Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SUMUR PATI (Part 30) - Pertarungan Di Lereng Lawu 2


JEJAKMISTERI - "WULAAANNN...!!!" Lintang menjerit keras saat melihat tubuh Wulan tiba tiba terpental dan menghantam batang pohon dengan cukup telak. Beruntung gadis itu masih sempat memutar tubuhnya, hingga kepalanya selamat dari benturan mematikan itu, meski ia harus merelakan punggungnya untuk dijadikan korban.

"Wulan! Kamu nggak papa?" Lintang berseru cemas sambil berlari menghampiri Wulan.

"Arrrgghhhh...! Pung... gungku!" Wulan meringis, berusaha bangkit sambil memegangi pinggangnya yang terasa remuk redam. "Kakek itu..., belum pernah aku merasakan sakit yang seperti ini! Serangannya yang barusan itu, ilmu apa yang digunakannya?! Mudah sekali dia mematahkan seranganku, dan justru menyerang balik! Bahkan dia nyaris tak bergerak sama sekali saat menyerang tadi!"

"Makanya, jangan bertindak sembrono!" gerutu Lintang sambil menempelkan kedua telapak tangannya di punggung Wulan. Hawa dingin ia salurkan untuk meredakan rasa sakit yang dirasakan oleh Wulan, sekaligus untuk mendeteksi kalau kalau ada cidera yang serius. Tapi sepertinya Wulan baik baik saja. Hanya sedikit luka memar yang ia temukan di tubuh gadis itu.

"Kakek itu sepertinya bukan orang sembarangan Lan. Bertarung dengannya sepertinya bukanlah pilihan yang tepat," ujar Lintang lagi.

"Bukan pilihan yang tepat katamu?" Wulan mendelik ke arah Lintang. "Sudah jelas jelas dia mau melecehkan aku Mbul! Apa kau rela kalau kakek tua berotak mesum itu...."

"Eh, bukan begitu maksudku Lan, tapi..."

"Tidak Mbul! Dia sudah sangat keterlaluan! Aku harus memberinya sedikit pelajaran!"

"Tapi Lan..." ucapan Lintang tertahan, karen kini dilihatnya Wulan kembali maju dan siap menyerang. Entah kenapa, kali ini tak ada niat sama sekali untuk mencegah tindakan nekat Wulan itu. Hati kecilnya justru ingin melihat, pertarungan seperti apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Ini aneh," batin Lintang sambil memperhatikan Wulan yang semakin mendekat ke arah si kakek. "Tak biasanya aku merasakan perasaan yang seperti ini. Tindakan Wulan itu, jelas sangat membahayakan dirinya. Tapi kenapa aku sama sekali tak merasa khawatir? Aku justru ingin melihat apa yang akan dilakukan Wulan selanjutnya. Apakah ini sebuah firasat, bahwa kami disuruh datang kesini memang untuk bertarung dengan kakek itu? Kalau iya...., ah, biar kulihat dulu apa yang akan terjadi selanjutnya. Toh Wulan masih baik baik saja. Kalau nanti terjadi sesuatu yang mwbahayakn keselamatannya, baru aku akan turun tangan!"

Berpikir begitu, Lintang lalu duduk bersandar pada batang pohon tempat Wulan terhempas tadi, sambil terus memperhatikan Wulan yang kini telah berhadap hadapan dengan kakek misterius itu.

"Heh! Kakek pikun!" Wulan beteriak lantang. "Ilmumu lumayan tinggi juga ternyata! Tapi kau salah kalau berpikir bisa mengalahkanku semudah itu! Ayo, kita lanjutkan permainan kita!"

"Hehehe....!" kakek tua itu tertawa terkekeh. "Kau mau bermain main denganku cah ayu? Bagus! Aku suka ini! Gadis muda yang binal, kurasa cocok untuk..."

"Tutup mulutmu tua bangka!" Wulan semakin meradang mendengar ucapan kotor si kakek tua itu. "Atau akan kusumpal mulut kotormu itu dengan ini!"

"Bluurrrrpppp...!!!" Api berkobar dengan cepat menyelimuti kedua kepalan tangan Wulan, saat gadis itu menyentakkan kedua tangannya kesamping. Lalu dengan diiringi dengan teriakan keras, kobaran api itu ia sentakkan kedepan.

"Whuuuusss...!!! Whuussss...!!! Whuussss...!!!" kobaran kobaran api berbentuk bola bola sebesar kepala melesat bertubi tubi kearah si kakek yang sepertinya masih tenang tenang saja mendapat serangan beruntun dari Wulan itu. Ia justru bertolak pinggang sambil tertawa terkekeh kekeh.

"Hehehe...!!! Ayo cah ayu! Keluarkan semua kemampuanmu! Semakin kau marah, maka aku semakin senang! Kau tambah cantik kalau marah cah ayu!" kakek itu tergelak, tanpa memperdulikan kobaran api kobaran api yang semakin mendekat ke arahnya, hingga saat bola bola api itu tinggal berjarak sejengkal dari tubuhnya, bola bola api itu tiba tiba padam dengan sendirinya.

"Ceessss..!!! Ceessss...!!! Ceessss...!!!" tersengar suara seperti besi panas yang dicelupkan ke air, saat bola bola api ciptaan Wulan itu padam didekat tubuh sang kakek, membuat Wulan semakin meradang.

"Ciaaaaatttt....!!!" sadar bahwa serangannya begitu mudah dipatahkan, Wulan nekat melesat kedepan. Kedua kepalan tangannya yang masih berkobar ia arahkan tepat ke kepala si kakek itu.

"Hehehe...!!! Bagus! Mendekatlah kemari cah ayu, biar kupeluk tubuh...."

"Cerewet! Kubunuh kau kakek mesum!" Sambil terus melesat maju, Wulan menambahk energi ke kedua tangannya, hingga kini bukan hanya kedua kepalan tangannya saja yang berkobar, namun juga kedua lengannya.

"Whuuuussss...!!!" hawa panas ssmakin kuat memancar dari tubuh Wulan. Namun si kakek tua tampak masih tenang tenang saja. Hingga saat kedua kepalan tangan Wulan sudah nyaris mwnghantam kepalanya, kakek tua itu berteriak keras sambil menghentakkan sebelah kakinya ke tanah.

"NGGEBLAAAKKK...!!!"

"Whuusss....!!!"

"Brruuugghhh...!!!"

"Arrgghhhh...!!!"

Wulan mengerang, saat tiba tiba tubuhnya terjengkang kebelakang dan jatuh dalam posisi terlentang. Api yang berkobar di kedua kepalan tangannyapun padam seketika. Si kakek kembali terkekeh, mentertawakan kesialan yang menimpa Wulan, sambil melangkah tertatih mendekati gadis itu.

"Hehehe...!!! Hanya segitu kemampuanmu cah ayu? Sangat menyedihkan! Ternyata kemampuanmu tak sebanding dengan mulut besarmu! Ayo! Bagkitlah! Akan kutunjukkan pertarungan yang sesungguhnya itu seperti apa!"

"BERISIK!!!" merasa ditantang, Wulan melompat bangkit sambil kembali mengibaskan kedua tangannya. Api kembali berkobar. Namun kali ini si kakek tua sepertinya mulai serius. Belum sempat Wulan melancarkan serangan, si kakek mendahuluinya dengan mengayunkan tendangan ke arahnya. Tak disangka, kakek yang terlihat lemah itu ternyata cukup gesit. Gerakannya nyaris tak tertangkap oleh mata telanjang, hingga Wulan tak punya kesempatan untuk menghindar. Alhasil, gadis itu hanya mampu menyilangkan kedua tangannya yang masih berkobar di depan dadanya, berusaha menangkis tendangan si kakek.

"Blllaaaarrrr...!!!" dua kekuatan besar beradu, menimbulkan suara ledakan yang Cumiakkan telinga. Si kakek tersurut mundur dua tindak, sementara Wulan, tubuhnya terlempar jauh sebelum akhirnya jatuh bergulingan diatas tanah. Si kakek yang sepertinya tak mau memberi kesempatan kepada Wulan, kembali menyerang bahkan sebelum Wulan sempat bangkit. Alhasil Wulan lagi lagi hanya mampu menahan serangan si kakek dengan menangkis serangan itu dengan kedua tangannya.

"Dhuuuaarrr...!!!" kembali dua kekuatan besar beradu. Dan lagi lagi Wulan harus mengakui kekuatan si kakek. Tubuhnya kembali terpental dan jatuh bergulingan. Darah segar mulai mengalir dari kedua lubang hidung dan sudut bibirnya. Rasa sesak juga terasa menghimpit dadanya. Namun Wulan tak mau menyerah begitu saja. Sambil menyeka darah di kedua sudut bibirnya, gadis itu kembali bangkit, lalu menerjang kedepan.

Pertarungan semakin sengit. Wulan yang mulai sadar akan siapa lawannya, kini tak mau main main lagi. Energi yang ia keluarkan semakin ia perbanyak, hingga kini bukan hanya kedua kepalan tangannya saja yang berkobar mengeluarkan api, namun sekujur tubuhnya mulai diselimuti oleh kobaran api yang semakin membesar dan membesar.

Namun kemampuan yang diperlihatkan oleh Wulan sepertinya tak berpengaruh terhadap si kakek. Laki laki tua itu dsngan mudahnya mematahkan serangan demi serangan yang dilancarkan oleh Wulan, sambil sesekali balas menyerang pada titik viral pada tubuh Wulan.

Lintang yang menyaksikan pertarungan itu dari jarak jauh mulai gerah. Melihat Wulan menjadi bulan bulanan si kakek, Lintang segera bangkit. Dihelanya nafas beberapa saat, sebelum akhirnya ia melesat ke tengah kancah pertarungan sambil berteriak lantang.

"BAYU SAMUDROOOO...!!!" deru angin kencang berhawa dingin menyadarkan si kakek, bahwa lawannya kini bertambah. Namun kakek itu masih terlihat sangat tenang. Menghadapi dua serangan berkekuatan tinggi tak lantas membuat si kakek merasa kewalahan. Beberapa kali serangan bertubi tubi yang dilancarkan oleh Wulan dan Lintang berhasil ia patahkan. Sebaliknya, serangan balasan yang ia lancarkan dengan mudahnya sanggup menembus pertahanan Lintang dan Wulan, untuk akhirnya mendarat telak di tubuh kedua remaja itu, membuat keduanya beberapa kali harus terpental dan terjatuh.

Hingga pada entah serangan yang keberapa, Wulan dan Lintang benar benar tak berdaya. Keduanya terkapar, nyaris tak sanggup lagi untuk berdiri. Sementara si kakek, dengan pongahnya mentertawakan keduanya.

"Si..al!!!" Lintang merintih lirih, sambli menyeka darah yang keluar dari kedua lubang hidungnya. Diliriknya Wulan yang juga terkapar disebelahnya. Dan Lintang tercekat, saat mendapati seulas senyum aneh tersungging di bibir gadis itu.

"Hyang Candra!" Wulan merenggut bandana putih yang melingkar di lehernya sampai terlepas, memperlihatkan guratan guratan aneh yang menghiasi leher jenjang itu.

"Wulan! Ja...ngan!" sadar akan apa yang akan dilakukan oleh gadis itu, Lintang berusaha untuk mencegah. Namun apa daya, untuk sekedar menggerakkan tubuhnya saja ia sudah tak mampu, apalagi untuk menahan gerakan tangan Wulan yang mendekatkan ibu jari tangan kirinya ke arah bibirnya.

"Hyang Candra! Bantu aku melepaskan segel terkutuk ini!" Wulan mendesis tajam. Gadis itu lalu menggigit ujung ibu jari tangan kirinya, lalu mengoleskan darah yang keluar dari bekas luka gigitan itu ke guratan guraran aneh yang ada di lehernya.

"Astaga! Wulan...!" Lintang merintih, saat melihat seberkas sinar kekuningan memancar dari angkasa, menerpa guratan guraran aneh di leher Wulan, membuat guratan guraran aneh itu kini berpendar memancarkan cahaya yang sangat menyilaukan mata.

"Wulaaaannn....! Jangaaannnnn...!!! Arrrrggghhhh...!!! Sial! Kenapa juga kutinggalkan kalungku di desa!" Lintang merutuk sejadi jadinya, sast menyadari bahwa sudah tak ada kesempatan lagi untuk mencegah sesuatu yang sangat buruk yang akan segera terjadi. Ia hanya bisa menatap tubuh Wulan yang kini pelan pelan terangkat naik keatas. Pendaran cahaya menyilaukan itu kini telah menyelimuti sekujur tubuh gadis itu. Bahkan kedua mata gadis itu juga memancarkan cahaya yang sama. Dengan kedua tangan terentang kesamping, tubuh gadis itu pelan pelan berputar, lalu semakin cepat berputar, diiringi suara menggeram yang menggema ke seluruh penjuru lembah itu. Geraman yang terdengar sangat menyeramkan!

"GGGRRRRRRRR...!!! SIAPA YANG TELAH BERANI MEMBANGKITKANKU HAH???!!!"

*****

"Hyang Candra!"Wulan merintih lirih, sambil merenggut bandana putih yang melingkar di lehernya hingga terlepas, hingga gurat gurat aneh di leher putih jenjang itu kini jelas terlihat.

"Wulan..., ja...ngan...!" Lintang yang menyadari bahwa Wulan benar benar telah kehilangan kendali berusaha untuk mencegah tindakan nekat gadis itu. Tapi ia tak berdaya. Jangankan untuk mencegah, untuk sekedar bergerak saja ia sudah tak mampu. Hanya sebelah tangannya yang mampu ia angkat, untuk memberi isyarat kepada Wulan untuk menahan diri. Isyarat yang sia sia, karena kini Wulan telah menggigit ujung ibu jari tangan kirinya, lalu mengoleskan darah yang keluar dari luka bekas gigitan itu ke guraran guraran aneh yang berada di lehernya.

"Hyang Candra! Bantu aku melepaskan segel terkutuk ini!" Wulan mendesis tajam, seirng dengan tubuhnya yang bergetar hebat. Selarik sinar kekuningan tiba tiba terpancar dari atas langit, menyinari gurat gurat aneh di leher Wulan yang kini mulai berpendar memancarkan cahaya yang juga berwarna kekuningan.

"Wulaaannn....!!! Arrgghhhh...!!! Sial! Andai saja kalungku tak kutinggalkan di desa!" Lintang mengerang lirih, tanpa bisa berbuat banyak. Sudah terlambat untuk mencegah malaperaka yang mungkin saja akan segera terjadi.

Sementara si kakek misterius yang menjadi lawan mereka, justru tertawa terkekeh melihat keganjilan yang terjadi dengan tubuh Wulan. "Hehehe...! Rajah itu, sepertinya aku mengenalinya! Siapa yang membuat rajah itu di tubuhmu hah?! Berantakan sekali! Amatiran!"

Wulan yang pelan pelan mulai bangkit, kali ini sama sekali tak terpengaruh oleh ucapan si kakek. Gadis itu berdiri dengan kepala menunduk. Rambutnya yang panjang meriap riap tertiup angin kencang berhawa panas yang tiba tiba berhembus, sebagian menurupi wajah cantiknya yang kini terlihat begitu bengis. Pelan pelan gadis itu merentangkan kedua tangannya kesamping, seiring dengan tubuhnya yang juga pelan pelan terangkat, melayang beberapa meter diatas tanah.

"Hihihihi...!!!" Wulan tertawa mengikik, seiring dengan wajahnya yang mendongak keatas, memperlihatkan wajah bengisnya dengan kedua mata yang kini membeliak lebar memancarkan cahaya kekuningan, serta bibir yang terkatup rapat. "Tua bangka keparat! Hari ini, akan kutentukan takdirmu! Kau, yang telah berani mengusikku, akan kuhukum dengan caraku! Kau, akan kuhabisi kau hari ini juga!"

Pelan pelan tubuh Wulan berputar di udara, dengan kedua tangan masih terentang ke samping. Semakin lama putaran itu ssmakin cepat, seiring dengan api yang mulai berkobar dan membesar menyelimuti tubuh gadis itu.

"Hahaha...! Ini saat yang kutunggu tunggu! Ayo gadis manis, majulah! Kita lihat, seberapa besar kekuatan yang kau miliki itu!" si kakek yang sepertinya sama sekali tak gentar dengan perubahan wujud Wulan, justru duduk bersila diatas tanah, dengan kedua telapak tangan ia tangkupkan di depan dada. Kedua matanya ia pejamkan, sementara bibir keriputnya berkomat kamit merapalkan mantra.

Wulan yang semakin cepat berputar di udara, kini sudah tak terlihat lagi sosok tubuhnya. Hanya kobaran api berwujud manusia yang terlihat. Lalu dengan diiringi jeritan yang melengking tinggi, kobaran api itu melesat cepat, tepat mengarah ke arah si kakek yang masih duduk bersila.

"Sudah dimulai ya," si kakek mendesis, sambil membuka kedua kelopak matanya. Sebelah tangannya ia rentangkan kedepan, dengan telapak terbuka, siap menyambut serangan Wulan. Sementara tangan yang satunya tetap berada di depan dada.

"Matilah kau keparaaatttt...!!!" jeritan Wulan menggema, seiring dengan tubuh berkobarnya yang semakin cepat melesat, lalu...

"DHUAAAAARRRRR....!!!" benturan keras antara dua kekuatan besar yang beradu menimbulkan ledakan keras, hingga bumi terasa berguncang hebat. Kobaran api Wulan langsung terpental begitu berbenturan dengan telapak tangan si kakek, sementara si tubuh si kakek yang masih dalam posisi duduk bersila terdorong beberapa jengkal kebelakang.

"LEMAH...!!!" si kakek menggeram keras, sementara kobaran api Wulan yang telah berhasil menguasai keseimbangan kembali meluruk kedepan.

"Whuuuussss...!!!"

"Blegaaaarrrr...!!!"

Kembali benturan keras terjadi, disusul dengan ledakan yang lebih dahsyat lagi. Dan lagi lagi kobaran apu Wulan terpental, menghantam sebatang pohon besar yang langsung berderak patah, tumbang, dan terbakar.

"PAYAAAHHH...!!!" si kakek yang juga terjengkang kebelakang akibat benturan itu kembali berseru sambil berusaha kembali duduk bersila. Namun kobaran api Wulan sepertinya tak ingin memberinya kesempatan. Gadis yang sudah benar benar kehilangan kendali itu kembali meluruk kedepan sambil kedua tangannya melemparkan bola bola api yang dengan bertubi tubi menghujani tubuh si kakek.

Si kakek yang menyadari bahwa Wulan semakin meningkatkan serangannya, tak punya pilihan lain. Laki laki tua itu lalu memasang kuda kuda, berdiri dengan kaki terentang. Tangan kanannya ia kibaskan kesamping. Sebentuk tongkat cahaya panjang berwarna putih keperakan dengan ujung runcing kini tergenggam di tangan keriput itu.

"MENYEDIHKAANNN...!" si kakek kembali berseru sambil menyabetkan tongkatnya kedepan, menghantam bola bola api yang mengarah ke arahnya, hingga bola bola api itu terpental kesegala arah, membakar apapun yang ditimpanya.

"Whuusss...!!!"
"Dhuaaarrr...!!!"
"Blegaaarrr...!!!"

Ledakan ledakan keras kembali terdengar, disusul dengan deru kobaran api yang mulai merambat dan membakar apapun yang berada di arena pertarungan itu. Lintang yang menyaksikan pertarungan itu dari jarak jauh mencoba beringsut, menghindari hujan api yang semakin deras menghujani area lembah itu.

"MATILAH KAUUUU...!!!" suara Wulan menggelegar, seiring dengan tubuhnya yang melesat semakin mendekat ke arah tubuh si kakek. Hingga saat tinggal beberapa jengkal lagi, si kakek menghentakkan kakinya ketanah, lalu tubuhnya melesat keatas, menghindari benturan dengan tubuh Wulan. Alhasil, serangan Wulan hanya mengenai tempat kosong, menghantam tanah hingga melesak dan berhamburan kesegala arah.

"Blegaaarrr...!!!"

"Pengecuuutttt...!!!" Wulan yang semakin meradang mengejar sosok di kakek ke atas. Si kakek yang juga tak mau tinggal diam, menyambut serangan itu. Terlihat kini tubuh si kakek juga diselimuti oleh cahaya terang keperakan, pertanda bahwa laki laki tua itu juga telah meningkatkan serangannya

Lintang memandang takjub pada pertarungan itu. Sesosok kobaran api dan sesosok cahaya putih keperakan kini saling bersambaran di udara, melesat kesana kemari dengan sesekali saling berbenturan untuk kemudian saling terpental dan kembali saling menyerang.

"Lemah...!!!! Payah...!!!! Tak berguna...!!!" seruan si kakek terus terdengar disela sela pertarungan, seolah berusaha untuk terus memancing emosi Wulan. Sementara Wulan yang memang telah kehilangan kesadarannya terus menyerang si kakek dengan bertubi tubi.

"Ayo! Tunjukkan kehebatanmu! Kerahkan semua kemampuanmu! Atau memang cuma segini kemampuan yang kau miliki hah?!" si kakek terus menceracau.

"Grooaaaarrrr....!!!" Wulan menggeram semakin marah.

"Benar benar payah! Sepertinya memang harus dipancing ya! Baiklah kalau begitu, terima ini, HIYAAAAAA....!!!"

Cahaya putih keperakan milik si kakek menerjang kobaran api di tubuh Wulan. Kali ini sepertinya dengan kekuatan yang sedikit ditambah, sehingga kibaran api Wulan terpental dan kembali menghantam sebatang pohon besar. Tak cukup sampai disitu, sebelum Wulan berhasil kembali menguasai keseimbangannya, dari gumpalan cahaya keperakan milik si kakek meluncur deras sebatang tongkat cahaya berujung runcing yang dengan telak menghunjam ke tubuh Wulan.

"Whuuusss...!!!"

"Jreepppp...!!!"

"Heeegghhh...!!!"

"Wulaaaaannnn....!!!"

Lintang menjerit parau, manakala mendengar lenguh kematian yang keluar dari mulut Wulan. Matanya nanar menatap kobaran api yang semakin lama semakin memudar itu, hingga akhirnya padam dan memperlihatkan tubuh Wulan yang tekulai lemah, dengan tongkat cahaya milik si kakek yang menancap di dadanya, memaku tubuh gadis itu ke batang pohon besar.

"Wu...la...n...!!!" Lintang terperangah. Tubuhnya bergetar hebat. Terhuyung pemuda itu bangkit, sambil matanya tetap menatap tubuh yang terkulai diam di batang pohon itu.

"Manusia biadab! Beraninya kau...!!!" Lintang lalu mengalihkan tatapannya ke arah si kakek yang kini telah melayang turun mendarat diatas tanah. Pemuda itu merasakan ada sesuatu yang mengalir di dalam tubuhnya. Sesuatu yang aneh, yang baru kali ini ia rasakan. Rasa sakit yang tadi ia rasakan, kini tak ia rasakan lagi. Yang ada hanya rasa amarah. Amarah yang sulit untuk ia kendalikan. Matanya berkilat tajam, seiring dengan bangkitnya sebuah kekuatan yang selama ini terpendam dalam tubuhnya.

"Kau....," tubuh Lintang menggigil. Hawa dingin jelas terpancar dari sekujur tubuhnya. "Kau harus membayar mahal untuk semua ini!" Lintang mendesis tajam, lalu mengibaskan kedua lengannya kesamping. Deru angin berkesiut. Udara disekitar tempat itu seolah tersedot kearah Lintang, berkumpul dan menyelimuti sekujur tubuh pemuda itu, lalu berputar membentuk pusaran badai dahsyat yang mengangkat tubuh Lintang keatas dan semakin memporak porandakan tempat itu.

Pohon pohon besar tercabut dari akarnya. Bebatuan terangkat dan tersedot kedalam pusaran badai itu dan ikut berputar dengan cepat, menimbulkan suara gemuruh yang maha dahsyat.

"Aku...., aku akan membalas semua ini kakek tua! Akan kulumatkan tubuh cebolmu itu!" suara Lintang terdengar menggelegar. Kedua tangannya ia sentakkan kedepan, menimbulkan kesiuran angin topan yang membawa serta batang batang pohon dan bebatuan besar yang meluncur deras ke arah si kakek tua misterius.

"Cih!" terdengar suara mendecih dari sebelah kiri. Wulan yang semula terkulai terpaku pada batang pohon, kini menggeliat. Tangannya terangkat pelan, mencabut tongkat cahaya yang memaku tubuhnya ke batang pohon itu, lalu melemparnya keatas tanah.

"A..ku," tubuh Wulan kembali melayang.

"Aku ju..ga be...lum kalah," api pelan pelan kembali berkobar menyelimuti tubuh gadis itu. Kali ini lebih besar, dan terus membesar dan membesar. Suara bergeretak terdengar keras, saat sebentuk sayap api tumbuh di punggung gadis itu. Sayap mirip sayap garuda yang membentang sepanjang hampir empat meter itu mengepak perlahan, menyapukan hawa panas kesegala arah.

"I..ni, ini barulah sebuah awal kakek tua! Awal dari pertarungan yang sesungguhnya!" tangan Wulan menyentak kesamping. Sebentuk cambuk api kini tergenggam di tangan gadis itu, berkobar kobar seolah siap untuk mecabik cabik apapun yang diterpanya.

Si kakek yang masih berdiri di hadapan kedua sosok aneh itu hanya tersenyum tipis. "Sepertinya aku berhasil! Kedua bocah ingusan itu, aku berhasil membangkitkan kekuatan tertinggi mereka. Kini saatnya aku mengakhiri tugasku!"

Kakek cebol itu melangkah maju beberapa tindak, lalu berseru lantang, "Anak anak ingusan! Jika ini mau kalian, ayo, majulah! Dan kita mulai pertarungan yang sebenarnya!"

"Whuuuussss....!!! Cetaaaarrrrr...!!!" kobaran api Wulan mengepakkan sayapnya, terbang melesat ke arah si kakek sambil melecutkan cambuk apinya. Sementara badai dan topan ciptaan Lintang yang membawa serta benda apapun yang diterjangnya, semakin dahsyat mengurung si kakek dari segala arah.

Si kakek kembali duduk bersila diatas tanah, memejamkan mata menangkupkan kedua tangannya di depan dada, dengan mulut komat kamit membaca mantera.

"Sekarang saatnya!" gumam si kakek saat badai topan Lintang dan kobaran api Wulan semakin mendekat ke arahnya, lalu...

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close