Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

JASAD HIDUP SANG SANTRI (Part 2) - Tarian di Hutan Jati

Kebakaran pernah terjadi di Hutan Jati dekat pondok, dimana memakan korban banyak pekerjaanya.
Seorang perempuan ditemukan menari diantara makam di hutan jati tersebut..


JEJAKMISTERI - Beberapa karung beras kecil tengah tertumpuk di salah satu sudut tembok. Tidak terlalu besar, namun Rizal dan teman-temanya merasa lesu melihat tumpukan itu.

“Nah, ini semua dibawa ya. Hati-hati bawanya” ucap Pak Hari salah satu donatur tetap pesantren sekaligus juragan beras di desa ini.

“I..iya Pak, hatur nuhun..” balas Rizal dengan senyum anehnya.

Ahmad dan Fariz hanya bisa tersenyum kecut melihat beberapa karung beras yang harus mereka bawa sampai ke pondok.

“Hasilnya kita dihukum juga ya?” tanya Fariz.

“Iya, berkat idenya Rizal yang ngajak ngaku soal gudang” balas Ahmad dengan nada ketus.

Rizal hanya tertawa kecil. Memang dialah yang berinisiatif untuk mengaku dan menceritakan semua kejadian mulai dari saat melihat Sodar mengintimidasi Fadil, Mengintip gudang, hingga keluar pondok hanya untuk menonton bola.

“Sejak kemunculan nenek-nenek dari gudang itu, aku sering ngerasa ada yang mengganjal setiap mau tidur. Aku lebih milih mengambil resiko dihukum begini daripada harus ketemu nenek-nenek itu lagi” jelas Rizal.

“Kalau soal itu sih aku setuju Zal..” balas Fariz yang juga merasakan hal serupa.

“Kalau begitu ya udah…” ucap Rizal.

“Ya udah apa?”

“Ya udah diangkat karungnya, jangan ngobrol doank” Balas Rizal.

Senyum kecut Ahmad dan Farizpun kembali muncul. Namun Rizal mengambil satu karung duluan dan memanggulnya di punggung. Merekapun tidak punya alasan lagi untuk bermalas-malasan.

“Siap pak mandor, yang penting gajinya di transfer!” ledek Ahmad.

“Gayamu main transfer, celengan masih di sarung bantal aja sok-sokan transfer” balas Rizal.

Merekapun memulai kloter pertamanya untuk mengangkut sumbangan beras ke pondok pesantren mereka. Sesekali mereka berhenti saat melihat hal menarik di desa.

Mulai dari siaran televisi di warung, jajanan sekolah, dan acara kampung yang jarang sekali mereka ikuti.

“Eh, di sebelah sana bukanya asrama putri ya?” Tanya Ahmad tiba-tiba.

“Iya, setahuku gitu..” balas Rizal.

“Udah pernah ke sana?”

Kali ini Ahmad bertanya sembari sedikit tersenyum.

“Wah, aku ngebaca niatmu nih..” ucap Fariz sembari ikut tersenyum.

“Boro-boro mau ke sana, ini punggung bentar lagi bakal jadi kerupuk kalau kelamaan” Ucap Rizal sembari menunjukkan punggungnya pada mereka.

“Ya nggak sekarang juga, tapi sesekali boleh lah liat-liat biar gak penasaran” ucap Ahmad.

“Nah bener tuh, sesekali lah..” ucap Fariz.

Rizalpun menggeleng dan memilih mendahului mereka menuju pondok untuk meletakkan karung beras itu di tempat yang diperintahkan Ustad Sobirin.

Saat mencapai pondok, Ustad Sobirinpun tersenyum melihat kedatangan mereka.

“Tenang Ustad! Masih satu kali lagi. Pasti kita selesain” ucap Rizal.

“Yakin?” Tanya Ustad Sobirin.

“Yakin donk, cowok nggak boleh lemah!” ucap Ahmad.

Sontak sebuah sarung melayang ke wajah Ahmad.

“Omonganmu itu lho, yang tadi shock lihat karung beras memangnya siapa..” ledek Fariz.

Ustad Sobirin tertawa melihat tingkah mereka.

“Ya udah nggak usah buru-buru, itu ada es teh.. minum dulu, baru lanjut lagi” perintah Ustad Sobirin.

Mereka bertigapun saling bertatapan dan tersenyum.

“Beneran Ustad?”

Ustad Sobirin mengangguk.

“Alhamdulillah...”

Merekapun berlari menuju meja yang ditunjukkan Ustad Sobirin. Sudah ada tiga gelas es teh yang diletakkan di sana. Walau sudah sedikit mencair, namun mereka masih menikmati minuman itu dengan senang.

“Udah lama nggak minum es ya Jal!”

“Iya.. Nikmat mana lagi yang kau dustakan nak..”

“Halah, siap Ustad Rizal...”

Merekapun segera menghabiskan minuman itu dan segera berpamitan kembali dengan Ustad Sobirin.

***

Rizal dan teman-temanyapun kembali mengangkut sisa karung beras yang ada di lumbung Pak Hari. Namun ada sedikit kericuhan di sana yang membuat mereka cukup bingung.

“Itu Kang Mamat kan? Preman yang di pasar kemaren?” Tanya Fariz.

“Pak Hari sampe nunduk-nunduk begitu, pasti lagi minta jatah preman” ucap Ahmad.

Benar saja, tak lama kemudian Pak Haripun mengambil beberapa lembar uang dan memberikanya kepada orang yang bernama Mamat itu.

“Udah nggak usah diliatin, daripada ikut kena masalah..” balas Rizal.

Merekapun lebih memilih untuk meninggalkan tempat itu dan menyelesaikan tugas mereka.

Kali ini mereka tidak terlalu banyak berbincang selama perjalanan, tenaga mereka sudah cukup terkuras oleh karung-karung beras yang mereka bawa.

Sekali lagi mereka melewati jalur menuju asrama putri, disana tiba-tiba Rizal terhenti.

“Kenapa Jal?” Tanya Ahmad Bingung.

“Jangan bilang kamu mau mampir ke sana sekarang?” tambah Fariz.

Rizal tidak menjawab, namun ia malah berbelok menuju jalan ke asrama putri.

“Jal.. jangan aneh-aneh kamu..” tahan Fariz.

“Sssst...” Rizal memberi isyarat pada teman-temanya. Tiba-tiba ia merasakan ada sesuatu yang janggal.

“Tuh.. kalian lihat?”

Rizal menunjuk ke salah satu sisi Asrama putri yang terlihat dari balik pagar. Fariz dan Ahmadpun menoleh ke arah dimana Rizal menunjuk.

“Perempuan?” tanya Fariz.

Rizal mengangguk. Mereka merasakan ada sesuatu yang janggal.

Perempuan itu berdiri seorang diri di tengah-tengah kebun. Ia menatap ke satu arah, dan wajahnya tersenyum dengan aneh.

Di satu sisi wajahnya terlihat pucat tidak seperti santri wanita yang lain.

“Di..dia ngapain?” tanya Ahmad.

“Lah, nggak tahu...” balas Rizal.

Belum sempat menyimpulkan apapun, perlahan mereka menyadari bahwa perempuan itu menoleh perlahan ke arah mereka.

“Cabut-cabut!” perintah Rizal.
“Kalau ketahuan bahaya..”
Merekapun segera berlari meninggalkan tempat itu, namun sekali saat Fariz menengok ke santri wanita itu. Ia melihat wanita itu menyeringai dengan mata yang melotot. Itu tidak seperti tatapan seorang manusia normal.

“Jal...”
“Kenapa Riz?”

Fariz berniat membicarakan itu pada mereka, namun karena tidak yakin iapun membatalkan niatnya.
“Nggak, nggak papa.. cepet, keburu maghrib” ucapnya.

***

Hari ini memang cukup melelahkan untuk mereka bertiga, namun kesempatan untuk bisa melihat kehidupan sehari-hari di luar pesantren juga merupakan hiburan buat mereka.

Setelah selesai menunaikan sholat isya, merekapun melanjutkan dengan mengaji di salah satu pendopo kayu yang tak jauh dari asrama mereka. Kali ini Ustad Sobirinlah yang mengajar mereka dan santri-santri yang lain.

“Fariz, ngeliatin apa?” tegur Rizal yang menyadari temanya tidak fokus dalam mengaji.

“Eh, eng..enggak..” balas Fariz yang segera kembali melanjutkan bacaanya.

Rizal menatap ke arah Fariz menengok tadi. Ada seseorang yang memang menjadi perhatian Rizal juga selama ini.

“Fadil ya?” Tanya Rizal.
Fariz yang merasa pikiranya tertebakpun menengok ke arah Rizal.

“Iya Jal, coba perhatiin. Dia nggak kayak lagi ngaji, gerakan mulutnya sama yang kita baca beda..” jelas Fariz.

Rizal sekali lagi memperhatikan Fadil. Dan Benar saja, gerakan bibir Fadil terasa berbeda dengan ayat-ayat Al-quran yang mereka baca. Walau begitu Rizal tetap mengingatkan Fariz untuk fokus agar mereka tidak mendapat masalah lagi.

Tepat setelah selesai mengaji, Rizal dan Fariz masih berdiam di pendopo sembari menunggu teman-temanya bubar. Ahmad yang tidak tahu rencana merekapun terpaksa ikut menunggu.

“Assalamualaikum Ustad...” salam Rizal.
“Walaikumsalam, ada apa Rizal?”

“Eh, enggak Ustad... kalau ada waktu pengen ngobrol sedikit” Jawab Rizal.
Ustad Sobirinpun mengajak mereka bertiga untuk duduk lagi di pendopo untuk berbicara.
“I..itu, saya bingung juga ngomongnya takut salah..” jelas Rizal.

Fariz menyenggol Rizal seolah memastikan Rizal untuk membicarakan mengenai Fadil.

“Kenapa? Pas di desa tadi kalian melihat yang aneh-aneh?” tanya Ustad Sobirin.

Ahmad yang merasa teman-temanya belum berani berbicarapun berinisiatif mengulur waktu.

“Iya Ustad, tadi kita ngelihat Pak Hari dipalak preman. Kalau nggak salah namanya Mamat..” ucap Ahmad tiba-tiba.

Ustad Sobirinpun menghela nafas.

“Kalian diapain sama Kang Mamat?” tanya Ustad Sobirin.

“Nggak diapa-apain sih, tapi kami sudah beberapa kali ngeliat Kang Mamat bikin keributan di pasar. Memang dia nggak bisa dilaporin polisi aja ya?” Balas Ahmad.

“Yang dilakukan Mamat memang hal buruk, tidak pantas untuk ditiru. Tapi cukup benci perbuatanya saja, jangan orangnya” Ustad Sobirin mencoba menasihati mereka.

“Nggak bisalah Ustad, udah pasti kita benci sama preman pasar macam itu” balas Rizal.

Dahi Ustad Sobirin berkerut mendengar jawaban Rizal. Iapun menatap ke mereka bertiga.

“Ya sudah, pagi ini kalian bangun jam setengah empat pagi. Kalian Sholat subuh di masjid desa ya...” perintah Ustad Sobirin.

Mendadak mereka bertiga saling bertatapan.

“Kita dihukum lagi Ustad?” Protes Fariz.
“Dihukum atau tidak, kalian akan mengerti nanti..” balas Ustad Sobirin.
Saat itu Rizal seketika menyikut lengan Ahmad seolah menyalahkan dirinya. Namun karena tahu tujuan Ahmad adalah menolong mereka, Rizalpun menerimanya dengan ikhlas.

“Oh iya, satu lagi Ustad..” tiba-tiba Fariz memberanikan diri untuk berbicara.
Ustad Sobirin memandangnya dan memperhatikan.

“Tadi saya ngerasa ada yang aneh sama Fadil, kok kayaknya dia nggak ikut mengaji seperti yang lain. Mulutnya seolah mengucap kata-kata yang aneh... saya sampai merinding” jelas Fariz.

Ustad Sobirin terlihat heran, namun ia tidak mau mengambil kesimpulan seorang diri mengenai itu.
“Kalian yakin?”

“Yakin Ustad, saya lihat sendiri. Tapi kami tidak mau menuduh, makanya kami ceritanya hati-hati ke Ustad” Jawab Rizal.

“Kami merasa harus ngomong karena takutnya ada kaitanya dengan kitab yang diambil Kang Sodar dari Fadil..” tambah Ahmad.

Ustad Sobirinpun mengerti. Ia mengatakan akan memantau Fadil lebih ketat. Setelah itu Ustad Sobirin meminta ketiga anak itu untuk kembali menyusul teman-temanya ke kamar untuk istirahat.

***

Seorang pria berjaga tak jauh dari pintu keluar asrama, Kang Aang namanya. Ia yang bertugas menjaga keamanan pondok dan mengerjakan apa yang bisa ia kerjakan.

“Kang, kami disuruh Ustad Sobirin buat sholat subuh di masjid desa” Rizal meminta ijin Kang Aang untuk dibukakan gerbang.
“Iya, Ustad sudah bilang. Hati-hati, jam segini masih banyak jurig” ledeng Kang Aang.

“Yeee.. Kang Aang, Santri masa takut sama Jurig” balas Fariz sombong.
“Lah, sombong dia.. nggak nyadar daritadi ada nenek-nenek yang ngikutin kalian” balas Kang Aang.
Mendengar ucapan itu sontak mereka bertigapun melesat menempel ke Kang Aang.

“Kang! yang bener kang?” tanya Fariz yang raut wajahnya mulai berubah.

“Iya kang, yang bener?” tambah Ahmad.

Ucapan Kang Aang mengingatkan mereka pada sosok nenek-nenek penunggu gudang tua.

“Ya nggak lah, Kang Aang teh becanda.. sudah sana Sholat! Kalau niatnya baik Insyaallah nggak akan diganggu” ucapnya…
Mereka bertigapun memasang senyum kecut dan meninggalkan Kang Aang. Di satu sisi, setelah kepergian mereka, Kang Aang menatap ke arah kamar di asrama mereka.

Ia menyadari ada sosok nenek yang tertawa dengan aneh memantau mereka bertiga dari arah kamar mereka sebelumnya tidur.

***

Sebuah masjid terletak di ujung turunan desa. bukan masjid yang besar, namun itupun jarang penuh dengan kepala keluarga yang seharusnya bisa dua kali lipat dari kapasitas masjid ini.

“Nggak rame ya Jal?” Tanya Ahmad.

“Iya, mungkin ini maksud Ustad Sobirin. Kalau kita nggak membiasakan sholat subuh dari sekarang, mungkin saat kita besar masjid-masjid hanya menjadi bangunan simbolis saja” jawab Rizal.

Merekapun segera mengambil wudhu dan masuk kedalam. Sebelum masuk ke dalam shaf mereka terpaku pada sosok yang tidak mereka sangka akan berada di sana.
“Itu Kang Mamat?” tanya Fariz kaget.
“Iya, itu Kang Mamat. Kayaknya udah di sini duluan dari tadi” balas Ahmad.

Suara kasak-kusuk mereka di dengar oleh seseorang. Pak Hari, ia menepuk Fariz dan mengingatkan mereka untuk mulai sholat subuh. Merekapun mengerti dan mulai menjaga sikap.

***

“Kok tumben kalian sholat di masjid desa?” Tanya Pak Hari menyapa mereka bertiga.

“Disuruh Ustad Sobirin Pak..” jawab Rizal.
“Pak Hari, itu bener Kang Mamat kan? dia juga sering sholat subuh?” tanya Fariz penasaran.
Pak Hari mengangguk, “Iya, nggak pernah bolong.”
Mereka bertigapun saling bertatapan.

“Warga nggak ngerasa gimana gitu, orang sejahat Mamat ikutan sholat” Ahmad penasaran.
Pak Hari mengajak kami duduk di salah satu sisi teras masjid. Ia berniat meluruskan tentang pemikiran mereka bertiga.

“Sholat itu kewajiban, seberapapun dosa kalian. Jangan pernah tinggalkan sholat” Ucap Pak Hari.
“Kok Pak Hari bisa ngomong begitu, kan Kang Mamat habis jahat ke Pak Hari?” tanya Rizal.

“Dosanya Mamat biar Allah yang balas, dan ibadahnya juga urusanya dengan Allah..” Jelas Pak Hari.
Rizal, Ahmad, dan Fariz saling bertatapan. Mereka mencoba mencerna cerita Pak Hari. Namun perlahan mereka mulai mengerti. Mungkin ini yang ingin disampaikan Ustad Sobirin.

“Ya gampangnya, sebagian dari kami di sini merasa malu. Orang seperti Mamat saja rajin sholat, masa kita mau bolong-bolong?”
Mereka bertigapun paham, ia kembali menatap Kang Mamat yang tengah meninggalkan masjid.

Mereka membayangkan apa yang akan dilakukan Kang Mamat setelah ini. Apa benar orang yang tidak pernah lupa akan Tuhanya itu akan menindas orang lagi? Ataukah ada hal lain yang Mamat lakukan yang tidak mereka ketahui...

“Udah jangan bengong, ayo balik.. bentar lagi terang bisa telat sekolah kita” ucap Ahmad.
Merekapun pamit pada Pak Hari dan kembali pulang ke pondok.
Sebelum sampai ke pondok tiba-tiba mereka melihat kericuhan dari arah asrama santri wanita.

Rasa penasaranpun membuat mereka memberanikan diri mendekat ke sana.
“Teh, rame banget. Lagi pada ngapain?” tanya Rizal dari balik pagar.
“Heh, kalian ngapain di sini?” jawab santriwati yang ditegur oleh Rizal.

“Kami habis sholat subuh di desa, disuruh Ustad Sobirin.. terus ngedenger ada rame rame di sini, kami penasaran” Jawab Rizal.
Santriwati tadipun menoleh ke belakang dengan sedikit cemas.
“Ada Santriwati yang hilang, Hanifah namanya. Kami belum sempat ngasi tau Umi.

Masih belum pada dateng. Kalau di luar atau di asrama putra kalian ngeliat, kasih tau Ustad ya” jelasnya.
“I..iya teh, tapi ada petunjuk lain ga? Hilangnya karena apa gitu?” tanya Fariz.
Santriwati itu berpikir sebentar.

“Kemarin dia pamit, katanya mau ngejar ada santri yang masuk ke pekarangan asrama putri.. habis itu nggak kelihatan lagi” jelasnya.
Mereka bertigapun mengernyitkan dahi.
“Santri masuk ke pekarangan asrama putri? Mana bisa?” ucap Ahmad.

“Sudah ya! Takut ketahuan. Kalau ada petunjuk kabarin saya atau Ustad” ucapnya.
“Lha teteh sendiri siapa? Kalau ditanya Ustad saya dapat cerita dari siapa?” tanya Rizal.
“Siti.. bilang aja diceritain Teh Siti, nanti saya juga cerita ke Umi..” balasnya.

Iapun bergegas meninggalkan pagar dan kami segera kembali ke arah pondok. Tak jauh dari arah pondok, tiba-tiba mereka bertiga melihat sesosok santri seumuran mereka juga sedang berjalan ke arah pondok.
“Itu.. Fadil kan?” tanya Fariz.

“Baju sama badanya mirip, tapi bukanya dia nggak bisa keluar?” Tanya Rizal.
Merasa penasaran, merekapun mempercepat langkah mereka dan menyusul orang itu. Tapi anehnya sebelum sempat mendekat, tiba-tiba sosok menyerupai Fadil itu sudah menghilang dari pandangan mereka.

***

“Kang, selain kami bertiga ada santri lain nggak yang keluar pondok?” Rizal bertanya ke Kang Aang memastikan rasa penasaranya.
“Kalau yang seangkatan kalian nggak ada. Paling Santri senior yang kebagian tugas belanja” Jelasnya.
“Yakin Kang?” Ahmad memperjelas.

“Yakin, setiap keluar masuk pasti Kang Aang catet kok. Memang kenapa?” balas Kang Aang.
“Nggak.. nggak papa Kang, hatur nuhun Kang” balas Rizal sembari berpamitan.
Pagi itu waktu mereka tinggal sedikit untuk mengejar bel masuk sekolah.

Merekapun mengirit waktu dengan menggunakan satu kamar mandi bertiga daripada antri lebih lama dengan teman-teman lainya. Beruntung mereka bisa selesai dengan cepat dan masuk kelas tepat waktu.

***

“Mungkin nggak sih kalau santriwati yang hilang itu, yang kemarin kita lihat?” gumam Rizal di tengah mata pelajaran mereka.
“Aku juga mikir gitu, tapi belum tentu juga dia yang namanya Hanifah” balas Fariz.

“Sudah jangan nebak-nebak, kalau kita liat kita kabarin kalau nggak ya udah.. jangan dibikin pusing” ucap Ahmad.
“Bener.. bener juga” ucap Rizal.
Ucapan itupun menutup kebingungan mereka atas kabarnya santriwati tadi. Kali ini mereka tidak ingin mencari masalah lagi.

Sempat beberapa kali mereka menoleh ke arah Fadil. Keberadaanya di kelas membuktikan bahwa santri yang mereka lihat tadi pagi bukanlah Fadil.
Di sekolah mereka sempat bertemu dengan Teh Siti yang ternyata kakak kelas mereka, namun keberadaan hanifah masih belum diketahui.

Berita itupun sudah sampai ke para Ustad dan menghimbau para santri untuk berhati-hati.

***

Hari sudah larut malam, Ada seorang nenek yang berjalan di tengah kamar dengan menyeret kakinya. Sosok itu nyaman berada dikamar tanpa disadari satupun santri yang terlelap di kamar itu.

Rizal tertegun melihat sosok itu. Tanpa sadar, tiba-tiba wajah nenek itu sudah berada di hadapanya.
“Pe..pergi!!” Rizal berteriak dan itu membuatnya tersadar.

Mimpi... sekali lagi nenek itu muncul di mimpi Rizal. Fariz yang mendengar teriakan Rizal terbangun dan memastikan keadaan Rizal.
“Kenapa Jal?”
“Nggak, mimpi Riz..”
Rizal termenung sesaat mengumpulkan kesadaranya.

Tapi, sebelum ia memutuskan untuk kembali tidur ia tersadar bahwa Fadil tidak ada di kasurnya.
“Fariz..“
“Kenapa Jal?”
“Fadil.. dia nggak ada”
Farizpun menoleh ke arah kasur Fadil dan memang tidak ada Fadil di sana.
“Paling ke kamar mandi” ucap Fariz.

Rizal mencoba menerima dugaan Fariz, tapi setelah menunggu beberapa lama tidak ada tanda-tanda Fadil akan kembali.
“Perasaanku nggak enak Jal, apa coba kita cari?” ucap Fariz tiba-tiba.
“Iya, aku penasaran. Ahmad gimana?”
“Bangunin deh..”

Dengan berhati-hati Rizal dan Fariz membangunkan Ahmad yang tengah tertidur. Secara singkat mereka menceritakan tentang keberadaan Fadil yang tidak kembali setelah beberapa lama.
Ahmad yang juga penasaran dengan sosok Fadilpun setuju untuk mencari jejaknya.

Saat mereka keluar mereka menyadari bahwa sudah melewati tengah malam. Jam yang terpasang di dinding sekolah menunjukan telah melewati jam 12 malam.
Baru saja keluar tiba-tiba mereka melihat seorang santri berjalan ke arah belakang asrama.

Sontak mereka berinisiatif mengikutinya.
Ada sebuah lubang tembok yang tertutup semak-semak. Santri itu menyibakkan semak itu dan keluar.
“Bener ternyata..” ucap Ahmad.
“Bener apa Mad?”

“Ada gosip-gosip beredar katanya ada lobang di tembok pesantren yang sering dijadiin tempat keluar masuk sama santri senior” jelas Ahmad.
Merekapun tidak berpikir lebih panjang dan mengikuti santri itu keluar.
“Itu ke arah hutan Jal!” peringat Fariz.

“Arah yang sama saat kita ngeliat Kang Sodar dulu..“ tambah Rizal.
“Terus gimana? Nggak mungkin kita masuk ke sana..” tanya Ahmad.
Mereka tidak memiliki waktu banyak untuk berfikir.

Tapi saat mereka mulai memasuki hutan jati tiba-tiba terdengar seperti ada suara alat musik hajatan dari dalam hutan.
“Ini pasti ada yang nggak beres, aku merinding Riz!” ucap Rizal.
“Tapi kalau nggak kesana kita nggak bakal tahu soal Fadil” Balas Fariz.

Perdebatan mereka saat itu memutuskan mereka untuk mengambil resiko lagi.
“Kalau itu Fadil, kita selamat.. tapi kalau ternyata bukan, kita pasti dihukum lagi..” jelas Fariz.

“Kalian tahu kan aku pasti bakal milih bertindak apa? Toh kita lihat sendiri ada santri yang meninggalkan pondok dan masuk ke hutan!” balas Rizal.
“Kalau sepakat, aku panggil Ustad Sobirin?” ucap Ahmad.

Merekapun sepakat untuk berpencar. Sementara Fariz dan Rizal mengejar Fadil. Ahmad memanggil Ustad untuk meminta pertolongan.
Hanya senter kecil Rizal yang menerangi jalur hutan saat itu. ia mengikuti arah santri itu ke dalam hutan jati yang jauh dari jalur cahaya.

Suara alunan musik gamelanpun terdengar semakin jelas di hutan itu, namun suaranya mengalun lambat dan terdengar mengerikan.
Rizal dan Fariz berusaha untuk memberanikan dirinya menembus hutan itu, namun mereka terhenti saat menemukan seseorang berdiri seorang diri di tengah hutan itu.
“Itu Fadil?” Tanya Rizal.
“Bu..bukan, itu perempuan...” Fariz bisa melihatnya lebih jelas setelah menyadari rambut panjang sosok itu.

Perempuan itu berjalan tertatih dengan sesuatu yang menetes dari tubuhnya. Ia terus tertawa sembari menyeret kakinya menuju atu tempat yang cukup luas.
“Jangan-jangan, dia santri perempuan yang hilang Jal, Hanifah” tebak Fariz.

Fariz bersiap mengejar perempuan itu, tapi tiba-tiba Rizal menariknya. Fariz yang bingungpun mencoba melepas genggaman Rizal dan menoleh ke arahnya, tapi Rizal malah menggenggamnya dengan lebih erat.
“Jal.. kenapa sih?” tanya Fariz.

Wajah Rizal pucat, ia tidak menatap perempuan itu. Rizal menatap ke atas pepohonan dengan wajah yang pucat dan keringat yang mengucur.
“Astagfirullahalazim...”

Berkali-kali Rizal mengucap istigfar menatap apa yang ada di hadapan matanya saat ini. Mengetahui ketakutan Rizal, Farizpun menatap ke arah yang dilihat oleh Rizal.

“Po...pocong?” tiba-tiba Fariz tersadar dengan keberadaan pocong yang muncul diantara pohon-pohon di sekitar mereka.
“Kenapa kita nggak sadar ada kuburan di sini??” Fariz semakin panik.
“Baca doa Riz.. baca doa” peringat Rizal.

“Lari aja Zal.. lari!” ucap Fariz, tapi Rizal enggan mengikutinya.
“Nggak! Itu pastri santriwati yang hilang tadi, Hanifah. Kalau kita kabur, dia bisa kenapa-kenapa” balas Rizal.

Walaupun takut setengah mati, tapi ia lebih khawatir dengan sosok santriwati yang telah berhenti di tengah-tengah kuburan.
“Terus kita harus gimana?”
“Aku pernah denger cerita kalau hutan jati ini pernah kebakaran” ucap Rizal tiba-tiba.
“Maksud kamu?”

Rizal ingat, ia pernah ditakut-takuti oleh Kang Aang untuk tidak memasuki hutan jati dengan sebuah cerita.
“Hutan ini pernah kebakaran sebelumnya..” ucap Rizal.

Ia menceritakan bahwa kebakaran hutan itu seolah disengaja oleh beberapa pihak. Masalahnya, kebakaran itu tengah terjadi saat sedang ada proyek penebangan di tengah hutan.
“Banyak pekerja yang mati terbakar di hutan ini Riz..” ucap Rizal.

“Maksud kamu mereka ini hantu-hantu dari pekerja itu?” Tanya Fariz.
“Entahlah.. tapi saat kejadian itu Ustad-Ustad di pondok dimintai untuk Menyolatkan jenazah-jenasah itu, dan menguburnya dengan layak” jelas Rizal.

Belum sempat Rizal berbicara lagi, tiba-tiba santri wanita yang masih jauh berada di hadapan mereka menaikan tanganya.
Perlahan ia mengayunkan badanya mengikuti suara musik yang tidak jelas berasal dari mana itu.

Seketika seluruh sosok mengerikan yang ada di tempat itupun menoleh ke arah Hanifah seolah tertarik denganya.
Pocong-pocong itu mengeluarkan tangan dan kakinya dari kain kafan. Mereka merayap mendekati Hanifah.

Dari sisi gelap hutanpun terlihat lagi makhluk mengerikan dengan kulit yang dipenuhi luka bakar mendekat ke arah Hanifah.
“Darah! Hanifah netesin darah!”
Fariz tersadar dengan cairan yang diteteskan dari tubuh Hanifah.

Setan-setan itu mendekat menjilati tanah dimana terdapat tetesan darah Hanifah di sana. Sementara itu Hanifah terus menari sambil tertawa dengan wajah pucat.
“Itu darah menstruasi?”
“Firasatku lebih dari itu...”

Di bawah cahaya bulan dan di tengah-tengah kuburan alas jati Hanifah menari sambil tertawa kesetanan.
Walau begitu Fariz dan Rizal sadar, air mata Hanifah menetes seolah ada sesuatu yang menyiksa dirinya.

Setiap tetesan darah Hanifah tak luput dari jilatan setan-setan itu. Tapi mereka sama sekali tidak puas..
Beberapa dari mereka sudah mengincar hanifah dan mulai menjliati darah yang ada di kaki hanifah.

“Allohu laa ilaaha illaa Huwal Hayyul Qoyyuum, laa ta’khudzuhuu sinatuw walaa nauum, la Huu maa fis samawaati wa maa fil ardh..
Rizal mengumpulkan keberanianya dan berlari ke arah Hanifah sembari membaca ayat kursi sekeras-kerasnya.

“Rizal! Jangan Nekat!!” Fariz mencoba menahanya namun Rizal Tidak peduli.
Rasa khawatir Rizal membuatnya menerjang sosok-sosok mengerikan itu hingga meraih tangah Hanifah.

“mann dzalladzii yasyfa’u ‘inda Huu, illa bi idznih, ya’lamu maa bayna aidiihim wa maa kholfahum, wa laa yuhiituuna bisyayim min ‘ilmi Hii illaa bi maa syaa’…”
Tak henti-hentinya ia melanjutkan ayat kursi yang ia harapkan dapat mengusir setan-setan itu dan menolong Hanifah.

Sayangnya itu saja tidak cukup..
Hanifah masih memaksa untuk terus menari namun Rizal menahanya. Fariz yang melihat keberanian Rizalpun ikut menyusulnya.
Kini mereka menahan Hanifah untuk tidak kembali menari sembari terus melantunkan ayat kursi.

“Nggak ada doa lain Jal?” Tanya Fariz.
“Aku hafalnya cuma ayat kursi, itu aja baru hafal habis kejadian Kang Sodar” balas Rizal.
“Ya sudah, baca terus.. kalau ada kesempatan kabur, kita kabur..” lanjut Fariz.

Sayangnya harapan mereka tidak terjadi. Setan-setan itu masih terus tertarik dengan darah yang menetes di kaki-kaki Hanifah.
Saat setan-setan itu semakin mendekat, tiba-tiba terdengar lantunan ayat-ayat suci dari jauh.

Tidak hanya satu orang, ada beberapa orang yang membacakan itu sembari mendekat ke arah mereka.
“Rizal! Fariz!!”
Terdengar suara Ahmad dari jauh mendekat ke arah mereka.
“Mad!! Di sini Mad!!! Tolongg!!” Sahut Rizal.

Ayat-ayat suci yang dibacakan mereka berhasil membuat setan-setan itu tidak nyaman. Mereka menggeram seolah mulai merasa kesakitan.
“Astagfirullahaladzim...”
Wajah kaget Ustad Sobirin terpampang bersama cahaya obor yang mereka bawa.
“Ustad.. tolong Ustad!! “ Teriak Fariz.

Ustad Yahya membawa sebuah kendi kecil yang berisi air. Ia membacakan doa-doa pada kendi itu dan menyiramkan air itu ke sosok-sosok yang masih bertahan dari doa-doa mereka.
Seketika suara teriakan kesakitar terdengar di tengah hutan itu.

Suara itu terus menggema sampai akhirnya menghilang dan berganti suara serangga hutan.
“Kaliang nggak papa?” tanya Ustad Sobirin
“Nggak papa Ustad, ini.. tolong Hanifah Ustad” ucap Rizal menunjukkan kondisi hanifah.

Wajahnya terlihat pucat namun terus menyeringai. Ia menatap Ustad Sobirin dengan mata yang mengerikan.
Saat itu juga Ustad Sobirin memegang kepala Hanifah dan membacakan sebuah doa hingga ia kehilangan kesadaran.

Tapi entah wajah cemas Ustad Sobirin sama sekali tidak menghilang.
“Ustad Yahya! Tolong bantu saya...”
Ustad Yahya menghampiri Ustad Sobirin dan melihat keadaan Hanifah yang mengenaskan.
“Astagfirullahaladzim... Anak ini keguguran?”

Mendengar ucapan Ustad Yahya, seketika Rizal dan yang lainya kaget.
“Keguguran? Hanifah kan umurnya nggak jauh dari kami, bagaimana bisa hamil?” ucap Fariz.
Ustad Sobirin dan Ustad Yahya tidak menjawab.

Sepertinya ada sesuatu yang mereka ketahui tentang Hanifah. Fariz dan Rizalpun menyadari batasan mereka dan tidak lagi bertanya pada mereka.
Saat perjalanan kembali ke pondok, ada sesuatu yang mengganjal di pikiran Rizal.

“Kalau keguguran berarti pasti janinya masih ada di hutan kan?” bisik Ahmad.
“Kita nggak usah ikut-ikutan lagi Mad, masalah ini udah diluar kapasitas kita. Kalau ditanya, baru kita jawab” Balas Rizal.
“Tapi kita kan jadi menduga yang aneh-aneh..” tambah Fariz.

“Sama, tapi kita harus liat kondisi..”
Sesampainya di pondok sudah ada Ustadzah yang penanggung jawab asrama putri yang menunggu di sana. Ia terlihat khawatir dengan keadaan Hanifah.

“Ustad, biar saya rawat dulu Hanifah ya.. kita bicarakan masalahnya besok pagi” ucapnya yang segera mendapat persetujuan dari Ustad Sobirin.
Rizal dan Farizpun ijin mencuci wajah dan muka sebelum menjelaskan apa yang terjadi ke kedua Ustad yang menjemput mereka.

Disitulah Rizal menyempatkan diri untuk menengok kamar tidurnya. Dan anehnya, Fadil tengah tertidur dengan lelap di kasurnya seolah tidak pernah meninggalkan tempatnya.
Iapun menghela nafas seolah pasrah dengan apa yang terjadi.

***

“Seharusnya kalian melapor pada orang dewasa, bukan bertindak seperti ini” ucap Ustad Yahya.
“Maaf Ustad, kami salah..” sahut mereka bertiga.
“Jumlah korban yang sebelumnya hanya satu bisa bertambah menjadi tiga bila terlambat sedikit saja..” tambah Ustad Yahya.

Untuk soal itu Rizal dan Fariz sangat sadar. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi pada mereka bila Ustad Sobirin dan Ustad yahya terlambat menyelamatkan mereka.

“Ini hukuman kalian, ada ayat-ayat dan doa yang harus kalian hafalkan. Besok sepulang sekolah harus bisa mengulanginya di depan saya..” perintah Ustad yahya.
“Baik Ustad”
Ustad Yahyapun meninggalkan mereka di mushola, namun sebelum Ustad yahya pergi ia terhenti sejenak.

“Hafalkan, pahami artinya, dan terima dengan Ikhlas. Itu titipan Ustad Sobirin. Mungkin saja bacaan-bacaan itu bisa menyelamatkan kalian kelak” ucap Ustad Yahya sebelum akhirnya meninggalkan mereka.

Mereka bertigapun menyalin ayat-ayat itu dan kembali ke kamar untuk beristirahat. Rizal sesekali membuka salinan ayat-ayat itu.
“Mad, aku ngerasa ini bukan sekedar hukuman” ucap Rizal sebelum tertidur.
“Terus?”

“Ustad Sobirin pasti punya maksud tertentu dengan memberikan kita hafalan ini, seperti saat kita diminta sholat subuh di desa” ucap Rizal.
Tidak ada jawaban dari Ahmad maupun Fariz.

Ucapan Rizal saat itu hanya dibalas dengan suara dengkuran Ahmad dan Fariz yang memang sudah sangat kelelahan dengan kejadian tadi.
Sebelum tidur sekali lagi Rizal menoleh ke arah Fadil. Ia semakin merasa ada yang misterius dengan temanya itu.

***

“Katanya kalian yang nemuin Hanifah ya? Hebat banget kalian” tegur Teh Siti yang bertemu dengan mereka saat jam istirahat.
“Bukan hebat teh, musibah...” balas Rizal ketus.

Tidak ada yang dapat disombongkan dari kejadian semalam. Ada beberapa nyawa yang hampir melayang karena kenekatan Rizal dan kawan-kawanya.

“Nggak usah cemberut terus Jal, aku justru salut sama kamu berani nerobos setan-setan itu demi Hanifah” ucap Fariz.

“Hah? Setan? Serius kamu??” Teh Siti kaget.

Tanpa sadar mereka sudah dikerumuni oleh teman-teman disekitarnya. Tapi alih-alih menceriakan tentang setan-setan itu, mereka lebih memilih untuk menceritakan bahayanya hutan jati dan kesalahan yang membuat mereka dihukum.

“Pokoknya jangan sampai ada di antara kalian yang masuk ke hutan itu. Salah-salah kalian tersesat dan nggak bisa keluar” tutup Rizal yang segera memutuskan meninggalkan kerumunan itu.

Saat akan kembali ke kelas, tiba-tiba Rizal, Fariz, dan Ahmad melihat pemandangan yang tidak asing.

“Itu Fadil?”

“Iya, dia diincer Kang Ajat kayaknya”

Bukan hanya Fadil yang sedang dirundung. Mereka juga melihat Fadil menggenggam benda aneh di tanganya.

Bentuknya seperti kuningan seukuran kepalan tangan.

“Fadil! Dicariin Ustad.. udah masuk kelas!” Tiba-tiba Rizal berteriak mengagetkan mereka.

Sontak Fariz dan Ahmadpun menyikut Rizal karena takut menjadi masalah juga.

“Heh! Kalian jangan ikut campur!” teriak orang-orang yang merundung Fadil.

“Oh.. baik kang, saya bilang ke Ustad Fadilnya lagi ada urusan sama Kang Ajat” balas Rizal dengan santai.

Sontak wajah Ajat dan teman-temanya panik, merekapun melepaskan Fadil dan segera pergi.

Sementara itu Rizal dengan santainya berjalan kembali ke kelas.

“Nekat kamu Jal” ucap Fariz.

“Sama demit kemaren aja berani, masa Cuma kang ajat Rizal takut” tambah Ahmad.

Rizal berhenti sejenak dan menahan teman-temanya.

“Ada yang lebih bikin aku penasaran...” ucap Rizal tiba-tiba.

“Apa Jal?”

“Tuh liat si Fadil..“ Rizal menunjuk ke arah Fadil yang telah melewati mereka.

“Kenapa?” Fariz penasaran.

“Dia sama sekali nggak seneng kita tolongin, aku malah seudzon kalau dia memang sengaja mancing supaya diincer kakak kelas” jelas Rizal.

“Lah? Bunuh diri? buat apaan?” Ahmad Bingung.

“Supaya benda ditanganya direbut sama Kang Ajat..” ucap Rizal.

Fariz dan Ahmadpun mengerti kecurigaan Rizal. Namun itu hanya sebuah dugaan. Mereka tidak mungkin menuduh Fadil akan hal yang tidak logis.

Kelanjutan mengenai kabar Hanifah tidak lagi terdengar oleh Rizal dan kawan-kawanya.

Saat mereka bertanya, jawaban yang mereka terima adalah Hanifah sudah dijemput oleh orang tuanya dan tidak lagi belajar di pondok.
Diluar jawaban itu, sebenarnya mereka mendengar desas-desus bahwa Hanifah sudah mulai pulih.

Namun masih ada yang aneh pada dirinya, ia sering mengamuk sendiri dan tertawa terbahak-bahak seperti orang yang sudah kehilangan kewarasanya.

Untuk itulah keluarganya membawanya pergi dari Pondok dan mencoba mengobati Hanifah di lembaga yang lebih mampu mengurus masalah psikologi Hanifah.
“Hamil, keguguran, dikejar setan... aku nggak heran kalau hanifah sampai setrauma itu” ucap Fariz.

“Ya udah, kita kirim doa aja buat kesembuhan dia. Toh kita cuma anak kecil yang nggak bisa apa-apa” tambah Ahmad.

***

Setelah tragedi Hanifah, hampir tidak ada keanehan yang dialami Rizal dan kawan-kawanya.

Semua berlalu begitu saja, namun mereka bertiga semakin dekat dengan Ustad Sobirin dan Ustad Yahka.
Kadang mereka menawarkan sendiri untuk membawakan beras dari lumbung Pak Hari walau tidak sedang dihukum.

Tapi... harapan mereka untuk belajar dengan tenang hingga lulus sekali lagi terkoyak.
Lagi-lagi Rizal melihat Fadil bertingkah aneh. kali ini Fadil bangun di kamarnya dengan ekspresi wajah yang mengerikan.

Ia seperti mengamuk, menggeram, matanya melotot hingga air liurnya terus menetes.
Rizal pura-pura tidur dan mengamatinya dengan hati-hati. Rasa takut dan merinding benar-benar menyelimuti tubuh Rizal. Ia sama sekali tidak berani menegur Fadil yang seperti kesurupan.

Sekali lagi Fadil pergi meninggalkan kamar tapi kali ini Rizal enggan untuk mengikutinya.

Rasa takut menemani Rizal saat menunggu apa yang terjadi saat Fadil kembali. Atau mungkin bisa saja Fadil tidak akan kembali?

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close