SINTRU (Part 2)

JEJAKMISTERI - Sepanjang jalan ke rumah Simbah, aku terus memikirkan omongan penjual gemblong tadi. Dia bilang rumah itu sintru, aku tidak tahu apa maksudnya.
"Nggak mau makan di situ!" Arsa mengangetkanku yang kini sedang duduk di kursi tamu.
"Arsa mau makan gemblong di mana?" tanyaku lembut.
"Di kamar, Arsa nggak mau disini!!"
"Jangan di kamar, nanti banyak semutnya." Bujukku sabar.
Namun Arsa masih tetap merajuk untuk makan di kamar. Akhirnya aku pun menuruti permintaanya dari pada dia terus rewel dan mengganggu Simbah.
Namun, baru aku sadari. Sedari pagi aku tidak melihat Simbah, apa mugkin Simbah sedang beristirahat di kamar karena lelah sudah menyiapkan sarapan untuk kami tadi?
Lebih baik nanti aku akan menghampiri kamar Simbah, aku juga ingin mengobrol dengannya.
***
Setelah menemani Arsa si kamar dan menyupainya gemblong tadi. Aku berniat untuk mulai memasak, karena tidak mungkin aku akan merepotkan Simbah terus.
Namun sebelum ke dapur, aku menghampiri kamar Simbah. Tapi ternyata kamar Simbah pintunya tertutup rapat.
Tok... tok... tok...
Aku mengetuk pintu kamar Simbah beberapa kali, tapi tidak juga di bukakannya. Akhirnya karena kuatir, aku pun perlahan mencoba membuka kamar Simbah.
KLEKK...
Ternyata pintu kamar Simbah tidak di kunci, dengan hati-hati aku pun melongok ke dalam. Terlihat ranjang tua Simbah yang di tutupi oleh kelambu. Wajah Simbah tidak terlalu terlihat, hanya kakinya yang aku lihat.
Syukurlah, sepertinya Simbah sedang istirahat. Aku pun kembali menutup pintu kamar Simbah dan berjalan ke dapur.
Dapurnya terlihat sangat rapi, sepertinya memang Simbah adalah orang yang telaten. Tapi mungkin karena orang sepuh, jadi di rumah ini tidak ada barang elektronik semacam kulkas, bahkan di rumah ini tidak terdapat TV.
Namun di dapur tidak ada bahan makanan yang bisa aku masak, tapi aku juga tidak tahu di mana pasar atau penjual sayuran terdekat.
Sepertinya aku harus bertanya pada Simbah. Aku pun berbalik untuk menuju kamar Simbah lagi.
Pada saat aku berjalan di ujung lorong pemisah antara dapur dan ruang makan, tiba-tiba sebuah suara mengagetkanku.
"LUNGOOO!!!!" [PERGI!!!!]
Aku begitu kaget, hingga ku putar tubuhku untuk melihat siapa pemilik suara itu. Tapi sepanjang mataku menatap, tidak ada satu pun seseorang yang terlihat.
Tubuhku jadi gemetar, bulu kudukku meremang. Tapi aku ingat Arsa di kamar sendirian, aku tidak mau sesuatu terjadi padanya.
Dengan berlari aku sampai di kamar, tapi tidak aku temukan Arsa di sana. Jantungku sudah berdegup kencang karena takut dan panik.
Aku coba mencari di ruang tamu dan beranda rumah, tapi tidak aku temukan Arsa.
"Arsaaa... dimana kamu, Nak?" panggilku histeris.
Tidak ada jawaban dari anakku, aku coba lari ke dalam rumah lagi. Kini tujuanku adalah kamar mandi, semoga Arsa ada di sana.
Ternyata di dalam kamar mandi pun tidak ada Arsa. Membuatku bertambah panik. Lebih baik aku menghubungi suamiku, tapi pada saat aku akan menghubungi Mas Doni, aku mendengar suara tawa Arsa.
Suara itu berasal dari arah belakang rumah. Lalu dengan cepat aku pun menghampiri asal suara Arsa.
***
Terlihat di sana Arsa sedang naik sebuah ayunan yang sudah tampak usang. Dia tertawa seakan ada yang sedang mengajaknya bermain. Padahal tidak ada seorang pun disana.
"Arsaa..." Aku berlari menyongsong anakku yang terlihat sangat senang.
Aku gendong Arsa dan membawanya kembali ke dalam rumah dengan perasaan was-was.
"Daddaaah..." Arsa berbicara sembari tangannya melambai-lambi.
Perasaanku bertambah tidak enak, ku percepat langkahku menuju kamar. Aku harus menghubungi Mas Doni.
Setelah sampai di kamar, aku mendudukan anakku di tempat tidur.
"Arsa tadi lagi main sama siapa?" tanyaku penasaran.
"Sama Simbah, Mah," balasnya polos.
Simbah? Tidak mungkin, aku tadi baru saja melihat Simbah tidur di dalam kamarnya.
"Arsa jangan bohong." Aku tetap mencoba mencari tahu kejanggalan ini.
"Arsa nggak boong, tadi Simbah ke kamar ngajak main."
Apa mungkin saat aku sedang berada di dapur, Simbah bangun dan menbawa Arsa ke belakang? Tapi bagaimana mereka melewatiku tanpa aku melihatnya?
Jelas-jelas jika ingin ke arah belakang rumah harus melewati dapur, tapi mungkin ada jalan pintas lainnya.
Aku mencoba berfikir positif. Mungkin aku hanya sedang kecapain. Suara di lorong dapur tadi juga mungkin suara Simbah yang sedang main dengan Arsa.
Akan tetapi, aku sangat yakin. Di halaman belakang tadi tidak ada siapapun. Hanya ada Arsa.
***
Mas Doni pulang dengan membawa beberapa makanan.
"Ini buat makan malam, Dek," ujar Mas Doni sebelum berlalu ke kamar mandi untuk memersihkan diri.
Sedangkan aku, bersiap menyediakan makanan yang sudah di beli suamiku. Terlihat di meja makan sudah ada beberapa makanan, mungkin Simbah yang buat tadi pada saat aku dan Arsa sedang tidur siang.
Aku sajikan makanan yang di belikan Mas Doni di meja makan juga bersama masakan buatan Simbah.
Sembari menunggu Mas Doni selesai mandi, aku kembali ke kamar untuk mengajak Arsa makan juga karena sedari pagi anakku hanya makan gemblong dan minum susu.
"Arsa harus makan, ya. Papah beli makan buat Arsa," ucapku yang langsung mendapat pelukan dari Arsa.
Aku pun kembali ke meja makan, sedangkan Arsa memilih untuk memunggu Papahnya yang menggendongnya ke meja makan.
Ternyata Mas Doni sudah ada si meja makan.
"Mas, sudah selesai mandinya?" tanyaku.
Namun Mas Doni hanya bergeming, tatapannya lurus ke arah makanan yang ada di meja makan. Sepertinya dia sangat kelaparan.
"Kamu kayaknya laper banget, ya?" Tapi Mas Doni tetap saja terdiam.
"Dek, kamu ngobrol sama siapa?"
Suara Mas Doni terdengar dari arah belakangku, membuatku reflek menengok ke belakang.
Di belakangku Mas Doni yang masih memakai handuk setengah badan menatapku dengan heran. Sedangkan aku bertambah bingung dan takut.
Ku balikan lagi tubuhku menghadap sosok Mas Doni yang tadi aku lihat duduk di kursi. Tapi kini yang aku lihat hanyalah kursi yang kosong.
"Kamu kenapa sih?" Mas Doni terus saja bertanya.
"Mas, barusan aku lihat kamu sudah duduk di sini," balasku sembari menunjuk kursi di depanku.
"Ngarang kamu, Dek. Aku baru aja keluar dari kamar mandi kok."
Setelah mengatakan itu, Mas Doni pun beranjak menuju kamar meninggalkan aku yang masih berdiri dengan gamang.
Aku jelas-jelas melihat Mas Doni duduk di kursi itu, tidak mungkin aku hanya berhalusinasi.
Entah kenapa, baru sehari aku tinggal di sini tapi aku sudah merasakan hal-hal ganjil.
***
Setelah menyiapkan makan malam, aku mencoba memanggil Simbah untuk bergabung bersama kami.
Kali ini Simbah langung keluar dari kamarnya saat aku ketuk pintunya, meskipun Simbah terlihat sangat dingin padaku.
Pada saat aku kembali ke meja makan, terlihat Mas Doni yang sedang berdiri sembari menggendong Arsa.
"Kok nggak duduk, Mas?" tanyaku.
"Dek, ini makanan yang tadi aku bawa kan?" tanya Mas Doni sembari melihat makanan yang sudah aku sajikan di meja makan.
"Iya, Mas," balasku.
"Kok udah basi begitu, Dek?"
Benar kata Mas Doni, makanan yang tadi di belinya nampak basi. Padahal tadi saat aku menyiapakannya, makanan itu masih hangat dan tidak basi. Aneh.
"Kok bisa ya, Mas?" tanyaku bingung.
"Mangan sak onone." Tiba-tiba Simbah menyeletuk.
[Makan seadanya]
Akhirnya Mas Doni duduk juga sembari memangku Arsa. Tapi tiba-tiba Arsa menangis histeris.
"Pergiii sana!!!" teriaknya sembari menatap Simbah.
"Arsa kenapa, sayang?" tanyaku dan Mas Doni panik.
"Takuuutt, Arsa takuutt..."
Kini Arsa sudah menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Aku pun langsung menggendong Arsa dan mencoba menenangkannya.
Namun Arsa tak kunjung tenang, akhirnya aku membawanya ke kamar. Di kamar, Arsa baru bisa diam.
"Arsa kenapa?" tanyaku lembut.
"Mah, Arsa mau pulang," balasnya polos.
"Tapi kenapa?"
"Arsa takut, mereka jahat."
Jawaban Arsa membuatku percaya satu hal, di rumah ini bukan hanya kami.
[BERSAMBUNG]
*****
Selanjutnya
*****
Sebelumnya