Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SUMUR PATI (Part 29) - Petulangan Di Lereng Lawu 1


JEJAKMISTERI - "Buka matamu Mbul! Kita sudah sampai!" Wulan berkata sambil melepaskan genggaman tangannya dari tangan Lintang.

Lintangpun pelan pelan membuka matanya. Dan ia terperangah sesaat, ketika mendapati bahwa dirinya kini ia telah berdiri di tengah tengah padang ilalang yang sangat luas, dengan deretan pepohonan yang berbaris rapi di kejauhan sana, seolah memagari padang itu dari dunia luar.

Suasana temaram waktu itu, dan sangat sunyi. Seperti suasana di senja hari, atau justru pagi buta? Lintang tak begitu bisa memastikan. Udara terasa begitu dingin, meski sama sekali ia tak merasakan adanya hembusan angin. Beruntung sebelum berangkat tadi Bu Ratih sempat mengingatkannya untuk berganti pakaian. Tak bisa ia bayangkan seperti apa jadinya jika ia berada di tempat sedingin ini hanya dengan mengenakan celana kolor dan kaos oblong seperti yang ia kenakan saat berangkat dari kota tadi pagi.

"Kita dimana Lan?" Lintang menoleh kearah Wulan yang berdiri disampingnya. Gadis itu nampak terpejam dengan wajah sedikit terangkat. Dadanya turun naik dengan teratur, seiring dengan helaan nafas yang ia tarik panjang panjang dan ia hembuskan pelan pelan.

"Gunung Lawu," jawab Wulan singkat, tanpa membuka matanya.

"Iya. Aku tau! Maksudku gunung Lawu sebelah mananya?" tanya Lintang lagi.

"Entahlah!" lagi lagi Wulan menjawab singkat, masih dengan mata tertutup rapat.

"Entahlah?! Kau yang membawaku kemari, dan kau tak tau di gunung Lawu bagian mana kita mendarat?!" nada suara Lintang meninggi.

"Bu Ratih hanya bilang bahwa kita harus ke lereng Lawu," Wulan membuka matanya, lalu menoleh sekilas kearah Lintang. "Tanpa memberitahu kita harus ke lereng Lawu yang sebelah mana! Jadi ya, aku asal saja tadi mendaratnya."

"Haduh! Kamu ya, disaat mengadapi suasana yang genting begini, masih juga berlaku sembrono! Kenapa tadi tak...."

"Kau sendiri, memangnya tak tau ini lereng Lawu bagian mana?" tanya Wulan.

"Aku?!"

"Iya! Kau anak mapala kan? Dan sudah beberapa kali muncak ke gunung ini! Harusnya kau sudah hafal dengan seluk beluk gunung ini!"

"Entahlah!" kembali Lintang mengedarkan pandangannya. "Memang aku sudah beberapa kali kemari, dan bisa dibilang aku sudah hafal dengan semua jalur pendakian disini. Tapi tempat ini...., sepertinya masih asing buatku Lan! Kau tak salah memilih gunung kan?"

"Salah gimana maksudmu?"

"Jangan jangan kita mendarat di gunung yang salah!"

"Ngawur kamu! Sudah jelas jelas gunung Lawu itu terlihat dari desa kita! Mana mungkin aku salah!"

"Tapi ini..., jangan jangan kita..."

"Kita apa?"

"Ah, enggak. Nggak papa kok!"

"Tersesat maksudmu?!"

"Hush! Jangan asal kalau bicara di gunung ini Lan!"

"Kenapa memangnya?"

"Pamali! Ini gunung terkenal kental dengan mistisnya. Apa yang kita ucapkan, bisa saja menjadi kenyataan."

"Hmmm, bagus dong kalau begitu. Kita bilang saja agar kita bisa cepat menemukan apa yang kita cari. Siapa tau benar ucapan kita itu jadi kenyataan."

"Ish, bukan begitu maksudku, tapi..., ah, sudahlah! Kita bahkan tak tau kita kesini mau mencari apa. Lebih baik sekarang kita segera pergi dari tempat ini. Jujur Lan, aku merasa tak nyaman berada disini. Tempat ini, sedikit misterius. Bahkan aku tak tau sekarang ini sore atau pagi hari."

"Aneh kamu Mbul. Kita berangkat tadi kan habis Ashar, ya sudah jelas sekarang sore harilah! Gitu aja kok..."

"Justru itu! Kita tadi berangkat habis Ashar, dan perjalanan yang kita tempuh tadi, aku merasa kau membawaku terbang hanya dalam waktu beberapa detik saja. Tapi kenapa sampai disini suasananya sudah seperti senja hari begini?"

"Mungkin karena kita berada di lereng Gunung Mbul! Dan letak matahari berada di sisi gunung yang lain, mangkanya suasananya jadi seperti senja hari begini, padahal hari belum terlalu sore."

"Tidak Lan! Aku anak gunung, jadi aku..., ah, sudahlah, tak penting juga kita bahas masalah itu. Yang terpenting sekarang adalah, kita harus segera keluar dari padang ilalang ini, sebelum hari menjadi gelap."

"Kemana?"

"Kita kesini mencari petunjuk untuk bisa mengatasi pageblug yang terjadi di desa kita. Kurasa aku tau tempat yang tepat untuk menemukan petunjuk itu."

"Iya. Tapi dimana?"

"Ikut aku!"

Lintang lalu berjalan pelan menyusuri jalan setapak diantara lebatnya ilalang setinggi paha itu. Sesekali ia menyibakkan rumpun rumpun rumput liar itu yang menjuntai menghalangi jalan. Wulan mengikuti langkah pemuda itu dari belakang. Cukup lama mereka mengarungi padang ilalang yang luas itu, sebelum akhirnya sampai di mulut hutan dengan pepohonan pepohonan yang tumbuh rapat menjulang tinggi. Lintang menghentikan langkahnya sejenak. Perasaannya mengatakan bahwa ada sesuatu yang salah. Beberapa kali ia naik ke gunung ini, namun baru kali ini ia menemukan hutan dengan pepohonan yang seperti ini. Entah pohon jenis apa yang ditemuinya itu.

"Kenapa berhenti Mbul?" tanya Wulan.

"Sebentar Lan," Lintang mengeluarkan ponselnya, membuka aplikasi kompas yang ternyata tak bisa banyak membantu. Jarum kompas di ponsel itu berputar putar tak tentu arah, membuat perasaan Lintang semakin resah. Lintang lalu kembali mengedarkan pandangannya. Kabut tipis mulai turun, membuat jarak pandangnya semakin terbatas. Bukan pilihan yang tepat kalau harus menjelajah hutan yang lebat di suasana yang berkabut seperti ini. Apalagi saat Lintang melihat keatas, langit berwarna jingga tanpa ada bias sinar mentari ataupun bintang gemintang yang menghiasi.

"Lebih baik kita mencari jalan lain Lan! Jangan masuk ke hutan ini. Hari mulai gelap, dan kabut mulai turun. Berbahaya kalau kita masuk ke hutan selebat ini." ujar Lintang pelan.

"Tapi sepertinya tak ada jalan lain Mbul! Hanya jalan setapak yang mengarah ke hutan ini satu satunya jalan yang bisa kita lalui."

"Kita balik arah saja. Siapa tau..."

"Setelah sejauh ini? Tidak Mbul! Sudah terlalu jauh kita menyusuri jalan setapak ini. Lagipula, kalau ada jalan, berarti ada tempat yang dituju di ujung jalan setapak ini. Tinggal mengikutinya, beres kan?"

"Bukan begitu Lan, tapi perasaanku mengatakan..."

"Halah! Kamu ini terlalu banyak pertimbangan Mbul! Ayo, kita ikuti saja jalan ini."

"Wulan!" Lintang menyentak keras, sambil menyambar lengan Wulan dan sedikit menariknya, hingga tubuh Wulan sedikit berbalik dan wajah mereka berhadapan. Sejenak keduanya saling tatap, sebelum akhirnya Lintang melepaskan genggaman tangannya pada lengan Wulan.

"Maaf!" ujar Lintang pelan. "Tapi sekali ini saja, tolong dengarkan aku! Kita sedang mnghadapi masalah yang sulit Lan! Dan semua warga di desa sana, menggantungkan keselamatan mereka kepada kita. Jadi..."

"Yah, aku mengerti," suara Wulan sedikit melunak. Gadis itu lalu duduk dibawah pokok pohon besar yang ada di dekatnya. Lintangpun ikut duduk disebelah gadis itu. Sejenak keduanya terdiam. Wulan menyandarkan punggungnya pada batang pohon sambil memejamkan matanya, mencoba menenangkan gejolak di hatinya. Sementara Lintang diam diam mengamati wajah gadis yang telah sekian lama menjadi sahabatnya itu. Cukup cantik sebenarnya, meski terkesan judes dan keras kepala. Rambutnya yang panjang tergerai sedikit berantakan. Lintang lalu mengeluarkan sehelai sapu tangan dari saku celananya, lalau melipatnya menjadi sebentuk pita sederhana.

"Nih, ikat rambutmu yang berantakan itu!" Lintang mencolek lengan Wulan dan menyodorkan sapu tangan terlipat di tangannya ke arah Wulan.

"Kenapa memangnya dengan rambutku?" Wulan menatap heran ke arah Lintang.

"Rambutmu berantakan. Ndak enak buat dilihat." jawab Lintang sekenanya.

"Eh, kenapa tiba tiba kau sampai memperhatikan rambutku segala?" tanya Wulan lagi.

"Cih! Kamu saja yang selama ini tak menyadari! Memangnya siapa lagi yang selama ini memperhatikanmu selain aku? Kalau nggak ada aku..."

"Hahaha...!" Wulan tertawa keras sambil memukul pelan lengan Lintang. Gadis itu lalu menyambar sapu tangan yang dipegan Lintang dan menggunakannya untuk mengikat rambutnya. "Jangan ngambek Mbul! Aku cuma bercanda kok. Aku sadar, semenjak dahulu memang cuma kamu yang bisa ngertiin aku! Bahkan aku masih ingat, saat kecil dulu, cuma kamu satu satunya anak yang mau berteman denganku. Jujur Mbul, kadang aku merasa tak enak sendiri, karena selalu saja merepotkan dan menyusahkanmu. Bahkan aku sering membuatmu marah dan kesal, meski aku tau kau tak pernah benar benar marah kepadaku. Aku terlalu kekanak kanakan ya Mbul?"

"Huh! Baru nyadar ya!" sungut Lintang pura pura kesal, padahal dalam hati ia merasa senang. Tak disangka, Wulan punya perasaan yang seperti itu. Kata kata yang ia ucapkan barusan, sepertinya tulus, bukan gurauan. Tak biasanya Wulan berkata seperti itu. Dan entah mengapa, mendengar kata kata itu hati Lintang terasa sedikit berdesir.

"Sialan kamu!" kembali Wulan meninju pelan bahu Lintang. "Aku serius Mbul. Aku merasa banyak berhutang budi, juga banyak berhutang maaf kepadamu. Kau mau memaafkan semua kekonyolanku selama ini kan Mbul?"

"Sudah! Jangan berisik!" Lagi lagi Lintang mendengus, berusaha menutupi debar debar di hatinya. "Kapan aku bisa berpikir kalau kamu ngomong melulu!"

"Iya iya, ya sudah, cepat pikirkan, apa yang sebaiknya kita lakukan sekarang!"

Lintang terdiam. Pemuda itu nampak berpikir keras. Sementara Wulan kembali berdiri dan melangkah beberapa tindak kedepan. Gadis itu berkecak pinggang sambil mengamati lebatnya hutan yang berada dihadapannya. Terlalu serius mengamati hutan, membuat Wulan tak sadar bahwa sesuatu tiba tiba melesat terbang ke arahnya.

"Whuuusss....!!! Klepaakkk...!!! Klepaaaakkk...!!! Klepaakkkk...!!!" seekor burung berukuran cukup besar dengan bulu berwarna cerah kekuningan terbang rendah dan menyambar sapu tangan yang digunakan untuk mengikat rambut gadis itu, lalu membawanya terbang menjauh.

"Hei! Burung sialan! Kembalikan sapu tanganku!" seruan Wulan mengejutkan Lintang. Matanya yang tajam masih sempat melihat sosok burung berwarna unik yang terbang menjauh itu.

"Jangan dikejar Lan!" sontak Lintang melompat bangkit dan berusaha mencegah Wulan. Namun terlambat. Gadis itu telah berlari memasuki hutan, mengejar burung yang membawa lari sapu tangan pemberian Lintang tadi.

"Sial!" Lintang mendengus kesal, manakala melihat Wulan telah berlari mengejar burung yang terbang rendah itu. Dan lagi lagi juga Lintang mau tak mau harus mengikuti langkah gadis itu.

"Brengsek!" samar Lintang mendengar umpatan yang dilontarkan oleh Wulan. Gadis itu sepertinya kesal karena merasa dipermainkan oleh burung yang terbang berputar putar tak tentu arah itu.

"Cukup Lan! Berhenti! Tak sadarkah kau kalau semenjak tadi kita hanya diputar putarkan oleh burung itu di tempat ini?!" Lintang berseru keras.

"Tidak Mbul! Burung ini, brengsek banget sih, beraninya mempermainkanku!" Wulan masih terus berusaha merebut sapu tangan pengikat rambutnya dari burung aneh itu.

"Itu hanya sapu tangan Lan! Aku sanggup membelikannya lagi yang baru untukmu! Biarkan saja burung itu membawanya!"

"Tidak Mbul! Ini sapu tangan istimewa! Tak akan kubiarkan burung sialan ini merebutnya dariku!"

"Arrggghhh...!!! Terserahlah!" akhirnya Lintang menyerah. Pemuda itu lalu duduk bersandar pada batang pohon sambil memperhatikan Wulan yang terus berlarian mengejar burung yang terbang berputar putar itu.

"Wedhus!" Wulan kembali mengumpat, saat burung itu meninggalkan sapu tangan miliknya di sebuah ranting pohon yang lumayan tinggi, lalu terbang jauh meninggalkan Wulan.

"Mbul! Tolong dong ambilin sapu tanganku!" seru Wulan.

"Ambil saja sendiri! Aku mau istirahat dulu!" jawab Lintang, juga dengan berseru, karena jarak antara mereka lumayan jauh kini.

"Ah, tega kamu ya. Masa iya sih aku harus manjat pohon begini?" seru Wulan lagi.

"Lompat saja! Masa lompat dari Kedhung Jati kesini aja bisa, cuma ngambil sapu tangan diatas pohon saja ndak bisa!"

"Sial kamu Mbul! Awas saja nanti!" Wulan mengacunglan tinjunya, lalu menengadah, memperhatikan sapu tangan yang tersangkut diujung ranting itu. Benar kata Lintang. Ia bisa saja melompat dan meraih sapu tangan itu, meski letaknya lumayan tinggi. Tapi itu tak seru. Akhirnya gadis itu memutuskan untuk memanjat pohon dimana aapu tangan itu tersangkut.

Lintang yang memperhatikan tingkah sahabatnya itu hanya tersenyum simpul. Gadis yang satu itu, memang berbeda. Sifat keras kepala dan kenekatannya dalam meraih apapun yang diinginkannya, membuatnya menjadi gadis yang istimewa di mata Lintang. Dan keistimewaannya itulah yang membuat Lintang sampai saat ini masih setia menjalin persahabatan dengannya.

"Woy! Mbul! Coba kesini sebentar!" teriakan Wulan dari atas pohon membuyarkan lamunan Lintang.

"Ndak ah! Kamu saja yang kesini kalau urusanmu dengan sapu tanganmu itu sudah selesai!"

"Sebentar saja Mbul! Kau harus melihat ini!" teriak Wulan lagi.

"Apaan sih?"

"Makanya buruan kesini!"

Mau tak mau Lintang beranjak juga kearah pohon yang sedang dipanjat oleh Wulan itu. Gadis itu kini telah merosot turun dengan sapu tangan yang sudah berhasil ia dapatkan kembali.

"Lihat ini!" Wulan menunjukkan sapu tangan yang dipegangnya itu. Dan Lintang terperangah. Bukan sapu tangan itu yang membuatnya terkejut. Melainkan sesuatu yang menempel di sapu tangan itu. Ah, bukan menempel, tapi hinggap. Karena yang ia lihat itu adalah seekor kupu kupu hitam dengan corak aneh di kedua sayapnya. Dan lebih anehnya lagi, kupu kupu itu seolah tak merasa terganggu meski Wulan mengayun ayunkan dan mengibas ngibaskan sapu tangan tempat binatang itu hinggap.

"Cantik kan Mbul! Dan sangat jinak! Lihat! Sapu tangan ini aku goyang goyangkanpun kupu kupu ini tak mau terbang!" ujar Wulan sambil menunjukkan binatang itu kepada Lintang.

"Bukan cantik! Tapi aneh," gumam Lintang sambil terus memperhatikan kupu kupu itu. Tanpa sadar tangan Lintang terangkat, mencoba menyentuh binatang itu. Dan...

"Brrrrrrrr....!!!" seolah menyadari adanya ancaman, kupu kupu itu terbang, lalu hinggap di ranting semak yang berada disamping Wulan.

"Yach, kamu sih Mbul! Jadi terbang kan!" Wulan berbalik dan mendekat ke arah kupu kupu itu. Namun lagi lagi kupu kupu itu terbang dan hinggap di ranting semak yang lain. Lagi lagi Wulan mengendap mendekati binatang itu, dan lagi lagi kupu kupu itu terbang dan hinggap di ranting semak yang lain. Begitu seterusnya, hingga tanpa sadar binatang itu telah menuntun Wulan menuruni tebing landai yang mengarah kesebuah lembah nan menghijau oleh suburnya rerumputan. Lintang yang semakin merasakan adanya kejanggalan, diam diam mengikuti gadis itu sambil terus mengawasi segala tingkahnya.

Hingga saat sampai di dasar lembah, langkah Wulan terhenti. Kupu kupu yang dikejarnya itu, kini hinggap diatas caping seorang laki laki tua yang tengah sibuk mencari rumput.

Wulan kembali mengendap, bermaksud untuk mendekat ke arah laki laki itu. Namun Lintang yang semakin menyadari adanya kejanggalan, segera menahan lengan Wulan. Bukan hal aneh sebenarnya bertemu dengan seseorang di gunung ini. Tapi seorang pencari rumput?

*****

"Eh, Mbul, itu ada orang," Wulan setengah berbisik menunjuk ke arah laki laki tua yang nampak berjongkok beberapa meter di hadapan mereka. Sepertinya seorang pencari rumput. Kedua tangannya sibuk membabat rumput rumput yang tumbuh subur di tempat itu sengan menggunakan arit, mengumpulkan dan memasukkannya kedalam keranjang anyaman bambu yang berukuran lumayan besar yang ia letakkan dipinggir padang rumput yang luas itu.

"Kebetulan Mbul, kita bisa bertanya pada orang itu, di gunung Lawu bagian mana kita sekarang ini," ujar Wulan lagi sambil bermaksud untuk mendekat ke arah orang itu. Namun untuk kesekian kalinya Lintang kembali menahan lengan Wulan.

"Tunggu Lan!" cegah Lintang. "Kamu nggak merasa janggal dengan keberadaan orang itu?"

"Janggal? Janggal gimana maksudmu?"

"Tempat ini Lan, jaraknya cukup jauh dari desa desa yang ada di kaki gunung sana. Terasa aneh kalau orang pergi sampai sejauh ini hanya sekedar untuk mencari rumput. Mengingat, di desa desa sana setahuku juga banyak lahan lahan subur yang dipenuhi oleh rerumputan. Dan penampilan serta gerak gerik orang itu..., aku malah nggak yakin kalau dia adalah manusia."

"Hmmm, benar juga ya," Wulan sekali lagi mengamati sosok di hadapan mereka itu dengan seksama. Seorang laki laki yang wajahnya tak terlihat jelas, karena selain posisinya memang membelakangi mereka, caping anyaman bambu yang dikenakan oleh sosok itu sepertinya agak kebesaran, hingga menutupi sebagian dari kepalanya. Kulitnya yang hitam legam dan sedikit keriput terlihat jelas, karena sosok itu memang bertelanjang baju. Hanya mengenakan celana komprang sebatas lutut yang juga berwarna hitam, menampakkan perutnya yang buncit. Sangat buncit, kontras dengan ukuran tubuhnya yang kurus dan pendek. Mungkin kalau berdiri sosok itu tingginya hanya sebatas dada Wulan.

"Tapi Mbul, manusia atau bukan, ia telah menampakkan diri di hadapan kita. Tak ada salahnya kan kalau kita sedikit bertanya. Siapa tau dia bisa memberi petunjuk kepada kita," ujar Wulan setengah bergumam.

"Iya juga ya," gumam Lintang. "Kalau begitu, biar aku saja yang bertanya Lan." sedikit ragu Lintang lalu mendekat ke arah laki laki tua itu.

"Permisi Mbah, maaf, mau nanya, ini benar di gunung Lawu ya Mbah?" tanya Lintang sopan, begitu ia telah sampai di dekat kakek tua itu.

Tak ada jawaban. Kakek itu masih sibuk dengan arit dan rumput rumput yang telah berhasil dikumpulkannya.

"Agak keras Mbul! Sepertinya pendengaran simbah itu sudah agak berkurang!" Wulan berseru dari tempatnya berdiri.

"Mbah! Maaf kalau mengganggu! Saya cuma mau nanya...!"

Tiba tiba sosok kakek tua itu berdiri, meraup setumpuk rumput yang telah berhasil ia kumpulkan, lalu membawanya ke pinggir padang itu dan memasukkannya kedalam keranjang yang sengaja ia taruh di tempat itu.

Lintang sedikit jengah. Kakek tua itu seolah tak menggubris kehadirannya sama sekali. Bahkan melirikpun tidak. Padahal posisinya sangat dekat dengan kakek itu. Tak mungkin kakek berpenampilan aneh itu tak melihatnya.

Penasaran, Lintang kembali mendekat ke arah si kakek yang kini tengah meraih sebuah kendhi yang ia letakkan tak jauh dari keranjang rumputnya, lalu menenggak isi kendhi itu. Aneh, tak ada nampak air yang keluar dari mulut kendi itu, namun dengan jelas Lintang bisa mendengar suara glek glek glek seperti orang yang sedang minum air. Jakun kakek tua itu juga terlihat turun naik, seperti orang yang sedang minum pada umumnya. Dan Lintang semakin terkejut saat kakek itu meletakkan kendinya kembali, lalu berbalik ke tengah padang, melewati Lintang yang jelas jelas berdiri di hadapannya, lalu kembali sibuk membabat rumput.

"Ini kan..." Lintang buru buru mengeluarkan ponselnya, melihat gambar kendi yang sebelum berangkat tadi diberikan oleh Pak Bambang si komandan polisi. Kendi yang ditemukan oleh Lik Diman saat sedang menggali sumur. Kendi yang menjadi sumber malapetaka yang sekarang sedang melanda desa mereka. Kendi yang bentuk, ukuran, dan warnanya sama persis dengan kendi milik si kakek itu. Bahkan ukiran ukiran halus di beberapa bagian permukaan kendi itu juga sama persis.

"Ini kan..., ah! Aku paham sekarang, kenapa Pak Dul Modin menyuruhku kemari! Kendi ini..." Lintang berjongkok. Tangannya terjulur berusaha menyentuh kendi itu. Namun belum sempat ia menyentuh kendi itu, telinganya menangkap suara angin berkesiur dari arah belakangnya, disusul dengan suara teriakan Wulan yang memperingatkannya.

"Syiuuuuutttt...!!!"

"Gembul! Awaaaassss...!!!"

Sontak Lintang menoleh kebelakang. Dan matanya terbeliak saat menyadari sebuah benda pipih melengkung melesat dan berputar cepat mengarah tepat ke lehernya. Sebilah arit yang berkilat kilat tajam.

"As*!" tanpa sadar Lintang mengumpat, sambil berkelit menghindari serangan mendadak itu. Nyaris saja terlambat. Ujung arit yang runcing tajam dan berputar cepat itu mendesing hanya beberapa centi saja dari lehernya, sebelum akhirnya menancap pada pokok pohon yang berada disamping Lintang.

"Mbul! Kau nggak papa?!" Wulan bergegas berlari menghampiri Lintang .

"Nggak! Aku nggak papa!" jawab Lintang sambil berusaha untuk berdiri.

"Simbah itu!" Wulan berbalik dan menatap si kakek yang juga telah berdiri dan menatap ke arah mereka itu. Kedua pandangan mereka bertemu. Mata Wulan berkilat kilat menahan amarah. Sementara mata tua si kakek tak kalah tajam membalas tatapan Wulan dengan kilatan yang jelas menampakkan rasa tidak senang.

"Heh! Kakek tua pikun! Kau sengaja mau membunuh temanku ya?!" Wulan maju beberapa tindak, mendekat ke arah si kakek yang masih berdiri diam di tempatnya.

"Kalian yang lancang! Berani beraninya menyentuh barang yang bukan milik kalian!" dengus si kakek, ketus dan dingin.

"Lancang katamu?!" Wulan mendelik. "Kami sudah mencoba bersikap baik dan sopan! Tapi kamu, kakek tua pikun bodoh! Justru mengacuhkan kami! Dan kau masih bisa mengatakan kalau kami yang lancang?!"

"Wulan! Sudah! Jangan terbawa emosi!" Lintang yang menyadari kalau situasi mulai memanas mencoba menengahi. Pemuda itu ikut maju dan berdiri tepat diantara Wulan dan si kakek. "Dan, maaf Mbah, kalau saya telah berbuat lancang. Saya hanya tertarik dengan kendi yang disana itu. Apakah itu kendi punya Simbah?"

"Milikku atau bukan, itu bukan urusanmu, anak muda! Pergilah, dan bawa teman perempuanmu yang bermulut kotor ini pergi dari hadapanku! Huh! Menganggu saja!" kakek tua itu melengos, lalu berlalu dari hadapan Lintang, mengambil aritnya yang tertancap pada batang pohon dan kembali sibuk membabat rumput.

"Dasar orang aneh! Yuk Mbul, kita pergi saja! Bisa gila aku kalau lama lama berurusan dengan kakek tua gila itu!" dengus Wulan kesal.

"Tunggu Lan! Kita harus bisa mendapatkan kendi milik simbah itu, apapun caranya!" desis Lintang sambil terus mengamati si kakek.

"Kendi?"

"Ya. Kendi yang itu. Itu sama persis dengan foto kendi yang ditemukan oleh Lik Dima saat menggali sumur di rumah Pak Jarwo. Kendi yang menjadi sumber dari segala malapetaka yang sekarang melanda desa kita. Aku tau sekarang Lan, kenapa Pak Dul Modin menyuruh kita kesini. Kendi itu, mungkin itulah satu satunya cara untuk menghentikan pageblug yang sedang terjadi di desa kita."

"Hmmm, seperti itu ya," Wulan mengangguk anggukkan kepala, mencoba memahami semua ucapan Lintang barusan. "Ini sangat menarik Mbul. Dan sepertinya tidak akan mudah! Sikap kakek tua pikun itu, benar benar sangat menyebalkan. Bahkan ia tak segan segan menyerang dan mencoba menghabisimu!"

"Yach, terkadang untuk mendapatkan sesuatu yang kita inginkan, memang butuh sebuah perjuangan Lan. Serahkan saja urusan ini padaku. Biar kucoba untuk berbicara lagi dengan kakek itu."

"Ya ya ya, terserah kamu lah Mbul! Coba saja, meski aku yakin itu tak akan berhasil! Sepertinya kita harus memberi sedikit pelajaran kepada kakek..."

"Sssttt...! Jangan gegabah! Kita tamu disini Lan. Sebisa mungkin kita harus bisa menghormati si tuan rumah. Sekarang, kamu tunggu disini saja. Biar aku yang bicara dengan kakek itu."

Wulan mendengus kasar, lalu melipat kedua tangannya di depan dada. Bibirnya mengerucut dengan mata menatap sinis ke arah si kakek tua. Sementara Lintang kembali mendekat ke arah kakek tua itu.

"Mbah," Lintang berjongkok di samping si kakek tua yang masih sibuk membabat rumput itu. "Tolong kami Mbah. Kami sangat memerlukan kendi itu. Desa kami..."

Kakek tua itu melengos, lalu memutar tubuhnya membelakangi Lintang. Tak mau menyerah, Lintang juga menggeser posisi duduknya hingga berhadapan dengan kakek tua itu. Wulan yang memperhatikan tingkah kedua orang itu terlihat semakin kesal.

"Ayolah Mbah, tolonglah kami. Jauh jauh kami datang kemari hanya untuk mencari kendi itu. Apapun..."

Kakek tua itu berdiri, meraih setumpuk rumput yang telah berhasil ia kumpulkan, melangkah ke tepi padang, dan memasukkan rumput yang dibawanya kedalam keranjang. Lintang yang tak mau menyerah bergegas mengikuti langkah si kakek tua itu. Sementara Wulan yang terlihat semakin tak sabar mendesis tajam. "Cih! Benar benar menyebalkan!"

"Mbah...."

"Apalagi?!" tiba tiba kakek itu membentak keras, membuat Lintang sampai terlonjak kebelakang karena kaget. "Sudah kubilang! Pergi dan jangan ganggu aku!"

"Kami..., kami butuh bantuan simbah. Desa kami sedang dilanda pageblug. Karena itulah jauh jauh kami datang kemari untuk..."

"Itu bukan urusanku!" sentak si kakek, kasar.

"Kendi milik sampeyan itu Mbah, kami sangat memerlukannya. Bolehkah kami memintanya?"

"Enak saja! Kau pikir bisa mendapatkan sesuatu yang kalian inginkan dengan cuma cuma?! Tidak! Kendi ini milikku! Tak akan kuberikan kepada siapapun! Apalagi kepada anak anak yang tak tau sopan santun seperti kalian ini! Seenaknya saja datang ke tempat orang tanpa permisi, berbuat sesuka hati dan berkata kata kotor sok jumawa! Kalian pikir kalian hebat hah?! Pakai sok sokan bilang mau mengobrak abrik istana Lawu segala! Dasar anak anak bau kencur!"

Deg! Lintang tersentak. Darimana kakek ini tau soal ucapan yang pernah diucapkan oleh Wulan itu? Mengobrak abrik istana Lawu, jelas jelas Wulan mengucapkan kalimat itu saat tadi mereka masih berada di desa. Lintang semakin yakin, kakek tua yang sedang dihadapinya itu memang bukanlah kakek tua biasa.

"Maafkan atas kelancangan kami Mbah. Dan juga maafkan kata kata temanku yang sudah keterlaluan itu. Kami sama sekali tak ada maksud untuk berbuat kurang ajar. Dan soal kendi itu, apapun akan kami lakukan, asal kami bisa mendapatkan kendi itu."

"Apapun?! Kalian pikir kalian sudah sangat hebat, hingga bisa melakukan apapun?"


"Ah, maaf Mbah, maksudku, apapun, selama kami mampu, akan kami lakukan, asal kami bisa mendapatkan kendi itu."

"Hmmm, rupanya kau sedikit lebih sopan daripada temanmu itu," si kakek melirik sekilas ke arah Wulan. "Tapi, apa benar kalian rela melakukan apapun demi mendapatkan kendi ini?"

"Iya Mbah."

"Hmmm, ini menarik," kakek tua itu kembali melirik ke arah Wulan, membuat gadis itu merasakan suatu perasaan yang tak enak. "Bagaimana kalau kendi ini ditukar dengan teman perempuanmu itu?"

"Eh, temanku Mbah?!"

"Ya. Teman perempuanmu itu, meski bermulut kotor, tapi kulihat wajahnya lumayan cantik. Masih muda, dan tubuhnya juga lumayan bagus. Sepertinya cukup menyenangkan kalau kujadikan...."

"B*JING*N TENGIK!!!" Wulan yang mendengar ucapan kakek tua itu meradang. Habis sudah kesabaran yang semenjak tadi ia tahan. Dengan mata berkilat menahan amarah, gadis itu menatap tajam ke arah si kakek. "KAKEK TUA PIKUN BEROTAK MESUM! AKAN KUBUNGKAM MULUT KOTORMU ITU!!!"

"Wulan! Jangaannnn...!!!

Terlambat! Lintang tak sempat menahan gerakan Wulan yang sudah melesat kedepan dengan tangan terkepal, tepat mengarah ke wajah si kakek yang tertawa terkekeh kekeh itu. Tawa yang sangat aneh! Seaneh sikap si kakek yang seolah tak memperdulikan serangan dari Wulan. Hingga akhirnya, saat kepalan tangan Wulan tinggal berjarak sejengkal dari si kakek tua, kakek itu menghentakkan sebelah kakinya ke tanah, sambil mulutnya berseru keras.

"MENCELAT!!!" (mental!!!)

"Whuuuussass...!!!"

"Dhuaaggg...!!!"

"Bhrruuuugggg...!!!"

"WULAAAANNNN....!!!"

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close