Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sendang Banyu Getih (Part 7 END) - Jejak di Dasar Sendang

Cahyo harus menjaga agar mayat hidup tidak menyerang desa, dan Danan terjebak menahan sosok gelap Nyi Sendang Rangu.
Desa Banyujiwo benar-benar diambang bencana.


JEJAKMISTERI - Aku sedikit bernostalgia saat mengunjungi desa Bonomulyo. Di sinilah pertama kali aku dan Cahyo berhadapan dengan sosok Ludruk bertopeng hitam yang hampir membunuh kami.

Pak Karyo mengenalkanku pada seorang pemuda bernama Badrun. Anak dari pemilik angkutan umum yang juga teman Paklek. ialah yang akan mengantarkanku ke desa Banyujiwo tempat Cahyo berada.

“Mas Danan, pokoknya jangan nekat ya. Kalau ada apa-apa jangan lupa kabari saya” ucap Pak Karyo.
“Iya Pak, tenang saja. Saya tahu batasan-batasan saya kok” balasku sembari berpamitan ke pak Karyo.
Badrun yang sudah siap dengan motor dua tak tuanya datang menghampiriku.

“Mas, nggak bawa motor tua kayak mas Cahyo kan? Naik motor saya saja ya..” ucap Badrun.
Aku mengernyitkan dahi mempertanyakan maksud Badrun.
“Nggak kok mas, saya naik kendaraan umum” balasku.
Badrun menarik nafas lega mendengar ucapanku.
“Syukur deh..” ucapnya.

“Memangnya kenapa mas?” tanya Pak Karyo.
“Eh, nggak... nggak papa Pak Karyo. Motor saya baru di service makanya sayang kalau nggak dipake” jawabnya.
Aku menggelengkan kepalaku, sepertinya terjadi suatu tragedi antara Badrun dan ‘SiMbah’ motor antik milik Cahyo.

***

Badrun mengantarkanku meninggalkan desa Bonomulyo dan mulai memasuki Jalur hutan. Mirip seperti jalur ke desa Windualit, namun bedanya desa Banyujiwo sudah bisa dimasuki kendaraan roda dua walaupun jalurnya tidak mudah.

Walau cukup terpencil, aku cukup bersyukur menyadari bahwa masih ada hutan yang asri dengan berbagai tumbuhan yang rimbun. Seharusnya hutan ini juga bisa menyediakan segala kebutuhan penduduk desa apabila tidak dirusak.
“Mas Badrun tinggal di desa Banyujiwo juga?” Tanyaku.

“Nggak mas, saya tinggal di dekat terminal. Hanya saja Mas Tiko meminta tolong saya mendampinginya sampai kembali ke Jakarta” balasnya.
“Berarti soal kutukan desa Banyujiwo Mas Badrun juga tau?”

“Awalnya saya hanya curiga mas. Dulu ada penumpang yang saya antar, tapi setelah itu tidak ada kabarnya. Begitu beberapa hari lalu saya nemenin mas Tiko dan melihat sendiri, saya benar-benar nggak menyangka”

Sepertinya permasalahan desa Banyujiwo memang tidak banyak menyebar. Pantas saja Pak Karyo juga tidak mengetahui secara detail tentang permasalahan ini.
Sebuah gerbang desa yang cukup lapuk menyambutku setelah melewati jalur hutan yang cukup panjang.

Badrun mempertemukanku dengan beberapa orang yang sepertinya memang sedang berkumpul mendiskusikan permasalahan ini.
“Eh, Mas Danan ya?” Ucap salah seorang pemuda di sana.
“Iya mas, pasti mas Tiko ya?” Balasku.

“Iya mas.. Kenalin ini Fajri, Pak Sukoco dan Mbah Sagimin,’ Tiko memperkenalkan orang-orang yang tengah berkumpul di rumahnya itu.
“Monggo mas Danan, Istirahat dulu..” sambut Mbah Sagimin.

Akupun mengambil posisi di tempat duduk yang kosong sementara Badrun mengambil dua gelas kopi untuk kami berdua.
Tiko memulai pembicaraan dengan menceritakan latar belakang teman-temanya dan tentang kejadian selama ia kembali ke desanya ini.

Menurutnya sejak ia lahir hingga meninggalkan desa, ia tidak pernah mengalami kejadian seperti ini. Bahkan kejadian supranaturalpun hampir tidak pernah.
“Kalau orang tua mas Tiko? Apa punya petunjuk mengenai kejadian ini?” Tanyaku penasaran.
Tiko menggeleng.

“Bapak Juga kaget mas, makanya bapak langsung bilang ke saya untuk mencarikan orang yang bisa menangani masalah ini, akhirnya saya ketemu Mas Cahyo” Jelas Tiko.
Permasalahan ini sedikit rumit.

Bahkan Mbah Sagimin yang sudah sepuhpun juga tidak memiliki petunjuk soal kutukan di desa ini.
“Mungkin kalau bisa, saya minta tolong diantarkan ke bangunan-bangunan tertua yang ada di desa ini. Mungkin saja ada petunjuk yang bisa saya dapat dari sana” pintaku pada mereka.

“Termasuk rumah warga mas?” tanya Pak Sukoco.
Aku mengangguk, seandainya tempat umum di desa ini tidak memberi petunjuk, akupun harus memeriksa ke rumah-rumah warga.

Sedari tadi aku cukup kagum dengan bangunan-bangunan tua di desa ini yang tetap kokoh walau sudah sangat berumur.
“Mbah Sagimin, Sebenarnya saya penasaran. Rumah saya dan beberapa rumah dipasang pelindung oleh orang pintar. Nah, mereka memasangnya dengan cara apa ya?” tanya Tiko.

Mbah Sagimin mencoba mengingat ritual apa yang digunakan orang-orang yang memembantu dirinya dulu.
“Mereka menyembelih ayam hitam dan menuliskan semacam aksara di beberapa titik rumah.

Tepat setelah selesai, tulisan itu menghilang seperti menyerap ke dalam kayu, mas” Jelas mbah Sagimin.
“Mbah tahu dimana saja aksara itu di tulis?” tanyaku.
“Tidak semua mas, beberapa mbah ikut melihat tapi lainya tidak” balas mbah sagimin.

Akupun penasaran, mungkin sepertinya aku juga harus memeriksa ilmu yang digunakan untuk melindungi beberapa rumah di desa ini. Menurutku, selain keterbatasan jumlah kurban pasti ada alasan lain mengapa hanya ada beberapa rumah yang bisa diamankan.

Mbah Sagimin menunjukan sebuah tiang kayu di sudut rumah Tiko yang dulu sempat dioleskan dengan darah ayam itu. Aku mencoba mendekat dan merabanya, namun tepat seperti yang diceritakan Mbah Sagimin bahwa tidak nampak bekas darah apapun di sana.

“Mas Badrun, apa desa lain juga mendapat serangan seperti ini?” tanyaku.
“Saya dan Mas Cahyo sudah ke desa Sambigiri, seluruh warga di sana sudah tewas tak bersisa.” Jelas Badrun.
“Desa lainya?”

“Saya beberapa kali mengantar ke desa mereka, tidak ada masalah apapun di sana mas. Bahkan mereka tidak mengetahui tentang kutukan di desa ini”
Akupun berpikir sejenak. Jelas aku merasakan ada sesuatu yang melindungi rumah ini tapi ada sesuatu yang janggal.

“Mbah Sagimin yakin, aksara itu ditulis dengan darah ayam hitam?” tanyaku.
“Ya..yakin Mas Danan, memang kenapa?”

“Ayam hitam atau ayam cemani tidak digunakan untuk membuat pelindung ghaib.
Ayam itu dikurbankan untuk membuat kesepakatan atau permintaan dari sosok tak kasat mata” Aku mulai merasa curiga dengan hal ini, namun aku tidak mau menyimpulkan dengan gegabah.
Mbah Sagimin dan Pak Sukoco terlihat bingung.

Merekapun mulai merasa janggal saat mendengar ucapanku.
“Ta..tapi benar mas, saya melihat sendiri darah yang dituliskan di tiang itu” Mbah Sagimin masih merasa yakin.
“Kecuali ada kemungkinan mereka menukar darah ayam itu dengan yang lain” Badrun mencoba menebak.

Akupun berpikir sama. Kemungkinan ayam itu hanya digunakan untuk memulai kesepakatan. Namun media yang digunakan untuk penanda agar makhluk itu tidak mendekati rumah-rumah ini, mereka menggunakan hal lain.

Dengan ijin dari kepala desa, Mbah Sagimin dan Tiko mengajakku berkeliling untuk memeriksa rumah-rumah tua yang berada di desa ini. Ada beberapa rumah yang diberitahukan oleh mbah sagimin bahwa telah dilindungi, namun aku tidak merasakan hal lain selain pelindung itu.

Sampai akupun tiba di salah satu bangunan tertua dan terbesar di desa ini. Balai desa...
“Mereka juga memasang pelindung itu di bangunan ini Mbah?” Tanyaku.
“Iya mas, disinilah mereka menginap saat mencoba menangani permasalahan ini” jelas mbah sagimin.

Tepat saat aku melangkah masuk ke dalam balai desa, tiba-tiba ada suatu hal yang membuatku goyah. Ada perasaan sedih yang mendalam saat aku memasuki tempat ini.
“Mbah... ada yang tidak beres dengan tempat ini” ucapku.

“Ma..maksud Mas Danan apa? Selama ini balai desa adalah tempat yang paling aman” Jelas Pak Sukoco.
Aku mulai merasakan sesuatu yang sangat berat ingin memenuhi kepalaku. Akupun jatuh berlutut dengan menahan perasaan yang ingin masuk.

“Mas.. mas Danan kenapa? Mas?” teriak Tiko yang khawatir dengan keadaanku.
Aku berusaha bertahan, namun saat itu aku melihat dari salah satu sudut rumah itu ada kepala seorang anak perempuan yang menatapku.

Saat itu aku menoleh ke arah Tiko dan yang lainya, namun sepertinya mereka tidak menyadari keberadaan makhluk ini.
Kepala itu mendekat kepadaku seperti ada bagian tubuh di bawah tanah yang berjalan mendekatiku, tapi aku tidak yakin dengan itu.

Walau wajahnya pucat dan banyak bekas luka, aku bisa memastikan bahwa ia adalah roh manusia.
Tepat saat makhluk itu mendekat, aku segera membacakan sebait doa dan mencoba menangkap dahinya. Namun saat itu terjadi, akupun kehilangan kesadaran.

***

Langit malam terlihat begitu pekat, terdengar kericuhan dari berbagai tempat di desa ini. Ini adalah desa Banyujiwo yang baru saja kudatangi tadi.
Seluruh warga panik, beberapa dari mereka terluka parah dan ada yang telah kehilangan kesadaran.

Sepertinya ini adalah pertama kalinya makhluk berwujud jasad anak kecil itu menyerang desa.
Tapi... ada yang aneh.
Ada bayangan beberapa orang di belakang makhluk-makhluk itu. Mereka menyembunyikan diri dari warga dan menyelinap ke desa.

Satu persatu rumah warga mereka masuki bersamaan dengan serangan makhluk-makhluk itu seolah ada sesuatu yang mereka cari.
Sampai di satu rumah, mereka kepergok oleh seorang anak perempuan berumur belasan tahun. Saat itu juga anak itu ingin melarikan diri, namun untuk melindungi identitasnya mereka menghabisi anak perempuan itu, mengambil kepalanya dan membiarkan makhluk-makhluk itu memakanya sebelum akhirnya melarikan diri.

Makhluk-makhluk itu menyerang setiap malam sampai akhirnya warga meminta pertolongan ke orang-orang pintar namun terus gagal. Akhirnya sosok yang datang bersama makhluk mengerikan itu datang lagi dengan berpura-pura seperti orang pintar yang berniat menolong.

Tapi, Ia akan membantu asal desa itu mau memberikan sesuatu. Sebuah kitab peninggalan milik leluhur desa mereka.
Iapun memberi petunjuk bahwa makhluk itu harus dibuang ke Sendang Banyu Getih agar tidak kembali, dan ia memasang pelindung di beberapa rumah sesuai permintaan warga.

Tapi.. itu bukanlah pelindung biasa.
Setiap rumah ditandai dengan darah. Bukan darah ayam, Itu adalah darah manusia...
Itu adalah darah anak perempuan yang ia bunuh sebelumnya. Mayat-mayat anak itu menganggap sudah memakan pemilik darah itu sebagai kurbanya,

Sehingga mereka tidak akan menyerang rumah itu lagi. Terlebih orang itu juga menanamkan sosok roh anak itu di Balai desa dengan perantara sebuah benda.
Kehadiran roh yang telah menjadi korbanpun memperkuat ilmu yang ditanam orang itu.

Tujuanya agar rumah yang ditandai darahnya tidak diserang oleh mayat hidup itu lagi.
Roh itu diikat oleh sesuatu yang mereka tanam di balai desa..
“Mas.. mas Danan!” Teriak Badrun yang sudah menyiapkan segelas air sementara wajah yang lain terlihat khawatir.

Aku yang tersadar segera merasa kaget. Sosok roh kepala itu tidak lagi terlihat, namun sepertinya aku tahu dimana lokasinya.
“Mas Ambil linggis atau cangkul!” Teriakku pada mereka.
“Bu..buat apa mas?!” tanya Tiko.

“Sudah, ambil saja dulu!” Balasku singkat sementara aku mencoba menerawang bagian bawah bangunan ini.
Akupun menemukan bagian keramik yang terasa janggal. Saat itu juga aku menghancurkanya dan menggali tanah di bawahnya. dan aku menemukan sesuatu yang kucari.

Tengkorak manusia...
“A..apa itu mas?” Tanya Mbah Sagimin.
“Ini... Ini yang melindungi beberapa rumah warga. Darah dia yang ditorehkan di tiang-tiang rumah, dan roh dialah yang diikat di tempat ini untuk menjaga” Jelasku.

Mereka menyadari bahwa itu adalah tengkorak anak kecil. Saat itu juga mereka kaget dan tidak menyangka dengan apa yang kutemukan.
“Itu tengkorak seorang anak di desa ini, tadi aku mendapat penglihatan yang menunjukkan itu semua” ucapku.

“Penglihatan mas? Maksudnya?” tanya pak sukoco.
Akupun menceritakan penglihatanku tadi tentang adanya sosok manusia dibalik serangan mayat-mayat anak kecil itu.
Mbah Wagimin kaget ketika aku menceritakan bahwa ialah orang pintar yang diminta tolong Mbah Sagimin.

Terlebih saat mengetahui dialah yang membunuh anak perempuan di desa, saat itu wajah pak sukoco menjadi pucat.
“Mas Danan, apa yang mas lihat orang itu menghabisi anak perempuan itu di rumah itu?” tanya Pak Sukoco yang menunjuk sebuah rumah yang masih terjangkau oleh mata kami.

Akupun menoleh ke arah rumah yang ditunjukkan oleh Pak Sukoco.
“I..iya pak? Kenapa?” Tanyaku Bingung.
Seketika tangis Pak Sukoco memenuhi ruangan ini. Ia beberapa kali memukul tembok balai desa melampiaskan rasa sedihnya.

Mbah Sagimin menyerahkan tengkorak anak perempuan itu pada Pak Sukoco. Iapun segera memeluk tengkorak itu dan menangisinya.
“Mbah, Jangan-jangan anak itu... Srintil?” Tanya Tiko.

“Kalau penglihatan mas Danan benar, maka mungkin saja itu adalah tengkorak kepala Srintil yang mati dengan kepala yang menghilang” Jelas Mbah Sagimin.
Samar-samar aku mengerti situasi ini. Ternyata sosok roh yang memberi penglihatan kepadaku adalah anak dari Pak Sukoco.

Akupun semakin geram.
“Sepertinya perlahan semua mulai terkuak” ucapku.
Mbah Sagimin memasang wajah bingungnya. Ia mempertanyakan maksud ucapanku barusan.

“Sendang Banyu Getih, seharusnya sudah tidak dihuni penunggu sendang lagi.
Tapi ada sekumpulan orang yang menghidupkan sendang itu lagi,” Jelasku.
“Tapi untuk apa mas?” tanya Tiko.
“Mengabulkan keinginan mereka, dan mayat-mayat anak ini adalah makhluk yang bertugas mencari tumbal untuk mereka” Jelasku.
“Terus ‘mereka’ itu siapa mas?“ Tanya Fajri.

Aku menoleh lagi ke arah tengkorak anak dari pak Sukoco.
“Pembunuh anak ini, mungkin saja pelakunya adalah mereka” jelasku.
Aku tidak mau mengambil kesimpulan secara cepat. Tapi saat ini merekalah yang paling memungkinkan untuk melakukanya.

Wajah Mbah Sagimin dan pak Sukoco terlihat kesal. Namun ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi terhadap mereka.
“Terus kita harus apa mas Danan?” tanya Tiko.
“Aku akan mencoba melawan sang penunggu sendang sementara Cahyo menahan mayat anak-anak itu.

Kalian harus memanggil orang-orang itu ke tempat ini..” Jawabku.
“Ta..tapi mas, sudah lama kami tidak berhubungan dengan mereka. Bagaimana jika kami tidak bisa memanggil mereka?” Tanya Mbah Sagimin bingung.

“Entah Mbah, ini satu-satunya jalan. Walaupun aku mampu mengalahkan penunggu sendang itu, segala sesuatu yang terkutuk di dasar sendang itu tetap akan terus mencari tumbal untuk menunaikan permintaan orang-orang itu” Jelasku lagi.

Mbah Sagimin terlihat harap-harap cemas. Sepertinya ia juga tidak mendapat petunjuk mengenai keberadaan orang itu. Apalagi Mbah Sagimin juga bukan seorang yang mampu menggunakan teknologi jaman sekarang.

“Ayo Mbah, saya bantu mencari informasi tentang orang-orang itu” ucap Tiko.
“Tapi Mas Tiko, saya benar-benar tidak ada petunjuk bagaimana cara menghubungi mereka” balas Mbah Sagimin.

“Yang penting kita berusaha dulu Mbah, saya malu melihat Mas Cahyo dan Mas Danan yang segitunya berusaha menolong desa kita sementara kita menyerah sebelum berusaha” Balas Tiko.
Ucapan Tiko saat itu seperti membuka mata Mbah Sagimin, Fajri, dan yang lainya.

Mereka memutuskan untuk mengumpulkan warga dan menggali informasi dari mereka.
Setelah mengetahui rencana mereka, akupun pergi meninggalkan desa menuju tempat dimana Cahyo menunggu. Entah apa yang sedang ia lakukan sekarang.

Tapi saat ini aku merasa yakin, mungkin ini saatnya membuat perhitungan dengan sosok penjaga Sendang Banyu Getih itu.

***

Cahyo terlihat tertidur di salah satu dahan pohon diantara tanah yang lapang. Mukanya terlihat lusuh, namun sepertinya ia tetap membersihkan dirinya tiap hari.
“Gimana Nan, ada petunjuk?” Tanya Cahyo menyambut kedatanganku.

Bahkan hingga kondisi seperti inipun Cahyo masih memikirikan desa Banyujiwo.
“Nggak ada, adanya nasi pecel pake bandeng presto” ucapku sembari menyodorkan bungkusan nasi yang sengaja kubawa dari rumah Tiko.
“Wahh... spesial ini! ini baru temen” balas Cahyo.

“Isi perut dulu, baru ngomongin demit” balasku.
Kamipun menghabiskan nasi yang kubawa di bawah salah satu pohon yang rindang. Suasana siang di tempat ini ternyata tidak seseram seperti saat aku datang ketempat ini dalam wujud sukma.

Setelah cukup bersantai aku menjelaskan tentang apa yang kuketahui. Mulai tentang kutukan sisi gelap Nyi Sendang Rangu, hingga apa yang terjadi dengan anak pak sukoco.
Ceritaku membuat Cahyo kaget, ia benar-benar tidak habis pikir dengan kedua hal itu.

“Tapi hebat juga kamu Nan, kalau aku pasti sudah bingung duluan sebelum dapat petunjuk seperti ini” ucap Cahyo.
“Nggak gitu juga, kalau nggak ada petunjuk dari kamu juga aku kebingungan” Balasku.

Perbincangan santai kami di siang itu sedikit mampu membuatku melupakan rasa tegang akan apa yang akan aku hadapi nanti. Semoga saja aku bisa memberekan masalah di sendang tanpa membuat cahyo bekerja lebih keras dari ini.

Saat langit matahari mulai terbenam aku dan Cahyo mulai meninggalkan pohon rindang itu dan berpisah. Cahyo masih harus menghadapi lagi mayat anak-anak yang akan hidup lagi, sementara aku harus menghadapi sosok penunggu sendang seperti yang diceritakan Cahyo.

Seekor siluman buaya penunggu sendang...
“Hati-hati Nan, bisa jadi masih ada sosok lain selain siluman itu” peringat Cahyo.
Akupun mengingat ucapan cahyo itu dan meneruskan perjalananku menerobos hutan lebih dalam.

Semak dan rumput liar terkadang menghalangi jalurku menuju sendang sampai akhirnya aku menyaksikan dengan mata kepalaku tempat yang dimaksud oleh Cahyo.
Aku tidak menyangka akan menemukan tempat seperti ini.

Sebuah sendang yang dikelilingi alam liar dan pantulan cahaya bulan di airnya yang pekat. Bau amis mengganggu penciumanku, namun saat itu aku berpikir. Seandainya tidak ada bau dan air di sendang ini masih bening, tempat ini akan benar-benar mengesankan.

Setiap langkahku mendekati sendang seolah sudah disambut oleh sesuatu dari kejauhan. Aku merasakan kehadiranya, namun makhluk itu belum mau menunjukkan wujudnya.
“Opo sing mbok gowo?” (Apa yang kau bawa?) terdengar suara berbisik dari sekitar telingaku.

Suara parau pria tua dengan niat yang tidak dapat kutebak.
“Keluar! Aku tidak akan memberikan apapun padamu” balasku dengan tegas.
“Khekehkehke...”
Suara tawa terkekeh terdengar menanggapi ucapanku.

Mulai terlihat riak air dari dalam sendang. Aku merasakan ada beberapa sosok yang memperhatikan dari sekitar sendang, tapi lebih dari itu aku memastikan ada satu sosok yang merayap keluar dari sendang dan menuju ke arahku.

Makhluk itu menggengam lengan tak bertuan yang bagian telapaknya masih ia kunyah di giginya. Seluruh tubuhnya hampir tertutup dengan rambut.
“Kau bisa mendapatkan bayaran yang mahal bila mau merelakan pusaka yang kau simpan di sukmamu” ucap makhluk itu.
Keris Ragasukma?

Makhluk itu menyadari keberadaan Keris Ragasukma di dalam tubuhku. Sepertinya aku benar-benar tidak bisa meremehkan makhluk ini.
“Kau sudah tahu jawabanya” balasku.
Tak mau mengulur waktu, aku segera membacakan ajian muksa pangreksa untuk menghalau niat jahat makhluk itu dan sosok yang berada di sekitarku. Sayangnya ajianku tidak berdampak padanya.

Sebaliknya, potongan tangan manusia melayang ke arahku disusul dengan sosok makhluk yang membuka mulutnya dengan lebar untuk menyantapku. Tak sempat menghindar, akupun menahan seranganya dengan tanganku.

Keputusanku salah, ia malah menggigit dengan erat lenganku dan menarik tubuhku ke arah sendang.
Aku berusaha bertahan, namun ia malah mencoba mengoyak lenganku.
“Mayat di dasar sendang itu masih belum cukup untukmu?” Teriakku sembari menusukkan keris ragasukma ke tubuhnya.

Merasa kesakitan ia mundur dan menjauh dariku. Namun aku sadar tubuhnya keras, seranganku tidak berdampak banyak padanya. Sebaliknya aku khawatir luka gigitanya mengandung racun atau kutukan.
Aku bersiap menyerang, namun makhluk itu malah mundur.

Ia kembali ke sendang sambil tersenyum tanpa perlawanan.
“Jangan kabur! Selesaikan urusan kita!” Teriakku.
Tapi makhluk itu tidak terpancing.

“Aku Ki Boyo Gandru, bukan makhluk bodoh. Tidak ada gunanya aku berurusan denganmu” ucapnya sembari kembali membenamkan tubuhnya di sendang itu.

Benar, Makhluk itu tidak bodoh. Tidak ada gunanya ia melawanku. Sebaliknya akulah yang harus menyerangnya, tapi itu artinya aku harus mencarinya di dasar sendang.

Bersamaan dengan itu terdengar suara dentuman dari salah satu sisi hutan. Itu adalah sisi dimana Cahyo berada. Sepertinya ia juga sudah memulai pertarunganya.
Aku berpikir sejenak. Memasuki sendang itu dengan begitu saja juga bukan rencana yang baik.

Apalagi Cahyo pernah menceritakan bahwa dirinya tertarik oleh makhluk itu hingga ke dasar sendang.
“Baiklah kalau itu maumu” balasku.
Akupun membaca sebuah doa dengan meletakan telapak tanganku di permukaan sendang itu.

Perlahan lahan aku membacakan ayat suci untuk meruwat sendang dan menenangkan satu demi satu sosok yang pernah ditumbalkan di tempat ini.
Seolah kesal dengan perbuatanku, ada suara menggeram dari bawah permukaan air.

Dengan jelas aku melihat seekor buaya yang tubuhnya dipenuhi rambut berenang seolah mengincar tanganku.
“Kowe kudu tak pateni!” (kamu harus aku bunuh) ucap makhluk itu sembari bersiap menerkam tanganku lagi.

Kali ini aku sigap. Aku segera menarik tanganku menjauh dan memisahkan sukmaku untuk menyerang Ki Boyo Gandru. Sayangnya ia berhasil menghindar. Gerakanya begitu lincah ketika berada di dalam sendang.

Aku sudah mengetahui hal ini dan mengejarnya dalam wujud sukmaku. Dengan wujud roh keris ragasukma, aku menciptakan sebuah lubang besar di ekornya.
Ki boyo gandru tak terima, ia beberapa kali menggigit kerisku dan berusaha memisahkanya denganku.

Sementara itu, bagian tubuh manusia dan tulang belulang tengah melayang-layang di sendang itu mengitari pertarungan kami.
“Cih, tempat yang mengerikan!” ucapku.
“Sebentar lagi tubuhmu menjadi bagian dari tempat ini” ancam Ki Boyo Gandru.

Tidak mau mengambil resiko. Akupun membacakan sebuah mantra pada bilah kerisku. Saat itu cahaya putih membelah bulir-bulir air dan menyelimuti kerisku.
Seolah merasakan bahaya, Ki Boyo Gandru mundur ke tempat yang lebih dalam.

Ia mencoba menghilangkan wujudnya diantara tumpukan mayat dan tulang belulang di sendang itu.
Tapi aku tidak bodoh. Niat jahat dari Ki Boyo Gandru dapat kurasakan hingga ke dasar sendang.

Dengan bertumpu pada instingku itu aku menghujamkan keris ragasukma yang menancap tepat di kepalanya.
Makhluk itupun kesakitan hingga seluruh tubuhnya mengeluarkan cairan hitam yang semakin membuat sendang ini semakin pekat.

“Jangan sombong! Kau akan berurusan dengan penunggu sendang ini yang sebenarnya” ancam makhluk itu yang perlahan berubah menjadi bangkai buaya yang mengambang di sendang.
Penunggu sendang?
Maksudnya Ki Boyo Gandru bukanlah makhluk penunggu sendang ini?

Merasa khawatir, akupun segera kembali ke tubuhku. Saat itu cahaya rembulan sudah menyinari tepat di atas kepala dan saat itu aku merasakan hawa menakutkan dari belakang tubuhku.
Ada sesosok makhluk di sana...
“Siapa kau?”

Makhluk itu tidak menjawab. Namun ia terus berada di sana seolah berniat mengintimidasiku.
Perlahan aku menolehkan kepalaku ke belakang. Ada perasaan yang mengerikan mendekat ke arahku, dan yang terlihat benar-benar membuatku tak percaya.

“Nyi...Nyi Sendang Rangu?” ucapku kaget.
Aku tidak mungkin salah. Sosok di hadapanku adalah Nyi Sendang Rangu yang kukenal, tapi kali ini ia diselimuti oleh amarah, dendam, dan perasaan benci atas apapun itu.

Aku mengingat wajah itu. Itu adalah wajah Nyi Sendang Rangu setiap berhadapan dengan makhluk-makhluk berdosa atau manusia yang bersekutu dengan iblis. Sosok yang tidak segan-segan menghabisi siapapun yang ia hadapi tanpa ampun.

Tanpa sadar Nyi Sendang Rangu berubah menjadi asap hitam dan mencekik diriku secara tiba-tiba.
“Nyi! Hentikan nyi!” pintaku padanya, tapi tak ia menghiraukanku.
Sebaliknya ia mengibaskan selendangnya dan menurunkan hujan dengan air yang berwarna hitam pekat.

Saat itu juga luka di tubuh Ki Boyo Gandru mulai menutup dan kembali mendapat kesadaranya.
Cengkraman tanganya semakin yakin untuk mematahkan leherku. Akupun menarik keris ragasukma dan menusukkan pada pergelangan tanganya.
Merasa kesakitan, iapun melepas genggamanya.

Tapi tanpa menunggu lama ia ingin segera menangkapku lagi.
“Nyi Sudah! Jangan kalah dengan nafsu jahat itu” teriakku.
Kali ini aku membacakan ayat-ayat suci untuk memanggil kesadaran Nyi Sendang Rangu tapi entah mengapa setiap bacaanku tak mampu menyentuhnya.

“Percuma, ini semua salahmu.. dengan aroma bangkai dan dosa seluruh pengguna sendang ini, Dewi Sendang tidak akan bisa mendapatkan kesadaranya lagi” ucap Ki Boyo Gandru yang mulai sadar.
Akupun mulai cemas.

Mungkin inilah yang terjadi saat ada orang yang memanfaatkan sisi gelap Nyi Sendang Rangu dengan mempersembahkan bangkai manusia.
Cukup sulit aku menjauh mengambil jarak dari Nyi Sendang Rangu. Menahan serangan dari selendang dan cengkramanya saja aku sudah kesulitan.

Belum lagi tubuhku terasa sangat panas ketika menatap matanya.
Jadi inilah rasanya menjadi lawan Nyi Sendang Rangu, pikirku.
Berbagai cara kugunakan untuk meloloskan diri darinya. Namun terlalu sulit untuk menjauh.

Ia tidak dapat kukalahkan dengan ilmu beladiri maupun doa-doa biasa.
“Maafkan aku Nyi..” ucapku sembari membacakan ajian di kepalan tanganku.
Sebuah ajian pukulan jarak jauh yang kuharapkan dapat sedikit melumpuhkan Nyi Sendang Rangu, Ajian Lebur Saketi.

Nyi Sendang Rangu terpukul mundur ketika ajianku menyerangnya. Aku berusaha melompat mengambil jarak, sayangnya tiba-tiba Ki Boyo Gandru sudah menunggu di belakang dan menangkap kakiku hingga aku terkapar di tanah.

Tak mau menyiakan kesempatan, iapun bersiap menerkam wajahku lagi. Kali ini aku sekuat tenaga menahan gigi-giginya yang tajam dengan keris yang ada digenggamanku.
Sialnya Nyi Sendang Rangu sudah bersiap mendekat dan menyerangku lagi.

“Kita habisi bocah ini Nyi..” ucap Ki Boyo Gandru.
“Khekehkeh..khek..khee...”
Tawa Nyi Sendang Rangu. Ia tertawa kegirangan sangat berbeda dengan Nyi Sendang Rangu yang kukenal anggun.

Sekali lagi aku membacakan ajian pada keris ragasukma hingga cahaya putih menyelimuti bilah kerisnya. Cahaya itu membuat mulut Ki Boyo Gandru terluka dan melepaskanku.
Akupun memilih untuk mundur dan menjauhi mereka berdua.

Aku berlari ke arah hutan yang jauh dari arah sendang. Namun aku tahu, Nyi Sendang Rangu dapat menyusulku dengan mudah.
Di tengah rimbunya hutan aku menerobos berbagai semak dan ilalang yang tumbuh lebat seperti tidak pernah tersentuh oleh manusia.

Aku membaca posisi Nyi Sendang Rangu dan berusaha menjauh dari keberadaanya. Tapi tiba-tiba pelarianku membawaku terjatuh ke sebuah dataran yang lebih rendah dengan sisa-sisa bangunan yang sudah tua di sana.
Ini seperti bekas sebuah rumah.

Aku mendekat ke bekas bangunan yang bahkan tidak tersisa lebih dari setengahnya. Ada tumpukan-tumpukan batu dan sedikit sisa kayu yang termakan tanaman merambat. Dengan hati-hati aku mencoba mendekat ke tempat itu.

Walau sudah tidak memiliki atap, namun pohon-pohon hutan dan berbagai tanaman seolah menggantikan atap rumah itu. Tumpukan batu menunjukkan susunan seperti kompor pawon jaman dulu. Aku menyimpulkan bahwa tempat ini dulunya adalah tempat tinggal.

Tak berapa lama sosok Nyi Sendang Rangu sudah berada di depan pintu bangunan yang kugunakan untuk masuk ke dalam. Aku bersiap dengan kerisku untuk menghadapinya, namun saat Nyi Sendang Rangu mendekat terjadi sesuatu yang aneh dengan dirinya.

Ia terjatuh.. wujudnya mulai berubah. Tidak lagi menjadi dewi sendang yang mengerikan, juga bukan Nyi Sendang Rangu yang ku kenal. Ia berubah seperti sosok perempuan desa biasa.
“Nyi...” ucapku mencoba memastikan keadaan dirinya.

“Danan, cepat pergi sejauh mungkin..” perintah Nyi Sendang Rangu.
“Nggak Nyi, kita cari cara untuk membereskan ini semua” balasku.

“Tidak Nan, Sendang itu sudah memiliki tumbal yang cukup.
Bangkai dan dosa yang ada di sendang itu akan menarik wujud terkutuk yang ada di dalam diriku” ucap Nyi Sendang Rangu.
“Tapi Nyi, akhirnya Nyi Sendang Rangu bisa kembali..” ucapku
Samar-samar wujud Nyi Sendang Rangu mulai berubah.

Aku khawatir namun sepertinya ia tak mampu menahanya.
“Tidak akan lama Nan, ingatan akan tempat inilah yang memanggil wujud ini..” jelas Nyi Sendang Rangu.
Aku mengingat cerita Nyi Sendang Rangu sebelumnya.

Ia pernah bercerita bahwa ia sempat tinggal di sekitar sendang untuk menjaganya. Apa tempat ini yang dimaksud olehnya?
“Berarti ini tempat tinggal Nyi sebelumnya?” tanyaku memastikan.

Nyi Sendang Rangu mengangguk. Namun dari jauh aku merasakan kedatangan Ki Boyo Gandru mendekat kearahku.
“Masuk Nyi, kita harus membereskan Ki Boyo Gandru terlebih dahulu..” balasku.

“Hati-hati nan, Ki Boyo Gandru adalah sosok yang dibesarkan di sendang ini oleh orang-orang yang berniat jahat” ucap Nyi Sendang Rangu.
Aku mengangguk, aku sudah membaca akan hal itu. Semoga saja warga desa bisa menemukan orang-orang itu.

Menyambut kedatangan makhluk itu, aku menggenggam keris tak jauh dari arah pintu masuk rumah itu. Ki Boyo Gandru tersenyum mendapati keberadaanku.
“Seranganmu tidak akan berguna, Dewi Sendang akan terus memulihkanku” ucapnya Sombong.

Iapun segera menerjang ke arahku dengan sangat cepat. Namun sayang, ia telah masuk ke dalam perangkapku.
Tepat saat ia melewati pintu, sukmaku yang telah bersembunyi di sisi rumah yang tertutup sulur pepohonan segera menghujamkan kerisku ke tubuh Ki Boyo Gandru.

Seranganku tepat mengenai lehernya dan membuatnya tak berkutik. Kali ini ia terjatuh dan kembali menjadi wujud seekor buaya.
“Dewi sendang... tolong saya..” ucap makhluk itu, namun Nyi Sendang Rangu tidak menggubrisnya.

Makhluk itu terlihat kaget saat mengetahui sosok yang ia andalkan itu menjadi sosok perempuan desa.
“Bocah brengsek!” buaya itu mengumpat melampiaskan kekesalanya.
Walau sudah sekarat sepertinya ia masih belum ingin menyerah.

Ia memuntahkan bagian tubuh manusia yang pernah ia makan dan membiarkanya berceceran di bangunan ini.
"Khekehekhe... aroma bangkai ini pasti bisa mengembalikanmu, jangan biarkan bocah ini berbuat seenaknya” ucap Buaya itu.

Benar saja, Nyi Sendang Rangu semakin rapuh. Bau dari bangkai itu memanggil kembali sosok gelap Nyi Sendang Rangu.
Akupun segera kembali ke tubuhku dan mendekati Nyi Sendang Rangu.

Aku membacakan ayat-ayat suci tanpa henti kepada Nyi Sendang Rangu untuk menahan wujud manusianya.
“Nyi Bertahan Nyi, kenangan Nyi Sendang Rangu di tempat ini dan ayat-ayat suci yang kubacakan pasti mampu mempertahankan wujud ini” ucapku.

Nyi Sendang Rangu sepakat denganku. Ia mengambil posisi berlutut sementara aku meruwatnya dengan membacakan ayat-ayat suci dari belakang tubuhnya.
Ki Boyo Gandru terlihat kesal, tapi lukanya sudah terlalu besar hingga akhirnya iapun kehilangan kesadaran.

Aku cukup lega, namun masalah belum selesai. Aku sama sekali tidak bisa meninggalkan Nyi Sendang Rangu dalam keadaan seperti ini. ia pasti akan kembali dalam wujud gelap itu saat aku berhenti membacakan ayat-ayat suci untuknya.

Cahyo terjebak dengan mayat-mayat hidup di pemakaman, dan kini aku tertahan di sini bersama Nyi Sendang Rangu.

Kini semua bergantung pada Tiko dan yang lainya. Semoga saja mereka bisa menemukan para pelaku itu dan membawanya ke salah satu dari kami.

***

Tiga hari berlalu, aku masih berada di bekas bangunan tempat dulu Nyi Sendang Rangu tinggal. Aku bertahan hanya dengan memakan biji-bijian dan akar rumput yang kutemukan di sekitar bangunan ini.

Beruntung beberapa kali air hujan sempat turun sehingga aku bisa menampung air untuk menghilangkan dahagaku.
“Apa kamu bisa menghubungi Paklek Nan?” Tanya Nyi Sendang Rangu.
“Nggak Nyi, semenjak masuk ke desa saja tidak ada sinyal di tempat ini. Apalagi di dalam hutan” balasku.

Sebenarnya aku ingin mencoba menyusul paklek dengan wujud sukmaku untuk meminta pertolongan, namun itu sangat beresiko. Kalau Nyi Sendang Rangu sampai lepas, ki boyo gandru akan bangkit kembali dan semua akan kembali seperti semula.

“Di tempat ini tempatku mensyukuri akan kehidupan pemberian Tuhan” ucap Nyi Sendang Rangu.
“Saat Nyi Sendang Rangu menyadari rasa sayang kedua orang tua nyi kan?” balasku mengingat apa yang pernah ia ceritakan.
Nyi Sendang Rangu mengangguk sembari tersenyum.

“Dugaanku benar nyi, ternyata Nyi Sendang Rangu memang sudah cantik sejak masih manusia” balasku.
“Cantik mana sama Naya?” ucap Nyi Sendang Rangu.
Aku tertawa mendengar balasan Nyi Sendang Rangu.

"Ya mohon maaf aja ya Nyi, jangan dendam. Buatku belum ada manusia lain yang secantik Naya” balasku sambil sedikit meledek.
Nyi Sendang Rangu memasang wajah cemberutnya, namun aku tahu itu Cuma bercanda.

“Memang harusnya seperti itu nan, jangan asal ngomong cantik ke semua perempuan. Ada hati Naya yang harus di jaga” balasnya.
Aku mengangguk tersenyum. Bisa-bisanya Nyi Sendang Rangu memberi wejangan dalam kondisi seperti ini. Tapi aku tidak mau menurut begitu saja.

“Tapi mungkin kalau diantara makhluk tak kasat mata, Nyi Sendang Rangu adalah makhluk tercantik yang pernah kulihat” ucapku lagi.
“Tuh kan gombal lagi, baru aja diomongin” balasnya.
Tapi aku sadar, Nyi Sendang Rangu tidak bisa menyembunyikan ekspresinya.

Ia terlihat tersipu mendengar ucapanku.
Yah.. setelah lama bersama di Jagad Segoro Demit. Perbincangan seperti ini sudah menjadi makanan sehari-hari untuk kami. Setidaknya perbincangan ini bisa membuatku terjaga untuk tidak tertidur.

Tapi entah sampai kapan tubuhku ini bisa bertahan.

***

Saat tubuhku mulai melemah, samar-samar aku merasakan perubahan pada roh Nyi Sendang Rangu. Aku menghentikan ayat-ayat suciku namun Nyi Sendang Rangu bisa memulihkan kembali perubahan rohnya.
“Nyi...”

“Iya Nan.. ada sesuatu yang berubah”
Nyi Sendang Rangu menyadari perubahan pada dirinya. Akupun memeriksa ke luar bangunan dan bau dari sendang tidak menyengat seperti sebelumnya.
Samar-samar aku mendengar suara kerumunan manusia dari arah sendang.

Aku menoleh kepada Nyi Sendang Rangu, ia mengangguk seolah menyetujuiku untuk memeriksanya.
Secepat mungkin aku meninggalkan bangunan itu dan berlari menuju sendang. Benar saja, warga desa berkumpul di tempat itu.

Akupun segera menghampiri Tiko yang terlihat sibuk dengan tubuhnya yang sudah dipenuhi kotoran dan air sendang.
“Mas Tiko! Tunggu!” ucapku menahanya.
“Eh, Mas Danan?” mas Tiko yang fokus dengan apa yang ia lakukan terkaget dengan kedatanganku.

“Ini semua apa mas?” Tanyaku bingung.
Tiko menoleh ke arah Fajri dan Mbah Sagimin yang akhirnya ikut mendekat kearahku.
"Maaf mas Danan, kami gagal menemukan pelaku yang berniat memanfaatkan kutukan sendang ini..” jelas Mbah Sagimin.
“Lantas, ini semua apa Mbah?” Tanyaku.

Fajri dan Tiko saling bertatapan ia seperti merasa ragu.
“Kami tidak yakin ini akan berhasil mas Danan. Tapi kalau memang kutukan itu berasal dari hal terkutuk yang ada di dasar sendang, biar kami warga desa membersihkanya dari dasar sendang” ucap Fajri.

Ucapan Fajri membuatku kaget. Saat itu juga aku menoleh ke seluruh warga desa yang berada di tempat itu. Beberapa melompat masuk ke dalam sendang dan keluar dengan membawa tulang belulang. Sebagian dari mereka menggali tanah untuk mengubur benda-benda itu.

“Nggak, ini benar akan berhasil Mas.. saya tidak menyangka ada yang kepikiran untuk membersihkan sendang seperti ini” balasku.
“Yang benar mas?” Tanya Tiko.
Aku mengangguk dan menceritakan tentang keberadaan Nyi Sendang Rangu sosok dewi sendang yang mulai kembali ke wujud baiknya setelah warga membersihkan sendang.

“Beberapa hari yang lalu mbah sagimin yang mengatakan bahwa makhluk penunggu sendang tidak lagi menjaga tempat ini.. saat itulah saya kepikiran dengan ide ini” ucapku.

Aku melihat pak sukoco tengah memimpin warga untuk membuat saluran air menuju aliran sungai yang sebenarnya cukup jauh. Ada sebuah pompa air yang mereka bawa dan mengalirkan air dari dalam sendang.
“Pak Sukoco tidak berfikir mengosongkan sendang ini kan Mas?” Tanyaku.

“Entah Mas, itu idenya... rasa sedihnya akan Srintil membuat ia befikir ide gila itu. Ia ingin memindahkan sebagian air sendang ini dan meratakan sendang ini dengan tanah di sekitarnya.” Ucap Tiko.

“Pak Sukocopun tidak yakin ini akan berhasil, namun ia tetap ingin mencobanya” Tambah Badrun yang baru kembali dari desa dengan membawa makanan yang dimasak oleh ibu-ibu desa.

Tanpa sadar suara perutku merespon makanan yang dibawa Badrun hingga mengeluarkan suara yang menggelegar.
“Nah, tepat waktu nih...“ balasku menyambut Badrun.

“Tenang mas, makan sepuasnya. Ibu-ibu lagi pada semangat masak.
Pak Karyo juga ngirimin sayur sama daging-dagingan dari desa Bonomulyo” Balas Badrun.
Dari arah jauh di belakangku aku melihat seorang perempuan muncul dari balik semak.

Ia memandangku sembari sedikit mengangguk menandakan dirinya sudah mampu mengendalikan keberadaan sosok gelap di tubuhnya.
Akupun menikmati masakan yang dibuat oleh warga desa.

Apapun yang dihidangkan padaku saat ini benar-benar terasa istimewa setelah beberapa hari menahan rasa lapar di bekas rumah Nyi Sendang Rangu.
“Nambah lagi mas, jangan ditahan” ucap Tiko.

“Iya mas, bisa dimarahin pak karyo aku kalau mas Danan kembali ke desa Bonomulyo dengan keadaan kurus begini” ucap Badrun
Aku tertawa sembari melahap nasi dan lauk secukupnya. Memang sepertinya aku merasa tubuhku sedikit lebih ringan dari biasanya.

Akupun memastikan tidak ada hal yang mengancam di sendang ini dan berpamitan untuk mengecek keadaan Cahyo.
“Mau ke Mas Cahyo ya mas? Tadi sudah saya turunin rantang di sana. Saya ajak ke sini nggak mau” ucap Badrun.

“Iya mas, dia kalau nggak dijemput pawangnya susah nurut” balasku iseng.
Merekapun tertawa sembari melanjutkan menghabiskan makananya. Sekali lagi aku menyaksikan Pak Sukoco yang masih sibuk dengan pekerjaanya.

Beberapa warga memaksanya untuk beristirahat makan terlebih dahulu, namun sepertinya ia masih merasa tanggung dengan pekerjaanya.
Bukan rasa bersalah, tapi aku melihat sebuah perjuangan dari Pak Sukoco agar tidak ada anak-anak lain yang bernasib seperti anaknya.

***

Aku menuju tempat pemakaman dimana Cahyo berada. Ia menikmati makanan yang diantarkan padanya di bawah pohon tempat kami bertemu beberapa hari lalu.
“Sini Nan, Makan..” panggil Cahyo.
“Sudah duluan Jul, santai aja.. masalah kutukan sendang sudah beres kok” balasku.

Sepertinya cahyo juga sudah tahu apa yang kubicarakan. Aku memperhatikan makam yang digunakan untuk mengubur jasad-jasad anak kecil yang menyerang desa tersusun dengan rapi. Kalau Cahyo melakukan ini, berarti ia yakin jasad-jasad itu tidak akan bangkit lagi.

“Yakin nan?” tanya Cahyo sembari melanjutkan makanya.
Aku berbaring di atas rumput sembari menikmati cahaya yang menembus pohon rindang yang memayungi kami.
Sembari menikmati suasana itu aku menceritakan tentang pertarunganku dengan Ki Boyo Gandru dan Nyi Sendang Rangu.

“Aku ngerasa nan, aku mencium bau Nyi Sendang Rangu tapi bedanya aku merasa terancam. Hampir saja aku menyusul ke sana” jelasnya.
Cahyo menceritakan bahwa jasad-jasad ini sempat bangkit beberapa kali, tapi mereka tidak mengarah ke desa melainkan ke arah sendang.

Tapi saat aku ingin menyusul wanasura menahanku, mungkin ia berpikir makhluk ini akan kembali menyerang desa bila aku pergi.
Akupun melanjutkan ceritaku tentang menemukan tempat tinggal Nyi Sendang Rangu dan melihat sosok manusia dari Nyi Sendang Rangu.

Cahyo penasaran, sebenarnya aku ingin bercerita lebih jauh, namun rasa kantukku mengalahkanku.
Siang itu aku tertidur di bawah pohon itu bersama Cahyo yang tertidur karena kekenyangan. Kami sama-sama sadar masih ada tugas yang harus kami selesaikan malam ini.

***

Desa Banyujiwo...
Sebuah desa yang menyimpan banyak kisah misteri yang diturunkan dari leluhurnya. Rasa peduli antar penduduknya menyelamatkan mereka dari niat jahat orang-orang yang berniat mencelakai warga desa itu.

Walau tak bernasib sial seperti salah satu desa yang berada di selatanya, sebuah kutukan telah merenggut ketenangan desa ini.
Tapi malam ini semua akan selesai...

Seluruh warga tertidur dengan tenang setelah kelelahan membersihkan Sendang Banyu Getih dari berbagai benda yang tenggelam di dasarnya. Mereka mengistirahatkan tubuhnya untuk kembali melakukan hal serupa esok harinya.

Kini giliran Aku dan Cahyo yang terjaga dan menunggu di beranda rumah Tiko.
“hati-hati Nan! Mereka sudah datang” Cahyo memperingatkanku.
Akupun merasakan beberapa sosok yang mendekat ke arah desa. Kami segera beranjak dan menuju Gapura Desa untuk menghadang mereka.

“Bocah-bocah lancang!”
Terdengar suara seorang pria paruh baya yang muncul dari dalam hutan. Ia mengenakan pakaian serba putih dan menggenggam sebuah keris di tanganya.
“Kalian tahu apa yang kami korbankan untuk menghidupkan sendang itu?”

Itu suara seorang nenek yang berada di salah satu sudut gerbang desa ini. Sepertinya Ia sudah lama berada di sana, tapi mengapa aku tidak menyadarinya?
“Aku masih membutuhkan tujuh pusaka lagi untuk pasukan-pasukanku. Kini pertukaranku tidak bisa dilakukan lagi”

Kali ini seseorang yang berbadan cukup besar muncul dengan beberapa sosok tak kasat mata di belakangnya. Sepertinya ia juga sudah siap akan sebuah pertarungan.
Aku dan Cahyo tidak gentar dengan kemunculan mereka.

Aku yakin sosok pria paruh baya itulah yang membunuh anak pak sukoco dan pura-pura membantu Mbah Sagimin dengan menyamar sebagai paranormal.
“Dia! Dia bocah yang bisa nyembuhin Menur Mbah.. hati-hati” seorang dukun yang cukup berumur menunjuk ke arah Cahyo.

Cahyo sedikit maju dan memperhatikan sosok orang itu. Ia datang bersama beberapa anak buahnya dan menghampiri pria paruh baya yang ia panggil mbah itu.
“Owalah, dukun yang hampir di bunuh menur to?” tanya Cahyo.

Orang itu merasa kesal dengan ucapan Cahyo tapi ia tidak bisa melawan. Ia tahu benar kekuatan Cahyo saat berhasil menolong menur.
“Jasad anak buahmu sudah dibawa ke permukaan oleh warga desa. Mereka menguburkanya dengan layak. Seharusnya kau berterima kasih” ucap Cahyo.

“Diam kau!” Dukun itu merasa kesal dengan ucapan Cahyo.
Pria Paruh baya itu mendekati kami dengan wajah penuh amarah, “Aku Mbah Branu yang akan menghabisi kalian”
Nenek tua di dekat kami meninggalkan tempatnya dan mengelilingi kami.

“Setelah itu jasad warga desa akan menjadi tumbal kami untuk membangkitkan sendang itu lagi” ucapnya.
“Sisakan untukku juga Nyai Jantri” tambah dukun berbadan besar itu.
“Yang penting ku habisi mereka dulu Ki Jawal” balas nenek itu.

Aku merasakan ada kekuatan yang mencoba memahan tubuhku untuk bergerak. Dengan cepat aku mengetahui ini adalah perbuatan sosok yang disebut dengan nama Nyai Jantri itu.
Tanpa meremehkanku sama sekali,

Ki Jawal memerinta anak buahnya yang berwujud bola api untuk menyerang tubuhku. Beruntung doaku dapat dengan mudah mengembalikan kebebasan tubuhku dan menghindari serangan itu.

Saat kami bersiap membalas seranganya tiba-tiba dari belakang kami muncul sosok bayangan yang melibas api itu dengan mudah.
Aku menengok ke arah belakang dan menyaksikan sosok yang kami kenal di sana.
“Kenapa bengong? Cepat selesaikan?” ucap sosok itu.

Nyi Sendang Rangu muncul di belakang kami dengan tenang dan menatap ketiga dukun itu satu per satu.
Sontak ketiga dukun itu gentar melihat keberadaan Nyi Sendang Rangu, mereka tahu sekali sosok di belakang kami inilah yang memiliki sisi gelap untuk memberi kutukan pada Sendang Banyu Getih.
“Sekalian saja kita habisi demit tak tahu diuntung itu, kita cari sesembahan lain yang bisa mengabulkan permintaan kita” ucap Nyai Jantri.

Pertarunganpun tidak terelakkan.
Di tengah istirahat warga desa malam itu berbagai sosok tak kasat mata mengelilingi desa terpikat dengan pertarungan ini.
Beberapa yang masih terjaga hampir tidak percaya dengan bola api yang melayang-layang melewati jendela-jendela rumahnya.

Suara auman hewan buas tanpa sosok membuat mereka bergidik ngeri mempertanyakan apa yang sedang terjadi di desa itu.
“Sebaiknya kalian jangan ganggu desa ini lagi” Ucapku di sembari beradu keris dengan Mbah Branu.

“Kalau aku setuju aku tidak akan ada di sini sekarang” balasnya.
“Aku sudah memperingatkan!” Balasku.
Bersamaan dengan itu aku menangkis seranganya dan memisahan rohku dari tubuh dan menusuknya dengan sosok ghaib keris ragasukma.
“Bocah Brengsek!” ucapya.

Aku kembali ketubuhku dan menarik tubuh Mbah Brabu ke arah Nyi Sendang Rangu.
“Tolong Nyi..” ucapku.
Nyi Sendang Rangu mendekat ke arah Mbah Branu. Seketika wajahnya berubah menyeramkan dengan kulit yang menghitam.

Aku tersenyum, kini Nyi Sendang Rangu sudah kembali seperti semula. Wujud itu hanya akan muncul untuk mereka yang memiliki niat busuk.
“Ja..jangan! Jangan mendekat!” Teriak Mbah Branu.
“Kenapa? Sosok itu kan yang kau puja-puja di sendang menjijikkan itu?” ucapku.

Nyi Sendang Rangu menyentuh kepala Mbah Branu dan menatapnya dari dekat. Saat Mbah Branu menatap balik ke Nyi Sendang Rangu seketika ia berteriak kesakitan. Matanya terasa panas hingga akhirnya keluar dari rongga matanya dengan sendirinya.

Ki Jawal dan Nyai Jantri panik melihat hal itu. Apalagi saat ini Cahyo hanya terlihat sedang bermain-main dengan anak buah dari Ki Jawal.

"Ini pusaka atau kalung anjing Ki?” Ledek Cahyo yang berhasil mengalahkan makhluk berwujud macan dan manusia berwajah anjing yang menyerangnya.
Tak mau kalah, Ki Jawal turun tangan. Beberapa benda pusaka terkalung di leher dan tersemat di tubuhnya.

Ia menyerang Cahyo dengan kekuatan yang begitu besar. Panasnya bola api yang mengikuti Ki Jawal merepotkan Cahyo dan membuatnya kesulitan untuk bergerak.
Tapi, Cahyo memilih untuk nekat..

Ia menerima serangan ki Jawal dengan tubuh yang diperkuat kekuatan Wanasura dan membalasnya dengan pukulan sekuat tenaga.
Nyi Sendang Rangu menangkap tubuh Ki Jawal, ia juga melakukan hal yang sama padanya

Tubuh Ki Jawal seperti meleleh saat tangan Nyi Sendang Rangu menangkap kepalanya.
Dengan bantuan Nyi Sendang Rangu, seluruh kesaktian yang mereka dapatkan dari sendang berhasil diputihkan. Setidaknya mereka tidak akan bisa menyerang dan menyakiti warga desa lagi.

Tanpa sadar, kami kehilangan keberadaan Nyai Jantri. Aku mencari ke sekitar namun gagal menemukanya.
“Dia kabur nan?” Tanya Cahyo.
“Iya! Aku nggak nemu..” balasku.
Aku mulai khawatir. Bila tidak membereskan Ilmunya juga, ia bisa kembali ke desa saat kami tidak ada.

“Mas Danan! Di sini mas!”
Terdengar suara Teriakan Tiko dari salah satu sisi desa.
Aku segera berlari ke sana dan melihat Tiko, Fajri, Mbah Sagimin dan beberapa warga desa sedang menghadang Nyai Jantri.

“Kalian sudah benar-benar menipu kami!” ucap Mbah Sagiman yang mengingat wajah Mbah Branu dan yang lainya.
“Jangan Mbah! Tiko! Nenek itu berbahaya! Cepat kembali ke rumah” aku teriak mencegah mereka.
“Nggak mas, kali ini kami nggak akan diam lagi” bantah Tiko.

Benar saja, hal yang kutakutkan terjadi. Tak berapa lama tiba-tiba Fajri terjatuh. Ia meronta seperti orang kesetanan. Saat nenek itu mengalihkan pandanganya ke orang lain, seketika orang itu juga melakukan hal yang sama.

Aku dan Cahyo segera berlari ke arah Nyai Jantri. Namun tiba-tiba Nyi Sendang Rangu sudah ada di belakang nyai jantri dan menggenggam kepalanya dari belakang.
Kali ini wajahnya tidak berubah mengerikan. Sepertinya keberadaan warga desa itu menahanya.

“Hentikan! Hentikan! Jangan ambil ilmuku!!!” teriak Nyai Jantri.
Nyi Sendang Rangu tidak mempedulikan ucapan Nyai Jantri dan terus menarik kekuatan dalam tubuhnya.
Perlahan wajah Nyai Jantri berubah semakin menua dan lemah. Bahkan jauh lebih tua dan kurus dari Nyai Jambrong.

Sepertinya ilmunya telah menggerogoti tubuh aslinya. Dengan tubuh selemah itu Nyai Jantri bahkan sulit untuk bergerak.

***

“Si..siapa itu?” Tanya Pak Sukoco yang kaget dengan sosok Nyi Sendang Rangu.
“Se..setan juga?” Tanya Badrun.

Aku berniat menjelaskan ke warga desa, namun Nyi Sendang Rangu menahanku. Ia tersenyum ramah ke warga desa yang kini mengelilinginya itu.
“Saya warga Desa Banyujiwo..” ucap Nyi Sendang Rangu.
Tiko dan warga desa lainya terlihat bingung dengan ucapan Nyi Sendang Rangu.

“Tapi dari beberapa ratus tahun yang lalu...” lanjutnya.
Setelah menyelesaikan ucapanya Nyi Sendang Rangupun menghilang dari pandangan warga desa. Entah kemana ia pergi, tapi sepertinya ia mendapatkan sesuatu yang ia harapkan dari tempat ini.

“I..itu, maksudnya apa mas Cahyo?” Tanya Tiko.
“Dia tinggal di desa ini jauh sebelum kalian, ia hidup saat sendang itu masih jernih” balas Cahyo.
“Sudah nggak usah takut, namanya Rahayu.. sepertinya dia ingin berterima kasih atas apa yang kalian lakukan dengan Sendang Banyu Getih” Tambahku.
Mbah Sagimin dan warga desapun bernafas lega. Saat itu aku bermaksud menahan Mbah Branu dan Ki Jawal, namun ternyata mereka sudah menghilang dari pandangan kami.

“Pasti dukun anak buah Mbah Branu yang membantu mereka kabur” ucap Cahyo.
“Biar Jul.. yang penting ilmu mereka sudah tidak ada. Setidaknya mereka tidak akan mencelakai warga desa lagi” Balasku.

***

“Mas, kok bisa tahu mereka akan datang ke desa ini?” Tanya Pak Sukoco.

Aku menatap ke arah Cahyo, kami menceritakan bahwa kami tidak menyangka akan tindakan warga desa yang membersihkan sendang dengan seperti itu.
Jelas hal itu akan membuat orang-orang yang berniat memanfaatkan sendang itu menjadi murka.

Kalau tidak malam ini, pasti akan ada malam-malam lain dimana mereka akan menimpakan kesalahan kepada warga desa.
“Kenapa nggak ngomong mas? Kita kan bisa bantu” ucap Fajri.
“Haha, tugas kalian kan lebih besar besok. Masih ada sendang yang harus dibersihkan” Balasku.

“Gantian aku dan Danan besok mau tidur seharian” tambah Cahyo puas.
Ucapan Cahyo saat itu bukanlah guyonan. Tepat setelah kami kembali ke rumah Tiko, aku dan Cahyo tertidur hingga sore hari. Kami terbangun karna Tiko dan yang lain sudah kembali dari Sendang.

Kami memastikan tidak ada kutukan lagi yang menimpa desa Banyujiwo setelahnya. Sementara itu, Ayah Tiko mengirimkan beberapa alat berat untuk membantu Pak Sukoco meratakan Sendang Banyu Getih agar air hujan tidak lagi menggenang di sana.

Kali ini bukan hanya kemampuanku dan Cahyo yang berperan menyelamatkan desa Banyujiwo. Niat tulus mereka untuk menghentikan kutukan di desanya dan usaha mereka yang tak terbayangkan benar-benar menolong mereka dari hal buruk di desa Banyujiwo.

Sebaliknya, dengan permasalahan desa banyujiwo, aku malah dapat sekaligus menolong Nyi Sendang Rangu yang sedang dimanfaatkan oleh dukun-dukun yang memanfaatkan sisi gelap dirinya.

Sebelum kembali, aku menyisir hutan di dekat sendang. Bangunan tua yang sudah dipenuhi tanaman merambat itu terlihat misterius di tengah rimbunya pepohonan.
Ada seorang perempuan di sana...

Ia mengenakan pakaian kebaya desa jaman dulu sembari tersenyum menatapi satu sisi bangunan.

Aku mengerti perasaanya, mungkin kali ini giliran Nyi Sendang Rangulah yang benar-benar merasakan ‘pulang’ setelah sekian lama ia berkelana.

~TAMAT~

Terima kasih sudah mengikuti kisah ini hingga akhir. mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian cerita yang menyinggung.

Semoga teman-teman berkenan untuk share dan meninggalkan komen untuk menjadi amunisi saya menulis cerita baru lagi..🙏
close