RUMAH PAKIS (Part 1)
.jpg)
JEJAKMISTERI - Namaku Naya dan ini adalah kisahku.
Kisah ini bermula ketika ayahku mendapatkan warisan dari kakekku. Karena kita hidup kekurangan jadi kami memang belum mempunyai rumah.
Aku adalah anak sulung dari dua bersaudara, adikku perempuan, berumur lima tahun.
Hari ini ayah membeli sebuah rumah di desa sebelah tempatku mengontrak. Dikarenakan uang warisan dari kakekku tidak banyak. Jadi aku pikir ayah akan membeli rumah yang sederhana.
Akan tetapi, rumah yang ayah beli ternyata lebih bagus dari ekspektasiku. Rumah dengan cat berwarna putih yang bahkan di depannya terdapat pagar. Tapi di teras rumah itu masih penuh dengan rumput tinggi.
Akhirnya sebelum pindah, aku membantu ayah membersihkan rumput liar itu. Aku ingat, wajah ayahku yang penuh dengan senyuman saat itu.
***
Tepat saat adzan ashar, kami sekeluarga telah selesai beres-beres barang di rumah baru. Adikku juga terlihat sangat senang.
"Dian suka sama rumah barunya?" Ayahku bertanya sembari mengelus rambut Dian, adikku.
"Suka, Pak," jawabnya polos.
Sore itu kami menghabiskan waktu untuk sekedar ngobrol dan istirahat. Rasanya senang melihat kedua orang tua dan adikku bahagia.
"Nay, kamu juga betah kan tinggal disini?" tanya ibuku.
"Pasti betah, Bu."
Belakangan aku menyesali jawabanku itu.
***
Sudah satu minggu aku dan keluargaku tinggal di rumah ini. Tapi aku dan ibu belum juga kenal dengan tetangga disini. Memang rumah baru kami letaknya di pojok gang dan lumayan jauh dari rumah tetangga. Sebelah dan depan rumah juga tanah kosong yang di penuhi pohon pisang.
"Nay, beliin Ibu minyak goreng di warung depan gang." Perintah ibuku saat aku sedang menemani Dian menonton TV.
Setelah meminta uangnya pada ibuku, aku pun bergegas keluar rumah untuk menuju warung. Di sepanjang jalan entah kenapa aku melihat para tetangga yang berpapasan denganku tampak melihatku aneh.
Hingga aku sampai di warung depan gang, suasana tampak tidak terlalu ramai. Mungkin karena siang hari ini benar-benar panas.
"Bu, beli minyak goreng satu liter," ucapku pada ibu-ibu pemilik warung.
Sembari menunggu, aku memilih es krim yang letaknya tidak jauh dari meja kasir. Dian pasti suka jika aku belikan es krim.
"Ini minyaknya, De." Ibu penjual warung memanggilku.
Aku pun segera membayar minyak goreng beserta dua es krim yang aku pilih dan segera berbalik untuk pulang. Tapi panggilan dari ibu penjual warung membuatku tertahan.
"Ada apa, Bu?" tanyaku sopan.
"Maaf sebelumnya, De. Ibu mau tanya, apa kamu dan keluargamu baik-baik saja selama tinggal di rumah itu?" tanya ibu penjual warung dengan wajah gugup.
"Kami baik-baik saja, Bu," balasku jujur.
Sesaat aku melihat ibu penjual warung itu ingin berucap lagi. Tapi entah kenapa beliau mengurungkan niatnya. Dia hanya menatapku dengan tatapan prihatin. Lalu, dengan anggukan sopan aku beranjak dari warung itu.
Sejak saat itu, aku merasa penasaran dengan rumah yang aku tinggali kini. Dari awal ayahku membeli rumah itu, aku sudah bertanya-tanya kenapa rumah sebagus itu dihargai murah?
***
Malam ini hujan turun dengan lebat, membuat udara menjadi lebih dingin. Jadi aku pun tidur lebih awal. Meskipun besok hari minggu.
SSSSHHHHHH...
Aku terbangun kaget saat suara berdesis terdengar di telingaku.
Namun saat aku menyalakan lampu, aku tidak menemukan sesuatu. Apa tadi aku hanya bermimpi? Tapi suara itu terdengar sangat nyata.
Pada saat aku sedang kebingungan dengan suara desisan tadi, tiba-tiba aku mendengar suara seperti orang sedang memasak di dapur. Aku pun melihat jam dinding dan kaget karena waktu menunjukan pukul dua malam.
Dikarenakan rasa penasaran aku pun keluar dari kamar menuju dapur. Ternyata benar ibuku sedang memasak di dapur.
"Bu, kenapa malam-malam begini masak? Ini kan bukan bulan puasa," tanyaku heran.
"Hmmm..."
Ibuku hanya membalas dengan berdehem. Membuatku setengah sebal. Akhirnya aku memilih kembali ke kamar dan tidur lagi.
***
"Kak Naya, ayo banguuunnn."
Seperti biasa setiap pagi, Dian selalu membangunkanku. Padahal hari ini aku libur sekolah.
Aku pun membuka mata dengan malas, gara-gara semalem ibu masak dengan suara berisik, aku jadi terganggu.
Setelah bangun dan bercanda sebentar dengan Dian, aku pun mandi. Kebetulan kamar mandi letaknya dekat dengan dapur. Di dapur aku kembali melihat ibuku sedang memasak.
"Kenapa masak lagi, Bu? Semalem kan udah masak," ujarku sambil berjalan ke arah kamar mandi.
"Semalem? Ibu semalem tidur kok, nggak lama setelah kamu masuk kamar," jawab ibuku sembari tetap fokus memasak.
Sontak jawaban ibuku menghentikan langkahku.
"Tadi malam jam dua jelas-jelas aku liat Ibu lagi masak, mana berisik banget bikin aku susah tidur lagi," ucapku sebal.
"Kamu mimpi kali, sana tanya Bapakmu kalo nggak percaya," balas ibuku.
"Bener kata Ibumu, Nay. Ibu tidur setelah kamu masuk kamar."
Jawaban ayahku semakin membuatku bingung, jika semalam bukan ibuku yang aku lihat, lalu siapa?
Tanpa aku sadari, itu adalah awal mula dari sebuah teror yang membuat hidupku berubah selamanya.
***
"Dian nggak mau, Dian nggak suka!!"
Aku terlonjak kaget mendengar suara adikku di depan rumah. Padahal hari sudah petang.
"Dian? Kamu kenapa?" tanyaku sembari menghampiri Dian.
"Dia nakal, Kak. Ngajak Dian ke sumul," jawab adikku polos.
Kebetulan ada sumur yang sudah tidak di pakai yang terletak di belakang rumah, tapi sumur itu sudah di tutup dengan kayu berbentuk lingkaran.
"Siapa yang ngajak Dian ke sumur?"
"Dia."
Dian membalas sembari telunjuknya menuding pekarangan depan rumah yang ditumbuhi pohon pisang.
"Mana? Kakak enggak liat," balasku penasaran.
Jujur saja, bulu kudukku meremang mendengar penjelasan Dian. Apalagi saat Dian kekeh bahwa ada seseorang di pekarangan kosong yang banyak pohon pisangnya itu.
Tanpa melihat ke arah pekarangan itu, aku menggendong Dian masuk karena suara adzan magrib sudah terdengar.
Setelah masuk, aku bercerita pada ibuku. Tapi ibuku hanya menganggapnya hal biasa.
"Namanya anak kecil, Nay. Kamu juga dulu begitu."
Ingin rasanya aku berdebat dengan ibuku bahwa yang dilihat Dian kemungkinan nyata. Tapi aku juga ragu, karena aku tidak melihat apa yang Dian katakan.
***
Keesokan harinya, aku terbangun saat ibuku menggedor pintu kamar.
"Nayy..."
Aku yang masih mengantuk pun lekas bangun dan membuka pintu.
"Dian di dalem kan, Nay?" tanya ibuku terlihat panik.
"Enggak ada kok, Bu. Dari semalem Dian nggak masuk kamarku," jawabku sembari membuka pintu lebar agar ibuku bisa melihat kedalam kamarku.
"Terus adikmu kemana, Nay? Dari Ibu bangun, Dian sudah nggak ada."
Mendengar penjelasan ibuku, aku pun jadi ikut panik. Kami berdua sepakat mencari Dian di sekitar rumah. Kebetulan ayahku yang seorang satpam mendapat shif malam, biasanya jam delapan pagi baru pulang.
Ibuku memilih mencari Dian di luar rumah, hingga ke pekarangan depan dan rumah tetangga. Sedangkan aku memilih untuk mencari adikku itu di sekitar rumah.
Akan tetapi, entah kenapa kakiku melangkah ke arah sumur di belakang rumah. Dengan rasa takut, aku pun memberanikan diri ke sumur tua itu.
Terlihat tutup sumur itu sedikit geser, karena penasaran aku terus mendekati sumur itu. Aku pun melongok ke dekat tutup sumur yang sedikit bergeser itu.
Alangkah terkejutnya aku, di sana aku melihat sesuatu mengambang. Sontak aku menjerit memanggil ibuku.
***
Aku hanya terdiam melihat polisi berlalu lalang di rumahku. Setelah mayat Dian diangkat dari dalam sumur. Tubuh tak bernyawa adikku itu di bawa kerumah sakit untuk di otopsi.
Ayahku yang dikabari oleh pak RT setempat langsung pulang. Aku melihatnya begitu tegar, berbeda dengan ibuku yang beberapa kali pingsan.
Ayahku juga ikut polisi ke rumah sakit, tak terlihat air mata di sana. Tapi aku tahu, hatinya hancur. Hanya saja ayahku berusaha kuat untuk ibu dan aku.
Dian adikku satu-satunya harus meninggal dengan tragis. Entah bagaimana Dian bisa sampai tercebur dan tenggelam di dalam sumur itu. Sedangkan pintu rumah masih dalam keadaan terkunci.
Menurut ibu dan bapak, saat tengah malam mereka terbangun, masih melihat Dian tidur.
Apakah kematian Dian ada sangkut pautnya dengan perkataan Dian kemarin?
***
Sudah satu minggu setelah kematian Dian. Suasana rumah begitu berbeda. Ibuku sekarang lebih sering melamun, kadang saat sedang menonton TV atau memasak, tiba-tiba beliau menangis atau tertawa sendiri.
Berbeda dengan ayahku, kini beliau jarang dirumah. Setelah selesai bekerja ayahku memilih untuk mancing atau sekedar main di rumah adiknya. Menjadikan rumah kini menjadi lebih sunyi.
***
Jam sudah menunjukan pukul sembilan malam, karena terlalu fokus belajar aku jadi lupa waktu untuk menunaikan sholat. Akhirnya aku pun ke kamar mandi untuk mengambil wudhu.
"KAK NAYA!"
Baru saja aku membuka pintu kamar mandi, aku mendengar seseorang memanggil namaku. Suara panggilan yang sama persis dengan suara Dian, adikku.
Aku berhenti sejenak dan mencoba menengok ke belakang. Tapi tidak ada siapapun di sana. Akhirnya aku pun melanjutkan niatku untuk mengambil wudhu ke kamar mandi.
Namun, saat aku melangkah ke dalam kamar mandi. Disana aku melihat Dian sedang berdiri menatapku dengan senyumnya yang seperti biasa.
Akan tetapi aku sadar, Dian sudah meninggal. Melihatnya membuat badanku bergetar karena rasa takut yang tiba-tiba menguasaiku. Tapi entah kenapa aku tidak bisa beranjak, justru mataku terus saja memeperhatikan Dian.
Perlahan sosok Dian yang sebelumnya terlihat normal, berubah menjadi sosok pocong dengan kain kafan lusuh dan wajah dipenuhi kapas. Sontak aku pun dengan sekuat tenaga berlari menuju kamarku sembari berteriak.
Aku kunci pintu kamar dan bersembunyi di bawah selimut. Berharap sosok Dian yang kini berubah menjadi pocong tidak mengikutiku.
"Kak Naya... Ayo main..."
Suara Dian masih terdengar di depan kamarku, beberapa saat kemudian suaranya berpindah ke jendela kamarku. Bukan hanya suara, tapi kini jendela kamarku juga di gedor-gedor.
"PERGII...!!! KAMU BUKAN DIAN!!!"
Aku berteriak frustasi, tapi gedoran jendela kamarku semakin menjadi. Karena rasa takut yang teramat sangat, akhirnya membuatku pingsan.
***
Pagi-pagi aku terbangun dengan kepala yang sedikit pusing. Rasanya badanku terlalu lemas untuk pergi sekolah.
BRAAAKKK...
Baru saja aku ingin keluar dari kamar, aku mendengar suara gebrakan meja.
"Istri tidak berguna!!"
Sepertinya ayahku sedang memarahi ibuku lagi. Entahlah, sejak kematian Dian keluargaku benar-benar berubah.
Ayah yang dulu sangat penyayang menjadi sangat pemarah, ibu yang dulu cerewet kini juga berubah menjadi pendiam. Aku benar-benar sedih. Seakan aku hidup sendiri di rumah ini.
Aku yang awalnya akan keluar untuk mandi pun mengurungkan niatku karena takut pada pertengkaran orang tuaku.
Setelah aku mendengar suara motor ayahku menjauh dari rumah, barulah aku berani keluar dari kamar. Tapi tak kutemui ibuku.
"Bu..."
Aku berusaha memanggil ibuku dari luar pintu kamarnya. Tapi tidak ada jawaban dari ibuku. Akhirnya aku memilih untuk ke kamar mandi.
***
Setelah selesai membersihkan diri, aku bermaksud untuk pamit pergi ke sekolah. Meskipun kepalaku masih sedikit pusing.
Tapi, alangkah terkejutnya aku saat kudapati tubuh ibuku tergantung di tengah pintu kamarnya.
Lidahnya menjulur dengan mata terbelalak. Wajahnya begitu mengisyaratkan kesakitan. Wajah ibu yang dulu penuh senyum kini kulihat wajahnya penuh dengan kepayahan.
Ibu, kenapa harus memilih jalan seperti ini? Tidakkah aku penting bagimu hingga kau lebih memilih menyusul Dian?
Saat itu, aku mendengar banyak suara di sekitarku. Suara orang-orang yang ramai memenuhi rumahku untuk melihat ibu. Tapi aku tidak memperdulikan suara-suara itu. Tatapanku terus saja terpaku pada sosok ibu yang tergantung.
Aku harap ibu tidak menjadi seperti Dian, aku harap ibu pergi dengan tenang.
[BERSAMBUNG]
*****
Selanjutnya