Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SINTRU (Part 1)


JEJAKMISTERI - Hari ini aku dan suamiku akan pindah keluar kota. Kota kecil yang bersebelahan dengan kota batik. Suamiku yang bekerja sebagai pegawai Perhutani, harus rela di pindah tugaskan. 

Sebenarnya pihak kantor sudah menyediakan tempat tinggal untuk kami tinggali saat berada di sana. Namun suamiku memilih untuk tinggal di rumah Neneknya yang letaknya cukup jauh dari kantor tempat tinggalnya, meskipun masih satu kota. 

"Apa nanti nggak kejauhan kamu berangkat kerjanya, Mas?" tanyaku sembari mengemasi baju-bajuku dan anakku. 

"Kalo naik mobil paling setengah jam aja, Dek," balas suamiku yang masih sibuk dengan gawainya. 

Rasanya enggan meninggalkan rumah yang sudah lama kami tinggali ini dan harus pindah ke kota yang lebih sepi dari pada kota kembang yang aku tinggali sekarang. 

Setelah berberes dan mengepak semua yang akan kami bawa besok, aku pun memilih untuk menidurkan anakku satu-satunya. 

"Arsa bobok yuk, besok kan kita mau pergi," bujukku pada putraku yang masih berusia empat tahun. 

Mungkin karena lelah, Arsa pun langsung memelukku dan minta di gendong. Sepertinya dia juga sudah mengantuk, karena seharian bermain ke sana kemari bersama teman yang juga tinggal satu kompleks dengan kami. 

***

Kami mengendarai mobil sendiri, tidak ada barang yang kami bawa kecuali baju dan peralatan mandi kami. Karena di rumah Nenek suamiku pasti sudah banyak perabot. 

Perjalanan yang kami lalui memakan waktu lumayan lama, hingga kami sampai saat matahari hampir tenggelam. 

Desa tempat rumah Nenek suamiku ternyata adalah desa yang lumayan sepi. Jarak antar rumah lumayan lebar dan masih banyak tanah kosong. 

"Rumah Nenekmu yang mana, Mas?" tanyaku dengan perasaan yang entah kenapa menjadi tidak enak. 

"Sebentar lagi sampai, Dek." 

Benar kata suamiku, mobil kami berhenti tidak lama dari aku bertanya barusan. Di depan kami tampak sebuah rumah dengan nuansa tempo dulu. Terlihat rumah Nenek dari suamiku adalah rumah peninggalan belanda yang punya jendela super besar. 

Pohon beringin besar juga tampak menjulang tinggi hingga menyentuh genteng rumah itu, seakan beringin itu melindungi si rumah. 

***

Mas Doni lah yang menurunkan barang bawaan kami, karena aku sibuk menggendong Arsa yang kini tertidur. 

"Assalamualaikum, Nek," panggil suamiku sembari mengetok pintu rumah. 

Lumayan lama suamiku mengetuk-ngetuk pintu rumah itu hingga terdengar suara Adzan Maghrib. 
 
"Apa Nenekmu sedang pergi, Mas?" tanyaku mulai sedikit sebal. 

Belum juga suamiku membalas pertanyaanku, pintu rumah itu pun terbuka. Menampakan seraut wajah keriput dan rambut putih yang terlihat acak-acakan. 

"Simbah..." Mas Doni langsung memeluk Neneknya dengan lembut. 

Jujur saja, dari awal menikah aku belum pernah bertemu dengan Neneknya Mas Doni, karena sejak dulu beliau tidak mau pergi jauh. 

Aku tidak lupa menyapa Nenek yang di panggil simbah oleh suamiku itu. 

"Masuk," ajak Simbah dengan suara datar. 

Kami pun masuk ke dalam rumah yang ternyata terlihat sangat rapi ini. Sepertinya Simbah merawat rumah ini dengan baik meskipun tinggal seorang diri.

Aku sempat melihat Mas Doni berbincang sebentar dengan Simbah, mungkin dia ingin menjelaskan tentang perihal dia pindah kemari. 

Akhirnya setelah Mas Doni mengobrol dengan Simbah sebentar, kami masuk ke dalam kamar yang terletak di ruang tengah. Tampak di ruang tengah itu ada sebuah piano tua tapi masih terlihat terawat. 

"Rumahnya adem kan, Dek?" tanya Suamiku sembari menata baju ke lemari. 

Sedangkan aku memilih untuk rebahan sebentar dengan Arsa yang tengah tertidur. 

"Tapi aku ngerasa kok rumah ini serem ya, Mas. Apalagi pohon beringin yang ada di depan," balasku jujur. 

"Ah, itu cuma sugestimu aja. Nanti juga betah di sini." Suamiku berkata dengan santai yang membuatku akhirnya merasa lebih rilex. 

Mungkin benar, aku hanya parno saja. Karena aku baru sampai di sini, jadi pikiranku sedikit kacau. 

***

Setelah makan malam yang di siapkan oleh Simbah. Kami pun ijin untuk masuk kamar dan beristirahat. 

Arsa sedari tadi tidak mau keluar dari kamar, katanya di luar ada yang nakal. Entahlah, anakku kadang memang suka aneh-aneh saja. 

Perjalanan yang kami lalui membuat badan kami terasa pegal, jadi kami pun cepat terlelap tidur dengan Arsa tidur di tengah-tengah kami. 

"Jangan nakal!!" 

Aku terbangun saat mendengar suara Arsa. Tampak di sebelahku Arsa sedang duduk sembari tangannya seperti sedang menyuruh sesuatu untuk pergi. 

"Arsa? Kenapa sayang?" tanyaku yang langsung terduduk dan menanyai anakku. 

"Tadi ada tante rambut panjang ngajak main Arsa, Mah. Dia narik-narik kaki Arsa," jawab anakku yang membuatku syok. 

"Tante siapa? Mana?" tanyaku dengan mengedarkan pandanganku ke penjuru kamar. 

"Tadi di sini." Arsa menyding bawah ranjang. 

Mendadak bulu kudukku merinding, tapi aku memberanikan diri untuk melihat arah bawah ranjang. 

Perlahan tapi pasti, aku mulai melongokan kepalaku untuk melihat kolong ranjang yang ternyata kosong. Namun aku begitu terlonjak kaget saat tiba-tiba jendela kamar yang besar terbuka dengan sendirinya. Membuat angin malam yang dingin terasa menusuk tulang. 

Aku segera turun dari ranjang menuju jendela kamar untuk menutupnya. Sebelum menutup, entah kenapa aku justru memperhatikan tanah kosong yang ada di sebelah kamar ini.

Terlihat hanya ada sedikit cahaya bulan yang menerangi tanah kosong itu, membuatnya terlihat benar-benar mengerikan. 

Aku pun segera menutupnya dan kembali ke ranjang. Terlihat Arsa duduk sembari terus memperhatikanku. 

"Kenapa Arsa? Apa Arsa haus?" tanyaku sembari membelai rambutnya. 

"Mah, tadi di jendela ada Simbah," ungkap Arsa yang membuatku bingung. 

Perasaan tadi aku tidak melihat siapa-siapa, tapi jujur kini bulu kudukku begitu meremang. Ada rasa tidak nyaman yang mengglayutiku. 

Akhirnya karena rasa was-was dan lelah, aku menyuruh Arsa tidur lagi. Aku juga mau melanjutkan tidur. 

***

Keesokan paginya, pada saat aku dan suamiku selesai bersiap. Aku berencana untuk memasak nasi goreng untuk sarapan. Tapi ternyata di meja makan sudah ada banyak makanan. 

"Pasti ini buatan Simbah," ucap suamiku sembari duduk di kursi. 

Tidak lupa aku juga menyuapi Arsa, tapi Arsa justru tidak mau meskipun aku paksa hingga dia menangis. 

"Jijik, Arsa nggak mau!!" Teriak anakku yang membuatku gusar. 

"Arsa mau apa?" tanya Mas Doni mencoba sabar. 

Arsa tetap menggeleng dan meminta untuk keluar rumah. Aku pun menuruti permintaan anakku. 

Aku ajak Arsa berjalan-jalan di sekitar rumah Simbah, tempat ini memang masih benar-benar asri. Banyak pohon besar dan tanaman yang membuat suasana lingkungan ini terasa sejuk. 

"Ngampuntene, Mbak tiyang pundi nggeh?" Sebuah suara menyentakanku. [Maaf, Mbak. Orang mana ya?]

Di sampingku tampak seorang ibu-ibu peruh baya yang tengah menyongsong sebuah nampan besar di kepalanya. 

"Maaf, saya tidak tahu bahasa daerah sini," balasku ramah. 

"Pasti orang baru ya, Mbak?" tanya Ibu di depanku dengan tersenyum. 

"Iya, Bu. Ibu jualan apa?" tanyaku sembari melihat sesuatu yang sedang di bawa oleh ibu-ibu paruh baya di depanku. 

"Iki gemblong, Mbak. Mau?" 

Aku tidak tahu makanan sejenis apa yang di tawarkannya tapi aku ingin mencoba. 

"Mamah, Arsa mau," pinta anakku. 

Akhirnya aku membeli dua porsi gemblong yang bungkusnya terbuat dari daun. 

"Rumah Mbak dimana?" tanya Ibu itu lagi sembari mengambil uang kembalianku. 

"Saya tinggal di rumah Nenek dari Suami, Buk. Itu rumahnya," balasku sembari menunjuk rumah Simbah. 

Entah kenapa tiba-tiba ekspresi ibu-ibu penjual gemblong itu berubah. Seketika tanpa pamit, ibu-ibu itu pun berjalan pergi meninggalkanku yang kebingungan. 

"Mbak, tolong hati-hati. Lebih baik pergi saja dari rumah itu. Rumah itu sintru, Mbak," ujar penjual gemblong itu sebelum benar-benar pergi. 

Sintru? Apa maksudnya? 
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

close