Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SINTRU (Part 4)


JEJAKMISTERI - Aku menyuruh tukang ojek yang aku tumpangi untuk berbalik arah ke rumah Simbah. Sungguh aku begitu kaget mendengar penjelasan si tukang ojek. 

Simbah sudah meninggal? Tapi bagaimana bisa Mas Doni dan keluarganya tidak tahu? 

Aku harus memberitahu Mas Doni, tapi sebelum itu, aku harus cepat pulang ke rumah. Arsa aku tinggal sendirian bersama sosok yang menyerupai Simbah. 

"Mas, ngebut!" perintahku tanpa basa-basi. 

Tukang ojek di depanku pun melakukan apa yang aku perintahkan. 

Setelah hampir lima belas menit, kami sampai juga di depan rumah Simbah. Saat melihat rumah Simbah, aku begitu terkejut.

Rumah yang aku tinggali selama beberapa hari itu, kini tampak sangat berbeda. Baru saja sebelum pergi aku masih melihat rumah itu bersih dan tampak terawat. 

Namun sekarang yang aku lihat adalah sebuah rumah yang tampak sangat kotor, akar beringin menjalar di sekitar rumah dan daun kering memenuhi halaman di depannya. 

Meskipun banyak pertanyaan yang berkelebat dalam pikiranku. Namun aku lebih mengutamakan Arsa. Di mana anakku sekarang?

***

"Mbak jangan masuk sendirian, bahaya!"

Aku berlari menuju rumah Simbah, tak ku perdulikan peringatan si tukang ojek. Karena yang aku pikirkan dan kuatirkan sekarang adalah anakku. 

Pada saat aku membuka pintu utama yang ternyata tidak terkunci, aku semakin terkejut. Kondisi di dalam rumah lebih memprihatinkan. 

Debu dan sarang laba-laba terlihat di mana-mana. Belum lagi suasana yang remang-remang karena seluruh jendela tertutup rapat. 

Namun aku mencoba untuk tidak memperdulikan keadaan rumah Simbah ini. Perlahan aku pun melangkah masuk.

"Arsaa..." 

Aku mencoba memanggil anakku, berharap dia menjawab panggilanku. Tapi nyatanya beberapa kali aku memanggil, Arsa tetap saja tidak menjawabnya. 

Rasanya begitu sesak, air mata yang sedari aku tahan pun menetes karena rasa takut dan panik. Aku juga merasa menyesal telah meninggalkan Arsa sendirian. 

***

Aku mulai melangkah lagi menuju kamar tempat aku tidur selama berada di sini. Namun Arsa juga tidak ada di sana. Aku hanya melihat kamar yang aku tempati begitu bersih, berbeda dengan keadaan di sudut lain rumah ini. 

Aku terus memanggil nama Arsa, namun tqp saja tak aku dapatkan jawaban. Hampir seluruh ruangan rumah ini aku jelajahi, tapi Arsa tak kunjung aku temukan. 

Lalu, aku pun menghubungi Mas Doni. Tapi panggilanku tidak dihiraukannya. Akhirnya aku hanya mengirimi dia pesan tentang hilangnya Arsa. Aku berharap Mas Doni lekas membaca pesanku. 

Setelah mengirim pesan pada Mas Doni, aku kembali mencari Arsa ke halaman belakang rumah Simbah. Tapi, pada saat aku melewati meja makan. Aku melihat sesuatu yang menjijikan tersaji di atas meja makan. 

Kumpulan belatung yang masih menggeliat hidup seperti sengaja di sajikan dalam piring. Apakah selama ini yang aku dan Mas Doni makan adalah belatung? 

Reflek perutku menjadi sangat mual membayangkan makanan yang selama ini aku makan. 

***

Sesampainya di halaman belakang. Suasana tampak sunyi, tapi ayunan usang itu bergerak seperti ada yang sedang menaiki. 

KREETT... KREETTTT

Bunyi yang harusnya terdengar biasa, kini tampak begitu membuatku bergidik. Tiba-tiba pada saat aku sedang memperhatikan ayunan usang itu, terdengar suara seperti benda jatuh dari dalam rumah. 

Aku pun berlari ke dalam, berharap itu adalah Arsa. Namun saat aku sampai di dalam, kondisinya sama saja. Hanya kesunyian yang aku temukan. 

SREETTTT...

Terdengar suara dari arah kamar Simbah, membuat jantungku semakin tidak karuan. Tapi kekuatiranku terhadap Arsa mengalahkan rasa takutku. 

Perlahan aku pun membuka pintu kamar Simbah. Setelah terbuka, aku pun masuk. Kamar itu tampak kosong, tidak ada satupun barang kecuali sebuah kaca besar yang menempel di dinding. 

Akan tetapi, di sudut ruangan. Aku melihat sesuatu berwarna putih kusam tergeletak di lantai yang di penuhi debu. 

Karena rasa penasaran aku pun dengan hati-hati mendekatinya, mungkin itu adalah sebuah benda yang di tutup kain putih. 

Namun, pada saat aku mulai dekat dengan benda itu. Benda itu tiba-tiba bergerak, membuatku terlonjak kaget. 

Lebih baik aku beranjak dari kamar ini, karena jujur saja. Suasana kamar ini benar-benar membuatku tidak nyaman. 

Belum lagi aku mulai beranjak, benda yang tadi tampak bergerak itu tiba-tiba terduduk. Baru aku sadari, itu bukanlah sebuah benda tapi sosok pocong yang kini sedang terduduk menyamping. 

Kakiku benar-benar gemetar, apalagi pada saat pocong itu mulai menengok ke arahku. 

Wajahnya terutup kapas yang di penuhi darah. Membuat jantungku rasanya ingin loncat keluar. 

Aku ingin lari, tapi kakiku terasa terpaku di tempat. Sedangkan pocong itu mulai bangun dan menghadapku. 

ERGGGHMMM...

Geraman pocong itu begitu mengerikan, kapas di wajahnya yang berlumuran darah juga tampak begitu menyeramkan. 

Perlahan aku pun mundur ke belakang karena pocong itu terus saja melayang mendekatiku. 

Akan tetapi, langkahku yang gontai tidak bisa membantuku untuk kabur hingga pocong itu kini tampak berdiri tepat di depanku. 

Tubuhku gemetar hebat tatkala wajah pocong itu semakin dekat dengan wajahku. 

Sebelum wajahku benar-benar menempel pada wajah pocong yang berbau anyir itu, akhirnya aku bisa berbalik dan mulai berlari keluar. 

***

Aku berlari ke arah kamarku, berharap sosok pocong itu tidak mengukutiku. Namun pada saat aku sedang berlari, aku dikejutkan oleh  anak-anak kecil yang sedang bermain di ruang tengah. 

Tentu saja aku terkejut, bagaimana caranya mereka masuk? Apa mereka tidak takut? 

Perlahan aku mendekati mereka yang membelakangiku. 

"Dek...."

Aku memanggil mereka yang kini tampak terdiam. Namun mereka tetap saja bergeming. Membuatku merasa jengah. 

"Kalian sedang apa disini?" tanyaku lagi sembari menengok ke arah belakang. Ternyata sosok pocong tadi tidak mengikutiku. 

Anak-anak di depanku masih saja terdiam, sebelum tiba-tiba mereka yang berjumlah tiga anak serempak menengok ke arahku. 

Betapa terkejutnya aku saat melihat kondisi mereka. Matanya hitam pekat, tubuhnya begitu pucat dan kakinya tampak di rantai satu sama lain. 

"Tante mau ikut kami?" 

Salah satu dari mereka menawariku dan di sambut dengan gelak tawa yang lainnya. Tawa anak kecil tapi terdengar begitu mengerikan. 

Aku pun kembali berlari, tujuanku kali ini adalah pintu utama. Lebih baik aku mencari Arsa dengan Mas Doni. 

Namun, pada saat aku sudah dekat dengan pintu utama. Tiba-tiba pintu itu menutup sendiri dengan keras. 

Aku mencoba untuk membukanya, namun usahaku sia-sia. Aku juga menggedor-gedor pintu ini agar seseorang bisa tahu aku ada di sini. 

"Toloonggg!" 

Usahaku sepertinya tidak berhasil karena sepertinya tidak ada yang lewat di depan rumah ini. 

"Mati... mati... mati...!

Terdengar lagi suara anak-anak kecil yang aku temui di ruang tengah. Aku tahu mereka bukanlah manusia dan itu membuatku takut setengah mati. 

"Siapa kalian?!!" 

Aku bertanya tanpa menengok ke arah mereka. Karena jika aku melihat mereka lagi, mungkin aku akan pingsan. 

"Kami tumbal..."

Jawabn mereka membuatku bertambah tidak mengerti. Tumbal? 

Tumbal untuk siapa? 

Namun poikiranku langsung tertuju pada Arsa. Apa anakku akan di jadikan salah satu dari mereka?

Pikiran itu membuatku marah, jika itu memang benar. Aku tidak akan tinggal diam. Aku akan menghadapi siapapun yang berusaha mencelakai putraku. 
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya

close