Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

JASAD HIDUP SANG SANTRI (Part 3) - Tumbal Janin

"Kuburkan janin di setiap malam yang ditentukan, itu adalah syarat agar anakmu tetap hidup..."


JEJAKMISTERI - “Kang Sodar! Jangan kang!” Rizal panik saat melihat seorang santri tengah memakan ayam hidup.
Lokasinya persis di tempat Kang Sodar kesurupan dan melakukan hal yang serupa. Tapi ternyata Rizal salah.

Seseorang yang tengah memakan ayam hidup itu bukanlah kang sodar.

Ia berbalik dan menoleh ke arah Rizal dengan wajah penuh darah.

“Fadil??”

Santri itu adalah Fadil. Ia tidak mempedulikan Rizal dan kembali memakan ayam hidup itu dengan darah yang terus berceceran di tanah.

“Fadil! Kamu udah gila?!”

Rizal berteriak dan berpaling untuk segera memanggil Ustad Sobirin. Namun tiba-tiba Rizal merasakan hal mengerikan berada tepat di belakangnya.

“Jangan berani-berani...”

Itu adalah suara Fadil, entah mengapa ia bisa berpindah secepat itu dari posisinya. Rizal jelas tahu itu adalah sebuah ancaman.

Dari sebelah mata Rizal terlihat Fadil mendekatkan wajahnya yang penuh dengan darah sembari menengok ke arah Rizal.

Jelas Rizal gemetar..

Ia tidak tahu harus berbuat apa saat itu. Dalam hati ia hanya membaca doa-doa yang ia ingat dan berharap doanya itu bisa menjauhkanya dari sosok Fadil yang mengerikan itu.

***

“Jal Bangun! Sholat subuh!”

Suara Fariz membangunkan Rizal yang tengah terjebak dalam mimpi buruknya. Saat itu juga Rizal terduduk dengan keringat bercucuran dari pelipisnya.

Fariz dan Ahmad yang melihat keanehan pada Rizal saling bertatapan dan memperhatikan keadaan Rizal.

“Jal? Mimpi buruk?” Tanya Ahmad.

Rizal tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia malah menoleh ke arah ranjang Fadil dan tidak menemukanya di sana.

“Fadil kemana?” tanya Rizal bingung.

“Udah keluar sholat duluan lah, masak nyuruh dia nungguin kamu juga” Balas Ahmad.

Fariz segera menyikut Ahmad, dia tahu mimpi buruk Ahmad pasti ada hubunganya dengan Fadil.
“Ya udah, wudhu dulu biar tenang. Tar ceritain pelan-pelan” ucap Fariz.

Rizalpun menyelesaikan sholat subuhnya dan menceritakan mengenai mimpinya. Tapi menurut Ahmad dan Fariz, mimpi Rizal itu adalah perwujudan rasa takut Rizal atas kejadian yang menimpa Kang Sodar.

“Mungkin karena kemarin kita liat Fadil di rundung lagi, jadi nggak sadar kamu mimpiin kejadian Kang Sodar” jelas Fariz.
“Ya bisa saja. Tapi yang pasti firasatku tentang Fadil benar-benar nggak enak” jelas Rizal.

Hari itu Rizal benar-benar memperhatikan Fadil seharian. Tapi kali ini memang tidak ada yang mencurigakan dari gerak gerik Fadil. Barulah menjelang maghrib, Fadil terlihat berniat melakukan sesuatu.

Ia mengecek tembok bolong yang tertutup semak yang sering digunakan untuk keluar pondok. Tapi rupanya, setelah kejadian hanifah lubang itu sudah ditutup oleh pihak pesantren.
Tak kehilangan akal, iapun mendekat ke pos Kang Aang.

Saat itu pagar pesantren masih dibuka. Kang Aang berjaga di sana memastikan tidak ada yang keluar masuk tanpa pantauanya.
Fadil berjalan ke arah Kang Aang. Ia Memperhatikanya dari belakang. Saat itulah ia merasakan ada yang aneh pada Fadil.

Rizal melihat Fadil seolah membacakan sesuatu yang panjang sembari menatap Kang Aang. Entah kebetulan, atau memang karena bacaan Fadil. Saat itu tiba-tiba Kang Aang terlihat mengantuk dan tertidur di teras tanpa menutup pagar.

“Ngapain lagi sih Jal?” Fariz yang heran menepuk pundak Rizal.
“Tuh, Si Fadil kayak lagi bacain sesuatu ke Kang Aang. Tiba-tiba Kang Aang ngantuk dan tidur” jelas Rizal.
Ahmad ikut memperhatikan Fadil yang ternyata berjalan dengan santai menuju keluar Pondok.

"Dia beneran keluar!” ucap Ahmad.
Mereka bertiga berjalan mendekat ke arah pagar, tapi mereka masih ragu untuk menyusul Fadil.
"Susul ga?" Tanya Fariz.
“Pasti aku kan yang disuruh manggil ustad?” Tebak Ahmad yang memang sudah tau rencana Rizal dan Fariz.

“Nggak deh, Nggak usah keluar.. kita lapor Ustad aja” ucap Rizal.
Ahmad dan Farizpun terlihat lega. Tapi mereka masih penasaran dengan yang dilakukan Fadil di Luar.

Rizal mencoba mengintip keluar pagar dan mencari keberadaan Rizal, tapi tiba-tiba ia terjatuh dengan kedatangan seseorang yang datang dengan tiba-tiba di hadapanya.
“Minggir!” Teriak orang itu.
Rizal memastikan siapa orang yang mengusirnya dengan kasar itu.

“Jal, minggir Jal!” Seketika Fariz menarik Rizal mendekat ke arah mereka.
Saat itu barulah ia sadar, bahwa orang yang hampir menabraknya tadi adalah Si Kuter alias Mamat si preman pasar.

“Makin bobrok aja ni pesantren! Bukanya ngejaga gerbang malah tidur!” Teriak Mamat yang saat itu menarik baju Kang Aang.
Rizal, Ahmad, dan Farizpun menjauh. Mereka tidak mau mengambil resiko berurusan dengan Mamat.

Di satu sisi mereka tidak mau pergi karena penasaran dengan apa urusan Mamat ke tempat ini.
“Mamat??! Ngapain kamu di sini!” Teriak Kang Aang.
“Nggak usah berisik! Panggil Kang Sobirin!” Teriak Mamat.
“Urusan apa?” Tanya Kang Aang.
“Bukan urusanmu!” balasnya singkat.

Kang Aang sudah tau sekali reputasi Mamat. Tapi bukanya melawan ia malah seolah menurut dengan perintah Mamat.
“Heh! Mau mati juga lu bocah?” Ancam Mamat pada mereka bertiga.
Merasa keadaanya sudah tidak aman, merekapun segera pergi dari tempat itu.

Dari jauh mereka melihat Ustad Sobirin segera berjalan menemui Mamat.
“Itu preman ngapain sampe ke sini ya?” Ahmad menyampaikan rasa penasaranya.
“Kalau sampai minta jatah keamanan ke pondok sih, Kang Mamat udah keterlaluan” balas Fariz.

“Sudah, bukan urusan kita. Aku lebih penasaran soal Fadil...” balas Rizal.
Merasa tidak bisa mencari tahu lebih jauh, merekapun segera kembali ke pondok untuk menunaikan sholat Ashar dan melanjutkan dengan pengajian dengan Ustad Yahya.
Tapi, Aneh...

Entah mengapa Fadil sudah berada di pendopo lebih dulu bersama santri lainya untuk pengajian.
“Itu Fadil Ja?” Ucap Fariz bingung.
Mereka bertiga tidak berkata apa-apa lagi saat itu. Rizal mengacak-acak rambutnya tidak mengerti dengan apa yang terjadi.

Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri Fadil meninggalkan gerbang.
“Udah Jal, nggak usah ngikutin Fadil lagi. Kayaknya berdampak nggak baik buat kita” kata Ahmad sembari menepuk bahu Rizal.

Rizalpun menghela nafas sambil berharap semua yang ia lihat bukan merupakan pertanda untuk hal buruk.
Setelah kejadian itu, Rizal dan teman-temanya berusaha tidak peduli dengan Fadil.

Terkadang mereka memang melihat tingkah mencurigakan Fadil namun lebih memilih untuk mengacuhkan saja.
“Itu Kang Mamat kenapa jadi sering dateng ke Pondok ya?” Fariz memperhatikan sosok Mamat yang beberapa hari ini sering datang ke pondok.

“Iya, langsung ketemu Ustad Sobirin juga. Masa minta jatah preman terus?” gumam Ahmad.
“Sekali-kali jangan mikir jelek terus, siapa tau Kang Mamat mau tobat” Ceplos Rizal.

Merekapun memperhatikan perbincangan Ustad Sobirin dan Kang Mamat yang tidak dilakukan di dalam ruangan. Entah mengapa sejak datang mereka hanya berbicara sembari berdiri.
Terlihat beberapa kali Kang Mamat menunjukkan emosinya dengan memukul tembok atau sedikit membentak.

Tapi Ustad Sobirin tetap menanggapinya dengan tenang.

***

Hari ini santri-santri mendapat kabar akan terjadi gerhana di malam hari. Merekapun mendapatkan pengumuman untuk melakukan Sholat Gerhana pada malam hari. Ini adalah yang pertama kalinya untuk Rizal dan kawan-kawan.

Tapi entah mengapa Rizal merasa malam ini ada yang lebih dari itu. Ia merasa cemas selama seharian tanpa alasan yang jelas.
Malam itu sholat gerhana dilakukan berjamaah. Namun ada yang aneh dari Fadil. Wajahnya terlihat cemas dan bercucuran keringat.

Matanya tidak tenang sembari sesekali melirik ke sekitarnya.
“Dil? Kamu sakit?” Rizal mencoba mencari tahu tentang keadaan Fadil saat itu.
“Iya, nggak enak badan. Habis ini mau langsung tidur” balasnya singkat.

Sesuai ucapanya malam itu Fadil segera memasuki kamar dan tidur cepat dibanding yang lainya. Rizal mencoba mempercayai ucapanya dan ingin menutup malam itu dengan tidur yang nyenyak.
Hujan deras mengguyur seluruh pondok dan desa sekitarnya saat itu.

Beberapa kali petir menyambar, namun para santri masih dapat tidur dengan pulas.
Duk... Duk... Duk...
Suara tongkat yang mengetuk lantai kamar saat itu mengganggu ketenangan Rizal, Fariz dan Ahmad.

Bukan tanpa alasan, tapi mereka ingat betul suara pernah membuat mereka lari tunggang langgang.
“Sreeek.... Duk..”
Suara langkah kaki diseret bersama tongkat yang menyentuh tanah berhenti di dekat mereka bertiga.
“Bangun....”

Saat itu mereka berdua terduduk dan terbangung secara bersamaan. Seharusnya mereka takut, namun entah mengapa kali ini mereka merasa harus mengikuti ucapan itu.
Terlihat nenek mengerikan yang terus meneror mereka semenjak mengintip gudang.

Tapi kali ini, ia tidak berbuat apapun selain menoleh ke kasur tempat Fadil seharusnya berada.
Rizal yang masih berusaha mengumpulkan kesadaranya melihat Fadil tidak lagi berada di kasurnya. Sementara itu suara hujan deras terdengar dari pintu kamar yang terbuka.

“Jal.. nenek itu?” tanya Fariz bingung yang menyadari sosok nenek itu kembali menghilang.
“Hilang... Fadil juga nggak ada” Ahmadpun merasakan ada yang janggal di malam itu.

Rizal segera berdiri untuk menutup pintu yang terbuka itu, ia masih tidak ingin berhubungan dengan masalah Fadil. Tapi saat sampai di depan pintu ia melihat Fadil sedang berjalan perlahan di ujung lapangan. Kang Aang tengah tertidur sementara pintu pagar sudah terbuka.

“Fadil..” gumam Rizal.
Mendengar perkataan itu, Ahmad dan Fariz segera menghampiri Rizal dan melihat apa yang mereka saksikan.
“Kita bilang ke ustad” Kata Fariz.
“Malam-malam begini?” Tanya Ahmad.

Rizal berpikir sebentar, ia memilih untuk menahan diri dan melaporkan besok pagi.
Tapi... saat mereka bepaling kembali untuk tidur, tiba-tiba sosok nenek yang membangunkan mereka tengah berdiri di tengah-tengah kamar. Ia menatap mereka bertiga dengan wajah marah.

“Jal... nenek itu, benar di sini” ucap Fariz.
Mereka bertigapun ketakutan dan tidak berani untuk kembali.
“Gimana nih Jal?” tanya Ahmad bingung.

Saat itu Rizal seolah merasakan maksud dari nenek itu, iapun segera menarik kedua temanya itu dan segera pergi ke kediaman Ustad Sobirin.
“Jal? Kita mau ngapain?” tanya Fariz.
“Ke tempat ustad!”

“Mau laporin keberadaan nenek itu? kalau tiba-tiba sosok itu hilang lagi gimana?” Ahmad Khawatir.
“Nggak, justru kayaknya Nenek itu mencoba ngasi tahu kita sesuatu” ucap Rizal mencoba memberitahukan apa yang ada dipikiranya..

Sampai di kediaman Ustad Sobirin, merekapun mengetuk pintunya dengan cukup lama. Suara hujan menyamarkan suara mereka, tapi mereka tidak menyerah.
Merekapun mengumpulkan tenaga untuk berteriak memanggil Ustad Sobirin.
“Assalamualaikum!!” Teriak mereka.

Setelah cukup lama, akhirnya terdengar suara langkah kaki seseorang membukakan pintu.
“Walaikumsalam... kalian ngapain malam-malam ke sini?” tanya Ustad Sobirin.
Mereka bertigapun saling bertatapan.
“Fadil Ustad! dia pergi dari kamar dan keluar pondok” Ucap Fariz.

Ustad Sobirin menatap wajah mereka bertiga dan memang melihat keseriusan di mata mereka.
“Ya sudah, kalian kembali ke kamar. Biar saya yang memastikan saat ia kembali” Balas Ustad Sobirin.
Mendengar ucapan itu Rizalpun memberanikan diri untuk berbicara.

“Nggak bisa ustad, kami merasa ada yang tidak beres..” ucap Rizal.
Iapun mencertiakan tentang keberadaan sosok nenek yang membangunkan mereka. Rizal juga menceritakan bahwa ia menyadari sepertinya sosok nenek itu mencoba memberi petunjuk tentang Fadil.

“Astagfirullahaladzim...“ Ustad Sobirin membaca Istigfar mendengar cerita mereka bertiga.
“Nenek itu adalah sosok Jin, tidak seharusnya kalian mengikuti mau sosok itu” jelas Ustad Sobirin.
“begitu juga dengan yang merasuki Fadil kan Ustad?” Rizal mencoba memberanikan diri.

“Maksud kamu?” Tanya Ustad Sobirin.
Rizal menceritakan tentang apa yang ia lihat sebelumnya, mengenai Fadil yang seolah memantrai Kang Aang. Juga tindak tanduk Fadil yang mencurigakan bahkan sejak kejadian di hutan jati.

Walau dengan semua cerita itu, Ustad Sobirin masih ragu dan enggan untuk bertindak. Tapi Rizal masih sangat merasa terganggu dengan kepergian Fadil kali ini.
“Saya tahu memang ada yang aneh dengan Fadil, tapi bukan berarti..”

Belum selesai Ustad Sobirin berbicara, Rizal sudah tidak mampu lagi menahan sabarnya. Iapun pergi meninggalkan Ustad Sobirin dan meninggalkan pondok menuju ke arah Fadil berlari.
“Rizal! Jangan nekad!” Teriak Ahmad.

Rizal tidak mempedulikan, sepertinya kali ini Rizal tidak dapat menahan firasat yang ia rasakan.
Ia menerobos hujan bermodalkan senter kecil yang ia punya. Ia tidak dapat melihat jarak jauh dengan gelap dan derasnya hujan, tapi jejak langkah Fadil masih terlihat.

Rizal sadar, jejak kaki itu mengarah ke hutan jati.
“Rizal!! Sudah! Kita kembali dulu!” Teriak Fariz.
Rizal tidak peduli, malam ini ia harus bisa membunuh perasaan yang selama ini menghantui dirinya.

Ustad Sobirin, Fariz, dan Ahmad mengikuti cahaya dari kejauhan yang berasal dari senter Rizal. Gelapnya hutan jati, dinginya air hujan, benar-benar membuat Ustad Sobirin tidak habis pikir dengan apa yang sedang dilakukan oleh santri-santrinya itu.

Cahaya senter Rizal terhenti beberapa puluh meter setelah melewati makam tempat Hanifah ditemukan.
Rizal terlihat terengah-engah. Dia berdiri dengan wajah terpaku dengan memandangi sesuatu.
“Jal.. sudah Jal..” ucap Fariz menepuk bahu Rizal.

Tapi niat menghentikan Rizal terhenti ketika secara perlahan Rizal mengarahkan senternya ke sosok yang tak jauh berada di hadapanya.
Suara dan gerak-gerik aneh terdengar dari arah Rizal megarahkan senternya.
“I...itu??“

“Astagfirullahaladzim...“ Ustad Sobirin tidak percaya dengan apa yang ia lihat.
Ada seseorang dihadapanya tengah tersungkur di tanah dan memakan sesuatu yang sebelumnya terkubur di hadapanya.

Wajahnya penuh dengan darah, gerak-geriknya seperti seseorang yang kesetanan dan tertawa menikmati apa yang ia makan.
“Fadil?” Ustad Sobirin mencoba mendekat ke arah sosok itu.
Tapi Fadil hanya menoleh sekilas dan kembali menikmati benda penuh darah yang ada di tanganya.

Ia seperti tidak takut dengan apapun seolah sesuatu yang ia makan adalah puncak kenikmatanya.
Rizal ikut mendekat dan mencari tahu apa yang sedang dilakukan Fadil saat itu.
“I...itu? Janin?” tanya Rizal saat mengetahui benda apa yang dipegang oleh Fadil.

“Apa? Yang bener kamu Jal?” Fariz tidak percaya.
Namun saat memastikan dengan jelas, benar apa yang diucapkan Rizal.
Di tangan Fadil terdapat bagian tubuh bayi yang tidak sempurna yang sudah tercabik-cabik menjadi beberapa bagian.

Sementara itu Fadil tertawa kesetanan menikmati janin yang terlihat sangat mengenaskan itu.
“Astagfirullahaladzim...“
“Astagfirullahaladzim...“
“Astagfirullahaladzim...“

Mereka semua membaca istighfar sebelum akhirnya Ustad Sobirin mendekat ke arah Fadil dan membacakan doa untuknya.
Sontak Fadil memberontak mendengar setiap bait doa yang dibacakan Ustad Sobirin. Ia berteriak, mengerang kesakitan dan berusaha untuk memberontak.

Iapun melarikan diri ke dalam hutan yang lebih gelap.
“Kejar!!!” Teriak Rizal.
Merekapun mengejar Fadil secepat yang mereka bisa.
“Kalian! Kembali! Bahaya!” Teriak Ustad Sobirin yang juga menyusul.
Rizal tidak ingin kehilangan jejak Fadil.

“Ahmad! tunggu dari arah timur! Fariz kamu muter, aku coba arahin ke arahmu” perintah Rizal.
Mengerti dengan yang dimaksud Rizal, merekapun berpencar teratur. Rizal terus mengejar Fadil yang terus berlari tanpa arah.

Fadil mencoba menghindari Rizal, tapi itu malah membawanya ke arah Fariz yang berhasil menggapai tubuhnya.
“Grrr... hrrrr... lepaskan! Lepaskan!!” Berontak Fadil.

Tenaga mereka berdua tidak cukup untuk menahan Fadil, ia masih bisa berlari walau berkali-kali terjatuh oleh tangkapan Fariz dan Rizal.
Tapi di depan Ahmad sudah menunggu. Ia memeluk Fadil dan menjatuhkanya di tanah.

Mereka menguncinya dan segera memanggil ustad.
“Ustad! Disini!!!”
Fadil memberontak, ia berkali-kali mengamuk.
“Aku tidak ada urusan dengan kalian! Aku bisa membunuh kalian!” teriak Fadil.

Wajahnya benar-benar marah, darah dari janin yang ia makan membuat wajah Fadil tidak lagi seperti sosok manusia.
Rizal mencoba membacakan ayat kursi sebisanya untuk menahan Fadil.

Entah itu berguna atau tidak, tapi saat itu mereka berhasil menahan Fadil untuk tidak melepaskan dirinya.
Ustad Sobirin datang dan segera mengikatkan tanganya dan tangan Fadil dengan Tazbih yang ia bawa.
“Tahan dia!” Perintah Ustad Sobirin.

“Baik ustad! Tapi kayaknya nggak bisa lama-lama. Tenaganya nggak kayak orang normal” Ucap Fariz.
“Tahan semampu kalian”
Ustad Sobirinpun membacakan kembali doa-doa untuk merukyah Fadil saat itu juga.

Fadil terus memberontak, bahkan mereka mulai merasakan sosok-sosok tak kasat mata mencoba mendekat ke arah mereka. Tapi Ustad Sobirin tidak main-main, ia mengusir mereka semua sembari terus merukiyah Fadil.
“Keluar kamu jin Laknat!” Perintah Ustad Sobirin.

Sosok di tubuh Fadil kesakitan, seharusnya ia keluar setelah Ustad Sobirin menyelesaikan doanya.
Tapi, anehnya tiba-tiba Ustad Sobirin berhenti...
“Ustad! Kenapa? Kenapa berhenti?” Tanya Rizal bingung.
Wajah Ustad Sobirin terlihat panik. Itu tidak seperti biasanya.

Sebaliknya, Fadil tiba-tiba tertawa menertawakan ekspresi wajah Ustad Sobirin.
“Khekhekhe... Kenapa? Kau takut?” tantang sosok yang merasuki tubuh Fadil.
“Nggak! Nggak mungkin Ustad Sobirin takut!” Teriak Fariz.

Rizal mencoba berpikir sama, tapi Ustad Sobirin masih terlihat ragu.

***

“Kalau setan ini saya usir, Fadil akan mati...” ucap Ustad Sobirin.

“Ma...maksud ustad?!” Rizal bingung.
“Sejak awal Fadil sudah tidak ada, selama ini tubuh ini diisi oleh Jin biadab ini sehingga terus hidup..” Jelas Ustad Sobirin.
Rizal, Fariz, dan Ahmad kaget dengan ucapan itu. Ia hampir tidak percaya dengan apa yang dikatakan Ustad Sobirin.

“Setan sialan! Berani-beraninya kamu ngambil tubuh Fadil!” bentak Rizal.
“Khekehke... ini permintaan mereka, dan aku mendapatkan bayaranya. kenapa kalian menyalahkan saya” ucapnya sambil tertawa menang.

Ustad Sobirin memalingkan wajahnya. Ia tidak menyangka ada orang yang mengikat perjanjian dengan jin agar Fadil bisa terus hidup.
Jelas saja, Ustad Sobirin tidak mungkin mau mengambil resiko dituduh membunuh seorang santri.

Walaupun kenyataanya, Fadil sudah mati dan tubuhnya diisi sosok lain.
“Kalian sudah membuat tuanku marah! Tuanku tidak akan diam!” ucap Fadil sembari terus tertawa menang.
Entah apa yang terjadi tiba-tiba Fadil kehilangan kesadaranya.

Iya terkulai begitu saja di sana tanpa ada perlawanan.
Tok...tok... tok... tok...
Samar-samar terdengar suara kentongan dari arah pondok. Suara kentongan itu terdengar dengan nada yang menunjukkan bahaya.
“Ustad! Suaranya dari pondok..” ucap Ahmad.

Ustad mencoba mengangkat Fadil, namun Rizal melarang.
“Fadil biar kami yang membawa kembali, Ustad pergi duluan. Ustad lebih dibutuhkan di sana” ucap Rizal.
Ustad Sobirin mengerti, namun sebelum ia pergi ia memeriksa keadaan Fadil.

Iapun meninggalkan tasbihnya di tangan Fadil sebelum akhirnya meninggalkan Rizal dan yang lain.

***

Ustad Sobirin berlari sekuat tenaga menyusuri gelapnya malam di hutan jati itu. Rasa cemas terus menderu bersama dinginya hujan yang menusuk tubuhnya.
Seluruh cahaya lampu di semua ruangan pondok menyala dengan suara kericuhan yang terdengar, bahkan dari luar kompleks pesantren.
Saat melewati gerbang, Ustad Sobirin dikagetkan dengan santri-santri yang bergelimpangan menyebar di sudut-sudut pesantren.
“Kang Aang? Mereka kenapa?!”

Ustad Sobirin menarik Kang Aang yang juga tengah memeriksa keadaan santri yang terbaring di dekatnya.
“Kesurupan ustad, nggak tahu kenapa mereka tiba-tiba begini...” Jelas Kang Aang panik.

Dengan segera Ustad Sobirin segera menyusul Ustad Yahya yang tengah merukiyah salah satu santri. Ia membantunya hingga santri itu tersadar dan meminta Ustad Yahya menjelaskan kondisinya.

“Tiba-tiba saja banyak santri yang keluar dari kamarnya dan berteriak-teriak seperti kesetanan. Mereka semua berperilaku aneh” Jelas Ustad Yahya.
“Astagfirullahaladzim... apa mungkin ini ulah dia?” gumam Ustad Sobirin.
“Dia? Siapa ustad?” tanya Ustad Yahya.

“Nanti saya jelaskan, sekarang kita minta tolong santri yang masih sadar dan kumpulkan mereka di dua ruangan biar Ridho bantu Ustad Yahya!” Perintah Ustad Sobirin.
“Baik ustad..”

Seusai perintah Ustad Sobirin, semua santri yang masih tersadarpun bersusah payah mengumpulkan santri-santri itu ke dalam dua ruangan. Sementara itu, Ustad Sobirin menenangkan pikiranya dan membacakan doa-doa ke beberapa botol yang telah diisi dengan air.

Ustad Yahya dan yang lain bersusah payah menahan santri-santri yang kesurupan itu. Setidaknya mereka memastikan tidak ada satupun santri yang hilang.
“Rizal, Ahmad, Fariz, dan Fadil kemana?” Teriak Ustad Yahya mempertanyakan keberadaan mereka.

Kang Aang mencoba mencari namun tidak menemukan mereka.
“Mereka sedang dalam perjalanan kembali ke sini, tidak usah khawatir” Jawab Ustad Sobirin yang telah selesai melakukan ritualnya.

Ia memberikan botol-botol air itu pada Ridho, dan Kang Aang.
“Percikan air doa ini sambil membaca istighfar pada mereka yang mengamuk, Saya dan Ustad Yahya akan merukiyah mereka satu persatu” Perintah Ustad Sobirin.

Kang Aang dan Ridhopun mengerti. Mereka bersama beberapa santri menahan mereka yang mengamuk dengan membaca doa dan menggunakan air pemberian Ustad Sobirin.
Benar saja, Santri-santri yang kesurupan itu seketika gentar.

Mereka seolah ketakutan dengan air doa yang diberikan Ustad Sobirin.
Sayangnya setan-setan itu tidak berniat memudahkan usaha mereka.
“Harus ada nyawa yang dibayarkan malam ini...”
Suara parau itu terdengar dari sudut ruangan yang masih gelap.

Seorang santri berdiri di sana dengan terus menatap Ustad Sobirin.
“Astagfirullahaladzim.. bismillahirohanirohim...”
Kang Aang segera memercikan air itu ke sosok yang berada di sana. Santri itu adalah Sodar.

Berbeda dengan Santri lain yang sedang kesurupan. Wujud wajah Sodar sudah semakin jauh dari wajah seorang manusia.
Matanya menghitam sepenuhnya dengan kulitnya yang putih pucat. Urat-urat di wajahnya menonjol dan menghitam sama seperti lidah dan isi mulutnya.

“Sodar! Sadar... Istighfar!” Teriak Kang Aang.
Air doa Ustad Sobirin benar-benar tidak berarti terhadap Sodar. Kang Aang mencoba membacakan ayat kursi padanya namun ia hanya tersenyum menertawakan Kang Aang.

Sodarpun menjambak rambut Kang Aang, menariknya mendekat dan menggigit lehernya hingga berdarah. Kang Aang berusah melepaskan diri, namun gagal.
“Ustad! To..tolong!!!!” Teriak Kang Aang.
Ustad Sobirin yang menyadari hal itupun meninggalkan rukiyahnya dan menghampiri Sodar.

“Allohu laa ilaaha illaa Huwal Hayyul Qoyyuum, laa ta’khudzuhuu sinatuw walaa nauum,...”
Ustad Sobirin membacakan Ayat Kursi dengan lantang. Sosok-sosok yang merasuki santri-santri di ruangan itupun gelisah dan kesakitan mendengarkan ayat-ayat itu.
Tapi.. tidak dengan Sodar.

“Cih... Doa-doamu tidak lagi mempan terhadapku”
Ledek Sodar yang melanjutkan tindakan gilanya dengan merobek leher Kang Aang dengan giginya.
“Tolong! Tolong Ustad!”
Ustad Sobirin tidak gentar. Iapun mendekat ke arah Sodar dan berusaha melepaskan tanganya dari Kang Aang.

Tapi tidak semudah itu...
Saat melepas Kang Aang, Sodar bergerak ke belakang santri yang lain. Ia kembali menjadikan santri itu sandra untuk dihabisi.
“Titah sudah diterima.. Harus ada satu nyawa yang mati sebagai peringatan untuk kalian!” Ucap Sosok yang merasuki Sodar.

Sebuah pisau kecil dikeluarkan dari Kantung celana Sodar. Sebuah benda yang seharusnya terlarang untuk berada di lingkungan pesantren. Ia mengeluarkan pisau itu dan bersiap menusukkanya pada Santri yang ia sandra.

“Sodar! Jangan Sodar! “ Kang Aang berusaha menahanya namun tenaga sodar lebih besar.
Ia berhasil mengayunkan pisau itu namun dengan sigap Ustad Sobirin menahan tanganya melukai santri itu..

Berkali-kali Sodar mencoba menusukkan pisau itu pada Ustad Sobirin, namun selalu gagal. Kang Aangpun takjub dengan gerakan-gerakan Ustad Sobirin yang selama ini tidak pernah ia lihat.

Walaupun membela diri, tapi stamina Ustad Sobirin ada batasnya.

Doa-doanya gagal mengusir sosok yang merasuki Sodar, iapun mulai kelelahan hingga beberapa serangan pisau sodar melukai bahunya.
“Makhluk seperti kalian tidak punya hak di alam ini” teriak Ustad Sobirin.

Ia berusaha menendang Sodar menjauh dan menahan kepalanya. Sekali lagi ia membacakan sebuah doa untuk mengusir sosok dalam tubuh Sodar.

"Bismilaahir rahmanir rahim. Allaa ta’luu ‘alayya wa'tuunii muslimiin."

Kali ini Sodar terlihat gentar, ia kesakitan dan meronta sejadi-jadinya.

“Aku tidak akan keluar! Manusia ini milikku!!” Teriak sosok di dalam tubuh Sodar saat itu.

Sesuai perkataanya. Walaupun kesakitan sebegitunya, ia tetap tidak keluar dari tubuh Sodar.

Bahkan Ustad Sobirinpun heran, bagaimana bisa jin itu bisa bertahan sebegitu kuatnya di tubuh Sodar.

“Hahaha.. kalau itu memang maumu! Manusia ini ikut denganku!”
Setan itu meronta bersama dengan suara Sodar yang juga merasa kesakitan.

Samar-sama Ustad Sobirin merasakan Setan itu berkuasa atas Sodar dan menarik jiwanya meninggalkan tubuhnya.

“Setan terkutuk!!” Ustad Sobirin panik.
Kali ini ia benar-benar bingung dengan apa yang harus mereka perbuat.

Sekali lagi Ustad Sobirin dihadapkan di posisi antara hidup dan mati Santrinya.

Brakk!!!

Di tengah kebingungan Ustad Sobirin, Tiba-tiba suara pintu terbuka dengan keras. Terlihat Fariz dan Ahmad segera membaringkan Fadil tak jauh dari pintu ruangan.

“Ustad! Apa yang terjadi??” mereka bingung dengan apa yang tengah terjadi di ruangan itu.
Tapi tidak dengan Rizal, Sebelum masuk ke dalam ruangan ia mendengar teriakan setan itu dari luar dan mencoba membaca situasi ini.

Samar-samar ia teringat kembali kejadian pertemuan Sodar dengan Fadil.

“Ustad! Kalung hitam! itu juga jimat milik Fadil!” Teriak Rizal mencoba memberi tahu apa yang ketahui.

Sontak Sodar menoleh ke arah Rizal dengan tatapan penuh amarah.

Ustad Sobirin memperhatikan tubuh Sodar dan memang menemukan kalung hitam yang dimaksud Rizal melingkar di lehernya. Saat itu juga ia menarik kalung itu hingga terputus.

“Bocah sialan! Kali ini kami melihatmu! Hidupmu tidak lama lagi” teriak sosok dalam tubuh sodar mengancam Rizal dengan wajah bengisnya.

Rizal gentar melihat sosok bermata hitam yang mengarahkan tanganya kepada Rizal. Ia mundur ketakutan menelan ludahnya, tapi itu hanya sebentar.

“Hidup dan matiku di tangan Allah, setan sepertimu tidak punya hak sedikitpun terhadap nyawa kami!” Teriak Rizal sembari mulai membacakan Ayat Kursi, satu-satunya doa untuk menghadapi perkara seperti ini yang ia hafal.

Ustad Sobirin tersenyum menatap Rizal. Iapun menemani doa Rizal untuk memaksa Setan itu keluar dari tubuh Sodar.

“Yang lebih besar akan datang! Sudah ada pengikut kami diantara kalian! Jangan sombong makhluk hina!”

Teriak sosok itu sebelum akhirnya meninggalkan tubuh Sodar yang terkulai lemah.

Ustad Sobirin segera mengecek denyut nadi Sodar. Dia bernafas lega saat mengetahui Sodar masih hidup. Hanya saja ia tahu, kerasukan makhluk semengerikan itu pasti benar-benar menguras tenaganya.

Tepat setelah setan itu meninggalkan Sodar, seluruh santri yang kesurupanpun tersadar. Setan, Jin, Roh yang merasuki mereka keluar begitu saja mengikuti makhluk yang sepertinya memimpin mereka untuk membuat perkara ini.

“Ujang!!” Teriak Ustad Sobirin.

Ujang yang satu angkatan dengan Sodar itupun datang menghampiri Ustad Sobirin.
“Iya Ustad?” Tanya Ujang.
“Tolong bantu bawa Sodar ke ruang UKS, bantu cari di barang-barangnya apakah ada benda seperti jimat dan sejenisnya lagi” perintah Ustad Sobirin.

“Jimat?” Ujang bingung.
Ustad Sobirinpun menunjukkan kalung hitam yang dikenakan Sodar. Ada aksara-aksara aneh di lipatan hitam di bandulnya yang sepertinya bukan merupakan hal yang baik.
“Saya mengerti Ustad, akan saya periksa” Jawab Ujang.

“Pastikan ke santri-santri yang lain juga..” tambah Ustad Sobirin.
Ujang meminta bantuan beberapa temanya untuk menggotong Sodar. Sementara itu Ustad Yahya yang telah selesai dengan para santri yang kesurupan menyusul Ustad Sobirin.

“Gimana di sana Ustad Yahya?” Tanya Ustad Sobirin.
“Semua mendadak tersadar, sepertinya sudah selesai..” jelas Ustad Yahya.
“Kita amankan dulu semua santri, setelah itu kita berkumpul di mushola untuk membahas semua masalah ini.” perintah Ustad Sobirin.

Satu persatu santri meninggalkan tempat itu dan kembali ke kamarnya.
Kang Aang yang melihat Rizal dan yang lain basah kuyup dan penuh dengan kotoran mengambilkan teh panas untuk mereka semua.
“Sebenarnya ada apa sih Jal? Si Fadil kenapa?” Bisik Kang Aang.

Rizal mengatur nafasnya sembari menyenderkan punggungnya ke salah satu tembok.
“Kang...”

Kang Aang mendekat ke arah Rizal.
“Nanti kami ceritakan semua ya, di sini Kang Aang juga korban..” ucap Rizal.

“Saya? Korban? Kok bisa?” tanya Kang Aang bingun.

“Iya, kalau Kang Aang nggak ketiduran ini nggak akan terjadi” tambah Fariz.
Kang Aang menggaruk kepalanya merasa bersalah.
“Tapi tenang dulu Kang.. Ustad Sobirin bakal jelasin semua..” ucap Ahmad.
Kang Aang mengerti, ia juga melihat rasa lelah di wajah ketiga anak itu.

“Kang Aang, temenin mereka ganti baju dulu. Mereka bisa sakit kalau basah-basahan begitu” perintah Ustad Sobirin.
“Baik Ustad..”

“Rizal, Ahmad, Fariz... kita ketemu lagi di mushola. Dan Ustad Yahya, besok anak-anak kita liburkan dulu. Pastikan semua santri yang kesurupan tadi benar-benar pulih” perintah Ustad Sobirin.
Ustad Yahya mengerti perintah itu dan segera berkeliling memeriksa kamar santri satu-persatu.

Sementara Rizal dan yang lain mengganti baju, Ustad Sobirin memeriksa keadaan Fadil dan mulai membacakan ayat-ayat suci di samping tubuhnya.

***

“Astagfirullahaladzim...“
Sebelum mencapai kamar Rizal, Kang Aang tiba-tiba tercekat.

Ia seolah kaget akan sesuatu yang ada di kamar kami.
“Nenek-nenek ya kang?” Tanya Rizal santai.
Kang Aang menoleh dengan kaget ke arah Rizal.
“Kalian bisa liat juga?” Tanya Kang Aang.

“Nggak Kang, tapi nenek itu yang ngebangunin kami seolah ingin meminta kami mengawasi Fadil” jelas Rizal.
Kang Aang memang memiliki kemampuan. Ia terkadang bisa melihat makhluk-makhluk tak kasat mata, namun itu hanya di saat-saat tertentu.

“Sudah, dia sudah pergi..” Jelas Kang Aang.
Fariz mendekat ke Kang Aang seolah penasaran akan sesuatu.
“Sebenernya nenek itu siapa sih kang? Kok bisa ada di Gudang lama?” Tanya Fariz.
Kang Aang menoleh ke arah Fariz.

“Kenapa kalian bisa tahu dia dari gudang lama?” tanya Kang Aang.
Sontak Ahmad menyikut Fariz menegur kecerobohanya. Tapi sepertinya Kang Aang tidak mau memusingkan itu kali ini.

“Ya sudah, jelasin nanti-nanti saja! Cepat ganti baju, keburu subuh..” Kang Aangpun segera menyuruh mereka bertiga untuk berganti dengan pakaian kering.
Satu hal yang Kang Aang sadari malam itu. Walaupun melihat keberadaan nenek itu di kamar Rizal.

Ia juga melihat santri-santri lain yang berada di sana.
Mereka semua kelelahan setelah hampir semalaman membantu Ustad dan santri-santri lain di kejadian tadi.
Kang Aang sadar, Tidak ada satupun santri di kamar Rizal yang dirasuki oleh makhluk-makhluk tadi.

Kang Aang menerka, apakah ini semua karena keberadaan sosok Nenek tua penghuni gudang lama ini?

***

Beberapa gelas teh panas tersaji dihadapan Ustad Sobirin, Ustad Yahya, Rizal dan teman-temanya saat itu.
Mereka tidak langsung memulai pembicaraan. Mereka menikmati waktu itu terlebih dahulu untuk menenangkan diri mereka dan menikmati rasa hangat dari teh panas itu.

“Nggak pernah aku ngerasain teh panas seenak ini” ucap Fariz yang terus saja menggenggam gelas hangatnya di tangan.
“Iya ya, padahal sama saja dengan teh yang biasa kita minum” timpal Ahmad.
Ustad Sobirin tersenyum mendengar perbincangan itu.

“Kenikmatan seperti itu adalah hadiah dari Allah untuk mereka yang mau lelah berjuang. Percaya atau tidak, kenikmatan itu tidak bisa dibeli bahkan dari minuman termahal sekalipun” ucap Ustad Sobirin.

“Setuju ustad, sama kayak es teh yang kita minum habis ngangkut beras dari lumbung Pak Hari kan?” ucap Rizal.
Ustad Sobirin mengangguk.
Mereka meluangkan sejenak untuk perbincangan-perbincangan kecil sebelum masuk ke permasalahan utama mereka tentang tragedi malam ini.

***

“Ulah Fadil?”
Ustad Yahya mengernyitkan dahinya seolah tidak percaya dengan cerita dari Ustad Sobirin.
Rizal membantu menceritakan mulai dari saat mengetahui Kang Sodar merundung Fadil. Ia mendapatkan benda berupa buku dan sebuah kalung hitam yang ia rebut dari Fadil.

“Sepertinya Sodar memang ngilmu, dan Fadil menjebaknya dengan kitab dan Jimat yang ia miliki” jelas Ustad Sobirin.

“Sepertinya Fadil juga mengincar kakak kelas yang lain yang memiliki niat yang sama. Beberapa hari yang lalu saya juga melihat beberapa orang merundung Fadil, saat kami tolong ia malah tidak senang” ucap Rizal.
Cerita Rizal membuat Ustad Sobirin dan Ustad Yahya cemas.

“Saya takutnya, santri-santri itulah yang dimaksud sebagai pengikut setan itu..” ucap Ustad Sobirin.
Ustad Yahya kaget saat mendengar cerita mengenai Fadil yang keluar gerbang dan memakan janin yang dikubur seseorang di hutan jati.

Itu Janin siapa? Siapa yang melakukan? Berbagai pertanyaan memenuhi isi kepala Ustad Yahya.
“Apa sosok yang merasuki Fadil sudah di usir?” tanya Ustad Yahya.
“Itu masalahnya...” wajah Ustad Sobirin terlihat cemas.

“Hanya jin itu yang mendiami tubuh Fadil, tidak ada kesadaran lain di tubuhnya. Kamu tahu apa artinya kan Yahya?”
Penjelasan Ustad Sobirin membuat Ustad Yahya dan Kang Aang semakin pusing.

Mereka memiliki ketakutan yang sama, bila sosok di dalam tubuh Fadil diusir maka Fadil akan mati.
“Siapa yang melakukan ini Ustad?” Tanya Kang Aang.
Ustad Sobirin menggeleng. Jelas saja ia tidak dapat menerka siapa yang tega melakukan ritual itu pada anak ini.

“Seseorang melakukan perjanjian dengan sosok ini dengan bayaran janin yang harus diberikan pada malam-malam tertentu untuk dirinya” Jelas Ustad Sobirin.

Rizal, Ahmad, dan Fariz mengingat kembali kejadian dimana Fadil memakan janin yang masih berdarah-darah itu dengan begitu beringasnya.
“Ustad? Rizal?” ini dimana?”

Tiba-tiba Fadil siuman dari tempat ia dibaringkan. Sontak Rizal dan yang lainpun panik, Ustad Sobirin segera mendekat secepat mungkin ke arah Fadil.
“Ahmad? Fariz? Ini kenapa?” Fadil terlihat panik, ia sama sekali berbeda dengan saat berada di hutan tadi.

Tak ingin tertipu, Ustad Sobirin membacakan kembali doa untuk merukiyah Fadil, dan benar saja ia merintih kesakitan.
“Sudah ustad!! Hentikan! Panasss!!” Teriaknya.
Fadil benar-benar meronta kesakitan, namun ia tidak melawan dan tidak berbuat apapun selain mengeluh kesakitan.

Hal ini benar-benar membuat Ustad Sobirin dan Ustad Yahya bingung.
“Siapa kamu?” Tanya Ustad Sobirin.
“Fa...Fadil Ustad” jawab Fadil terbata-bata.
“Dusta!” Teriak Ustad Sobirin.

Fadil terlihat ketakutan ia memandangi Ustad Sobirin dan Ustad Yahya seolah ia sedang diintimidasi oleh mereka.
“Jal.. tolong Jal, ini kenapa?” Fadil memohon ke pada Rizal, tapi Rizal yang melihat apa yang terjadi di hutan jati membuatnya berani untuk menahan diri.

“Kamu bukan Fadil” ucap Rizal.
“Ini aku Jal! Fadil!! Kalian kenapa??” tanya Fadil dengan memasang wajah bingung.
Ustad Sobirin yang merasa tidak mendapatkan perlawananpun akhirnya memutuskan untuk membiarkan Fadil terlebih dahulu.

Walau begitu ia masih meragukan apakah keputusanya benar atau salah.
“Ustad Yakin? Kita lihat sendiri lho bagaimana di hutan jati tadi” tanya Rizal.
“Saya tidak yakin, tapi semoga ini keputusan terbijak. Besok akan saya hubungi orang tuanya” ucap Ustad Sobirin.

Ustad Sobirinpun melarang Fadil untuk tidur bersama santri yang lain. Ia dirawat di UKS dengan dijaga Kang Aang serta Ustad Yahya yang sesekali memeriksanya.
Mereka berharap penilaian Ustad Sobirin salah.

Mereka berharap bahwa roh Fadil masih ada di tubuh itu dan bisa diselamatkan.
Tapi saat Rizal mencoba berharap untuk itu, tiba-tiba ia melihat Fadil menoleh ke arahnya. Ia tersenyum licik seolah menyembunyikan sesuatu yang mengerikan.

“U...ustad, Jangan lengah sama sekali dengan Fadil ya. Saya masih takut” Rizal mencoba menyampaikan perasaanya.

Kali ini Ustad Sobirin tidak membantah. Ia mengangguk mengiyakan ucapan Rizal. Setelah melihat semua kejadian semalam, tidak mungkin mereka membantah ucapan ketiga santri ini.

***

Sebuah perbincangan panjang terjadi di telepon antara Ustad Sobirin dengan orang tua Fadil. Mereka tidak terima saat Ustad mengatakan bahwa tubuh Fadil diisi oleh Jin.

“Ustad jangan mengada-ada! Siapa yang terima anaknya dianggap setan!” Suara seorang ibu yang berteriak terdengar keras di telepon itu.
“Tenangkan dulu bu, tapi kejadian semalam benar-benar terjadi. Anak ibu benar-benar memakan Janin di Kuburan hutan jati.” Jelas Ustad Sobirin.

Penjelasan dari Ustad Sobirin seolah tidak dihiraukan oleh orang tua Fadil. Jelas saja, orang tua mana yang percaya anaknya sudah mati dan tubuhnya diisi oleh Jin.

“Kalau anak saya salah, silahkan dihukum! Tapi mengatakan hal seperti itu benar-benar melukai hati saya ustad” kali ini suara tangis terdengar dari balik telepon.

Ustad Sobirin tetap berusaha untuk tegas, namun sebisa mungkin ia ingin memberikan penjelasan secara baik kepada orang tua Fadil.
“Kalau Ustad masih ngotot, katakan yang akan ustad lakukan saat ini? Membunuh anak saya?” kali ini suara ayah Fadil yang terdengar dari telepon itu.

Pertanyaan itu benar-benar tidak bisa dijawab dengan tegas oleh Ustad Sobirin. Di satu sisi ia tidak tahu apa yang harus dilakukan jika Fadil mati. Satu sisi tidak mungkin ia berbohong bisa menyelamatkan Fadil.

“Baiklah, kalau begitu satu lagi pertanyaan dari saya...” Ustad Sobirin mencoba menenangkan pikiranya.
“Apa kalian tahu siapa yang menanamkan janin manusia di hutan jati?”

Anehnya pertanyaan itu membuat kedua orang tua Fadil terdiam. Ibu Fadil sama sekali tidak ada niat untuk menjawab.
“Jelas kami tidak tahu ustad! Itu tidak ada hubunganya dengan kami” jawab Ayah Fadil.

“Baiklah, kalau begitu sepertinya saya tahu apa yang harus saya perbuat” ucap Ustad Sobirin sebelum akhirnya berpamitan menutup telepon itu.

***

Ustad Sobirin tidak mampu membuktikan bahwa sosok yang berada di tubuh Fadil bukanlah Fadil. Akhirnya Fadil dikembalikan ke kamar dan berbaur kembali dengan santri-santri lainya.

Tidak ada yang tahu tentang kejadian di hutan jati selain mereka yang berkumpul di mushola saat itu. Semua santri masih memperlakukan Fadil seperti biasa.
Tapi bukan berarti Ustad Sobirin menyerah...

Ia mencoba menghitung tanggal dan weton mengenai waktu dimana Fadil memakan Janin sebelumnya.
Ustad Sobirin menandai beberapa tanggal di kalender dan selalu berjaga di tanggal-tanggal itu.

Kang Aang juga diminta untuk terjaga di setiap tanggal yang diberi tahu oleh Ustad Sobirin.

***

Beberapa bulan berlalu dan tidak terdapat keanehan lagi mengenai Fadil, tapi Ustad Sobirin tidak mau lengah.
Ia terus berjaga di tanggal-tanggal yang ia tandai.

Sampai di satu malam saat Ustad Sobirin sedang berjaga, ia menemukan Rizal di depan kantornya mencoba memberitahukan sesuatu.
“Assalamualaikum Ustad..” panggil Rizal.
“Waalaikumsalam Rizal, ada kejadian lagi?” Tanya Ustad Sobirin.

Rizal mengangguk, kali ini ia tidak sepanik sebelum-sebelumnya.
“Nenek itu muncul lagi?” Tebak Ustad Sobirin.
“Kok Ustad tahu?”
Ustad Sobirin mengelus kepala Rizal.
“Berarti benar malam ini” gumam Ustad Sobirin.
“Maksud Ustad?”

“Kembali ke kamar ya, jaga teman-temanmu kalau terjadi apa-apa ajak mereka semua mengaji” perintah Ustad Sobirin.
Rizal masih penasaran dengan maksud Ustad Sobirin. Tapi ia mengerti, pasti ada alasan mengapa Ustad tidak mau menceritakan itu kepadanya.

***

Malam itu terasa begitu sepi. Kang Aang berjaga dengan penuh konsentrasi seperti perintah Ustad Sobirin. Terlihat beberapa gelas kopi yang sudah habis berjejer di mejanya untuk menahan kantuk.
Ada seorang santri yang memperhatikan Kang Aang dari jauh.

Ia memastikan gerbang sudah terkunci, itu adalah Fadil. Kali ini ada dua kunci gerbang yang mengikat. Satu kunci lagi sengaja dipegang oleh Ustad Sobirin.
Tidak seperti hari-hari sebelumnya, Fadil terlihat gelisah.

Sepertinya ia harus segera keluar dan melakukan sesuatu untuk membunuh rasa gelisahnya.
Mengetahui ia tidak bisa memanfaatkan Kang Aang, iapun memutar dan mengelilingi kompleks pesantren yang cukup besar itu.

Ia terlihat menggebu-gebu seolah akan meledak bila tidak segera keluar, sampai akhirnya ia menyadari suara air dari kali yang mengalir di kompleks pesantren.
Kali itu melewati bawah tembok yang berarti ada lubang di bawah sana.

Fadil tidak peduli dengan arus dan dinginya air kali itu. Ia merunduk memasuki celah itu dan berhasil tiba di sisi balik tembok pesantren.
Iapun bergegas melalui hutan yang dipenuhi pohon-pohon jati.

Tanpa petunjuk arah dan tanpa penerangan ia mampu melalui hutan itu tanpa kesulitan sedikitpun.
Tepat saat melewati makam Fadilpun segera menggali tanah tempat sebuah pasak hitam ditancapkan.

Nafasnya menderu seperti kesetanan mencari sesuatu dari balik tanah yang ia gali dengan tangan kosong.
Tapi... Fadil tidak menemukan apa yang ia cari di tempat ia menggali.
Janin itu tidak ada di tempatnya..

Ia bingung, namun saat menatap ke sekitar hutan itu seolah ada sosok tak kasat mata yang menceritakan sesuatu padanya.

“Ggrrrr... Bangsat!! Bangsat kalian!!!”
Fadil mengamuk sejadi jadinya saat itu.

Tanganya mengepal dengan keras dan berkali-kali menghantamkanya ke tanah dan pepohonan di sana.
Sumpah serapah terucap tanpa henti melampiaskan kekesalanya.

***

Dari balik pohon jati tak jauh dari tempat Fadil berada, Ustad Sobirin bersembunyi menyaksikan amukan Fadil.

Sebelumnya ia sudah datang lebih dulu ke tempat itu dan menemukan ibu Fadil menguburkan Janin di tempat tak jauh dari tanah Fadil memakan janin sebelumnya.
Saat itu juga Ustad Sobirin menggali kembali Janin itu dan menguburkanya di tempat yang layak, jauh dari tempat yang digali oleh Fadil.

Kini perjanjian itu sudah cacat apakah sosok Jin di tubuh Fadil akan meninggalkan tubuh itu? ataukah ada hal lain yang akan terjadi?

Pertanyaan itu muncul di kepala Ustad Sobirin atas perbuatanya. Ini satu-satunya cara yang ia pikirkan untuk mengakhiri perjanjian antara sosok yang berada di tubuh Fadil dengan Seseorang yang terikat denganya.
Sayangnya semua tidak sesederhana itu...

Fadil kembali dengan wajah penuh amarah. Sesekali Ia tertawa kesetanan dengan mata yang terus melotot.
“Kalian harus bertanggung jawab... harus ada darah yang menggantikanya...”

Ia berjalan bungkuk menyeret langkah kecewanya. Ada dendam yang mengerikan yang ia bawa langkah demi langkah menuju pesantren.

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close