tuh apa?” Ahmad berbisik pada Rizal.
“Itu singkatan, singkatan dari Kontak Motor..” balas Rizal.
“Oooh..” Ahmad kembali menikmati kudapan yang di sediakan ibu Fadil, sementara Fariz menertawakan keluguan Ahmad.
“Wah, lagi bangun apa pak?” Tanya Ustad Sobirin.
Ayah dan ibu Rizalpun menceritakan, setelah kepergian Fadil mereka merasa kehilangan. Tapi rasa itu terobati saat melihat senyuman anak-anak lain di pesantren. Merekapun terpanggil untuk membangun sebuah panti asuhan yang akan dibantu dikelola oleh salah satu yayasan.
“Mungkin masa pensiun kami akan disibukkan dengan suara anak-anak di sana” ucap Ibu Fadil.
“Alhamdullilah...” Ustad Sobirin tersenyum mendengar keputusan itu.
Ustadpun berjanji akan mengirimkan tenaga santri untuk mengajarkan anak-anak panti asuhan itu mengaji saat panti asuhan itu sudah berdiri.
Saat langit mulai petang, merekapun berpamitan untuk pulang.
Rizal menyempatkan diri menengok makam Fadil yang terletak di belakang rumah itu.
Terkadang Rizal merasa bingung, apakah wajar jika ia kangen dengan keberadaan Fadil. Sementara Fadil yang ia kenal bukanlah Fadil yang sebenarnya.
Tapi satu hal yang ia tahu. Tragedi tentang Fadil ini memberinya banyak pelajaran hidup untuknya.
~TAMAT~
Terima kasih sudah mengikuti kisah ini hingga akhir. mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian cerita yang menyinggung.
Sekali lagi apabila ada teman-teman yang sekiranya tahu tentang kejadian atau lokasi yang sudah saya samarkan mohon untuk disimpan sendiri saja.
Selanjut ada cerita Danan Cahyo, update Getih puputan.