Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

JASAD HIDUP SANG SANTRI (Part 1) - Langkah di Tengah Malam

JEJAKMISTERI - Setiap malam kamis Wage, Santri itu akan meninggalkan pondok & mengambil titipan ibunya.

Ia menggali tanah, memakan Janin yang di kubur oleh ibunya sebagai syaratnya untuk tetap hidup..


Disclaimer:
Seluruh nama, tempat, dan informasi sensitif sudah disamarkan agar tidak menyinggung pihak-pihak tertentu.

Dan untuk pembaca yang mengetahui tentang lokasi dan kejadian sebenarnya mohon dijaga rapat-rapat, dan Cerita ini tidak ada niat untuk menjatuhkan atau menyudutkan pihak tertentu.
Mohon disingkapi dengan bijak..

Selamat Membaca.

PROLOG:
“Di pondok belajar yang bener ya, jangan ngerepotin Pak Ustad” Ucap seorang ibu sembari mengelus kepala putranya.

Suara bising klakson kendaraan mengiringi perjalanan mereka melintasi batas propinsi.

“Iya Bu, yang penting Ibu jangan lupa aja kalau punya anak yang tinggal di pesantren” balas anak itu.

Ibu itu tersenyum, Ia mengelus kepala anak itu berusaha menghargai keteguhan hati anaknya.

“Ndak mungkin to Le, nanti tiap ada libur ibu pasti datang” balas ibu itu.

Perjalanan cukup panjang mereka lalui untuk mencapai sebuah kota di Jawa Barat. Cahaya rembulan menemani perjalanan mereka menembus jalur pegunungan yang berkelak-kelok. Sayangnya penerangan di sana masih jauh dari cukup.

Hanya cahaya dari mobil tua yang mereka sewa yang menerangi perjalanan mereka.
“Hati-hati Mas, jangan ngebut-ngebut.. jalananya gelap” Ucap ibu itu.

Sopir itu mengangguk, “Iya bu, biar kita bisa cepet lewatin jalur ini bu. Udah merinding dari tadi”

“Heh, ngomongnya..”

Baru beberapa saat menutup perbincangan mereka, jalanan yang mereka lalui menjadi gelap. Lampu sorot mobil yang mereka gunakan tiba-tiba mati. Sopir itu berniat meminggirkan sesaat mobil mereka, namun mereka sedang berada di jalan turunan.

“Mas, minggir mas... jangan ngebut!” teriak ibu itu.

“I..iya bu, ini dari tadi mau minggir tapi turunan, remnya nggak makan” balasnya sopir itu dengan suara panik.

Nasib sial tidak dapat mereka hindari. Jalanan itu membawa kepada jalan turunan yang semakin tajam.

Berkali-kali sopir itu menginjak rem untuk menghentikan mobilnya, namun gagal. Sebuah tebing besar menyambut mobil tua yang meluncur dengan kecepatan penuh dan akhirnya menghancurkanya.

***

Ibu itu tersadar dan mendapati tubuhnya penuh dengan luka. Ia merayap ke bagian mobil yang telah hancur itu dan mencari keberadaan anaknya. Namun sebuah luka menggores hatinya dengan kejam.

Sang ibu menemukan anaknya penuh luka dan tidak merasakan nafas dari tubuh anaknya itu. Berkali-kali ia mencoba memanggil nama anaknya, namun tidak ada tanda-tanda anak itu akan membuka matanya.

“Nak.. jangan tinggalin ibu nak, biar ibu saja yang mati, jangan kamu nak...” tangis ibu itu memecah keheningan malam di jalur yang tak jauh dari tepian jurang itu.

Ibu itu berteriak berkali-kali meminta pertolongan, namun jalur malam tempat mereka berada saat ini hampir tidak terlihat satupun kendaraan yang melintas. Ia hampir putus asa dan menangis sejadi-jadinya.

“Tolong.. siapa saja, tolong anak saya. Apa saja akan saya lakukan, tapi tolong anak saya..” isak ibu itu.
Hanya gelapnya malam dan suara serangga dari hutan sekitar mereka yang menyahut isak tangis ibu itu.

Di tengah keputus asaanya, samar-samar akhirnya ibu itu melihat ada seseorang yang melintas di jalan itu seorang diri. Orang itu menembus kegelapan dan berjalan dengan kaki telanjang.

Ibu itupun mencoba memperhatikan sosok itu dan menemukan seorang kakek berjanggut yang menghampirinya.

Kakek itu mendekati jasad anak yang sudah tidak bernyawa itu. Ia hanya menunduk memperhatikan wajahnya sementara ibu itu masih heran dengan gerak-gerik kakek itu.

Tapi setelahnya, tiba-tiba kakek itu menyeringai dan perlahan menoleh ke arah sang ibu.
“Mungkin saya bisa menolong anak ibu...” ucapnya dengan memamerkan senyumnya yang sedikit terlihat mencurigakan

***

Part 1 - Langkah di Tengah Malam

Pesantren Langgarjiwo, 1989

“Kita sudah Madrasah Sanawiah! Udah nggak jamanya lagi kita takut sama kakak kelas. Pokoknya kita jangan mau kalah” Rizal berdiri menatap temanya Ahmad dan Fariz yang tidak jauh berada di dekatnya.

Baru satu minggu mereka melalui pendidikan di pesantren dan cukup banyak kakak kelas yang menunjukkan sikap tegasnya pada mereka. Tidak ingin bernasib seperti awal-awal mereka di Madrasah Ibtida, merekapun mulai mengambil sikap untuk menghadapi senioritas yang terkenal di pesantren ini.
“Bener Jal! Jangan mau ditindas. Kita lulus MI dengan gagah jangan mau di pelonco lagi, ya nggak Fariz?” balas Ahmad.

***

“Fariz?” Rizal mamanggil Fariz yang tidak menyahut ucapan Ahmad.
“Eh.. i..iya apa? Nggak dengerin aku, sarungku copot terus” sahut Fariz yang masih repot dengan sarungnya sendiri.

“Ealah Fariz, makanya pake sarung yang bagusan, Cap Gajah Bengkak biar nggak melorot terus” ledek Rizal.

“Gajah Bengkak kepalamu, ini teh sarung warisan buyutku jangan main-main kamu” balas Fariz Kesal.

Mendengar suara kasak-kusuk mereka dari salah satu lorong kelas, tiba-tiba seseorang mendekat ke arah mereka untuk memeriksa.

***

“Astagfirullahhladzim... ngapain kalian masih di sini?” Tegur Ridho, kakak kelas anggota himpunan santri yang sedang mendapat tugas keliling.

“Eh, Kang Ridho.. kami habis Sholat Asar” Rizal berusaha mencari alasan.
“Terus kok masih di sini? Kalian bolos ngaji?” tanya Ridho lagi.
Sontak merekapun menatap jam yang terpasang di dinding bangunan. Mereka sudah terlambat setengah jam dari waktu yang ditentukan.

“Eh, Ma..maaf khilaf Kang!” teriak Fariz sembari segera menarik tangan Ahmad untuk menyusul teman-temanya mengaji.

“Jangan sering-sering keliling pesantren ini, kalian nggak tahu kan ada makhluk apa di dalam ruangan dekat kalian ngobrol tadi..” ucap Ridho dengan memasang wajah misterius kepada Rizal.

“E..emangnya, ada apa Kang Ridho?” Tanya Rizal.

Rizal menatap sebentar pintu gudang tua yang jarang dibuka di sebelahnya.

Rizal baru menyadari bahwa sedari tadi mereka bersembunyi dari pandangan kakak kelas di dekat ruangan gudang tua itu.
“Sss... Ada Mak Lampir” ucap Ridho sembari menakut-nakuti Rizal.
Wajah rizal terlihat pucat ketakutan, iapun segera pergi menyusul Fariz dan meninggalkan Ridho.

Dari belakang, Ridho memperhatikan mereka sembari tertawa puas.
Rizal, Fariz, dan Ahmadpun memasuki ruangan mengaji walau sudah terlambat beberapa saat. Ustad Yahya yang sudah memulai kelasnya hanya menggeleng melihat tingkah ketiga anak itu.

“Assalamualaikum Ustad, Maaf terlambat” salam Rizal diikuti kedua temanya.
Tak mau kedatangan mereka mengganggu santri lainya, Ustad Yahyapun menyuruh ketiga anak itu untuk segera mengambil tempat untuk menyusul yang lain.

“Katanya jangan takut sama kakak kelas, disamperin Kang Ridho langsung kabur..” Ledek Rizal.
“Lha kan kita yang salah, wajar kalau takut” balas Ahmad mencari alasan.

Belum sempat Fariz menimpali perkataan mereka, sebatang kapur melayang tepat ke kepala Ahmad yang membuat mereka terdiam.

***

Suara adzan maghrib berkumandang memanggil santri-santri berkumpul untuk sholat berjamaah.

Seperti biasa Rizal menunggu kedua temanya untuk mengisi kesibukan sebelum waktu makan malam.

“Barang begituan nggak pantes buat kamu!”

“Jangan kang, ini dibawain sama ibu. nggak boleh dikasih ke siapa-siapa”

Terdengar perbincangan beberapa orang dari salah satu sudut lorong dekat Rizal berada.

“Ssst.. ada orang” ucap Rizal memperingatkan kedua temanya.

Merekapun berjalan dengan hati-hati dan mengintip ke arah asal suara itu.

Ada tiga orang kakak kelas yang sedang mengerubungi salah seorang santri.
“Itu Fadil kan? Yang tiga orang itu Kang Sodar, sama temen-temenya?” Bisik Fariz.

“Iya, mau dikerjain kayaknya” balas Ahmad.

Rizal memperhatikan kejadian di hadapanya. Ketiga kakak kelas itu memegang sebuah kalung bertali hitam dan sebuah buku yang cukup tua. Sepertinya ia merebut itu dari Fadil.

“Sekarang saya tanya, ngapain kamu bawa barang-barang beginian? Mau ngilmu kamu? Biar apa?” ucap Sodar.

“Biasa Dar, dibawain begituan biar bisa ngelawan seniornya! Udah disita aja” tambah teman Sodar yang mendorong Fadli menjauh.

“Ja..jangan Kang, jangan...” Fadil mencoba merebut barangnya itu, namun tiba-tiba sebuah pukulan mendarat di perutnya.
Fadilpun jatuh terduduk menahan rasa sakitnya yang dibalas tawa oleh ketiga kakak kelas itu.

Merasa keadaan sudah tidak kondusif, Rizalpun merasa harus berbuat sesuatu.
“Assalamualaikum Ustad Yahya!” Teriak Rizal tiba-tiba.
Fariz dan Ahmad merasa bingung mencari keberadaan Ustad Yahya yang tidak ada di sana, tapi saat itu Rizal segera menyikut Ahmad dan Fariz mencoba memberi isyarat pada mereka.

“Eh.. e.. Ass...Asssalamualaikum Ustad Yahya!!” teriak Fariz dan Ahmad menyusul ucapan Rizal.

Mendengar teriakan mereka bertiga, sontak Sodar dan teman-temanya panik dan pergi meninggalkan Fadil.

Mengetahui keadaan telah aman, Rizalpun mengintip kembali dan menemukan Fadil tengah sendirian menahan sakitnya.

“Kita ke sana Jal?” tanya Fariz.

“Eh, Ja..jangan... ntar kalau ketahuan kita bisa diincer juga sama Kang Sodar dan temen-temenya” balas Rizal.

Iapun memerintahkan kedua teman-temanya untuk pergi meninggalkan Fadil.

“Yah, paling nggak Kang Sodar teh udah pergi..” ucap Ahmad.

Rizal dan Ahmad mengangguk, satu sisi mereka merasa tenang. Tapi di sisi lain ia penasaran dengan benda apa yang direbut Sodar dari Fadil.

Namun dibanding dengan permasalahan Fadil, Rizal lebih tertarik dengan gudang tua yang digadang-gadang Ridho sebagai tempat yang angker.

Rasa tidak ingin disepelekan oleh senior-seniornya membuat mereka ingin membuktikan sendiri bahwa tidak ada yang menyeramkan di gudang tua itu.

***

“Bukan Mak Lampir, katanya teh sebelum tempat ini jadi pesantren ada nenek-nenek yang nggak dirawat sama anggota keluarganya, dia kabur dari rumah dan ngumpet di gudang itu. Pas ditemuin, ternyata nenek itu sudah jadi mayat. Itu teh persi Kang Imam pas nakut-nakutin aku” Cerita Fariz.

“Fersi Kang Ujang bedan lagi, katanya kalau malam jumat dari bangunan itu bakal ada suara nenek-nenek yang minta tolong, terus kalau dibuka, katanya nanti kita ditarik ke dalem” Cerita Ahmad.

“Memangnya kalau kita ditarik ke dalem kenapa Mad?” Rizal Penasaran.

“Katanya nanti kita diisep ubun-ubunya” balas Ahmad.

Mendengar ucapan itu sontak Fariz dan Rizal menarik sarungnya dan melemparkanya ke arah Ahmad.

“Buset, masih percaya aja kamu ada setan yang ngisep ubun-ubun” ucap Fariz.

“Iya, kayak bocah aja..” tambah Rizal.

Ahmadpun memungut sarung-sarung itu dan melempar balik ke arah mereka berdua.

“Lah, aing teh cuma cerita. Emang begitu yang diceritain Kang Ujang” Balas Ahmad tidak terima.
Merasa tidak mau diledek kedua temanya, Ahmadpun merasa tertantang.

“Ya udah, lanjutin rencana kita aja. Kita buktiin kalau omongan Akang-akang itu ga ada yang bener” ucap Ahmad.

“Nah bener tuh! Pas kan nih malem Jumat, bisa buktiin cerita Kang Ujang tuh” Sahut Rizal.
Ahmad dan Farizpun mengangguk setuju.

Merekapun mengatur rencana untuk keluar mendatangi gudang tua itu saat tengah malam.

***

Ada sepuluh santri yang tidur sekamar dengan Rizal dan kedua temanya. Mereka tidur di kasur-kasur busa yang harus mereka tumpuk kembali ketika terbangun besok pagi.

Beberapa anggota Histan atau Himpunan Santri bertugas berkeliling untuk mengingatkan semua santri untuk tidur pada jam yang telah ditentukan dan memastikan tidak ada yang keluar dari kamar di atas jam sembilan malam.

“Heh, jangan ketiduran” bisik Rizal.

“Ssst... jangan berisik, Kang Imam masih di depan” peringat Ahmad sembari menyikut Rizal.

Merekapun berpura-pura memejamkan matanya dan menunggu hingga keadaan benar-benar aman.

Beberapa santri lain juga terlihat kasak-kusuk saat tidak ada lagi yang berjaga di depan kamar, namun setelahnya mereka segera tertidur tidak seperti Rizal dan kawan-kawanya.

Kedua jarum jam bertemu menunjukkan tepat di angka dua belas.

Tengah malam telah terlewati, Rizal, Ahmad, dan Farizpun bangun dari kasur busanya dan mengendap-ngendap mengintip keluar kamar.

“Aman Jal?” Tanya Fariz.

Rizal mengangguk dan memberi kode kepada kedua temanya untuk mengikutinya keluar kamar.

Lorong-lorong kamar begitu gelap, ada cahaya lampu namun tidak cukup untuk menerangi seluruh lorong. Dari jauh mereka melihat sebuah obor menyala yang dibawa oleh salah seorang Ustad.

“Masih ada yang bangung” ucap Rizal.

“Terus gimana?” sahut Fariz.

“Sabar dulu aja, paling sebentar lagi sudah masuk” balas Ahmad.

Benar yang dikatakan Ahmad, tak lama Ustad itupun mematikan obornya dan masuk ke salah satu ruangan.

Mengetahui keadaan semakin kondusif, merekapun melanjutkan rencana mereka dan mendekat ke gudang tua itu.

“Jal, hati-hati” ucap Fariz.

“Iya Riz, kok suasananya beda banget ya sama tadi siang” Balas Rizal yang seketika mendapatkan perasaan aneh meliputinya.

Tak butuh waktu lama hingga mereka tiba di gudang tua. Berbeda dengan siang hari, malam ini bangunan itu terasa mengerikan.

Kayu-kayu keropos di pintu yang dianggap bobrok itu kini terlihat berumur dan mengerikan.

“Masuk?” tanya Ahmad.

“I..iya” Rizal yang ragu tetap memberanikan diri untuk membuka tuas pintu itu.

Tapi.. pintu gudang itu tidak terbuka.

“Dikunci..” ucap Rizal.

Fariz dan Ahmad saling menatap, salah satu bagian di pikiranya merasa lega dengan hal itu.

“Udah nih? Kita balik?” Tanya Rizal.

“Ngintip dikit nggak ada salahnya kan?” Balas Fariz.

Seolah tidak puas dengan hasil itu, merekapun memutuskan untuk mengintip melalui ventilasi ruangan itu.

“Udah, kamu naik pundakku aja.. nanti gantian” ucap Ahmad yang meminta Fariz menaiki pundaknya.

“Gelap kan? Pasti nggak keliatan apa-apa” balas Fariz.

“Tenang, nih pake senter..” ucap Rizal yang mengeluarkan senter dari balik sarungnya.

“Lah, ini ada senter? Kok nggak dikeluarin dari tadi?” Protes Ahmad.

“Kamu ini blo’on apa gimana mad? Kalau dinyalain dari tadi ya jelas kita langsung ketahuan” balas Rizal.

“Iya juga ya...”

Tak mau berdebat terlalu lama, merekapun melanjutkan rencana mereka. Dengan bantuan Rizal, Fariz menaiki pundak ahmad dengan berpegangan pada dinding gudang itu.

Dengan berhati-hati, Ahmad mencoba berdiri hingga wajah ahmad mencapai ventilasi ruangan gudang.

“Keliatan Ri?” tanya Rizal.

“Gelap, bentar coba aku senterin..” balas Fariz.

Fariz mengintip melalui sela-sela ventilasi dengan berhati-hati. Matanya menyisir sepetak demi sepetak bagian dari gudang itu.
“Cuma ada meja sama kursi rusak..” ucapnya.

“Itu aja?” Ahmad penasaran.

Fariz kembali mengarahkan senternya ke dalam, namun tanpa sengaja ia melihat sesuatu yang bergerak.

Entah mengapa saat itu perasaan Fariz menjadi aneh. Iapun mengarahkan lagi senternya ke tempat itu.

Dan tepat saat memindah posisi senternya, tiba-tiba cahaya senter itu terpantulkan oleh wajah nenek tua yang memergoki Fariz dari balik ventilasi.

Anehnya.. wajah itu menatap dan menyeringai seolah sedang merayap di atas dinding.

“Se..setan!!!” teriak Fariz yang seketika terjatuh dari punggung Ahmad.

Beruntung Rizal mampu menahan tubuh Fariz sehingga tidak terjadi cidera.

“Ca..cabut! Ada yang nggak beres di ruangan itu!” Teriak Fariz.

“Nggak beres? Maksud kamu apa?” Tanya Ahmad.

“Ada nenek-nenek! Ayo cepetan!”

Belum sempat memaksa teman-temanya pergi, tiba-tiba pintu gudang tua itu terbuka dengan sendirinya. Ruangan yang gelap dan penuh debu itu kini menantang mereka untuk masuk.

“Kebuka Zal! Gimana?” tanya Ahmad.

“Udah, kalian jangan gila.. aku liat sendiri ada nenek-nenek serem dari ventilasi”

Melihat raut wajah takut Fariz merekapun memutuskan untuk tidak masuk ke dalam. Tapi... saat berbalik untuk kembali ke kamar, mereka melihat seorang nenek pincang membawa tongkat menatap mereka dari lapangan tepat di seberang gudang tua itu.

“I..itu! nenek itu yang ada di dalem tadi” ucap Fariz.

Senyuman nenek tua itu membuat bulu kuduk mereka berdiri. Rambut acak-acakan dan isi mulut yang memerah memastikan sosok di hadapan mereka bukanlah manusia.

“Lari.. cepet lari!” ucap Rizal.

Merekapun berlari secepat mungkin meninggalkan tempat itu.

Saat akan berbelok ke arah kamar terdengar suara pintu yang dibanting seolah mengancam mereka.

Brakkk!!

“I..itu suara pintu gudang Zal” ucap Fariz.

“Sabodo teuing! Balik ke kamar!!” teriak Rizal.

Mereka terus berlari, namun samar-samar ia masih mendengar suara langkah di seret dan suara ketukan tongkat di tanah dari sosok yang mengikuti mereka.

Dengan nafas yang tengah menderu akhirnya merekapun berhasil kembali ke kamar dan segera menempati tempat tidur mereka masing-masing. Merekapun bersembunyi di balik sarungnya masing-masing mengambil posisi yang mereka rasa aman.

Suara nafas mereka saling beradu berusaha untuk lebih tenang. Namun rasa khawatir mereka tetap masih menghantui pikiran mereka.

Tok...Srrrt... tok....srrtr...

Dan benar saja..

Jauh dari arah kamar mereka terdengar suara langkah yang diseret bersautan dengan suara tongkat yang beradu dengan lantai. Suara itu terdengar semakin keras menandakan sosok itu semakin dekat dengan kamar.

Rizal dan teman-temanya berharap suara itu melangkah melewati kamar dan tidak menyadari keberadaan mereka. Sayangnya mereka salah, langkah kaki itu berhenti tepat di depan pintu kamar mereka.

“Si..sial, dia berhenti” gumam Rizal.
“Ja..jangan ngomong Zal, diemm..” tegur Ahmad.

Merekapun membaca dalam hati doa-doa yang mereka bisa berharap sosok itu meninggalkan mereka, namun sebaliknya rasa merinding semakin menyelimuti mereka.

“Di dieu..” (Di Sini)

Terdengar suara parau seorang nenek tepat dari arah balik pintu kamar.

“Di..dia kesini” bisik rizal dengan tubuh yang gemetaran.

“Ssstt...” Balas Fariz yang tak kalah takut.

Suara langkah itu kembali bergerak seolah mendekat ke arah pintu. Bersamaan setelahnya terdengar suara pintu yang terbuka secara perlahan.

Jantung Rizal berdebar begitu cepat, ia tidak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya atas perbuatan mereka.

Mereka menunggu begitu lama dengan keheningan dan suara angin yang masuk melalui pintu kamar. Mereka tahu, nenek itu saat ini ada di dalam kamar mereka.

Sekuat tenaga mereka menahan suara dan menenangkan nafas mereka, namun itu tidak cukup untuk menghalau rasa takut mereka.
Tapi... detik berganti menit dan waktu terus berjalan.

Entah mengapa tidak ada yang terjadi dengan mereka yang masih menyembunyikan wajah mereka dibalik sarung.
Rizal ingin membuka sarungnya dan mencari tahu apa yang terjadi, namun rasa takut masih menguasainya.

Saat itu Rizal tidak mendengar suara Fariz dan Ahmad. Seketika ia menjadi khawatir dan spontan membuka sarung yang menutupi wajahnya.
“Se...setan!!!”
Tiba-tiba Rizal berteriak saat mendapati sesosok wajah berada tepat di hadapanya.

Tapi tak berapa lama Rizal tersadar, yang dihadapanya bukanlah sosok nenek tua itu melainkan Fadil.
“Fa..Fadil? Ngapain kamu?”
“Kamu yang ngapain Zal? Daritadi gemeteran, aku kira kamu kenapa-kenapa” balas Fadil.

Mendengar suara itu Fariz dan Ahmad membuka tutup sarungnya dan tidak mendapati sosok nenek tua di kamar mereka.
“Eh.. nggak, nggak papa Dil. Cuma kedinginan” balas Rizal mencari alasan.
“Oo..”

Fadilpun meninggalkan kasur Rizal dan kembali ke tempatnya. Rizal dan teman-temanya heran saat mengetahui pintu masih tertutup. Namun saat mengetahui keadaan sudah kondusif merekapun memutuskan berusaha untuk tidur.

***

Rizal, Ahmad, dan Fariz tertidur dengan lelap. Namun ada seorang santri yang masih terjaga di malam itu. Fadil..
Ia menatap pada satu sudut langit-langit kamar, ada yang berbeda di sana dibanding sebelumnya. sudut yang gelap itu benar-benar menarik perhatian Fadil.

Di langit-langit yang sudah lapuk itu merayap sesosok nenek tua yang memainkan tongkatnya sembari tertawa. Ia terlihat begitu senang seolah merayakan tempat yang akan menjadi kediaman barunya.

***

Menjelang subuh, suara ayam berkokok tidak cukup untuk membangunkan Rizal dan kedua temanya. Beberapa santri sekamar sampai harus membangunkan mereka untuk mengejar Sholat subuh.

“Zal, liat tuh” panggil Ahmad sembari mengarahkan kepalanya ke arah ruangan gudang tua.

Rizal dan Fariz menatap ke pintu tua bangunan itu dan pintu itu sudah tertutup. Merasa panasaran, Rizalpun berpura-pura melewati depan pintu itu dan mencoba membukanya, namun gagal.

“Kekunci?” Tanya Fariz.

Rizal mengangguk. Mereka cukup tenang dan segera menyusul santri yang lain untuk melaksanakan sholat subuh.

Semenjak kejadian kemunculan nenek itu, Rizal dan kedua temanya berusaha menjaga sikap selama beberapa hari. Setidaknya mereka berusaha untuk tidak berbuat mencurigakan.

Saat itu sedang ramai-ramainya pertandingan sepak bola di televisi. Sesekali mereka bertiga meminta ijin pada Ustad untuk pergi ke warung saat jam kosong.

Saat itulah mereka menyempatkan waktu menonton pertandingan sepak bola di warung saat menjelang akhir babak.

“Eh, itu Kang Sodar kan?” ucap Ahmad yang tersadar dengan keberadaan Sodar yang melintasi desa.

Spontan merekapun bersembunyi di dalam warung sambil mengintip memastikan Sodar menjauh dari mereka.

“Kok bukan arah ke pondok? Itu arah hutan kan?” tanya Rizal.

“Iya, ngapain Kang Sodar ke hutan? Emang pondok butuh sesuatu dari sana?” Tambah Fariz.

Awalnya rasa penasaran mereka merayu mereka untuk mengikuti Sodar. Namun sebelum itu terjadi tiba-tiba terdengar suara keramaian dari arah pasar.

“Pasar ini wilayaku! Mau cari masalah?”

“Nggak ada yang namanya wilayah! Saya mau narik untung dari sini itu urusan saya!”

Terlihat beberapa orang saling meluapkan emosi di pasar.

“Saya tau, Mamat.. si Kuter preman sang preman pasar sudah lama di sini. Tapi bukan berarti kamu bisa menguasari semuanya sen...”

Bukk!!!

Belum sempat menyelesaikan ucapanya tiba-tiba sebuah tinju sudah melayang ke arah salah satu dari mereka. Sontak beberapa orang mencoba membalas orang itu, namun ia juga tidak sendiri.

Ini pertama kalinya mereka bertiga melihat kerusuhan secara langsung.

Apalagi sosok yang dipanggil dengan nama Mamat itu terlihat tidak punya belas kasihan dan menghajar preman pendatang itu sampai babak belur.

“Heh, kalian cepet balik ke pondok. Jangan sampai ikut keseret masalah pasar” perintah pemilik warung.

Rizal dan yang lainyapun menurut dan segera kembali ke pondok.

Sepanjang perjalanan mereka membicarakan sosok preman-preman pasar yang sok jagoan dan mencari keuntungan dari pedagang-pedagang kecil di desa itu.

“Aku mau jadi polisi aja Jal, nanti aku ringkus preman-preman kaya gitu” ucap Fariz.

“Gaya kamu, disuruh lari satu lapangan aja selesai-selesai udah kayak orang mau mati. Ini lagi mau jadi polisi” ledek Ahmad.

”Ya udah, kalau niat baik didukung aja. Harusnya memang ada polisi yang ngurusin masalah begituan” Balas Rizal.

Sesampainya di pondok merekapun melakukan kegiatan seperti biasa hingga waktunya untuk tidur.

Saat ingin masuk ke kamar, tiba-tiba fariz menghentikan kakinya. Ia merasakan ada yang aneh saat akan masuk ke kamar.

“Kenapa Riz?” Tanya Rizal.

Fariz menoleh ke bagian-bagian sekitar kamar dan menatap ke dalam kamar.

Ia benar-benar merasa tidak nyaman, namun entah mengapa ia tidak bisa mendefinisikan apa yang ia rasakan.

“Nggak, nggak papa” balas Fariz yang bingung harus menjawab apa.

Malam itu, Rizal dan Ahmad bisa tertidur dengan pulas. Fariz menatap ke arah santri lainya yang ternyata juga sudah tertidur. Tapi tidak dengan Fariz.

Ia menghabiskan malam itu dengan perasaan aneh yang membuatnya terus terjaga.

Terlebih ia merasakan ada yang memperhatikan dirinya dari salah satu sisi di langit-langit kamar. Beberapa kali ia mencoba menoleh ke arah itu, namun tidak ada apapun yang ia temukan di sana.

Menjelang tengah malam Fariz masih berusaha untuk bisa tertidur, namun tiba-tiba terdengar suara teriakan dari arah luar.

“Ustad! Tolong Ustad!!!”
Terdengar teriakan dari arah salah satu kamar santri senior.

Mendengar teriakan itu seketika seluruh santri di kamarpun ikut terbangun dan mengikuti asal suara itu.

“Kenapa Ujang?” Tanya Ridho yang lebih dulu sampai ke tempat itu.

“I..itu, Sodar.. Sodar kesurupan!!” Teriak Ujang.

Sontak seluruh santri yang berniat menyaksikan menjadi ketakutan dan menjauh. Fariz yang merasakan ada hal aneh sejak tadi memilih untuk mendekat dan melihat keadaan Sodar.

“Riz, ngapain?” tanya Rizal.

“Aku penasaran Jal, dari tadi aku udah ngerasa nggak enak” balas Fariz.

Iapun segera mengikuti Ridho masuk ke kamar tempat Sodar berada.

Benar yang diceritakan Ujang, Sodar bertingkah aneh. Ia berjalan merangkak dengan kaki yang mengangkang sembari menggeram.

“Khi..khi..khi...”

Ekspresi wajah Sodar terlihat aneh. Ia seperti tertawa meremehkan semua orang yang ada di tempat ini.

Ridhopun membacakan doa pada segelas air dan meminta Ujang meminumkanya pada Sodar.

“Minumin ini ke Sodar, yang lain bantu pegangin” perintah Ridho.

Santri santri yang berada di sana segera mengikut perintah Ridho. Mereka memegang Sodar dengan erat sembari Ujang meminumkan air itu pada Sodar.

“Bismillahirrahmanirrahim...” Ucap Ujang sembari meminumkan air itu pada Sodar.

Tidak ada perlawanan dari Sodar, sebaliknya ia meminum air itu sambil tersenyum. Ridho curiga, ia merasa ada yang salah dengan hal itu.

Benar saja, tidak hanya meminum...

Ridho mengambil gelas itu dan menggigitnya hingga terpecah.

Ia menggenggam gelas di tanganya hingga pecah dan mengunyah pecahan kaca itu.

“Dar.. jangan dar! Mulut kamu luka Dar!” Tahan Ujang yang berusah memegangi tanganya, namun tenaga Ujang sama sekali tidak ada apa-apanya dibanding Sodar saat ini.

Sodar tersenyum ke hadapan Ridho memamerkan isi mulutnya dan telapak tanganya yang berdarah-darah.

“Setan kurang ajar!” Teriak Ridho.
Ridhopun berusaha menggenggam dahi Sodar dan membacakan ayat kursi, namun sebelum ia memulai tiba-tiba Sodar memberontak dan merangkak dengan cepat menerobos santri yang ada di ruangan itu dan pergi keluar.

Tepat ketika Sodar meninggalkan ruangan, hujan mulai turun perlahan.

Ridho dan beberapa santri mengejar sodar yang melesat dengan cepat seolah sudah mengincar suatu tempat.

“Gimana? Ikut kejar ga?” Tanya Rizal pada Fariz.

“Ikut aja, takutnya ada hubunganya sama kita kemaren-kemaren” balas Fariz.

“Aku coba nyari Ustad y
ang masih ada di sini deh” ucap Ahmad.

Merekapun memutuskan untuk berpencar untuk mengawasi dan mencoba meminta bantuan.

“Emang Kang Ridho bisa rukiyah Riz?” Tanya Rizal.

“Katanya diantara santri senior dia yang paling bisa ngerukiyah. Tapi kalau kaya begini nggak tau deh, biar gimanapun itunganya Kang Ridho masih belajar juga” balas Fariz.

Secepat mungkin mereka berdua mengikuti kerumunan yang mengejar Sodar. Tapi saat sampai, santri-santri itu terlihat kebingungan.

Ia tidak menemukan sosok Sodar di sekitar mereka.

“Sodar!!!” teriak Ujang.

“Kang Sodarr!!”

Seketika suasana pesantren yang sebelumnya tenang menjadi ramai dengan suara santri yang memanggil-manggil Sodar.

Di tengah hujan, obor tidak ada yang bisa menyala. Hanya beberapa senter kecil yang menjadi perbekalan mereka mencari Sodar.

Rizal dan Fariz ikut membantu mengelilingi bangunan, masjid, hingga mencari ke sekitar gudang tua, tapi tidak ada petunjuk keberadaan Sodar di sana.

“Apa mungkin...” Fariz menggumam.
“Mungkin apa Riz?” Rizal penasaran dengan reaksi Fariz.

“Nggak, kayaknya nggak” balas Fariz.

Rizal bingung dengan apa yang dipikirkan oleh Fariz. Ia merasa kalau Fariz mempunyai petunjuk.

“Omongin aja Riz, siapa tau masuk akal” ucap Rizal sembari masih memperhatikan sudut-sudut pepohonan di sekitar pondok.

“Kita sempet lihat Kang Sodar mau masuk ke hutan kan?” ucap Fariz.

Sontak Rizal menghentikan langkahnya. Ia menoleh pada Fariz seolah setuju dengan perkataan Fariz.

“Maksudmu kang Sodar lari ke hutan?” tanya Rizal.
Fariz mengangguk.

Rizal berpikir sebentar, ia merasa harus memberi tahu dugaan mereka pada kakak kelas atau ustad bila sudah datang. Tapi bagaimana bila dugaan itu salah?

Belum sempat memutuskan, tiba-tiba Rizal mendengar suara dari arah yang tidak begitu jauh dari Madrasah.

Rizalpun menoleh dan menemukan pergerakan yang mencurigakan dari sana.

“Siapa di sana?” Teriak Rizal.
Tidak ada satupun yang menjawab.

“Jal, bukanya di situ dekat kandang ayam?” tanya Fariz.

“Ia Riz, coba ke sana..” balas Rizal.

Merekapun melindungi kepala mereka dari hujan dengan sarung dan menerobos ke tempat dimana suara itu berasal.

Sekitar beberapa puluh meter dari madrasah tempat mereka belajar terdapat kandang ayam yang cukup besar.

Beberapa santri juga dijadwalkan memberi makan dan membersihkan kandang ayam disana sebagai pembelajaran untuk beternak.

“Bener Jal, ada orang di situ..” ucap Fariz.

Rizal sudah merasakan perasaan yang tidak tenang.

Bagaimana tidak, di tengah rintikan hujan ini ada seseorang yang berada di depan kandang ayam tanpa mempedulikan sekitarnya.

Dan Firasat Rizal benar..

Sodar..
Dia meringkuk dihadapan kandang ayam itu dengan tangan kiri menggenggam kepala ayam dan tangan kanan menggenggam kakinya. Mulutnya penuh dengan darah yang ia dapatkan dengan memakan ayam itu hidup-hidup.

“Kang.. sudah kang! Jangan!” Ucap Rizal yang ketakutan.

Sementara Rizal terus memperhatikan Sodar. Fariz berteriak memberi isyarat kepada para santri yang mencari di sekitar pondok.

“Di sini!! Kang Sodar di sini!!” Teriak Fariz.

Tak lama Ridho dan Ujang sampai menemui mereka.

Beberapa kakak kelas juga ikut namun saat melihat terlalu banyak santri yang mendekat mereka memilih untuk mendampingi santri-santri itu kembali ke kamarnya.

“Dho.. gimana nih?” Tanya Ujang bingung.

Mereka tidak habis pikir dengan apa yang ada di depanya. Temanya sesama santri yang seangkatan sedang kerasukan dan memakan ayam hidup-hidup di hadapan mereka.

“Pegangin Jang, aku coba rukiah lagi” ucap Ridho.

“Ayo bantuin Riz, Jal...” perintah Ujang.
“Iya Kang..”

Sekuat tenaga Rizal, Fariz, dan Ujang memegangi Sodar. Entah mengapa tenaganya begitu kuat, jauh melebihi tenaga Sodar pada saat normal.

“Bismillahirrahmanirrahim...”

Ridho menarik nafas panjang, memegang dahi Sodar dan mulai membaca doa.

“Allohu laa ilaaha illaa Huwal Hayyul Qoyyuum, laa ta’khudzuhuu sinatuw walaa nauum,,,

Mendengar bacaan doa itu bukanya ketakutan Sodar malah tersenyum memamerkan mulutnya yang penuh dengan darah.

“la Huu maa fis samawaati wa maa fil ardh, mann dzalladzii yasyfa’u ‘inda Huu, illa bi idznih,,“
Ridho melanjutkan Doanya namun tiba tiba terdengar suara dari mulut Sobar

“la Huu maa fis samawaati wa maa fil ardh, mann dzalladzii yasyfa’u ‘inda Huu, illa bi idznih, khekehkehke...”
Sosok di tubuh Sodar mengulangi setiap doa yang dibacakan Ridho sambil tertawa.

Ia seolah meremehkan doa-doa yang dibacakan oleh Ridho.

“Di..dia bisa ngulangin ayat kursi..” Rizal kebingungan melihat fenomena itu.

Ridhopun panik, setiap kalimat doa yang ia ucapkan diulangi oleh sodar sembari tertawa. Kini tubuh Ridho gemetar.

“Ka..kalau doa-doa tidak berguna untuk mengusir setan ini, kita harus gimana?” tanya Fariz yang panik.

“Khe...khe..khe... wa laa yauudlu Huu hifdzuhumaa, wa Huwal ‘aliyyul ‘adziiim”
Makhluk itu benar-benar menyelesaikan ayat kursi dengan sempurna.

Sontak merekapun kebingungan. Namun tak lama terdengar suara langkah kaki mendekat menepuk pundak Ridho.

“Kenapa takut?” tanya orang itu.

“U..ustad Sobirin?” ucap ridho yang segera mengenali sosok ustad itu.

“Dengerin, kalau cuma menghafalkan dan mengulangi ayat kursi jangankan setan, burung beo mungkin juga bisa” ucap Ustad Sobirin.

Iapun mendekat ke arah Sodar. Ahmad menyusul di belakangnya sembari mengatur nafas.

Tidak seperti terhadap Ridho tadi, kini Sodar terlihat ketakutan seolah terancam dengan keberadaan Ustad Sobirin.

“Dalam doa itu tidak hanya terdapat kata-kata yang kamu ucapkan... Ada kebersihan hatimu, niat dari doamu, dan bahkan keadaan tubuh fisik kalian apa sudah pantas untuk meminta kepada Alllah” ucap Ustad Sobirin.

Iapun membacakan ayat kursi di hadapan Sodar sembari memegang dahinya. Seketika itu juga Sodar meronta-ronta kesakitan.

“Panas! Panas!” teriak Sodar dengan suara yang parau.

Ustad Sobirin tidak mempedulikan dan terus menyelesaikan doanya. Sodar yang kesakitan berusaha meronta, namun tenaganya masih dapat ditahan olah Ujang, Rizal, Fariz dan Ahmad yang ikut membantu.

Tak cukup dengan ayat kursi, Ustad Sobirin berpindah ke belakang tubuh Sodar dan menekan beberapa jarinya di tulang punggung Sodar hingga naik ke leher. Lantunan ayat suci dibacakan saat melakukan ritual itu.

Tak lama kemudian, tepat ketika jari Ustad Sobirin menyentuh leher Sodar. Sodarpun muntah. Ia memuntahkan darah dan sesuatu seperti asap yang menghilang begitu saja.

“Dar.. Sodar..” Ujang mencoba memastikan kondisi sodar tak lama setelah ia berhenti muntah.

Sodar tidak menjawab, ia hanya memberi isyarat tangan pada ujang untuk menjauh dikarenakan rasanya ia masih ingin memuntahkan sesuatu.

Wajah Sodar terlihat pucat, ia tidak mampu banyak bicara.

Terlebih lagi mulut dan tanganya sedang terluka oleh pecahan kaca dari gelas sebelumnya.

“Bawa ke UKS, obatin dulu di sana” perintah ustad sobirin.

Ujangpun membantu Sodar berdiri untuk meninggalkan tempat itu.

“Jal, itu.. yang di kantong Kang Sodar” Ahmad menunjuk ke sebuah buku yang terlipat di saku Sodar.

Rizal mengangguk dan menghampiri Sodar sebelum ia pergi.

“Kang, Buku yang di saku kang sodar…” ucap Rizal memberanikan diri.

Sodar berhenti sejenak dan menatap Rizal, ia masih belum bisa berbicara. Namun ia menengok buku di sakunya seolah teringat sesuatu.

Ustad Sobirin mengernyitkan dahinya saat melihat Rizal menghadang Sodar. Sodarpun mengambil buku itu dari sakunya dan menyerahkan kepada Rizal.

“Ustad, Kang Ridho...” Rizal mengantarkan buku itu menyerahkanya pada Ustad Sobirin.

Ustad mengecek buku itu sebentar dan menggelengkan kepalanya. Reaksi ustad Sobirin seolah memvalidasi Rizal dan Fariz bahwa buku itu adalah sumber masalahnya.

“Memangnya itu teh buku apa Kang Ridho?” Tanya Fariz.

“Kalian tau dari mana Sodar dapet buku ini?” Ridho bertanya balik.

Rizal dan Fariz saling bertatapan, setelah masalah sebesar ini sepertinya ia tidak bisa berbohong. Merekapun mengangguk.

“Ya sudah, kita berteduh dulu. Kalian ganti baju dulu dan jelaskan pada saya di mushola” perintah ustad sobirin.

“Baik Ustad,, Assalamualaikum..” Pamit Rizal
“Walaikumsalam...”

Rizal, Ahmad, dan Fariz secepat mungkin kembali ke kamarnya dan berganti dengan pakaian yang kering.

“Ini beneran nggak papa kita cerita ke Ustad Sobirin?” Bisik Fariz sembari menengok ke arah Fadil yang tengah tertidur.

“Nggak ada pilihan Riz, jangan sampai ada kejadian serupa lagi” balas Rizal.

Setelah berganti pakaian merekapun segera menuju ke Mushola menemui Ustad Sobirin dan Ridho yang telah sampai di tempat itu terlebih dahulu.
Rizalpun menceritakan kejadian dimana Sodar merebut buku itu dari Fadil.

Dari perbincangan mereka Rizal menceritakan bahwa Fadil dibawakan buku itu oleh keluarganya dari rumah.

“Kalian tahu ini buku apa?” Ta

“Ini kitab lelaku untuk mendapatkan sebuah ilmu..” ucap Ustad Sobirin
Mereka bertiga dan Ridhopun kaget mendengar ucapan Ustad Sobirin.

“Maksudnya Sodar teh ngilmu? Belajar dari kitab itu?” tanya Ridho.

Ustad sobirin menghela nafas, ”Entah, mungkin saja.. kita tidak tahu ilmu apa yang dipelajari sama Sodar”

“Ustad, waktu kami ijin ke warung kita sempat melihat Kang Sodar berjalan ke arah hutan”

Ahmad mencoba menyampaikan segala petunjuk yang ia tahu.

“Kami sebenernya penasaran pengen coba ngikutin, tapi takut terlambat kembali ke pondok” timbal Rizal.

Ustad Sobirinpun menatap kitab itu dan membaca istigfar beberapa kali.

“Astagfirullahalazim.. Astagfirullahalazim.. Astagfirullahalazim..”

Iapun membungkus kitab itu dengan sebuah kain dan menyimpanya.

“Ilmu tanpa guru itu berbahaya, terlepas apapun jenis ilmu itu” Jelas Ustad Sobirin.

Mereka berempat mengangguk mengerti dengan maksud Ustad sobirin.

“Ridho, kamu awasi Sodar dan cari tahu tentang hal ini dari para santri ya. Saya takut masalah ini belum selesai sepenuhnya” ucap Ustad Sobirin.

“Baik Ustad..”

“Kalian sekarang istirahat, kalau ada petunjuk atau hal-hal aneh bisa beri tahu ustad atau kang Ridho. Tidak usah takut.. Jangan takut dihukum kalau itu bisa menyelamatkan seseorang dari celaka” Perintah Ustad Sobirin.

Rizal, Fariz, dan Ahmad saling menatap dan tersadar dengan ucapan Ustad Sobirin itu.

“Baik Ustad, kami ijin pamit dulu.. Selamat malam, Assalamulaikum..”

Mereka bertigapun salim berpamitan dan kembali ke kamar mereka.

“Walaikumsalam...”

Perlahan hujan di malam itu mulai berhenti. Mereka bertiga tidak menyangka dengan kejadian yang mereka alami akhir-akhir ini. Rasa lelah merekapun menuntun mereka untuk segera berbaring di kamar.

“Sebenernya aku masih ngerasa ada sesuatu yang mengganjal Mad” ucap Rizal.

Fariz dan Ahmad berhenti sejenak sebelum masuk ke keamar.

“Apa lagi Jal?” tanya Ahmad.

“Kalung bertali hitam, kalau nggak salah Sodar juga mengambil kalung hitam dari Fadil..” ucap Rizal.

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya


Cuplikan Part 2
Seorang santri wanita dikabarkan menghilang, bersamaan dengan itu Rizal mengikuti Fadil hingga ke hutan jati.

Rizal menemukan seorang perempuan tengah terdiam di tengah makam.
Ada darah menetes dari sela-sela kakinya.

Sosok tak kasat mata muncul di sekitar wanita itu dan menjilati darahnya yang tak henti menetes di tanah.

Bukanya takut, wanita itu malah menari seolah menikmatinya...
close