Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

DENDAM PATUNG ARWAH (Part 7 END) - Triwikrama


JEJAKMISTERI - Perasaan yang hangat seolah menyelimuti seluruh tubuhku. Aku mengenal perasaan ini, ini pasti api dari Keris Sukmageni milik Paklek.
Aku merasakan lukaku mulai menutup, tenagaku berangsur-angsur pulih.

Perlahan akupun mulai bisa membuka mata dan merasakan rintik-rintik hujan yang membasahi tubuhku.
Braak!!!
Terdengar suara seseorang yang terbanting ke pepohonan yang mulai tumbang. Tubuhnya terselimuti geni baraloka Paklek sehingga kembali bangkit.

Di sisi lain terlihat beberapa orang masih bertarung.
Ada sebuah pusaka digenggam oleh Mas Jagad. Ia tidak lagi menahan batas antar dimensi seperti tadi. Dengan ajian watugeni, ia menguatkan pusaka itu dan melemparkanya ke arah Ki Luwang.
Tu...tungu! Itu.. itu bukan Ki Luwang!

Mereka sedang bertarung melawan Wanasura!!
Aku memaksakan diriku untuk berdiri. Wanasura dengan tubuh yang lebih besar dan mengerikan dari Ki Luwang kini mengamuk tanpa arah dan semua sedang berusaha menghentikanya.

Bulunya yang emas mulai menghitam, ia termakan oleh amarahnya.
“Wa...Wanasura!!”
Aku berjalan tertatih mendekati sahabatku itu. Mengetahui aku telah tersadar, Danan segera menghampiriku dan menahanku.
“Jangan dulu Jul, dia masih tidak bisa mengenali siapapun?” ucap Danan.

“Kenapa bisa begini? A...apa yang terjadi?” Tanyaku.
Danan menceritakan saat Wanasura mengetahui aku tak sadarkan diri, ia mengamuk dan menghajar Ki Luwang habis-habisan. Tak ada sedikitpun kesempatan mereka untuk mengintrupsinya.

Makhluk yang sedari tadi menyusahkan dan hampir membunuh kami tak berkutik oleh serangan Wanasura. Sayangnya emosinya semakin memuncak dan menghancurkan apapun yang ada di sekitarnya.
mereka hanya bisa melindungi diri hingga akhirnya seluruh tubuh Ki Luwang hancur remuk.

Tapi.. Wanasura masih belum berhenti.
Ia mengamuk, membabi buta dan seranganya hampir mencelakai mereka semua. Kini mereka sedang mencari cara untuk menghentikan Wanasura dari amukanya itu.
“Tidak... aku harus ke sana” ucapku.

Danan mencoba menahanku, tidak.. ia tahu bahwa ia tidak bisa menahanku. Raut wajahnya lebih seolah memastikanku apakah yakin dengan keputusanku.
“Aku tenang Nan, aku bukan ke sana dengan membawa emosi” ucapku.

Dananpun mengerti, ia berpindah posisi dari yang sebelumnya di depan mencoba menghadangku, kini ia berada di sampingku.
“Ya sudah, Ayo!” ucap Danan.
Kami berdua berlari menghindari pepohonan yang beterbangan karena amukan Wanasura.

Saat di bahu Wanasura tadi aku merasa aman dan siap menghadapi siapa saja.
Tapi memandang Wanasura sebesar bukit sebagai lawan, benar benar membuatku tak bisa berhenti gemetar.

“Sukma Wanasura terhubung dengan Kliwon, jadi dia akan tetap selamat bila kekuatanya habis. Dan kesadaranya terhubung denganku, bila aku bisa menyatukanya kembali seharusnya ia bisa mengendalikan diri” ucapku.
“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Danan.

“Pusaka Pisau Batu itu adalah salah satu kunci ajian Triwikrama. Ia menyatukan ayat aksara yang dimiliki oleh makhluk-makhluk yang memiliki hubungan dengan kedewaan..” jelasku.
“Itu belum menjawab Jul..” balas Danan.

“Mungkin ada dua cara, yang pertama.. melepas pisau batu itu dari Wanasura. Atau beri waktu aku untuk menyadarkanya..” balasku.
Aku berkata seperti itu, namun aku tidak tahu pasti apakah kami bisa berhasil.
“Aku punya ide! Kita gunakan cara kedua!” ucap Danan.

Danan mengajakku berlari menuju Paklek.
“Paklek! Titip ya!” Teriak Danan yang segera menggunakan kekuatan Keris Ragasukmanya untuk memisahkan sukmanya dari dirinya.
“Kowe arep opo to Nan?” (Kamu mau apa sih Nan) Tanyaku bingung.

“Mungkin cara ini bisa memberimu waktu..” ucap Danan.
Ia menceritakan rencananya dengan memanfaatkan wujud sukmanya.
Selama ini Wanasura adalah wujud roh yang menumpang tubuhku. Tapi sekarang, Wanasura mempunyai tubuh Triwikrama yang dibentuk oleh pusaka pisau batu itu.

“Kita pernah denger manusia kesurupan roh monyet kan? Nah, sekarang kamu bisa liat Monyet kesurupan manusia..” ucap Danan yang segera melayang mendekat ke arah Wanasura.
“Heh! Danan! Yang bener aja kamu!” Teriakku.

“Bilang kalau kamu sudah siap!” Teriak Danan dari atas langit yang tengah mengunci posisi ubun-ubun Wanasura.
Nyi Sendang Rangu mendekat ke Danan, sepertinya ia membaca maksud Danan dan memberikan kekuatan untuk menjaga kesadaranya.

“Wanasuraaaaa!!!!” Aku berteriak sekuat tenaga memancing perhatian Wanasura, tapi gagal.
Inderanya telah dimakan emosi dan amarah. Aku harus mendekat ke mata atau telinganya untuk meraihnya.

“Danan sekarang!!” Teriakku saat tangan Wanasura melintas di depanku menghancurkan sekitarnya.
Danan merasuk ke tubuh Triwikrama Wanasura. Seketika Wanasura terdiam tak bergerak.
“Cepat panjul!!” Teriakk Wanasura dengan suara menyerupai Danan.

Gila! Rencana gila Danan benar-benar berhasil.
Secepat mungkin aku melompat ke tangan Wanasura dan berlari menuju pundaknya.
Wanasura tiba-tiba mencoba bergerak lagi.
“Tenang Wanasura! ini aku Danan..” ucap Danan yang berusaha menenangkan sukma Wanasura yang tertutup amarah.

Aku yakin saat ini Wanasura sedang tersiksa. Ada tiga kesadaran di tubuhnya. Danan, Pusaka pisau batu, dan kesadaranya sendiri.
Aku mendekat ke telinganya dan berteriak.
“Wanasura! Kembali!!” ucapku.

Mata Wanasura sedikit berkedut. Sepertinya aku berhasil memancing kesadaranya, tapi itu tidak cukup.
“Mas Cahyo! Hati-hati!!” Teriak Dirga dari jauh.
Danan memang hebat, sepertinya ia benar-benar bisa menenangkan sukma Wanasura dari dalam.

Kini aku harus bisa memancing ingatanya agar bisa mengalahkan emosinya.
“Danan! cukup.. lepaskan sukma Wanasura sekarang” pintaku.
“Kamu serius? Jangan Nekad!” Danan bingung.
“Iya! Pasti berhasil!” jawabku.

Dananpun terpental meninggalkan tubuh Wanasura. Sukmanya terlihat lemah, merasuki tubuh Triwikrama Wanasura benar-benar berbahaya. Terlambat sedikit saja, mungkin aku sudah membunuh Danan.
“Yang nekad itu kamu Nan!!!” Teriakku.

Akupun menaiki kepala Wanasura dan mendekat ke arah hidungnya. Wanasura kembali bangkit, tapi sebelum menjatuhkanku aku mengikat hidungnya dengan sarung pusaka kebanggaan milikku.

“Sadar!! Mau kelewatan pisang Mbok Darmi lagi??” Teriakku sembari membiarkan Wanasura merasakan keberadaanku dahulu.
Wanasura mendadak mencoba berdiri! Ia menatap sekitar dan mendapatiku ada di depan matanya.

Air mata Wanasura menetes. Aku merasakan apa yang ia rasakan saat itu.
Ia merasakan sebuah kesedihan saat melihatku dalam bahaya. Saat seharusnya ia seharusnya menolongku, ajian ini malah memilih mengajaknya untuk mengamuk membalaskan dendamnya.

Hasilnya, Wanasura malah melukai teman-temanku yang ada di sini.
“Sudah! Kita hentikan... kita tidak akan menggunakan ajian ini lagi” ucapku sembari memegang dahi Wanasura.
Bulu hitam Wanasura kembali menghilang, cahaya emas di bulunya kembali bersinar.

Namun itu hanya sesaat.
“Maaf, hampir saja aku membunuh kalian..” terdengar suara pusaka pisau batu itu yang juga mendapatkan kesadaranya.
Tubuh Wanasura kembali perlahan ke ukuran semula. Tidak... ia semakin mengecil dan sukmanya mulai pudar.
“Wanasura? Ka...kamu?” akupun panik.

Energi Wanasura perlahan mulai menghilang. Aku melihat wujudnya yang semakin memudar seolah akan sirna.
“Apa ini? apa-apaan ini?” tanyaku pada sosok pisau batu yang baru saja tergeletak setelah terpisah dari Wanasura.

Tidak ada jawaban apapun, di hadapanku saat ini hanya bayangan Wanasura yang mulai memudar. Aku melihat Wanasura memaksakan senyumanya dan terus menatapku.
“Ja...jangan!” Aku tidak mampu berkata apa-apa saat itu. Aku takut apa yang kupikirkan terjadi.

Tubuh Danan datang mendekat ke arahku dan mengambil pusaka pisau batu itu dari tanah.
“Dia tidak mati, sukmanya melemah hingga titik terendah. Tapi ada Wanasudra yang menjaganya, bukankah aku sudah menjelaskan resiko itu?” ucap tubuh Danan yang ternyata dikendalikan oleh pusaka pisau batu itu.

Sukma Danan mendekat, ia menyaksikan perbincangan kami di situ.
“Berarti, Wanasura masih hidup?” Tanyaku.
Ia mengangguk, namun tak lama tiba-tiba ia terjatuh.

“Maafkan saya, seharusnya saya tidak membuka ilmu itu” ucapnya.
“Bukan, itu semua keputusanku” balasku.
“Sama seperti Wanasura, sukmakupun habis. Sampai kekuatanku kembali lagi, aku hanya akan menjadi batu tidak berguna seperti sebelumnya” ucapnya.

“Istirahatlah yang tenang, tidak ada dari kami yang menyalahkanmu” ucap Danan.
Sukma pusaka itupun kembali ke wujud pisau batunya dan tak lagi memunculkan energi sebuah pusaka.
Danan segera kembali ke tubuhnya. Ia menyerahkan pisau batu itu padaku untuk kusimpan.

“Apa sudah selesai?” Tanyaku yang mulai merasa tenang.
Danan ingin menjawab pertanyaanku, tapi saat kami melihat sekeliling kami, keadaanya tidak seindah itu.
Paklek, Abah, Raden Topo, Dirga, dan Mas Jagad sedang menatap ke satu arah.
Ki Luwang...
Ia masih hidup.

***

Tubuh raksasa Ki Luwang sudah hancur berantakan. Paklek sudah membakar sebagian dari puing tubuhnya. Tapi dendam Ki Luwang masih belum reda.
Pengikut Ndoro Kasmolo yang masih menyembahnya mengalirkan kekuatan hitam yang memakan umur pengikutnya.

Walau tak sebesar tadi, Ia masih berwujud makhluk yang mengerikan.
“Abah mengerti, Ki Luwang tidak akan bisa mati bila ia masih memiliki penyembahnya. Ia bisa bangkit dan terus bangkit” Jelas Abah.
“Maksudnya, dia abadi?” Tanya Danan.

Abah menggeleng, ”tidak, bila pengikutnya sudah tidak ada. Ia bisa dikalahkan.”
Aku berpikir, tidak mungkin kami kembali ke alam manusia dan mencari semua pengikutnya untuk mengalahkanya.

“Dendamnya begitu mengerikan. Bahkan ia mengumpulkan anak-anak cacat untuk dijadikan patung penjaga” Ucap Dirga.
Raden Topo mengernyitkan dahinya dan menatap ke arah Dirga.
“Anak cacat? Ki Luwang mengumpulkan anak-anak cacat?” Tanya Raden Topo.

“Benar, sadis... dia membuat patung yang mirip anak itu, membunuhnya, dan memasukkan rohnya ke patung itu” jelas Dirga.
Raden Topo berpikir sejenak, ia sempat mengingat sesuatu yang sepertinya masih samar.
“Mungkin kita bisa memanfaatkan ini..” ucap Raden Topo.

Raden Topo bercerita tentang kisah masa lalu tentang anak-anak cacat yang dibuang oleh orang tuanya. Mereka dibuang di hutan yang penuh dengan binatang buas.
Semua orang mengira mereka akan mati di hutan belantara.

Tapi siapa sangka, suatu ketika beberapa warga melihat anak itu masih hidup dan terawat.
Ada seseorang yang merawat anak-anak itu.
“Bagaimana kalau Ki Luwang tidak membunuhnya? Ia merawatnya sebagai pengganti anaknya” tanya Raden Topo.

“Tidak mungkin, bagian tubuh mereka dimasukkan ke dalam patung dan rohnya diikat di sana” bantah Dirga.
“Itu karena Ki Luwang tidak ingin kehilangan anak-anaknya lagi. Oleh karena itu, ia menggunakan cara gila..” jelas Raden Topo.

Aku sama sekali tidak mengerti maksud Raden Topo. Apa hubungan cerita itu dengan pertarungan ini.
“Kalau dugaanku benar, mungkin saja anak-anak itu bisa menenangkan Ki Luwang” ucap Raden Topo.
“Tapi mereka sudah kami tenangkan, Raden!” Mas Jagad menjelaskan.

Raden Topo menghela nafasnya sejenak dan menatap ke keris dasasukma milik Dirga.
“Roh anak itu kalian tenangkan, tapi seharusnya mereka belum bisa kembali ke alam sana karena terikat dengan Ki Luwang” jawabnya.

Setelahnya aku tidak mengerti perbincangan Dirga, Jaga, Abah, Paklek dan Raden Topo.
Aku dan Danan memilih untuk mengawasi Ki Luwang yang tengah memulihkan dirinya.
“Setelah ini akan kubunuh kalian satu-persatu” ucap Ki Luwang menatap kami.

Aku dan Danan hendak melawanya, namun Nyi Sendang Rangu mengadang di depan kami.
“Cukup.. kalian sudah setengah mati” ucap Nyi Sendang Rangu.
“Tidak Nyi, kami masih harus menghentikan Ki Luwang” bantah Danan.

Nyi Sendang Rangu meniupkan angin dari belakang dan menjatuhkan kami.
“Cahyo tanpa kekuatan Wanasura dan kehabisan tenaga? Danan yang sudah kehabisan tenaga setelah merasuki Wanasura yang ber Triwikrama? Jangan ngawur!” Nyi Sendang Rangu memarahi kami.

“Tapi kita tidak bisa membiarkanya begitu saja” Ucap Danan.
Nyi Sendang Rangu melemparkan pandanganya ke arah Dirga dan yang lain. Ia seolah memberi kami isyarat.
“Sekarang kalian hanya penonton, pertarungan penentuan ini milik mereka” ucap Nyi Sendang Rangu.

***

Abah membacakan doa pada keris Dasasukma milik Dirga, setelahnya bergantian Raden Topo yang membacakan sebuah mantra. Sekilas aku melihat keris Dasasukma Dirga menyala seolah merespon mantra itu.

“Ada alasan mengapa keris ini diberi nama keris Dasasukma, apa kamu pikir ada manusia yang memiliki sepuluh sukma?” Tanya Raden Topo.
Dirga menggeleng.
“Karena sebenarnya, dia bisa menyatu dengan sukma lain selain pemiliknya” Jelas Raden Topo.

Saat itu Dirga tengah duduk bersila, dan Raden Topo meletakkan keris dasasukma di kepala Dirga. Mantranya membuat keris dasasukma menyala berkali-kali.
“Ingat wujudnya, dan panggil mereka.. keris dasasukma akan menjemputnya” ucap Raden Topo.

Aku menduga ritual itu akan lama. Sialnya, Ki Luwang sudah kembali mendapat wujud manusianya.
Ia berjalan mendekat dengan mata penuh dendam. Tubuhnya seperti seorang kakek yang terlatih pada umumnya, tapi yang mengerikan kekuatan hitam yang menyelimuti tubuhnya seolah bisa membunuh siapapun kapan saja.
“Sudah kubilang, aku akan terus bangkit untuk menghabisi kalian” ucapnya.

***

“Dia datang!” Peringatku.

Kami mencoba maju melewati Nyi Sendang Rangu yang masih menghadang kami, tapi Mas Jagad menarik baju kami dan meminta kami beristirahat.
“Kalian udah capek, Nonton kami saja..” ucap Mas Jagad.
Saat semakin mendekat, Ki Luwang mulai berlari dan menyerang kami, tapi sebelum itu terjadi tiba-tiba sebuah keris melayang dan mendarat di hadapan Ki Luwang.

Itu keris Dirga...
Ki Luwang tidak gentar, namun terdengar suara yang menghentikanya.
“Bapak...”
Itu suara anak perempuan..
Ki Luwang berhenti dan mencari asal suara itu.

“Bapak.. ini benar bapak kan?”
Tiba-tiba keris dasasukma yang menancap di tanah itu memunculkan sosok sukma seorang anak perempuan.
“I...itu Sutri?” Jagad terlihat seolah mengenai sosok roh itu.
“Mas Jagad kenal sama roh itu?” tanyaku.

“Dia roh dari salah satu patung yang kutenangkan di persembunyian Ki Luwang dulu..” Jawab Mas Dirga.
Roh? Itu roh yang dimasukkan Ki Luwang ke dalam patung? Lantas apa maksud Dirga melakukan ini.

Satu keris lagi melayang dan menancap di tanah tak jauh dari Ki Luwang. Kali ini ada roh seorang anak laki-laki.
Tak berhenti sampai di situ, beberapa wujud keris dasasukma kembali melayang dan mendarat mengitari Ki Luwang.

“Satu.. dua.. empat... Sepuluh? Sepuluh keris??” Aku menoleh ke arah Danan, mempertanyakan darimana kesepuluh keris itu berasal.
“Sudah kuduga, ada alasan mengapa keris itu bernama keris Dasasukma..” gumam Danan.
“Maksudmu gimana to Nan?” Tanyaku penasaran.

“Pembuat keris dasasukma pasti sudah memperoleh ramalan tentang kejadian hari ini. Dasasukma dapat menjadi wadah roh yang memiliki keterikatan dengan Dirga..” jelas Danan.

Kesepuluh keris itu benar-benar mengitari Ki Luwang. Wajah Ki Luwang yang sebelumnya bengis kini berubah bingung.
“Tidak mungkin! Kalian seharusnya tidak ada di sini!” Teriak Ki Luwang.
Roh Sutri mendekat ke arah Ki Luwang dan memeluknya.

“Bapak.. kami kangen!” Ucap Roh Sutri.
Anak-anak lainpun menatap Ki Luwang dengan berkaca-kaca.
“Minggir! Aku harus menghabisi mereka terlebih dahulu” Ki Luwang berusaha melepaskan Sutri dari tubuhnya.

“Jangan pak, bapak bukan orang jahat...” seorang anak lain mendekat dan memeluknya lagi.
Wajah Mas Jagad terlihat bingung, ia mendekat ke roh salah satu anak yang sepertinya juga mengenalnya.

“Kelik? Apa maksudnya ini? Bukankah Ki Luwang mengutuk kalian dan mengurung kalian menjadi patung penjaga?” Tanya Mas Jagad.
Roh kelik menoleh kearah kami semua dan tersenyum ke arah Dirga seolah memberikan salam. Sepertinya ada hal baik yang pernah terjadi diantara mereka.

“Aku ingat... kami semua adalah anak-anak yang dibuang oleh orang tua kami” Jelas Kelik.
“Kami cacat, aib bagi keluarga kami, orang-orang di desapun jijik menatap kami”
Kelik bercerita bahwa mereka semua dibuang di hutan dan dibiarkan mati oleh orang tua mereka sendiri.

Hal itu sudah lumrah terjadi di jaman itu untuk menghindari keturunan berikutnya bernasib sama.
Kelik sendiri dibuang di hutan karena lenganya cacat dan kecil sebelah. Ia dibuang di hutan setelah kakinya dipatahkan oleh orang-orang suruhan orang tuanya.

Ia ingat bagaimana ia ketakutan menangis saat malam datang di hutan itu tanpa ada siapapun yang datang menolong. Hawa dingin sangat menusuk dan rasa pedih akan perlakuan orang tuanya membuatnya lebih menderita.

Tapi di tengah keputus asaanya, Ki Luwang datang dan menemukan dirinya. Ia menggendong Kelik dan membawanya ke rumah tempat ia mengasingkan diri di dalam hutan.
Ternyata sudah ada beberapa anak lain di sana. Ki Luwang merawat mereka seperti anak mereka sendiri.

“Bapak pernah bercerita bahwa anaknya meninggal dengan cara yang keji, oleh karena itu ia tidak tega saat melihat keadaan kami.

Aku selalu mengingat setiap menjelang purnama bapak terduduk sendirian di belakang rumah bersama patung nyi sasma buatanya yang tengah menggendong patung anaknya yang tanpa kepala.

Saat itu kami pasti menyusul menemani bapak sambil bermain, bahkan sampai ketiduran di tanah.. tapi anehnya, besoknya kami sudah ada berada di dalam rumah di tikar kami masing-masing” Cerita kelik.

Kelik melanjutkan ceritanya dimana seharusnya Ki Luwang sudah bisa menerima takdirnya dan ingin hidup seperti itu saja bersama mereka. Tapi takdir tidak berniat membiarkan hal itu..
Mengetahui keberadaan Ki Luwang, tiba-tiba ada segerombolan pasukan yang menyerang ke rumah.

Pasukan itu dipimpin oleh seorang panglima dan seorang dukun kerajaan.
Saat itu, Ki Luwang tengah mengangkut batu dari bukit untuk ia buat kembali menjadi sebuah patung.

Dan saat ia kembali, ia mendapati kelik dan anak-anak yang lain tengah terkapar disiksa oleh prajurit yang datang menyerang rumahnya.
Prajurit itu ditugaskan menghabisi Ki Luwang yang merupakan keturunan keramat yang akan membahayakan mereka.

Sayangnya, kebrutalan mereka berimbas pada anak-anak yang diselamatkan oleh Ki Luwang.
“Anak-anak itu lebih berguna bila menjadi tumbalku” kelik mencontohkan ucapan seorang dukun yang menyerang rumah Ki Luwang.

Saat itu Ki Luwang yang tertangkap melihat dengan mata kepalanya sendiri anak-anak dihabisi oleh prajurit-prajurit itu. kepala anak-anak itu dibawa oleh prajurit itu untuk ditumbalkan.
Saat itu hanya kepala kelik yang tersisa dikarenakan ada cacat di wajahnya.

Ki Luwang begitu marah, saat itulah iya tahu bahwa ia memiliki kemampuan mematikan yang membuat orang-orang takut. Sebuah kemampuan dari garis keturunanya Trah Warnuguni.

Tanpa sengaja ia membangkitkan patung-patung yang ada di rumahnya dan melancarkan kutukan yang membuat tubuh para prajurit membatu dan kaku.
Semua prajurit itu mati, tapi ia menyisakan dukun itu dan panglima yang memimpin kelompok prajurit itu.

Ki Luwang yang sudah kehilangan akal sehatnya memenggal dukun itu dan membedah tubuhnya. Ia menjadikan organ dan tulang belulang tubuhnya menjadi bahan patung dan menciptakan patung berkepala kambing. Ndoro Kasmolo..

Sang panglima juga bernasib sama, ia menyatukan semua roh prajurit dan panglima itu menjadi sebuah patung agar rohnya saling bertarung menguasai tubuh patung itu. Sebuah patung yang dinamai Raden Rogo Biryono...

Tak mampu menemukan kepala anak-anak yang sudah dibawa pergi, Ki Luwangpun khawatir bila roh anak-anak tersiksa dijadikan tumbal.
Iapun memutuskan menarik roh anak-anak itu, menggunakan bagian tubuhnya, dan menjadikanya patung agar tidak menjadi tumbal kerajaan.

Saat itu hanya keliklah yang tubuhnya masih memiliki kepala untuk mengingat semua kejadian ini.
Sejak saat itu, Ki Luwang menjadi sosok yang tidak berperasaan.

Ia memburu prajurit dan keturunan Darmawijaya yang masuk ke hutan dan membangun rencana untuk menghabisi seluruh keturunanya setelah ia mati.

***

Kisah dari Kelik benar-benar membuat aku dan Danan menahan nafas.

Sebelum menjadi setan mengerikan, ternyata Ki Luwang adalah korban kebuasan jaman saat itu.
Kelik yang matanya sudah berkaca-kacapun tak tahan untuk mengampiri sosok yang ia anggap sebagai bapak itu.
“Sudah pak, kita pergi... kita bisa sama-sama lagi” ucap kelik.

“Kami sudah menunggu bapak sangat lama, kami kira bapak akan kembali...” tambah Sutri.
“Nggak ada yang nyanyiin kita lagi pak kalau malam... rumah di hutan itu sepi”

***

Tatapan Ki Luwang berubah, dendamnya mulai memudar. Iapun berlutut di tanah dan memeluk anak-anak itu.

“Apa kalian sudah tenang?” Tanya Ki Luwang sembari menitikkan air mata.
Anak-anak itu menggeleng.
“Kami menunggu bapak..” balas Sutri.
“Kami bisa pergi, seandainya kami bisa yakin bahwa bapak akan baik-baik saja” tambah Kelik.

Ki Luwangpun semakin menangis memeluk anak-anak yang tubuhnya tidak sempurna itu, ia menggeleng berkali-kali..
“Tidak.. tidak bisa” ucapnya.
“Bapak tidak bisa tinggal di sini lagi tanpa kalian...”
Ki Luwangpun berdiri sambil tetap menggandeng anak-anaknya itu.

Ia menatap ke arah Dirga, Abah, dan Raden Topo yang memunculkan roh anak-anak itu dengan keris Dasasukma.
“Biarkan aku ikut bersama mereka” ucap Ki Luwang pada mereka bertiga.
“Ki Luwang sudah memaafkan kami?” Tanya Dirga dengan polosnya.

Sekali lagi Ki Luwang menggeleng, kali ini dengan tersenyum.
“Trah Darmawijaya tidak memiliki dosa terhadapku. Ucapan istriku benar, prajurit Darmawijaya memegang teguh harga dirinya.

Aku saja yang telah gelap mata dan tertutup oleh dendam.. Kalau ada yang mencela Trah Darmawijaya, aku yang menjamin bahwa itu salah” Ucap Ki Luwang yang berubah seratus delapan puluh derajat.
Tapi Ki Luwang belum selesai dengan perkataanya.

“Saat ini aku bisa mengikhlaskan dendamku, tapi kalian juga harus berhati-hati. Mungkinsaja masih ada penerus kerajaan Pakujagar yang berniat jahat kepada kalian” ucapnya.
Raden Topo dan abah mendekat ke arah Ki Luwang.

“Kami pastikan saat mereka muncul, mereka tidak akan bisa berbuat seperti yang mereka lakukan padamu” ucap Abah.
Ki Luwang terlihat menarik nafas lega dan menatap ke sepuluh roh yang diwadahi oleh keris dasasukma itu.
“Biarkan aku pergi ke tempat mereka” ucap Ki Luwang.

Raden Topo mengangguk dan menghampiri mereka.
“Biar mereka yang mengantar kepergianmu” ucap Raden Topo yang meletakkan tanganya di punggung Dirga.
Dirgapun merubah posisi tanganya, seketika roh anak-anak itupun tertarik ke dekat kesepuluh keris dasasukma itu.

Keris yang menancap di tanah itupun melayang, berputar dan menari di langit bersama kesepuluh sukma anak-anak itu.
Ki Luwang menatap mereka sambil tersenyum dan menyambut kedatanganya.

Bersama anak-anak itu, kesepuluh keris dasasukma bergantian menembus tubuh Ki Luwang memurnikan dirinya yang sudah berubah menjadi setan.
Tepat saat keris kesepuluh menembusnya, iapun menghilang bersama kesepuluh anak yang menganggapnya sebagai seorang ayah.

***

Aku tidak menyangka akan berakhir seperti ini. Kebencian kami akan Ki Luwang seketika sirna ketika mengetahui masa lalunya. Semoga saja hal baik yang ia lakukan terhadap anak-anak itu bisa membantu mengurangi dosa-dosanya.
Prakkk!!!

Terdengar suara pusaka yang pecah dari tangan Mas Jagad.
Saat itu juga Mas Jagad membacakan sebuah ajian dan mengembalikan kami ke pelataran Wisma tempat kami berada sebelumnya.
Tempat yang sebelumnya kering ini seketika menjadi basah dengan hujan Nyi Sendang Rangu.

Seperti biasa, Danan terbaring di tanah menikmati rintikan hujan Nyi Sendang Rangu. Akupun sama, sepertinya tidak ada salahnya menikmati hujan ini sebentar setelah pertarungan yang menguras perasaan tadi.

Sekilas aku melihat Paklek menghampiri Dirga yang tengah kehabisan tenaga. Ia menggotong tubuhnya dan menghangatkan tubuhnya dengan api dari Keris Sukmageni.
Mas Jagad masih termenung meratapi banyaknya pusaka yang ia hancurkan.

Tapi saat itu Teh Siti menghampirinya dan mengajaknya untuk berteduh.
Nyi Sendang Rangu hendak pergi, tapi sepertinya ada suatu hal yang ingin disampaikan olehnya.
“Cahaya dari prasasti itu tidak berhenti bersinar” ucap Nyi Sendang Rangu.

Benar juga, salah satu dari cahaya itu berasal dari Alas Sewu Lelembut yang berbatasan dengan desa Gandurejo.
“Apa itu ada pertanda khusus nyi?” tanya Danan penasaran.
“Prasasti itu menjaga sesuatu, ada hutan terlarang yang tertutup dimasuki oleh siapapun. Tapi ketika ketujuh prasasti itu bersinar, itu menandakan ada yang berusaha membukan hutan ini..” jelas Nyi Sendang Rangu.
“Apa itu berbahaya?” tanyaku.
Nyi Sendang Rangu mengangguk. Sayangnya ia tidak bisa menceritakan lebih jauh.

Menurutnya, ia sendiri belum mengetahui apa yang terdapat di hutan tertutup itu.
“Bersiaplah akan sesuatu yang lebih besar lagi, mungkin saja kalian akan membutuhkan pihak lain...” jelas Nyi Sendang Rangu yang menghilang bersama rintikan hujan yang ia bawa.

Aku saling bertatapan dengan Danan. Baru saja kami selesai menghadapi pertarungan yang mengerikan, kini Nyi Sendang Rangu sudah meminta kami untuk bersiap akan sesuatu yang lebih besar.

Semoga saja kami masih memiliki waktu untuk melatih diri dan iman kami sebelum waktu bencana itu tiba.

***

Sudah beberapa hari setelah pertarungan itu berlalu, kamipun kembali ke rumah Abah tempat motorku masih di titipkan.
Kali ini tidak seperti sebelumnya. Aku, Danan dan Dirga benar-benar menikmati suasana pasar malam tanpa adanya gangguan.

Seperti kesurupan, Danan tak henti-hentinya berkeliling mencari jajanan yang bahkan sudah hampir tidak muat di mulutnya.
“Nan, sing nggenah kowe.. mangan opo kesetanan?” (Nan, yang bener kamu? Makan apa kesetanan) tanyaku.

“Ngeleh! Kowe lali aku puasa pirang dino pas dadi patung?” (Laper! Kamu lupa aku puasa berapa hari pas jadi patung?) ucap Danan.
Aku menggeleng melihat tingkahnya, untuk kali ini hobi rakusku kalah oleh Danan.
“Bilang aja mas Cahyo juga kepengen kan?” Ledek Dirga.

“Tau aja kamu Dirga, sini Nan aku pegangin batagornya!” ucapku pada Danan.
“Heh!! Pegangin mah pegangin aja, jangan dimakan!!” Protes Danan yang megejarku.
Aku berusaha menghabiskan batagor itu sebelum tertangkap oleh Danan.

Tapi saat itu aku terhenti dengan sebuah pemandangan.
“Sini balikin!” teriak Danan sembari menarik kembali plastik batagor yang telah kosong.
Wajahnyapun menjadi cemberut dan segera membanting plastik kosong itu ke tong sampah di dekatnya.
“Bisa-bisanya kamu Jul!"

“SSsst..” Aku menyuruh Danan Diam dan melihat ke satu arah.
“Sini-sini” ucapku memanggil Danan dan Dirga dan merekapun mendekat.
“Itu bukanya Mas Jagad?” Tanyaku pada mereka berdua.

Merekapun melihat ke arahku memandang dan menemui Mas Jagad yang tengah menaiki permainan bianglala pasar malam bersama seseorang.
“Itu Teh Siti kan?” Tanya Dirga.

“Iya nggak salah lagi...” Balas Danan.

Kami bertigapun saling bertatapan dan memasang senyum busuk.

Tepat saat permainan yang dimainkan oleh Mas Jagad selesai, iapun turun dengan melihat kami bertiga yang sudah menantinya dengan wajah siap meledek.

“Tadi ada yang pamit sama Dirga mau ke acara karang taruna mas..” Teriak Dirga ke arah Danan.

“Wah ternyata Karang tarunanya ada di pasar malam ya!!” Ledek Danan bersahutan dengan ucapan Dirga.

“Iya, mungkin nama kegiatanya survey permainan bianglala pasar malam bersama perempuan cantik” tambahku sembari menatap Mas Jagad dan Teh Siti yang wajahnya kian memerah.

“Kalian kenapa bisa ada di sini?” Tanya Mas Jagad.

“Kiliin kinipi bisi idi di sini?” Ledek Dirga.
Jagadpun meninggalkan Teh Siti dan bersiap mengejar Dirga.

“Yah Teh Siti ditinggal, awas nanti nyantol sama Danan lho..” ledekku.

Mas Jagadpun berhenti dan kembali, sementara Dirga masih berusaha meledek Mas Jagad.

Kami tertawa tanpa henti saat itu, sampai tiba-tiba terdengar suara teriakan yang ricuh dari rumah hantu di sana.

“Kesurupan! Ada yang kesurupan!!”

Kami mendengar teriakan itu dari dekat rumah hantu. Dengan segera kamipun berlari ke sana mencari tahu apa yang terjadi. Kami khawatir apa masih ada hal buruk yang tertinggal di tempat itu.

Saat kami mendekat dan mencoba untuk masuk, tiba-tiba kami tertahan dengan petugas yang berusaha menenangkan pengunjung.
“Sudah, sudah aman.. sudah ada yang membantu ngusir setanya” ucap petugas.

“Yang benar mas?” tanya pengunjung.

“Iya, sudah aman. Tapi tempat ini ditutup dulu ya. Besok baru dibuka lagi” ucap petugas itu.
Kamipun bernafas lega mengetahui kenyataan itu. Tapi saat kembali, samar-samar aku dan Danan merasakan sesuatu yang aneh melintas di dekat kami.
“Nan?” tanyaku.

“Iya...” Rupanya Danan juga menyadarinya.

Kami mencari asal sesuatu yang menggugah firasat kami, tapi tidak ada apapun di sana. Yang terlihat hanya pengunjung biasa yang mengenakan seragam cokelat seperti seorang guru yang melintas di dekat kami.

Akhirnya kamipun kembali menikmati pasar malam itu hingga tutup.
Kami memutuskan untuk tinggal cukup lama di rumah abah. Masih banyak yang bisa kami pelajari di tempat ini.

Walau merupakan bagian dari Pulau Jawa, Tanah Pasundan ternyata memiliki banyak misteri yang jauh dari jangkauan kami.

Mungkin dengan lebih lama di tempat ini, kami bisa sedikit mempelajari peninggalan-peninggalan di tanah ini, dan ilmu yang bisa membuka mata kami lebih lebar untuk memandang dunia.
Apalagi... kami masih betah meledek Mas Jagad yang sedang mencoba mendekati Teh Siti.

~TAMAT~

Terima kasih sudah membaca kisah ini hingga Tamat. Semoga cerita ini bisa menghibur dan berkesan buat teman-teman pembaca.

Mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian yang menyinggung.

Minggu depan mungkin akan dijeda dengan lanjutan kisah babad topeng ireng terlebih dulu.
close