SINTRU (Part 3)

JEJAKMISTERI - Malam ini, setelah menidurkan Arsa. Aku bercerita hal ganjil yang aku alami tadi pada Mas Doni. Tapi Mas Doni tampak tidak percaya.
"Itu cuma perasaan kamu aja, Dek," ucap Mas Doni santai.
"Mas, apa yang aku bicarakan itu bukan mengada-ada. Aku benar-benar mengalaminya!" Habis sudah kesabaranku pada ketidakpercayaan Mas Doni.
Kini Mas Doni melihatku begitu intens, mungkin dia kaget karena untuk pertama kalinya selama kami menikah, aku berkata keras di hadapannya.
"Kita bicarakan besok saja, aku cape." Mas Doni berkata dengan nada kecewa sembari tidur membelakangiku.
Harusnya aku yang kecewa padanya, kenapa dia sama sekali tidak mempercayaiku? Apa aku terdengar tidak waras karena bercerita tentang hal gaib padanya yang begitu rasional?
Sudahlah, lebih baik aku tidur saja. Rasanya badanku terasa lelah karena satu hari ini aku mengalami hal-hal yang di luar nalarku sendiri.
***
Suara piano yang di iringi dengan suara seseorang yang sedang menyanyi membuatku terbangun dari mimpiku.
Siapa yang tengah malam begini bermain piano?
Lalu karena rasa penasaran, aku pun turun dari ranjang dan mulai berjalan keluar. Sesaat aku menatap Mas Doni, tampaknya dia tidur terlalu lelap hingga tidak mendengar dentingan piano.
Perlahan aku keluar dari kamar menuju asal suara piano itu. Ternyata setelah aku sampai di ruang tengah yang terdapat piano, terlihat Simbah yang sekarang membelakangiku tengah memainkan piano miliknya itu sembari bernyanyi.
🎵Kita telah bersama
Sekian lama dalam cita cinta
Namun tiada jua rasa saling itu
Se-iya sekata
Selayaknya kau coba
Menyibakkan tirai kasih kita
Begitu jauh kurengkuh hatimu
Di seberang jalanku
Lelah, lelah hati ini
Menggapai hatimu tak jua menyatu
Lelah, lelah hati ini
Bagaimana kelak ku akan
Melangkah di sisimu🎵
Suara Simbah begitu merdu, namun pada saat aku sedang menikmati alunan suaranya. Tiba-tiba Simbah menghentikan permainan pianonya.
Lalu aku pun melihat, kepala Simbah dengan perlahan memutar. Badannya tampak tak bergerak, hanya kepalanya. Hingga terlihat Simbah, kini menatapku dengan kepala yang memutar 180 derajat.
Aku yang sangat terkejut hanya diam di tempat, wajah Simbah yang mengkerut tampak menyeringai.
Lidahnya menjulur keluar, tampak sangat panjang dan meneteskan darah berwarna hitam pekat dan berbau busuk hingga membuat perutku mual. Matanya pun sama, berwarna hitam.
Kini tampak Simbah berdiri, tapi masih dengan posisi tubuhnya membelakangiku tapi kepalanya menghadap kearahku.
"Nina..." panggilnya dengan suara yang begitu mengerikan.
Aku sangat ketakutan, hingga rasanya seluruh badanku menggigil. Ingin aku berteriak memanggil Mas Doni, tapi mulutku bahkan tidak sanggup mengeluarkan suara.
Simbah perlahan berjalan ke arahku dengan berjalan mundur, namun wajahnya terus saja menatapku. Membuat kakiku lemas.
Kenapa bisa seorang yang normal melakukan hal seperti itu?
"Koe kudu melu aku, Nina," ujarnya sembari terus berjalan perlahan ke arahku. [Kamu harus ikut aku, Nina]
Pada saat aku sedang menggigil ketakutan, seseorang menyentuh pundakku. Pasti ini Mas Doni, aku pun dengan cepat berbalik ke belakang untuk memeluk suamiku.
Namun yang aku lihat bukanlah Mas Doni suamiku yang biasanya, melainkan Mas Doni dengan wajah yang tanpa kulit hingga menampakan daging merah yang di kerumuni belatung.
"Nina sayang..." Sosok mirip Mas Doni itu memanggilku mesra, tangannya mencoba merengkuhku.
Sedangkan sosok Simbah sudah sangat dekat denganku. Aku hanya bisa memundurkan langkahku perlahan, air mataku sudah hampir jatuh karena rasa takut yang teramat sangat.
Lalu, tanpa sengaja aku menyenggol pinggir lemari nakas hingga aku terjungkal ke belakang, Sosok mirip Mas Doni tampak menyeringai. Sekarang tangannya sudah hampir merengkuhku.
Aku hanya bisa berteriak dan mencoba meronta.
"JAANGGAAANNN..."
***
"Kamu kenapa, Dek?" Suara yang mirip Mas Doni terdengar panik.
Aku terus saja mencoba memberontak, hingga aku rasakan seseorang memegangi kedua tanganku.
Pada saat aku melihat, ternyata di depanku Mas Doni yang "normal" sudah terduduk di lantai. Tapi tetap saja aku belum percaya bahwa di depanku kini adalah suamiku.
"Lepaskan!!" bentakku dengan suara bergetar.
"Kamu kenapa sih?!" Sosok di depanku tampak marah.
Kini aku sadari, yang ada di depanku memanglah suamiku. Aku pun langsung memeluknya.
"Mas, aku takut," ucapku terbata-bata.
"Kamu kenapa keliatan ketakutan begini?" tanya suamiku sembari mengelus rambutku lembut.
Aku bergeming, bayangan sosok mengerikam yang mirip Simbah dan Suamiku membuatku takut.
Lalu Mas Doni membopongku ke dalam kamar lagi, di ambilkannya air putih untukku yang langsung aku habiskan.
"Mas, aku rasa ada yang di sembunyikan oleh Simbah dari kita," ucapku setelah merasa lumayan tenang.
"Maksudmu?"
"Simbah setahun belakangan ini tidak mau di jengkuk oleh kamu dan adik-adikmu bukan?"
"Karena Simbah tidak tega melihat cucunya harus jauh-jauh pergi menjenguknya," balas Suamiku.
"Tapi dari dulu Simbah justru merasa senang jika di kunjungi bukan? Meskipun aku tidak pernah ikut ke sini sebelumnya, tapi aku merasa ada yang ganjil dari sosok Simbah." Aku mencoba berkata apa yang aku rasakan.
"Nin, sebelumnya aku minta maaf jika Simbah bersikap dingin padamu. Tapi tolong mengertilah, Simbah sudah tua." Mas Doni berkata dengan nada yang kecewa. "Sudahlah, lebih baik kamu istirahat saja, pasti kamu kelelahan."
Setelah mengatakan itu, Mas Doni tidur membelakangiku. Sepertinya dia marah padaku karena mencurigai Simbah.
***
Keesokan paginya aku terbangun dengan lingkar hitam di bawah mataku karena semalaman aku tidak bisa tertidur.
Aku lihat Mas Doni sudah tidak ada, sepertinya dia sudah berangkat ke kantor pagi-pagi sekali. Mungkin dia masih marah denganku.
Lalu dengan langkah gontai, aku beranjak menuju ke kamar mandi. Untuk ke kamar mandi, aku harus melewati ruang tengah yang terdapat piano.
Melihat piano itu, membuatku bergidik mengingat kejadian semalam. Tapibaku berusaha untuk mengenyahkan kejadian malam tadi.
Setelah mandi, aku pun keluar. Namun, pada saat aku tidka sengaja melihat meja makan. Meja yang tadinya kosong itu, kini penuh dengan makanana.
Apa yang memasak semua itu Simbah? Tapi kapan? Aku merasa tidak terlalu lama mandi.
Sudahlah, percuma aku memikirkan hal seperti ini. Lagi pula suamiku sendiri saja tidak mempercayaiku.
***
"Mah, Arsa mau susu," rengek anakku yang baru bagun tidur.
Aku baru teringat jiku susu formula Arsa sudah habis. Semalam aku lupa bilang pada Mas Doni untuk membelikannya.
Akhirnya aku pun memutuskan untuk membeli sendiri susu formulanya Arsa tanpa di antar Mas Doni. Namun, pada saat aku mengajak Arsa, dia menolak untuk ikut bersamaku.
"Arsa mau nemenin Simbah biar Simbah nggak sendirian," ucap Arsa keras kepala.
Aku pun dengan berat hati meninggalkan anakku bersama Simbah. Sebelum keluar rumah, aku menghampiri kamar Simbah dulu.
"Mbah, Nina keluar dulu mau beli susunya Arsa. Titip Arsa, ya, Mbah." Pamitkudi depan pintu kamar Simbah.
"Eerghhhmmm..." Simbah hanya mengeram.
***
Ternyata minimarket terdekat jaraknya lumayan jauh. Membuatku harus naik ojek yang kebetulan pangkalannya tidak terlalu jauh dari rumah Simbah.
"Mas, minimarket yang paling dekat dimana ya?" tanyaku ramah pada tukang ojek yang memakai jaket warna merah.
"Yo adoh mba, kudu metu saking desa sek," balas tukang ojek itu dengan memakai bahasa daerah yang kurangvaku mengerti.
"Maaf Mas, saya nggak paham bahasa daerah sini."
"Oalah, maaf ya Mbak. Saya pikir Mbaknya paham," ujar tukang ojek dengan wajah tidak enak.
Aku pun hanya tersenyum memaklumi. Akhirnya, aku menaiki ojeknya untuk menuju minimarket terdekat.
"Mbaknya baru pindah?" tanya tukang ojek di depanku sembari tetap menyetir.
"Iya, Mas. Saya dan suami baru pindah beberapa hari."
"Oh begitu, di sini beli rumah atau gimana, Mbak?" Tukang ojek ini rupanya sedikit kepo.
"Enggak, saya ikut di rumah Simbahnya Suami," jawabku mulai malas menanggapi.
"Nama Simbahnya siapa kalo boleh tau?"
"Simbah Daminah," balasku singkat karena tidak ingin mengobrol lebih jauh.
"Oh, berani ya Mbak tinggal di rumah sintru begitu." Lagi-lagi aku mendengsr kata sintru.
"Sintru itu artinya apa ya, Mas?" tanyaku tanpa bisa menyembunyikan rasa penasaranku.
"Sintru itu artinya sunyi Mba, sunyi yang wingit atau angker," balas si tukang ojek dengan suara yang lebih lirih dari sebelumnya.
"Kok bisa Sintru? Jelas-jelas di rumah itu ada Simbah."
"Simbah? Maksud Mbak, Simbah Daminah?"
"Iya." Aku menjawabnya malas.
Tiba-tiba motor yang aku naiki berhenti mendadak, membuat aku terlempar kedepan dan menabrak punggung si tukang ojek.
"Astahfirullah Mbak, Simbah Daminah sudah meninggal setahun lalu!"
[BERSAMBUNG]
*****
Selanjutnya
*****
Sebelumnya